Dasar Pijakan Dan Metode Penetapan Awal Bulan Qamariyah

ها ض ها ، ف ،ّ ، ها ث : َص ها َ آ قف ، ض ك َ ها : ا ا َ ا ص ا ا ا َ ا ﻄ ، َغ إف ا ق ف . ”Diriwayatkan oleh Abdullah bin Muslimah, Maliki, Nafi‟, Abdillah bin Umar RA: Bahwasannya Rasulullah SAW: Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya, jika kalian terhalangi awan, maka sempurnakanlah hitungannya menjadi tiga puluh hari. ” HR. Bukhari 69 Berdasarkan Hadits-hadits tersebut, para fuqaha berkesimpulan bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan didasarkan kepada ru‟yah al-hilâl. Imam al-Nawawi menyatakan, “Tidak wajib berpuasa Ramadhan kecuali dengan melihat hilal. Apabila mereka tertutup mendung, maka mereka wajib menyempurnakan Sya‟ban menjadi tiga puluh hari, kemudian mereka berpuasa. ” al-Nawawi, al- Majmû‟Syarh al-Muhadzdzab,6269 Dalil-dalil di atas dipandang adalah hadits-hadits lebih kuat dan shahih. Karena dari perawi- perawi yang masyhur. Kaitannya dengan matla‟ tempat lahirnya bulan, Hizbut Tahrir memandang bahwa s ebagian ulama Syafi‟iyyah berpendapat, jika satu kawasan melihat bulan, maka daerah dengan radius 24 farsakh dari pusat ru‟yah bisa mengikuti hasil ru‟yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru‟yah sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru‟yat daerah lain. 70 Pendapat tersebut disandarkan kepada Hadits yang diriwayatkan dari Kuraib. 69 Abi Al Hasan Nurdin Muhammad bin Abdu, Kitab Shahih Al Bukhariy, hal 629 70 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010. Ditambah juga dari artikel Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI Mendudukkan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan, syabab.com Hadits yang diriwayatkan Kuraib dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan awal dan akhir Ramadhan karena perbedaan mathla‟. Menurut Jubir MHTI bahwa apabila dikaji lebih teliti, sesungguhnya pendapat ini mengandung sejumlah kelemahan. Di antaranya: 1. Dalam Hadits ini terdapat syubhat, apakah Hadits ini tergolong Hadits marfû‟ atau mawqûf . Ditilik dari segi lafazhnya, perkataan Ibnu „Abbas, “Hakadzâ amaranâ Rasûlullâh saw ” demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kami, seolah-olah menunjukkan sebagai Hadits marfû‟. Namun jika dikaitkan dengan munculnya perkataan itu, kesimpulan sebagai Hadits marfu‟ perlu dipertanyakan. Sebagai sebuah ijtihad, kaum Muslim diperbolehkan untuk taklid kepada ijtihad Ibnu Abbas. Namun jika untuk dijadikan sebagai dalil syara‟, yang darinya digali hukum-hukum syara‟, jelas tidak diperbolehkan. Sebab, sahabat bukanlah orang yang ma‟shum. Ijtihadnya tidak termasuk dalam dalil syara‟. 2. Perbedaan tempat yang telah ditentukan jaraknya oleh para ulama itu adalah berbeda-beda. Perbedaan jarak tersebut tidak didasarkan pada nash yang sharih. Bertolak dari dua alasan itu, maka Hadits Kuraib tidak bisa dijadikan sebagai dalil bagi absahnya perbedaan penetapan awal dan akhir puasa berdasarkan perbedaan mathla‟. Dalam penetapan awal dan akhir puasa akan lebih tepat jika menggunakan dalil- dalil Hadits yang jelas marfu‟ kepada Nabi saw. Imam al- Amidi mengatakan, “Hadits yang telah disepakati ke-marfu‟- annya lebih dikuatkan daripada hadits yang masih diperselisihkan ke- marfu‟-annya. Hadits yang dituturkan dengan lafadz asli dari Rasulullah Saw lebih dikuatkan daripada hadits yang diriwayatkan bil makna.” 