Corak Pemikiran Hizbut Tahrir Dalam Bidang Fiqih

ushul fiqh, disamping pembahasan hukum dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum tersebut. 48 Maka ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh yang sifatnya global, tidak spesifik. Seperti mutlaknya perintah, larangan, perbuatan Nabi, ijma‟ shahabat serta qiyas. Dengan begitu dalil-dalil yang bersifat rinci tidak masuk dalam pembahasan ushul fiqh, misalnya firman Allah : ٰ َص ا ا قآ “...dan dirikanlah shalat...” QS. An-Nur 24: 56 ۖ ٰ ِ ا ا ق ا “…dan janganlah kalian mendekati zina…”QS. Al Isra17:32 Shalatnya Rasulullah SAW di tengah- tengah ka‟bah, penetapan perwalian untuk yang dibawah perwalian, dan bahwa wakil berhak mendapatkan upah jika akad perwakilannya berdasarkan upah, diqiyaskan pada hukum karyawan. Itu semua tidak termasuk kategori pembahasan ushul fiqh karena merupakan dalil-dalil yang rinci, spesifik, adapun keberadaannya sebagai contoh dalam pembahasan ushul fiqh bukan berarti merupakan bagian pembahasan ushul fiqh, karena yang dikategorikan sebagai ushul fiqh adalah dalil-dalil yang sifatnya global, arah penunjukkan, keadaan orang yang berdalil dan tatacara beristidlal. 49 Diantara ushul fiqh di atas dengan ushul fiqh yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, pada intinya tidak ada perbedaan diantara definisi ushul fiqh di atas. Adapun metodologi istimbath Hizbut Tahrir akan dijelaskan dalam metode At- Ta‟âdul wa At-Tarâjih, sebagai berikut: 48 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, Hal. 6 49 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.7 Apabila terjadi pertentangan diantara dalil-dalil, dan sebagian tidak lebih baik dari yang lain, jika seperti itu disebut dengan at- ta‟âdul. 50 At- ta‟âdul tidak akan terdapat pada dalil-dalil yang bersifat qath‟i, karena tidak akan terjadi pertentangan di antara beberapa nashdalil yang bersifat qath‟i. Begitu juga tidak akan terjadi pertentangan antara dalil yang qath‟i dengan dalil yang zhanni, karena yang qath‟I harus didahulukan terhadap yang zhanni. Ta‟âdul ini tidak akan terjadi antara dalili-dalil yang zhanni dilihat dari sisi fakta pensyari‟atan al-wâqi‟ at- tasyri‟, meskipun dilihat dari perkiraan mantiq al-fardli al-manthiqi bias saja terjadi. Na mun hal ini bertentangan dengan fakta pensyari‟atan. Sebab dalil-dalil yang zhanni apabila bertentangan dilihat dari seluruh sisi tanpa terdapat sesuatu yang menguatkan atau melebihkan salah satu diantaranya, maka dalam keadaan seperti ini tidak mungkin bias mengamalkannya; atau mengamalkan dalil zhanni yang manapun juga. 51 Berdasarkan penjelasan diatas maka sebenarnya tidak terdapat di antara dalil- dalil syara‟. Sedangkan tarjih secara bahasa adalah pemindahan dan memenangkan 52 , mencondongkan at-tamyîl dan mengalahkan at-taghlîb, yaitu menguatkan salah satu diantara dua dalil terhadap yang lainnya agar bisa diamalkan sebagaimana para shahabat merajihkan khabar „Aisyah RA yaitu sabda beliau SAW:“Apabila telah bertemu dua khitan maka wajib mandi”. Hadits dikeluarkan oleh Ahmad. Atas khabar Abu Said Al Khudzri,yaitu sabda beliau SAW: “Bahwa air itu dengan air”. Hadist dikeluarkan oleh Ahmad. Karena istri Nabi SAW dianggap paling tahu dengan perbuatan beliau dalam hal-hal yang seperti ini dibanding dengan laki- laki yang lain. Maka ijma‟ ini membolehkan terikat dengan tarjih. 50 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal 675 51 „Atha bin Khalil, Ushul Fiqh “Kajian Ushul Fiqh Mudah dan Praktis”, cet.II. Jakarta: Pustaka Thariqul Izzah, Muharram 1429 H2008 M,. Hal.380. 