Dinamika struktur agraria dan perubahan produksi pertanian (kasus unit pemukiman transmigrasi Simpang Nuki, kecamatan Cirebon, kabupaten Barito Kuala, provinsi Kalimantan Selatan)

(1)

DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA

DAN PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN

(Kasus Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon,

Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan)

Oleh

Ayu Candra Kusumastuti I34070072

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

ABSTRACT

AYU CANDRA. DYNAMICS OF AGRARIAN STRUCTURE AND CHANGE IN AGRICULTURAL PRODUCTION . Case Of Simpang Nungki Transmigration Settlement Unit, District Of Cerbon, Barito Kuala Residence, South of Kalimantan Province. Under guidance of MARTUA SIHALOHO. Palm oil is a high priority commodity in Indonesia. Development of oil palm plantations in Indonesia became a progam of local government who has a wide area such as Barito Kuala District, South of Kalimantan. Changes in communities agricultural production into oil palm plantations will affect the mode of production and agrarian structure. This research has it purpose to determine the process of agricultural community production change into palm oil and the dinamic of agrarian structures that occur as the process of change in agricultural production. This research also aims to identify the factors that influence changes in agricultural production. The research was conducted in Simpang Nungki Transmigrasion Settlement Unit, Cerbon District, Barito Kuala Regency, South of Kalimantan by qualitative and quantitative approaches. Changes in agricultural community production into oil palm are affected by external and internal communities factors. External factors consist of government policies that support the development of oil palm plantations. While internal factors are the level of public knowledge and level of ownership capital for construction and maintenance the garden.The inclusion process of new capitalist commodities are linked to the dinamics agrarian structure of community. Agrarian structure wich consist of ownership, tenure, and land use has it changes in commodity and production system community. Government, private, and community are expected to cooperate in finding the best solution to the problems which rised in the process of change.

Keywords: Dinamics of agrarian structure, agricultural production change, and palm oil.


(3)

RINGKASAN

AYU CANDRA KUSUMASTUTI. DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA DAN PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN. Kasus Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Di bawah bimbingan MARTUA SIHALOHO.

Kelapa sawit adalah komoditas unggulan saat ini. Pemerintah daerah Barito Kuala telah menetapkan program-program pengembangan perkebunan dengan komoditas kelapa sawit. Program pengembangan kelapa sawit ini berakibat pada perubahan komoditas pertanian masyarakat yang menjadi penanda perubahan moda produksi masyarakat sekitar perkebunan. Proses perubahan produksi pertanian yang meliputi perubahan komoditas dan moda produksi masyarakat akan menimbulkan dinamika struktur agraria masyarakat yang terdiri dari perubahan tingkat kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit dan proses perubahan tingkat kepemilikan, tingkat penguasaan dan pengusahaan lahan sebagai dinamika struktur agraria yang terjadi seiring dengan proses perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit baik faktor eksternal masyarakat maupun internal.

Penelitian ini dilakukan di Unit Pemukiman Transmigrasi Desa Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan dengan menggunakan pendekatan kulitatif dan kuantitatif. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (puposive) dengan alasan: 1) UPT Simpang Nungki merupakan daerah sekitar perusahaan kelapa sawit yang menjadi wilayah plasma perusahaan. Selain itu, masyarakat sudah memulai mengenal dan menanam komoditas sawit sebelum menjadi plasma perusahaan yang akan di bangun pada akhir 2011; 2) masyarakat transmigran memiliki lahan awal yang sama dan status kepemilikan yang jelas sehingga data lebih mudah didapat; dan 3) lokasi tersebut terjangkau transportasi dan dekat dengan kabupaten sehingga memudahkan peneliti untu memperoleh data.

Dinamika struktur agraria dan proses perubahan produksi masyarakat Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki dijelaskan dalam periodisasi waktu. Periode pertama adalah periode pra masuknya komoditas kelapa sawit ke UPT Simpang Nungki yang terjadi sekitar tahun 2005 sampai 2006. Periode kedua adalah periode proses masuknya komoditas kelapa sawit yang dimulai pada akhir 2006 sampai 2011. Periode ketiga adalah periode pasca masuknya komoditas kelapa sawit. Periode dimulai pada akhir tahun 2011 saat disepakatinya peraturan dan perjanjian terkait kebun plasma masyarakat. Perubahan-perubahan terkait struktur agraria sangat terlihat pada periode ketiga. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa faktor internal yang terdiri dari tingkat pengetahuan dan kepemilikan modal memiliki hubungan yang positif. Perubahan komoditas pertanian dengan dinamika struktur agraria yang terjadi juga memiliki hubungan.