71 Berkait dengan Hadits dari Ibnu Abbas, terdapat Hadits yang diriwayatkan oleh beliau sendiri yang tidak diragukan ke- marfu‟-annya, seperti Hadits: 71 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 َ َ ا َص َ ا ق ق َ ا ا ا ص ض ق ا ص ا ك ف غ إف ا ﻄف ا ث . “Dari Ibnu „Abbas ra yang berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berkulah karena melihatnya. Jika ia hilal terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.” HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301 Juga hadits-hadits lainnya yang tidak diragukan ke- marfu‟-annya. Dalam hadits-hdits itu kaum Muslim diperintahkan untuk berpuasa dan berb uka karena adanya ru‟yah hilal. Semua perintah dalam hadits berbentuk umum. Hal itu terlihat seruan hadits-hadits itu yang menggunakan kata shûmû dan afthirû dhamîr jamâ‟ah, berupa wâwu al-jamâ‟ah. Pihak yang diseru oleh hadits tersebut adalah seluruh kaum Muslim. Karena berbentuk umum, maka seruan hadits ini berlaku umum untuk seluruh kaum Muslim, tanpa ada perbedaan antara orang Syam dengan orang Hijaz, antara orang Malaysia dengan orang Irak, orang Mesir dengan Pakistan. Demikian juga, kata li ru‟yatihi karena melihatnya. Kata ru‟yah adalah ism al-jins. Ketika ism al-jins itu di-mudhaf-kan, termasuk kepada dhamîr kata ganti, maka kata itu termasuk dalam shighah umum, yang memberikan makna ru‟yah siapa saja. 72 Imam al-Syaukani 73 menyatakan, “Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khitâb seruan yang ditujukan kepada siapa saja di antara kaum Muslim yang khitab itu telah sampa i kepadanya. „Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka dianggap 72 Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI, Mendudukkan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan, artikel diakses pada 21 Agustus 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id 73 Imam Asy-Syaukani ini pada awalnya adalah pengikut Mazhab Zaidi Mujtahid Mazhab, namun dikemudian hari beliau menjadi mujtahid Muthlak, Tingkat Mujtahid ada tiga: Mujtahid Muthlak, Mujtahid Mazhab, Mujtahid Masalah. seluruh kaum Muslim telah melihatnya. Ru‟yah penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum Muslim lainnya.” 74 Imam al- Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit rukyatul hilal, maka ru‟yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain. Imam al- Shan‟ani berkata, “Makna dari ucapan „karena melihatnya‟ adalah “apabila ru‟yah didapati di anta ra kalian”, Hal ini menunjukkan bahwa ru‟yah pada suatu negeri adalah ru‟yah bagi semua pendudu k negeri dan hukumnya wajib.” Pemahaman tersebut juga dikuatkan oleh beberapa Hadits yang menunjukkan tidak berlakunya perbedaan mathla‟. Diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor: َغ ا َ ا َص َ ا ا ّف َ ا خآ ك ء ف ص ص ف اَ ش ا ا َ َ ا ﻷ ا ج ا ﻄ َ َ ا َص َ ا ف ﻐ ا “Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi saw bahwa mereka telah melihat hilal kemarin sore. Maka Rasulullah saw memerintahkan mereka kaum Muslim untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat „Ied pada keesokan harinya.” HR. Ahmad dishahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru‟yah hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal 74 Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI, Mendudukkan Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan, artikel diakses pada 21 Agustus 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id Syawal di suatu tempat di luar Madinah al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Dari Ibnu „Abbas: ض ث ف ا ق ا ا آ ِإ قف َ ها َص ِ َ ا إ ِ ا آ ء ج ق ؟ها َاإ ٰ إ َا آ ّ آ قف : . ق ؟هاا ا َ َ آ ّ آ ق : . َ ا ف ِآ ا ق ا غ ا ص ف . “Datang seorang Badui ke Rasulullah SAW seraya berkata: Sesungguhnya aku telah melihat hilal. Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud orang Badui itu adalah hilal Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah?” Dia berkata, “Benar.” Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata, “Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?” Dia berkata, “Ya benar.