52 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal. 675 Tarjih itu dikhususkan pada dalil dzanni, yakni khabar ahad, dan tidak terjadi pada yang qath‟i. Garis besar tarjih diantara dalil-dalil dzanni dapat diringkas sebagai berikut: Pertama: apabila ada dua nash yang bertentangan maka ditarjih diantara salah satu dari keduanya atas yang lain, jika tidak memungkinkan mengamalkan keduanya, apabila memungkinkan meski hanya hanya satu segi dan tidak pada segi yang lain, maka tidak melakukan tarjih. 53 Misalnya adalah sabda beliau SAW: “Maukah kalian aka beritahu saksi yang sebaik- baik saksi? Yaitu yang menyampaikan kesaksian sebelum dimainta”. Hadits dikeluarkan oleh Muslim. Sabda beliau bertentangan dengan sabda beliau SAW: “Kemudian tersebar luas kebohongan, sampai-sampai seorang laki-laki itu bersaksi padahal tidak diminta memberikan kesaksian.” Hadits dikeluarkan oleh Ibnu Majah. 54 Maka hadits pertama mengandung pengertian terkait dengan hak Allah, sedangkan hadits yang kedua terkait dengan hak manusia. 55 Kedua: apabila terjadi pertentangan antara dua nash, tapi sepadan dalam kekuatan dan keumuman, dan diketahui yang datang belakangan diantara keduanya. Maka yang datang belakangan itu menasakh yang sebelumnya. Tapi apabila tidak tahu dan tidak diketahui mana diantara keduanya yang lebih dahulu dan mana yang datang belakangan maka ditarjih salah satunya terhadap yang lain apabila keduanya adalah dalil dzanni, apabila keduanya merupakan dalil qath‟i maka tidak terjadi petentangan diantara keduanya karena ta‟âdul tidak terjadi pada dalil-dalil yang qath‟i. 56 Apabila tidak sepadan baik dalam kekuatan maupun keumuman, tapi salah satunya qath‟i sedangkan yang lain dzanni, atau salah satu dari keduanya umum sedangkan yang lain khusus, 53 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.677 54 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.677 55 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.677 56 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.677 disini dapat dilakukan tarjih. Tapi apabila keduanya tidak sama dalam kekuatan, artinya salah satunya qath‟i dan yang lain dzanni maka ditarjih yang qath‟i dan beramal dengan yang qath‟i tersebut dan meninggalkan yang dzanni, baik apakah keduanya umum ataupun khusus, atau yang qath‟i khusus sedangkan dzanni umum. Maka apabila yang qath‟i tersebut adalah umum sedangkan yang dzanni itu khusus maka beramal dengan yang dzanni. Tapi apabila keduanya tidak selevel dalam umum dan khusus, yaitu salah satunya lebih khusus dibanding dengan yang lain secara mutlak, maka dikuatkan yang khusus atas yang umum, dan beramal dengannya yang merupakan paduan antara dua dalil. Tapi apabila tidak sepadan pada keumumannya yaitu umum dan khusus antara keduanya pada satu segi saja. Maka dicari tarjih antara keduanya pada bentuk yang lain untuk mengamalkan yang paling kuat. Karena khusus itu mengharuskan yang paling kuat. Maka telah ditetapkan seperti itu untuk masing- masing dari keduanya khusus pada satu segi terkait yang lain. Maka jadilah masing-masing dari keduanya lebih kuat atas yang lain. Misalnya adalah sabda beliau Alaihish-shalatu wassalam: “Barangsiapa yang lupa shalat, atau karena tertidur, maka hendaknya dia shalat ketika dia ingat”. Hadits dikeluarkan oleh Ad Darimiy. 57 Maka antara hadits tersebut dengan larangan beliau Alaihis-salam untuk shalat pada waktu- waktu yang dimakruhkan adalah umum dan khusus pada satu segi, karena khabar yang pertama adalah umum pada waktu-waktu yang khusus untuk sebagian shalat yaitu qad ha‟. Sedangkan yang kedua adalah umum pada shalat yang dikhususkan untuk sebagian waktu, yakni waktu yang dimakruhkan. Maka tarjih dilakukan pada bentuk yang sebelumnya. Ketiga: tarjih demi hukum, terjadi dengan beberapa perkara: Yang pertama: dikuatkan khabar yang menetapkan untuk hukum pokok atas khabar yang mengangkat untuk hukum tersebut. Seperti sabda beliau SAW: “Barangsiapa yang 57 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.678 menyentuh dzakarnya maka hendaknya dia berwudhu”. Hadits dikeluarkan oleh Ahmad. 