(4)

DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA

DAN PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN

(Kasus Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon,

Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan)

Oleh

:

Ayu Candra Kusumastuti

I34070072

SKRIPSI

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:

Nama Mahasiswa : Ayu Candra Kusumastuti

NIM : I34070072

Judul Skripsi : Dinamika Struktur Agraria dan Perubahan Produksi Pertanian (Kasus Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan)

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Martua Sihaloho, SP, M.Si NIP. 19770417 200604 1 007

Mengetahui

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003


(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA DAN PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA TINGGI MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Juli 2011

Ayu Candra K I34070072


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kediri, Jawa Timur pada tanggal 18 Oktober 1989. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Dedy Indaryanto, BA dan Dra. Rijani Dana Subekti. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK RA Kusuma Mulia (1994-1995), SD Negeri Keling III (1995-2001), Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Pare (2001-2004), dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Pare (2004-2007). Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia.

Selama di IPB, penulis tergabung dalam Leadership andEntrepreneurship School (2007-2008) sebagai siswa. Kemudian pada periode 2008-2009 penulis bergabung pada kementrian Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (BEM KM IPB) kabinet IPB Gemilang sebagai staf sekaligus sebagai staf ahli acara manajemen Leadership and Entrepreneurship School (LES). Pada periode yang sama penulis juga menjadi pengurus Forum Silaturahmi Mahasiswa Alumni ESQ 165 (FOSMA ESQ 165) se-Bogor Raya sebagai staf Kominfo dan FOSMA Komisariat IPB sebagai staf Olahraga dan Seni. Pada periode 2009-2010 penulis kembali tergabung dalam Kementrian PSDM BEM KM IPB kabinet Generasi Inspirasi sebagai staff dan Manajer Akademik Leadership and Entrepreneurship School (LES). Penulis juga aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitian dalam beberapa event di IPB antara lain JAPAStahun 2007 yang diadakan oleh Institut Pertanian Bogor, Politik Cerdas oleh BEM FEMA tahun 2008, kepanitiaan dalam Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun 2009, dan kepanitiaan beberapa training ESQ di IPB baik sebagai koordinator divisi maupun sebagai anggota. Pada tahun 2010, penulis juga melakukan Kuliah Kerja Profesi di PT. Bakrie Sumatera Plantation (BSP) unit Jambi pada bagian Community Development.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Dinamika Struktur Agraria dan Perubahan Produksi Pertanian (Kasus Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan). Skripsi ini ditujukan sebagai bagian persyaratan untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian yang ditulis dalam skripsi ini bertujuan untuk mengkaji proses perubahan produksi pertanian masyarakat beserta faktor yang mempengaruhinya. Tujuan lainnya ialah mengidentifikasi dinamika agraria yang terjadi di wilayah tersebut seperti perubahan kepemilikan, penguasaan serta pengusahaan sumber agraria yang ada di wilayah tersebut.

Akhir kata semoga skripsi ini dapat menjadi laporan yang bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Agustus 2011

Ayu Candra Kusumastuti NIM I34070072


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skipsi ini, antara lain:

1. Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan karuniaNya yang luar biasa dan tiada habisnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini; 2 Ayahanda dan Ibunda tercinta, adik dan kakek-nenek yang selalu memberikan

dukungan moril maupun materiil serta doa yang tiada henti;

3. Martua Sihaloho, SP. M.Si. sebagai dosen pembimbing skripsi atas kesabarannya telah membimbing, memberikan kritik dan saran yang membangun serta memberikan motivasi pada penulis dalam penulisan skripsi ini;

4. Prof. Dr. Endriatmo Sutanto sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan, semangat dan selalu membantu penulis dalam menghadapi permasalahan akademik;

