Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Hisab

Mengapa HTI hanya menggunakan rukyatul hilal dan tidak menggunakan hisab? Sebab dari pengkajian nash-nash yang ada, kita dituntut oleh Allah untuk beribadah seperti yang dituntut oleh Allah sendiri. Jika kita beribadah dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntutan Allah, berarti kita salah, meski kita menduga kita telah berbuat baik. Dalam hal ini, Allah telah menuntut kita untuk berpuasa dan berbuka berhari raya berdasarkan rukyatul hilal, dan Allah SWT telah menjadikan rukyatul hilal sebagai sebab syari bagi pelaksanaan shaum dan hari raya. Jika misalnya kita tidak dapat melihat hilal Syawal karena tertutup awan, maka kita menyempurnakan puasa sampai 30 hari, meski pun andaikata hilal sebenarnya sudah wujud secara faktual. Syaikh Atha bin Khalil menyatakan bahwa : Dari sini jelaslah bahwa kita tidak berpuasa dan juga tidak berhari raya karena hakikat bulan syahr itu sendiri, melainkan karena rukyatul hilalnya. Maka jika kita melihat hilal, kita berpuasa. Jika tidak melihat hilal, kita tidak berpuasa hatta meskipun bulan syahr benar-benar telah mulai berdasarkan hisab. Pendapat HTI bahwa hisab tidak dapat dijadikan patokan penentuan awal bulan kamariah ini adalah pendapat jumhur ulama, yakni jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah. Memang ada pendapat sebagian ulama yang membolehkan hisab sebagai penentu awal bulan kamariyah, seperti pendapat Muthrif bin Abdullah Asy-Syakhiir tabiin, juga pendapat Ibnu Suraij ulama mazhab Syafii, Ibnu Qutaibah, Syaikh Muhyiddin Ibnul Arabiy, dan lain- lain. 88 Dalil pendapat ini antara lain sabda Nabi SAW faqduruu lahu perkirakanlah hilal ketika tidak terlihat, artinya adalah perkirakanlah dengan ilmu hisab. Sebab menurut Ibnu Suraij 88 M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, artikel ini di akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id sebagaimana dinukil oleh Ibnul Arabi, khithab tersebut adalah khusus untuk orang yang menguasai ilmu ini hisab. Sedang sabda Nabi fa-akmilu al-iddah sempurnakanlah bilangan adalah khithab umum bagi orang awam. Pendapat tersebut kurang dapat diterima HTI. Alasannya, sabda Nabi perkirakanlah faqduruulah, artinya yang tepat bukanlah hitunglah dengan ilmu hisab, melainkan sempurnakanlah bilangannya hingga 30 hari. Memang hadits ini mujmal bermakna global, sehingga dapat ditafsirkan seperti itu. Namun terdapat hadits lain yang mubayyan mufassar, yakni bermakna teranggamblang sehingga dapat menjelaskan maksud hadits yang mujmal. Maka yang mujmal faqduruulah, hendaknya diartikan berdasarkan hadits yang mubayyan. Walhasil, hadits faqduruulah artinya adalah fa-akmiluu al-iddah sempurnakanlah bilangan bulan, bukan fahsubuu hisablah. 89 Meskipun tidak menggunakan hisab untuk penentuan awal bulan Qamariah, namun HTI berpendapat bahwa hisab dapat dipergunakan untuk keperluan ibadah lainnya, seperti penentuan waktu shalat. Hal ini dikarenakan ada perbedaan antara shaum dengan shalat. Jika shaum dikaitkan dengan rukyatul hilal sebagai sebabnya, maka shalat dikaitkan dengan masuknya waktu sebagai sebabnya, di mana masuknya waktu itu dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, seperti melihat bayangan benda atau dengan jalan hisab. 90 Perlu ditambahkan pula, bahwa HTI tidak sepakat dengan paham yang menyatakan bahwa hisab dapat dipakai secara terbatas, yakni hanya untuk menafikan kesaksian adanya rukyatul hilal. Maksudnya, menurut paham ini, jika ada laporan kesaksian rukyatul hilal yang bertentangan perhitungan hisab, maka yang dipakai adalah hisab, bukan laporan rukyat. 