58 Dengan apa yang diriwayatkan secara marfu‟ dengan lafadz: “Apakah kami berwudhu apabila menyentuh dzakarnya?, beliau bersabda: dzakar itu adalah sepotong daging dari dari kalaian atau tubuh kalian”. Hadits dikeluarkan oleh Ahmad. 59 Maka dikuatkan nash yang membatalkan. Karena yang menetapkan hukum itu lebih dikuatkan dibanding yang mengangkat hukum, karena dua sebab: pertama, bahwa beramal dengan yang mengangkat hukum artinya menasakhnya, dan itu tidak boleh kecuali dengan qarinah yang menjelaskan tentang naskh. Disini tidak ditemukan qarinah yang menunjukkan nasakh. Kedua, bahwa beramal dengan yang menetapkan hukum itu berarti menjadikan sahnya shalat secara yakin dengan tiadanya perbuatan yang diduga membatalkan, berbeda dengan mengangkat hukum maka itu menjadikan sahnya shalat yang sifatnya dzanni karena adanya dugaan bahwa itu bertentangan. Dan keberadaan sah shalat yang yakin itu lebih didahulukan dibanding yang sifatnya dzanni. Bersabda beliau „Alaihis-salam: “Tinggalkan apa yang meragukan untuk mengambil yang tidak mertagukan”. Hadits dikeluarkan oleh Ahmad. 60 Kedua: khabar yang menunjuk pada pengharaman lebih dikuatkan atas khabar yang menunjuk pada yang mubah, berdasarkan sabda beliau SAW: “Tinggalkan yang meragukan untuk mengambil yang tidak meragukan”. Hadits dikeluarkan oleh Ahmad. 61 Ketiga: khabar yang menunjuk pada pengharaman sepadan dengan yang menunjuk pada yang wajib. 58 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.678 59 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, ha.679 60 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.679 61 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.679 Keempat: khabar yang menunjukkan pada yang wajib itu lebih dirajihkan atas khabar yang menunjuk pada yang mubah. Kelima: khabar yang menunjukkan pada yang haram itu lebih rajih atas khabar yang menunjuk pada yang makruh. Keenam: dalil yang menunjukkan atas suatu kwajiban itu lebih dikuatkan atas dalil yang menunjuk pada yang mandub. Ketujuh: dalil yang memetapkan itu lebih didahulukan atas dalil yang menafikan. Seperti khabar Bilal yang menyatakan bahwa Nabi SAW masuk rumah dan shalat, sedangkan khabar Usamah menyatakan bahwa beliau masuk rumah dan tidak shalat, maka khabar Bilal dikuatkan. 62 Kedelapan: dalil yang menafikan had sanksi itu lebih dikuatkan atas dalil yang menetapkan had sanksi. Dalil atas hal tersebut ada tiga perkara: a. Hadits yang dikeluarkan oleh At Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda:“Hindarkan had dari kaum Muslim semampu kalian”. Demikian pula apa yang diriwayatkan dalam Musnad Abu hanifah: “Jauhkanlah had dengan syubhat”. b. Bahwa had itu adalah dharar. Padahal Rasulullah SAW bersabda:“Tidak berbahaya dan tidak membahayakan”. Hadits dikeluarkan oleh Al Hakim. c. Sabda beliau SAW: “Bahwa sesungguhnya Imam salah dalam mema‟afkan itu lebih baik dibanding dengan salah dalam memberikan sanksi”. Hadits dikeluarkan oleh At Tirmidzi. 63 Empat: khabar ahad dikuatkan terhadap qiyas yang illatnya diambil dari dalil atau yang diistimbathkan dengan suatu istimbath, atau dengan qiyas. Karena khabar ahad adalah wahyu 62 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.680 63 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.681 yang dzahir dalalahnya atas suatu hukum dalam pengungkapan pada hukum, sedangkan illat diambil secara dalalah, atau di istimbathkan atau diqiyaskan, itu semua adalah bagian dari mafhum,dan dengan qarinah bahwa ini adalah termasuk hal-hal yang datang melalui wahyu, dan dzahir dalalah dari nash itu lebih didahulukan atas mafhum yang merupakan bagian dari apa yang ditunjuk oleh nash. Sedangkan illat sharahah, diambil berdasarkan hukum nash yang illah tersebut datang melalui nash tersebut. 