5. Dr. Satyawan Sunito selaku penguji akademik dan Ir. Richard W. E. Lumintang, MSEA selaku perwakilan departemen atas masukan dalam skripsi;

6. Pemerintah Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Dinsosnakertrans, Dinas Perkebunan, dan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Barito Kuala atas bantuan dan kemudahan memperoleh informasi selama penelitian;

7. Teman seperjuangan Eka, Laras, Turasih, Titania, Risma, dan teman-teman KPM 44 yang selalu menjadi teman diskusi saat menghadapi masalah penelitian;

8. Sahabat Bateng 23 Kak Ides, Elok, Ambar, Lusi, dan Winda yang selalu mendengarkan keluh-kesah penulis serta selalu memberikan semangat, doa dan dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi;

9. Teman-teman seperjuangan di FOSMA IPB, PSDM BEM KM Kabinet Gemilang dan Generasi Inspirasi dan LES IPB atas kebersamaan dan pelajaran yang berharga, juga Dean dan Otri yang telah membantu memberikan solusi terhadap masalah teknis yang dihadapi penulis

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah Penelitian ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Kegunaan Penelitian ... 4

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 6

2.1 Tinjauan Pustaka ... 6

2.1.1 Konsep Perkebunan ... 6

2.1.2 Konsep Transmigrasi ... 7

2.1.3 Perubahan Produksi Pertanian ... 8

2.1.4 Konsep Agraria ... 9

2.1.5 Konsep Dinamika Struktur Agraria ... 11

2.2 Kerangka Pemikiran ... 13

2.3 Hipotesis ... 14

2.4 Definisi Operasional dan Konseptual ... 14

BAB III PENDEKATAN LAPANG ... 17

3.1 Metode Penelitian ... 17

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 18

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 19

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI ... 20

4.1 Kondisi Umum Desa ... 20

4.2 Kondisi Agronomi ... 21

4.3 Kondisi Demografi ... 22

4.4 Sarana dan Prasarana ... 24


(11)

BAB V DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA UNIT PEMUKIMAN TRANSMIGRASI (UPT) SIMPANG

NUNGKI ... 28

5.1 Masa Pra Masuknya Komoditas Kelapa Sawit ... 28

5.1.1 Sejarah Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki ... 28

5.1.2 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan Lahan ... 29

5.1.3 Sistem Kelembagaan ... 32

5.1.4 Pemanfaatan Lahan ... 33

5.2 Proses Masuknya Komoditas Kelapa Sawit ... 34

5.2.1 Sejarah Masuknya Komoditas Kelapa Sawit ... 34

5.2.2 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan Lahan ... 35

5.2.3 Sistem Kelembagaan ... 40

5.2.4 Pemanfaatan Lahan ... 41

5.3 Pasca Masuknya Komoditas Kelapa Sawit dan Perubahan Agraria Lokal ... 44

5.3.1 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan Lahan ... 44

5.3.2 Sistem Kelembagaan ... 45

5.3.3 Pemanfaatan Lahan ... 46

5.4 Keberhasilan Program Transmigrasi ... 46

5.5 Ikhtisar ... 48

BAB VI FAKTOR – FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN ... 51

6.1 Faktor Eksternal ... 51

6.2 Faktor Internal Masyarakat ... 54

6.2.1 Tingkat Pengetahuan ... 54

6.2.2 Tingkat Kepemilikan Modal ... 56 6.3 Hubungan antara Faktor Internal dengan


(12)

Keputusan Membangun Kebun Kelapa

Sawit... 58

6.4 Ikhtisar ... 63

BAB VII PENUTUP ... 65

7.1 Kesimpulan ... 65

7.2 Saran ... 65


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Transmigran UPT Simpang Nungki Tahun 2011 ... 25

Tabel 5.1. Komoditas Pertanian Masyarakat UPT Simpang Nungki Tahun 2005-2006... 34

Tabel 5.2 Jumlah Petani Berdasarkan Kategori Petani ... 37

Tabel 5.3 Jumlah Transmigran Berdasarkan Luas Lahan ... 38

Tabel 5.4 Jumlah Pendatang Berdasarkan Luas Lahan... 39

Tabel 5.5 Jumlah Petani Kelapa Sawit Berdasarkan Tahun ... 42

Tabel 6.1 Rumah Tangga Peserta Program Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Berdasarkan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit ... 53