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal umumkan kepada orang-orang untuk berpuasa besok.” HR Abu Daud and al-Tirmidzi, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Bertolak dari beberapa argumentasi tersebut, maka pendapat yang rajih adalah pendapat yang ti dak mengakui absahnya perbedaan mathla‟. Pendapat ini pula yang dipilih oleh jumhur ulama, yakni dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah. Mereka tidak menganggap adanya perbedaan penentuan awal dan akhir puasa karena perbedaam mathla‟. 75 Ketiga madzhab Abu Hanifah, Maliki, Ahmad itu berpendapat bahwa awal Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru‟yah, tanpa mempertimbangkan perbedaan mathla‟. Sayyid Sabiq menyatakan, “Menurut jumhur, tidak dianggap adanya perbedaan mathla‟ ikhtilâf al- mathâli‟. Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah saw, ”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Seruan ini bersifat umum mencakup seluruh 75 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 ummat. Jadi siapa saja di antara mereka yang melihat hilal; di tempat mana pun, maka ru‟yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” 76 Abdurahman al- Jaziri menuturkan, “Apabila ru‟yah hilal telah terbukti di salah satu negeri, maka negeri-negeri yang lain juga wajib berpuasa. Dari segi pembuktiannya tidak ada perbedaan lagi antara negeri yang dekat dengan yang jauh apabila berita ru‟yah hilal itu memang telah sampai kepada mereka dengan cara terpercaya yang mewajibkan puasa. Tidak diperhatikan lagi di sini adanya perbedaa n mathla‟ hilal secara mutlak. Demikianlah pendapat tiga Imam Madzhab Abu Hanifah, Malik, Ahmad. Para pengikut madzhab Syafi‟i berpendapat lain. Mereka mengatakan, „Apabila ru‟yah hilal di suatu daerah telah terbukti, maka atas dasar pembuktian ini, penduduk yang terdekat di sekitar daerah tersebut wajib berpuasa. Ukuran kedekatan di antara dua daerah dihitung menurut kesamaan mathla‟, yaitu jarak keduanya kurang dari 24 farsakh. Adapun penduduk daerah yang jauh, maka mereka tidak wajib berpuasa dengan ru ‟yah ini, karena terdapat perbedaan mathla‟.” 77 Al-Qurthubi 78 menyatakan, “Menurut madzhab Malik rahimahullah –diriwayatkan oleh Ibnu Wahab dan Ibnu al-Qasim – apabila penduduk kota Basrah Irak melihat hilal 76 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 77 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 78 Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi Al-Qurthubi adalah seseorang mufassir yang dilahirkan di Cordova, Andalusia sekarang Spanyol. Disanalah beliau mempelajari Bahasa Arab, Syair, Al- Qur‟an Al-Karim, Fiqh, Nahwu, Qira‟at, Balaghah, Ulumul Qur‟an dan ilmu-ilmu lainnya. Beliau merupakan salah seorang hamba Allah yang shalih yang sudah mencapai tingkatan ma‟rifatullah, beliau sangat zuhud terhadap kehidupan dunia bahkan dirinya selalu disibukkan oleh urusan-urusan akhirat. Usianya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah dan menyusun kitab. Diantara guru- guru Imam Al-Qurthubi adalah :- Ibnu Rawwaj, Imam Al-Muhaddits Abu Muhammad Abdul Wahab bin Rawwaj. Nama aslinya Zhafir bin Ali bin Futuh Al Azdi Al Iskandarani Al-Maliki, wafatnya tahun 648 H.- Ibnu Al-Jumaizi, Al- Allamah Baha‟uddin Abu Al-Hasan Ali bin Hibatullah bin Salamah Al Mashri Asy-Syafi‟I, wafat pada tahun 649 H. Ahli dalam bidang Hadits, Fiqih dan Ilmu Qira‟at.- Abu Al-Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahim Al-Maliki Al-Qurthubi, wafat pada tahun 656 H. Penulis kitab Al-Mufhim fisyarh Shahih Muslim.