64 Diantara hasil istimbath Hizbut Tahrir yaitu berupa ide-ide, pendapat-pendapat dan hukum- hukum yang telah dipilih dan ditetapkannya telah dihimpun dalam berbagai buku dan selebaran. Semua itu telah diterbitkan dan disebarluaskan kepada umat. Berikut nama-nama buku yang telah diterbitkan oleh Hizb: 1. Nizhamul Islam Peraturan Hidup Dalam Islam 2. Nizhamul Hukmi fil Islam Sistem Pemerintahan Islam 3. Nizhamul Iqtishadi fil Islam Sistem Ekonomi Islam 4. Nizhamul Ijtima‟I fil Islam Sistem Pergaulan di Dalam Islam 5. At-Takattul al-Hizbiy Pembentukan Partai Politik 6. Mafahim Hizbut Tahrir Pokok-Pokok Pikiran Hizbut Tahrir 7. Daulah al-Islamiyah Negara Islam 8. Syakhshiyah al-Islamiyah Kepribadian Islam, tiga jilid 9. Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir Pokok-Pokok Pikiran Politik Hizbut Tahrir 10. Nadlarat Siyasiyah li Hizbit Tahrir Pandangan Politik Hizbut Tahrir. 11. Muqaddimah ad-Dustur Pengantar Undang-Undang Dasar Negara Islam. 12. Al-Khilafah Sistem Khilafah. 13. Kaifah Hudimat al-Khilafah Persongkokolan Meruntuhkan Khilafah. 64 An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah III, hal.675-684 14. Nizham al-„Uqubat Sistem Sanksi. 15. Ahkam al-Bayyinat Hukum Pembuktian. 16. Naqdlu al-Isytirakiyah al-Marksiyah Kritik Terhadap Sosialis Marxis. 17. At-Tafkir Hakekat Berpikir. 18. Sur‟atu al-Badihah Kecepatan Berpikir 19. Fikru al-Islamiy Pemikiran Islam. 20. Naqdlu an-Nadlariyatu al-Iltizami fi al-Qawanini al-Gharbiyyah Kritik Terhadap Teori Stipulasi Undang-Undang Barat. 21. Nida Har Seruan Hizbut Tahrir Untuk Umat Islam. 22. Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mustla Politik Ekonomi Yang Agung. 23. Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah Sistem Keuangan di Negara Khilafah. Dalam mengambil dan menetapkan ide-ide dan hukum-hukum Islam, Hizbut Tahrir hanya bersandar kepada wahyu, yakni al- Qur‟an dan as-Sunnah, serta yang ditunjukkan oleh kaduanya, berupa ijma‟ Sahabat dan Qiyas. Karena hanya keempat rujukan itu saja yang hujjahnya ditetapkan dengan dalil yang qath‟iy pasti. 65 Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Hizbut Tahrir sangat hati-hati dalam menggali segala sesuatu. Hizbut Tahrir tidak ingin pemikirannya tercampuri oleh pemikiran yang memang bersumber dari hawa nafsu manusia. Sehingga ketika menghukumi sesuatu semata-mata bersumber dari al- Qur‟an dan as-Sunnah, ijma‟ Sahabat dan Qiyas. 65 Hizbut Tahrir, ”Mengenal Hizbut Tahrir Dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir” Jakarta: Pustaka Thariqul Izzah, 2007, cet.I. hal.35

BAB IV PENETAPAN AWAL BULAN DALAM PERSPEKTIF HIZBUT TAHRIR

A. Dasar Pijakan Dan Metode Penetapan Awal Bulan Qamariyah

66 Berbicara t entang dasar pijakan Hizbut Tahrir, Hizb lebih melihat penentuan awal dan akhir Ramadhan, dimana bulan Ramadhan adalah bulan Ibadahnya Kaum Muslimin. Hizbut Tahrir adalah partai yang bertujuan untuk melanjutkan kehidupan Islam dibawah naungan Daulah Khilafah. Oleh karena itu, Hizb turut berkepentingan dalam menentukan dalil syara‟ awal dan akhir bulan Ramadhan, begitu juga dengan penentuan Syawal. Karena apabila tidak begitu maka dikhawatirkan akan terjadi keharaman dalam beribadah. Disana Hizb membandingkan dalil-dalil penentuan awal dan akhir Ramadhan. Dan Hizb berusaha mengambil dalil-dalil yang rajih. Dimana dalil yang rajih menurut pandangan Hizb itu adalah dalil Rukyatul Hilal. Yang menjadi dasar pijakan dan metode penetapan adalah Rukyat Hilal, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW: 67 ي ص Berikut adalah dalil-dalil Rukyat Hilal yang menjadi dasar pijakan Hizbut Tahrir: Puasa Ramadhan merupakan ibadah yang wajib ditunaikan setiap mukallaf. Allah SWT berfirman: ص ف َّ ا ش ف ق ا ا ِ َِ َ ق ا ف َا ض ش “Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan permulaan al- Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang batil. Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir di negeri tempat tinggalnya di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. ” QS.al-Baqarah [2]: 183-185. Rasulullah saw bersabda: 66 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah. Jakarta. 21 Agustus 2010 67 Wawancara Probadi dengan Ratu Erma R. Jakarta. 20 Desember 2010 َّ ا كَ ا ء إ اَص ا قإ ها ا َ َ هاَاإ ٰ إ َا ش خ ا إ ا ض ص “Islam dibangun atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, haji, dan berpuasa Ramadhan. ” HR al-Bukhari. Berdasarkan ayat dan Hadits ini, serta dalil-dalil lainnya, puasa Ramadhan merupakan suatu ibadah yang wajib ditunaikan. Sebagai layaknya ibadah, syara‟ tidak hanya menjelaskan status hukumnya –bahwa puasa Ramadhan adalah fardhu „ain–, tetapi juga secara gamblang dan rinci menjelaskan tentang tata cara pelaksanaannya, baik berkenaan dengan al-sabab, al- syarth, al- mâni‟, al-shihah wa al-buthlân, dan al-„azhîmah wa al-rukhshah-nya. Berkenaan dengan sabab sebab dilaksanakannya suatu hukum puasa Ramadhan, sya ra‟ menjelaskan bahwa ru‟yah al-hilâl merupakan sabab dimulai dan diakhirinya puasa Ramadhan. Apabila bulan tidak bisa di ru‟yah, maka puasa dilakukan setelah istikmâl bulan Sya‟ban. Ketetapan ini didasarkan banyak dalil. Beberapa di antaranya adalah Hadits-hadits berikut: ̃ ث ح : ش ث ح : ق ي ح ث ح : ه يض ي : ي : ص ي ق ق ، ي ه : ي ه ص ق : ي غ ف ، ي طف ي ص يثاث ف ي . “Diriwayatkan oleh Adam, Syub‟ah, Muhammad bin Ziyad berkata: Saya mendengar Abu Hurairah ra: Dia berkata: Rasulullah saw, atau beliau telah bersabda: Abu Al-Qasim saw telah berkata: Berpuasalah kalian karena melihatnya hilal dan berbukalah karena melihatnya hilal. Apabila pandangan kalian tersamar terhalang, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya‟ban menjadi 30 hari”. HR. Bukhari 68 68 Abi Al Hasan Nurdin Muhammad bin Abdu, Kitab Shahih Al Bukhariy, hal.630 ها ض ها ، ف ،ّ ، ها ث : َص ها َ آ قف ، ض ك َ ها : ا ا َ ا ص ا ا ا َ ا ﻄ ، َغ إف ا ق ف . ”Diriwayatkan oleh Abdullah bin Muslimah, Maliki, Nafi‟, Abdillah bin Umar RA: Bahwasannya Rasulullah SAW: Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari. ” HR. Bukhari 69 Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru‟yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan Sya‟ban menjadi tiga puluh hari, kemudian mereka berpuasa. ” al-Nawawi, al- Majmû‟Syarh al-Muhadzdzab,6269 Dalil-dalil di atas dipandang adalah hadits-hadits lebih kuat dan shahih. Karena dari perawi- perawi yang masyhur. Kaitannya dengan matla‟ tempat lahirnya bulan, Hizbut Tahrir memandang bahwa s ebagian ulama Syafi‟iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru‟yah bisa mengikuti hasil ru‟yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru‟yah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru‟yat daerah lain. 70 Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib. 69 Abi Al Hasan Nurdin Muhammad bin Abdu, Kitab Shahih Al Bukhariy, hal 629 70 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010. Ditambah juga dari artikel Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI Mendudukkan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan, syabab.com