89 M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, artikel ini di akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id 90 Wawancara Pribadi dengan Iffah Rahmah, Jakarta Selatan, 21 Agustus 2010 Sebab, menurut paham ini, hisab adalah qathi pasti sedangkan kesaksian adalah zhanni dugaan. Pendapat ini tidak diterima oleh HTI, dengan beberapa argumen. Pertama, kesaksian rukyatul hilal memang dapat ditolak, namun bukan ditolak karena bertentangan dengan hisab, melainkan karena saksinya tidak memenuhi syarat-syarat saksi, misalnya saksi itu orang kafir, atau saksi itu tidak mempunyai sifat adalah alias orang fasik. Jadi, penetapan itsbat kefasikan saksi dilakukan hanya berdasarkan bukti-bukti syari al-bayyinat asy-syariyyah, bukan berdasarkan perhitungan hisab. Kedua, syara telah menetapkan bahwa penentuan awal bulan kamariah adalah dengan rukyatul hilal dilihatnya hilal oleh manusia di muka bumi, bukan dengan wiladatul hilal lahirnya hilal di langit. Pandangan di atas, yakni penggunaan hisab untuk menafikan kesaksian laporan rukyatul hilal, berpangkal pada satu kesalahpahaman, yakni menganggap wiladatul hilal lahirnya hilal di langit sebagai patokan bulan baru asy-syahr al-jadid. Padahal, bulan baru secara syari bukan secara waqii faktual hanya ditetapkan berdasarkan rukyatul hilal saja, bukan berdasarkan wiladatul hilal. 91 Karena itu, perlu kami tegaskan di sini: Pertama, bahwa hisab falaki perhitungan astronomi, menurut kami, tidak dinyatakan oleh nash syara‟, baik Al-Qur‟an maupun As- Sunnah. Selain itu, juga tidak bisa ditarik, baik dengan Qiyas maupun Ijmak Sahabat. Karena itu, memasukkan hisab falaki sebagai metode dalam peribadatan at-thariqah as- syar‟iyyah fi al- ‟ibadat telah menyalahi ketentuan syara‟. Kedua, ilmu hisab dibangun berdasarkan asumsi lahirnya anak bulan tawallud al-hilal. Berpijak pada asumsi ini, maka kaum muslimin di dunia Islam bagian Barat akan berpuasa sebelum kaum muslimin di bagian Timur. Di bagian Barat, bisa jadi sudah berpuasa pada hari Selasa, sementara di bagian Timur akan berpuasa 91 M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, artikel ini di akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id pada hari Rabu. Ini benar-benar bisa terjadi, ketika anak bulan tersebut lahir setelah tengah hari pada hari Senin, misalnya. Dengan hisab, maka disimpulkan bahwa hari Selasa adalah permulaan bulan bagi kaum muslimin yang tinggal di bagian Barat, sehingga mereka pun akan berpuasa pada hari itu, jika hari itu merupakan permulaan bulan Ramadhan. Tetapi, bagi yang tinggal di Timur, tidaklah demikian. Karena, anak bulan belum lahir, sehingga puasanya pun bisa berbeda sehari. Dengan demikian, penggunaan hisab justru akan menyebabkan perpecahan kaum muslimin, baik dalam berpuasa maupun berhari raya. Ini berbeda, jika mereka mengikuti rukyatul hilal dengan wihdat al- mathali‟ kesatuan mathla. 92

C. Pandangan Hizbut Tahrir terhadap Rukyat Lokal Khususnya Rukyat yang di

Indonesia Dalam hal ini Hizbut Tahrir menjelaskan yang terdiri dari beberapa point: 1. Jawaban dalam masalah ini adalah fakta bahwa riwayat tersebut bukanlah sebuah hadits marfu‟ yang disandarkan –berupa kutipan kalimat- langsung dari Rasulullah SAW melainkan ijtihad seorang Sahabat. Dan kedudukan ijtihad seorang Sahabat tidak dapat disejajarkandibandingkan dengan hadits yang marfu‟ dari Rasulullah SAW. Fakta bahwa Ibnu Abbas tidak berpuasa berdasarkan rukyat dari penduduk Syam, merefleksikan bahwa hal itu adalah sebuah ijtihad dan oleh sebab itu tida bisa dijadikan sebagai sebuah dalil Syar‟i ijtihad seorang Sahabat kedudukannya adalah sebagai sebuah hukum syara‟ bukan dalil syara‟. 2. Disamping itu ternyata pada faktanya ijtihad tersebut bertentang dengan dalil-dalil syar‟i yang umum, sedangkan kedudukan hadits yang meru pakan dalil syara‟ adalah lebih 92 M. Shiddiq Al-Jawi, Penentuan Awal Bulan Kamariah : Perspektif Hizbut Tahrir Indonesia, artikel ini di akses tanggal 3 Juli 2010 dari www.hizbut-tahrir.or.id tinggi dibandingkan dengan ijtihad yang merupakan hukum syara‟. Oleh karena itu apa yang dijelaskan oleh ijtihad tersebut harus ditinggalkan. 