Tabel 6.2 Rumah Tangga Menurut Tingkat Pengetahuan Petani UPT Simpang Nungki ... 55

Tabel 6.3 Rumah Tangga Menurut Tingkat Kepemilikan Modal Pembangunan dan Perawatan Kebun Kelapa Sawit ... 57

Tabel 6.4 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Keputusan Membangung Kebun Kelapa Sawit ... 58

Tabel 6.5 Hubungan antara Kepemilikan Modal dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit ... 60

Tabel 6.6 Hubungan antara Faktor Internal dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit ... 62


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 13 Gambar 2. Perkembangan Jumlah Penduduk Kecamatan Cerbon

Tahun 2005 – 2009... 22 Gambar 3. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Cerbon Tahun

2010...

23


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Peta Kecamatan Cerbon ... 70

Lampiran 2. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman ... 71

Lampiran 3. Pelaksanaan Penelitian dan Skripsi ... 73

Lampiran 4. Peraturan Transmigrasi ... 74

Lampiran 5 Daftar Nama Responden ... 79

Lampiran 6. Daftar Nama Informan ... 81

Lampiran 7. Kuesioner ... 82

Lampiran 8. Panduan Pertanyaan ... 86


(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kelapa sawit merupakan komoditas yang diunggulkan saat ini. Permintaan CPO (crude palm oil) atau minyak kelapa sawit yang tinggi di pasar domestik maupun internasional membawa daya tarik tersendiri. Pemasukan devisa dan terbukanya lapangan pekerjaan dalam jumlah besar merupakan keunggulan lain sektor perkebunan khususnya perkebunan kelapa sawit. Pada periode 1979-1980, Departemen Penerangan mencatat bahwa perkebunan kelapa sawit menduduki peringkat kedua penyumbang devisa terbesar dari sektor perkebunan. Fakta-fakta tersebut membuat pemerintah mendukung pengembangan industri kelapa sawit. Beragam kebijakan dan aturan yang mendukung pengembangan perkebunan kelapa sawit dibuat untuk meningkatkan iklim yang kondusif bagi investor dalam upaya pengembangan perkebunan terutama sawit.

Pengembangan perkebunan khususnya kelapa sawit terus berlangsung dari waktu ke waktu sejak diperkenalkan oleh kolonial Belanda pada abad ke-19 (Bahari 2004). Perkebunan dibedakan menjadi beberapa jenis menurut Marcus Colchester, Norman Jiwan, Andiko, Martua Sirait, Asep Yunan Sirait, A. Surombo, Herbert Pane (2006). Pertama adalah perkebunan skala besar yakni perkebunan Negara ataupun swasta yang disebut Perseroan Terbatas Perkebunan Nasional (PTPN) yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan dimiliki sepenuhnya oleh negara. Perkebunan ini beroperasi diseluruh wilayah di Indonesia. Di sektor swasta, perkebunan khususnya kelapa sawit terbagi dalam dua tipe besar yakni perusahaan yang lebih dari 50 persen sahamnya dimiliki oleh orang Indonesia dan perusahaan yang lebih dari 50 persen sahamnya dimiliki oleh investor asing. Seluruh jenis perusahaan berskala besar beroperasi di atas “Tanah Negara” dan diatur melalui berbagai perizinan di tingkat nasional maupun lokal. Jenis kedua adalah perusahaan skala menengah. Perusahaan ini biasanya berbentuk koperasi yang dimiliki bersama atau perseorangan dan beroperasi di “Tanah Negara” maupun tanah pribadi. Operasi perusahaan ini berdekatan dengan operasi skala besar dimana produknya dijual untuk pengolahan lebih lanjut atau


(17)

ekspor. Jenis ketiga adalah perusahaan skala kecil, yaitu perusahaan yang memiliki luas kurang dari 25 hektar dan biasanya dimiliki satu orang petani/keluarga dan disebut sebagai perkebunan rakyat.