- Al- Hasan Al-Bakari, Al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad bin Amaruk At-Taimi An-Nisaburi Ad-Dimsyaqi atau Abu Ali Shadruddin Al-Bakari, wafat pada tahun 656 H. Karya-karya Al-Qurthubi selain kitabnya yang berjudul Al- Jami‟li Ahkaam Al-Qur‟an, diantaranya adalah: At_Tadzkirah fi Ahwal Al-Mauta wa Umur Al- Ramadhan, lalu berita itu sampai ke Kufah, Madinah, dan Yaman, maka wajib atas kaum Muslimin, berpuasa berdasarkan ru‟yah tersebut. Atau melakukan qadha puasa jika berita itu datangnya terlambat.” 79 Tentang pendapat Mazhab Hanafi, Imam Hashfaky menyatakan, “Bahwasannya perbedaan mathla‟ tidak dapat dijadikan pegangan. Begitu juga melihat bulan sabit di siang hari, sebelum dhuhur, atau menjelang dhuhur. Dalam soal ini, penduduk di wilayah Timur benua Asia harus mengikuti ru‟yat kaum Muslimin yang ada di Barat Timur Tengah, jika ru‟yat mereka dapat di terima syah menurut Syara‟.” 80 Tak jauh berbeda, menurut Mazhab HAnafi, apabila ru‟yat telah terbukti, disuatu tempat yang jauh atau dekat, maka seluruh kaum Muslimin harus ikut melakukan puasa Ramadhan. 81 Sebagian pengikut Mazhab Maliki, seperti Ibnu al Majisyum, menambahkan syarat, rukyat itu harus diterima oleh seorang Khalifah. “Tidak wajib atas penduduk suatu negeri mengikuti rakyat negeri lain, kecuali hal itu telah terbukti diterima oleh al-imâm al- a‟dham khalifah. Setelah itu, seluruh kaum Muslimin wajib berpuasa. Sebab, seluruh negeri bagaikan satu negeri. Dan keputusan khalifah berlaku bagi seluruh kaum Muslim.” 82 Ibnu Taimiyah dalam Majmû‟ al-Fatawa berkata, “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru‟yah tidak digunakan bagi semuanya negeri-negeri yang lain seperti kebanyakan pengikut- pengikut madzhab Syafi‟i; dan di antara mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla‟ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq Akhirah, At-Tidzkar fi Afdhal Al-Adzkar, Al- Asnafi Syarh Asma‟illah Al-Husna, Syarh At-Taqashshi, Al-I‟llambi maa fi din An-Nashara min Al-Mafashid wa Al-Auham wa Izhhar Mahasin din Al- Islam, Qam‟u Al-Harsh bin A- Zuhd wa Al- Qana‟ah, Risalah fi Alqam Al-Hadits, Kitab Al-Aqdhiyyah, Al-Mishbah fi Al-Jam‟I baina Al-Af‟aal wa Ash-Shahhah, Al- Muqtabar fi Syarh Muwaththa‟ Malik bin Anas, Al-Luma‟ fi Syarh Al-Isyrinat An- Nabawiyah. Lihat juga El-Reihan Blogs.http:el-reihan.blogspot.com201001imam-qurthubi.html. di akses pada 22 Januari 2011 79 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 80 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 81 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 82 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 dengan Khurasan”, sesungguhnya kedua-duanya lemah dha‟if karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal…Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya‟ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka ia wajib berpuasa. Demikian juga kalau ia menyaksikan hilal pada waktu sore menjelang maghrib maka ia harus imsak berpuasa untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” 83 Jelaslah, menurut pendapat yang rajih dan dipilih jumhur, jika penduduk negeri-negeri Timur benua Asia jauh melihat bulan sabit Ramadhan, maka r u‟yah wajib diikuti oleh kaum Muslimin yang berada di negeri-negeri belahan Barat Timur Tengah, tanpa kecuali. Siapapun dari kalangan kaum muslimin yang berhasil melakukan ru‟yatuh hilal maka ru‟yah tersebut merupakan hujjah bagi orang yang tidak melihatnya. Kesaksian seorang muslim di suatu negeri tidak lebih utama dari kesaksian seorang muslim di negeri yang lain. Dari penjelasan di atas Hizbut Tahrir menyimpulkan bahwa: 1. Hadits Riwayat dari Kuraib adalah bukan hadits Marfu‟ karena bukan berdasarkan ucapan Rasulullah tapi ini adalah ucapan Ibnu Abbas atas pertanyaan Kuraib. 