3. Lebih jauh lagi, ijtihad sahabat tidak dapat men-takhsis keumuman lafadz yang ada pada hadits. Sebagaimana perkataan Ibnu Abbas di akhir riwayat tersebut: ”Tidak, sebab demikianlah Rasulullah memerintahkan kepada kami ”, ini bukanlah merupakan sebuah hadits, melainkan suatu langkah yang diambil oleh Ibnu Abbas dari pemahaman terhadap hadits Rasulullah dalam sabda beliau SAW. “Puasalah kamu sekalian ketika kaliam melihat hilal bulan baru, dan berbukalah ketika kalian melihatnya. ” Statemen Ibnu Abbas tersebut mengindikasikan pemahaman beliau terhadap hadits yang disampaikan Rasulullah di atas. 93 1. Imam Syaukani –rahimahullah- dalam kitabnya Nailul Authar jilid III halaman, 125 telah mendiskudikan dengan baik ijtihad Ibnu Abbas yang oleh sebagian ulama dianggap nash Rasulullah. Imam Syaukani mengomentari hadits ini: Ketahuilah yang layak menjadi hujjah itu tidak lain adalah riwayat yang marfu‟ dari Ibnu Abbas dalam hadits-hadits lain, bukan ijtihad Ibnu Abbas itu sendiri. Beliau lalu melanjutkan: Sedangkan kenyataan sebenarnya yang berasal dari Rasulullah adalah sabdanya yang diriway atkan oleh As Syakhani‟ Bukhari Muslim melalui jalur Ibnu Abbas dan lain-lain dengan lafad: Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat bulan, dan janganlah kalian berbuka mengakhiri Ramadhan hingga kaliannya pula. Maka jika pandangan; kalian terhalang oleh awan sempurnakanlah bilangnan bulan sebanyak 30 hari. 93 Nasyrah Hizbut Tahrir, Kesatuan Awal dan Akhir Ramadhan Merupakan Kewajiban Syar‟iy Bagi Seluruh Kaum Muslim, 1999, hal.6 Sabda Rasulullah ini tidak dikhususkan untuk penduduk suatu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda Rasulullah ini khitab seruan yang tertuju kepada siapun diantara kaum Muslimin dimanapun berada yang telah menerima seruan itu. Kemudian Asy-Syaukani lebih lanjut: Dengan demikian seorang alim itu tentu tidak akan ragu- ragu lagi bahwa dalil syara‟ yang ada menunjukkan bahwa penduduk suatu negeri beramal dengan khabar ynag sampai mereka satu sama lain. Berarti mereka beramal dengan kesaksian di antara mereka satu sama lain dalam seluruh hukum- hukum syara‟ itu. Beliau menutup penjelasannya sebagai berikut: pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan, maka rukyat itu pula berlaku untuk seluruh negeri-negeri yang lain. 94 2. Oleh karena itu apa yang dikisahkan oleh Kuraib, tidaklah terkategori sebagai sebuah hadits, melainkan tetap sebagaimana adanya, yaitu pendapat ijtihad Ibnu Abbas. Dengan demikian riwayat tersebut bukanlah merupakan dalil syar‟i dan tidk bisa digunakan sebagai dalil, dan juga tidak dapat digunakan untuk men-takhsis keumuman yang tersebut di dalam hadits, sehingga hadits-hadits tersebut tentang rukyatul hilal tetaplah merupakan dalil yang bersifat umum, sebagaimana kaidah ushul: “Sebuah dalil akan tetap berada pada keumumannya bila tidak ditemui adanya dalil yang mengkhususkannya ”. 95 Kemudian Hizbut Tahrir menyimpulkan bahwa: 3. Kalau konsisten pada pandangan madzhab Syafi‟i, seharusnya penetepan awal Ramadhan yang jatuh pada tanggal 11 Agustus 20101 Syawal 1431 Makasar itu berbeda dengan Jakarta, karena jarak Makasar dengan Jakarta bisa menghabiskan waktu lebih kurang sekitar dua hari. Namun itu tidak terjadi. 4. Perbedaan yang seharusnya terjadi karena jarak yang berpedoman pada madzhab Syafi‟i, tapi dalam penetapan bulan Ramadhan ini tidak terjadi. Jadi bisa disimpulkan bahwa 94 Nasyrah Hizbut Tahrir, Kesatuan Awal dan Akhir Ramadhan Merupakan Kewajiban Syar‟iy Bagi Seluruh Kaum Muslim, 1999, hal.6 95 Nasyrah Hizbut Tahrir, Kesatuan Awal dan Akhir Ramadhan Merupakan Kewajiban Syar‟iy Bagi Seluruh Kaum Muslim, hal.7