Pemerintah terus berupaya untuk mengembangkan perkebunan sawit. Pengembangan perkebunan kemudian dilakukan melalui berbagai program PIR (Perusahaan Inti Rakyat) sejak tahun 1977, seperti NES (Nucleus Estate Smallholder) yang dibiayai world bank, PIR Khusus (1980), dan PIR Trans (1985). Saat ini, Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia, yakni sekitar 44,5 persen dari jumlah produksi sawit dunia. Upaya pengembangan perkebunan kelapa sawit hingga menjadi penghasil sawit terbesar di dunia membutuhkan lahan yang luas. Saat ini Indonesia memiliki enam juta hektar lahan yang sudah ditanami, dan telah membuka hutan tiga kali lipat lahan yang telah ditanami. Pemerintah daerah sendiri telah menetapkan 20 juta hektar lahan untuk rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit terutama di wilayah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua Barat (Colchester M, Jiwan N, Andiko, Sirait M, Sirait A Y, Surombo A, Pane H 2006). Pemerintah daerah di luar jawa yang sebagian besar memiliki lahan luas seakan berlomba-lomba meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan mengembangkan perkebunan sawit. Selain pemasukan untuk pemerintah daerah, komoditas kelapa sawit dianggap mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dibandingkan dengan komoditas lain. Oleh karena itu, pemerintah mewajibkan seluruh Perkebunan Besar Swasta (PBS) untuk membangun kebun plasma1. Kebijakan tersebut seperti tertuang pada Peraturan Menteri Pertanian No.26 Tahun 2007 tentang pengembangan perkebunan melalui program revitalisasi perkebunan bahwa setiap perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit wajib memiliki plasma minimal 20% dari luas HGU. Program plasma ini dilakukan dalam beberapa tipe program, seperti KKPA dan program revitalisasi perkebunan. Program-program tersebut melibatkan masyarakat secara langsung sebagai pemilik tanah. Keuntungan yang dijanjikan dalam program inti-plasma ini tentu menjadi daya tarik bagi masyarakat luas untuk ikut serta didalamnya. Sehingga nilai tanah sebagai sumber

1Kebun Plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan Inti dengan


(18)

daya utama meningkat. Proses masuknya sistem baru (perkebunan kelapa sawit) ke dalam masyarakat akan mempengaruhi kehidupan masyarakat petani. Hal tersebut mempengaruhi perubahan hubungan produksi diantara masyarakat. Widiono (2008) menjelaskan melalui penelitiannya bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit berdampak penegasan sampai polarisasi lapisan sosial dan dualistik strategi nafkah yakni sawah dan kebun. Penelitian lain menyebutkan bahwa dampak yang ditimbulkan adalah stratifikasi sosial dalam banyak lapisan (Sihaloho M, Purwandari H, dan Supriyadi A 2009). Proses masuknya komoditas baru berupa kelapa sawit menjadi lebih unik saat dilihat pada wilayah transmigrasi. Perubahan struktur agraria yang terjadi karena faktor-faktor lain, memiliki hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan proses masuknya komoditas kelapa sawit. Stratifikasi yang terbentuk pada stuktur agraria masyarakat yang awalnya memiliki kepemilikan lahan yang merata akan mempengaruhi proses masuknya komoditas tersebut. Oleh karena itu, proses perubahan produksi pertanian yang awalnya beragam menjadi mayoritas kelapa sawit serta gerak perubahan struktur agraria yang terjadi menarik untuk diuji.

1.2 Masalah Penelitian

Pengembangan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar sedang berlangsung di beberapa wilayah di Indonesia. Hal ini menjadi salah satu program unggulan pemerintah daerah dalam bidang perkebunan. Beberapa wilayah yang lebih dulu membangun perkebunan kelapa sawit telah menunjukkan keberhasilannya dengan meningkatnya luas areal perkebunan kelapa sawit. Pengaruhnya terhadap kehidupan sosial masyarakat perkebunan pun terlihat jelas. Oleh karena itu, penting halnya untuk mengetahui proses perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit. Proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa aspek. Sehingga akan dikaji apa saja faktor yang mempengaruhi perubahan produksi menjadi kelapa sawit. Merujuk latar belakang di atas, yang menyatakan bahwa proses masuknya perkebunan sawit memiliki hubungan dengan perubahan struktur agraria masyarakat ternyata ditemui di lokasi yang akan dijadikan tempat penelitian. Wilayah ini merupakan daerah pengembangan perkebunan kelapa sawit yang baru sehingga proses perubahan produksi pertanian masyarakat dapat terlihat. Perubahan-perubahan struktur agraria yang mengiringi