2. Hizb berpandanngan bahwa ada peristiwa-peristiwa lain di masa Rasulullah yang justru malah sebaliknya, artinya Rasulullah justru tidak ingin perpedaan itu terjadi dikalangan kaum Muslimin. Perbedaan ini terjadi adalah suatu kewajaran pada saat itu karena alat komunikasi yang sangat terbatas. Kemudian perbedaan ini menyikapi justru memerintahkan kepada kaum Muslimin bahwa tidak dibesar-besarkan, khususnya pada saat itu. 84 Intinya adalah Hizbut Tahrir memandang bahwa menggunakan mathla ‟ dalilnya tidak ada. 83 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 84 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 Apabila mengaplikasikan konteks sekarang, dimana khususnya di Negara Indonesia yang dominan menggunakan Madzab Syafi‟iyyun yang menentukan jarak lebih kurang berada dalam radius 12 0 km atau kurang lebih 24 farsakh dan dalam jarak dibolehkannya menjama‟ dan mengqashar shalat. Demikian itu tidaklah sama dengan jarak yang ditempuh antara Syam dan Madinah, karena jarak untuk menempuh Syam ke Madinah membutuhkan waktu perjalanan sehari, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits Kuraib di atas. Untuk konteks Indonesia bisa kita ambil contoh yaitu penentuan awal bulan Ramadhan 1431 ini. Di Makasar tidak terlihat hilal namun terlihat di Jakarta, tapi Makasar mengikuti Jakarta, padahal jarak Makasar dengan Jakarta sudah menghabiskan waktu sehari sampai dua hari dalam perjalanan. Kalau memang benar- benar mengikuti Madzhab Syafi‟iyyun, seharusnya puasa orang Makasar sudah berbeda dengan Jakarta. Namun itu tidak terjadi. Jadi apa faktor yang menyebabkan Makasar ikut Jakarta? Kalau kita menilik lagi ke hadits Rasulullah li ru‟yatihi karena melihat hilal adalah isim jenis yang diidhafatkan, sehingga termasuk lafadz-lafadz yang bersifat umum. Dan sabda beliau saw hatta tarau hingga kalian melihat, dan idza ra‟aitum jika kalian melihat, didalamnya ada dhamir jamak yang kembali pada sebuah isim, dan isim ini adalah jamak, sehingga dhamir tersebut mengacu pada keseluruhan. Sedangkan jamak itu termasuk lafadz-lafadz umum. Dlamir: tarau dan dlamir: ra‟aitum termasuk lafadz-lafadz umum, sehingga melihat itu bersifat umum, bagaimanapun kondisi rukyat itu terjadi dari seorang Muslim maka mencakup seluruh kaum Muslim. Karena itu puasa menjadi wajib atas mereka semua saat itu. Pendapat ini merupakan hasil dari ulama yang tidak berpegang pada matla‟ yaitu dengan pengambilan kesimpulan yang biasa agak rumit, dan merupakan pendapat yang shahih. 85 Berbicara tentang metodologi Hizbut Tahrir dalam menentukan awal dan akhir bulan Qamariyah. Pada dasarnya Hizbut Tahrir juga mempunya metodologi sendiri yaitu dalam kajian Ushul Fiqh dalam menafsirkan ayat Al- Qur‟an dan nash-nash Syara‟. Hal yang berkaitan dengan penentuan awal bulan qamariyah ini, Hizb memperhatikan pandangan- pandangan ulama atau madzhab, Karen a matla‟ bukan landasan untuk perbedaan. Dalam kitab Al Fiqh Al Madzahib Fiqih 4 Madzhab, Hizb mengambil pandangan rajih ini: 1. Hizb lebih berpandangan rukyat bukan hisab. Namun Hizb tidak meninggalkan hisab sama sekali, karena untuk melihat hilal butuh hisab juga, artinya untuk melihat apakah hilal itu masih jauh dari ufuk atau tidak, sehingga ketika ingin melihat hilal dengan rukyat sudah bisa ditentukan kapan mulai melihat hilal. Karena terkadang wujud hilal itu terhalang oleh asap atau debu yang disebabkan oleh cuaca kurang memungkinkan. 2. Hizbut Tahrir berpandangan bukan rukyat mathla‟ sebagaimana madzhab Syaf‟iyyah, karena menurut Hizbut Tahrir rukyat mathla ‟ ini adalah berdasar pada dalil yang lemah. Karena dalil yang kuat itu adalah dalil yang telah dijelakan di atas. Hizbut Tahrir menyimpulkan perbedaan mathla ‟ tidak mempengaruhi penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan.

B. Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Hisab

Dilihat dari sisi semangat para ulama yang ada di Indonesia dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan yang berdasarkan hukum syara‟, kesungguhan mereka sangat pantas 85 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 dan lihat juga Mahmud Abdul Lathif Uwaidhah, Tuntunan Puasa Berdasarkan Qur‟an Dan Hadits, Edisi Bahasa Indonesia, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2001, cet.I., hal.45-46 dihargai, namun pemerintah hanya mengakomodir saja. Dimana seharusnya pemerintah punya statement untuk menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan, artinya pemerintah punya kewenangan dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan setiap tahunnya dan mampu menyatukan apabila terjadi perbedaan dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Namun ini tidak terjadi. Ini menunjukkan tidak konsisten pemerintah dalam menetapkan awal dan akhir bulan Ramadhan. Kemudian apabila terjadi perbedaan pemerintah membiarkan itu dan tidak menegurnya. Ini akibat diterapkannya sistem demokrasi. Dimana sistem demokrasi ini berprinsip bahwa rakyat boleh melakukan apa saja, termasuk dalam menentukan awal bulan Qamariyah ini. Dan itu sudah dianggap lumrah. 86 Menurut Ratu Erma R. apabila hisab satu-satunya dijadikan sebagai metode dalam menentukan awal bulan dan akhir bulan Qamariyah, maka itu adalah sutu hal yang keliru menurut hukum Syar‟i, bila mereka menetapkan hanya menggunakan hisab saja. Karena nash rukyat sudah jelas. Namun hisab bisa digunakan dalam estimasi dan penunjang keilmuan dalam melihat keadaan hilal sebelum melakukan rukyat dan tidak bisa digunakan satu-satunya penetapan. 87 HTI memandang bahwa hisab tidaklah dapat digunakan untuk menetapkan awal bulan kamariyah, khususnya dalam masalah ibadah shaum Ramadhan, hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha. Setelah menjelaskan dalil-dalilnya, Syaikh Atha bin Khalil Amir Hizbut Tahrir sekarang menegaskan : ق ا ج ا ا ف ص ا ﻄ ا ا طقف ﻷ ا ا ف ص ص ا Kami berpendapat tidak boleh menggunakan hisab dalam shaum dan Idul FitriIdul Adha, melainkan rukyatul hilal saja [yang dibolehkan], sebab rukyat itulah yang terdapat dalam nash-nash. 86 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 87 Wawancara Probadi dengan Ratu Erma R., Jakarta, 20 Desember 2010 Mengapa HTI hanya menggunakan rukyatul hilal dan tidak menggunakan hisab? Sebab dari pengkajian nash-nash yang ada, kita dituntut oleh Allah untuk beribadah seperti yang dituntut oleh Allah sendiri. Jika kita beribadah dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntutan Allah, berarti kita salah, meski kita menduga kita telah berbuat baik. Dalam hal ini, Allah telah menuntut kita untuk berpuasa dan berbuka berhari raya berdasarkan rukyatul hilal, dan Allah SWT telah menjadikan rukyatul hilal sebagai sebab syari bagi pelaksanaan shaum dan hari raya. Jika misalnya kita tidak dapat melihat hilal Syawal karena tertutup awan, maka kita menyempurnakan puasa sampai 30 hari, meski pun andaikata hilal sebenarnya sudah wujud secara faktual. Syaikh Atha bin Khalil menyatakan bahwa : Dari sini jelaslah bahwa kita tidak berpuasa dan juga tidak berhari raya karena hakikat bulan syahr itu sendiri, melainkan karena rukyatul hilalnya. Maka jika kita melihat hilal, kita berpuasa. Jika tidak melihat hilal, kita tidak berpuasa hatta meskipun bulan syahr benar-benar telah mulai berdasarkan hisab. Pendapat HTI bahwa hisab tidak dapat dijadikan patokan penentuan awal bulan kamariah ini adalah pendapat jumhur ulama, yakni jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah. Memang ada pendapat sebagian ulama yang membolehkan hisab sebagai penentu awal bulan kamariyah, seperti pendapat Muthrif bin Abdullah Asy-Syakhiir tabiin, juga pendapat Ibnu Suraij ulama mazhab Syafii, Ibnu Qutaibah, Syaikh Muhyiddin Ibnul Arabiy, dan lain- lain. 88 Dalil pendapat ini antara lain sabda Nabi SAW faqduruu lahu perkirakanlah hilal ketika tidak terlihat, artinya adalah perkirakanlah dengan ilmu hisab. Sebab menurut Ibnu Suraij 88 M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, artikel ini di akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id