(19)

proses perubahan produksi menjadi kelapa sawit juga sangat terlihat. Saat ini, perencanaan pembukaan kebun baru di beberapa wilayah Kabupaten Barito Kuala telah dibuat dan akan direalisasikan beberapa waktu ke depan. Oleh karena itu penting untuk mengkaji bagaimana proses dinamika struktur agraria yang terjadi pada daerah tersebut seiring dengan masuknya perkebunan kelapa sawit.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1) mengetahui proses perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit;

2) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit baik faktor eksternal masyarakat maupun internal; dan

3) mengetahui proses perubahan tingkat kepemilikan, tingkat penguasaan dan pengusahaan lahan sebagai dinamika struktur agraria yang terjadi seiring dengan proses perubahan produksi pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini adalah:

1) bagi masyarakat, khususnya masyarakat UPT Simpang Nungki yang berada di wilayah yang mengalami perubahan produksi pertanian diharapkan dapat menambah wawasan bagaimana proses perubahan produksi pertanian beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya yang dikaitkan dengan dinamika struktur agraria yang terjadi di wilayah tersebut seiring dengan perubahan produksi pertanian tersebut;

2) bagi peneliti, penelitian ini diharapkan juga menambah literatur, wawasan, serta ilmu pengetahuan terkait dngan kajian agraria bagi para peneliti bidang yang sama sehingga diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembangan studi; dan


(20)

3) bagi pemerintah dan swasta, informasi dan data dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan ilmiah tentang peergeseran dan perubahan yang terjadi. Sehingga dapat dijadikan masukan dalam membuat kebijakan maupun program-program pemberdayaan masyarakat.


(21)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konsep Perkebunan

Perkebunan adalah salah satu subsektor pertanian non pangan yang tidak asing di Indonesia. Pengertian perkebunan2 dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2004 tentang perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah, dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.

Pendekatan pengembangan komoditas perkebunan di Indonesia adalah “perkebunan rakyat” yang diusahakan oleh petani dan “perkebunan besar” yang diusahakan oleh perusahaan (Fadjar 2009). Pada proses pembukaan maupun pengembangan, pengusaha perkebunan akan melakukan ekspansi. Secara harfiah ekspansi berarti tindakan aktif untuk memperluas dan memperbesar cakupan usaha yang telah ada. Ekspansi dalam bidang perkebunan besar dapat berarti perluasan areal atau lahan perkebunan baik yang dikelola oleh perusahaan sebagai kebun inti maupun lahan yang akan di plasmakan. Pada perkebunan rakyat proses ekspansi dapat dilihat pada peningkatan jumlah lahan yang dikonversi menjadi areal perkebunan.

Pengembangan perkebunan kelapa sawit dimulai tahun 1900 dan perkebunan diusahakan berorientasi pada pasar ekspor. Pada tahun 1978, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengalokasikan sebagian besar produksi minyak sawit ke pasar domestik karena adanya kekurangan penawaran minyak nabati yang disebabkan turunnya produksi kelapa.

Pemerintah mengembangkan usaha perkebunan rakyat di daerah baru dengan menggunakan jasa perkebunan besar atau negara dalam bentuk keterkaitan antara kedua usaha tersebut pada tahun 1974/1975. Bentuk kerjasama macam ini

2

http://www.yousaytoo.com/pengertian-perkebunan-menurut-undang-undang/338977, diakses pada 18 November 2010


(22)

disebut Perusahaan inti Rakyat Perkebunan Besar (PIR BUN) yang merupakan terjemahan dari Nucleus Estate Smallholder Development Project (NES Project). Pola inti rakyat ini tercipta berdasarkan Keppres Nomor 11 tahun 1974, yang merupakan suatu pola unuk mewujudkan sistem kerjasama yang saling menguntungkan antara perusahaan perkebunan besar dengan usahatani yang berada di sekitarnya.

Khusus untuk pengembangan kelapa sawit, pola pengembangannya adalah pola PIR (Ahmad 1998). Sampai saat ini terdapat 4 jenis PIR:

1. PIR-BUN lokal: PIRBUN tersebut dilaksanakan disekitar perkebunan yang telah ada sebagai inti, sumber dana dari dalam negeri dan petani pesertanya dari petani setempat (lokal);

2. PIR Bun khusus: PIR-BUN tersebut dibangun dengan dana dalam negeri dan petani peserta sebagian besar transmigran dan petani lokal;

3. PIR-BUN Berbantuan: PIR-BUN tersebut dibangun dengan dana pinjaman kredit luarnegeri, dengan petani pesertanya dari transmigrasi dan petani local; dan

4. PIR-TRANS: Pir BUN tersebut dibangun dengan dana pinjaman bank oleh perusahaan inti, petani peserta dari transmigrasi dan penduduk lokal. Di masa mendatang semua pembangunan PIR BUN diarahkan pada pola PIR TRANS, sesuai INPRES tahun 1986.

2.1.2 Konsep Transmigrasi

Transmigrasi3 merupakan suatu program pemerintah untuk memindahkan penduduk dari suatu wilayah yang padat penduduk ke wilayah yang lebih jarang penduduknya. Tujuan awal dari program transmigrasi adalah mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di Pulau Jawa, memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera. Seiring dengan perubahan lingkungan strategis di Indoensia, transmigrasi dilaksanakan dengan paradigma baru, yakni:

3

http://dinsosnakertransmgt.wordpress.com/2010/07/05/sejarah-transmigrasi/ diakses pada 26 Juli 2011


(23)

1. mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan; 2. mendukung kebijakan energi alternatif (bio-fuel);

3. mendukung pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia;

4. mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan; dan 5. menyumbang bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan.

Paradigma baru program transmigrasi semakin memperjelas bentuk dukungan pemerintah terhadap pengembangan perkebunan kelapa sawit seperti di jelaskan dalam sebelumnya. Program-program PIR pemerintah baik PIR-BUN khusus, PIR-BUN berbantuan, maupun PIR Trans adalah program yang melibatkan warga transmigran sebagai pelakunya. Program transmigrasi ditujukan kepada masyarakat dari golongan menengah ke bawah biasanya petani berlahan sempit atau tak berlahan dengan pendidikan yang umumnya rendah. Jenis-jenis transmigrasi adalah:

1. Transmigrasi Umum, yakni program transmigrasi yang disponsori dan dibiayai secara keseluruhan oleh pihak pemerintah melalui pemerintah melalui depnakertrans (departemen tenaga kerja dan transmigrasi);

2. Transmigrasi Spontan / Swakarsa, yakni perpindahan penduduk dari daerah padat ke pulau baru sepi penduduk yang didorong oleh keinginan diri sendiri namun masih mendapatkan bimbingan serta fasilitas penunjang dari pemerintah; dan

3. Transmigrasi Bedol Desa, yakni transmigrasi yang dilakukan secara massal dan kolektif terhadap satu atau beberapa desa beserta aparatur desanya pindah ke pulau yang jarang penduduk. Biasanya transmigrasi bedol desa terjadi karena bencana alam yang merusak desa tempat asalnya.

2.1.3 Perubahan Produksi Pertanian

Perubahan produksi pertanian masyarakat dari komoditas non-kebun menjadi komoditas perkebunan merupakan proses perubahan dalam skala yang besar. Perubahan tersebut tidak hanya dilakukan oleh perseorangan, namun dilakukan oleh sekelompok orang. Kebijakan pemerintah sangat mempengaruhi perubahan produksi pertanian masyarakat dari komoditas non-perkebunan yang menjadi komoditas perkebunan yang lebih bersifat modern dan kapitalis. Keputusan masyarakat untuk membangun kebun kelapa sawit sebagai hal baru


(24)

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Rogers dan Shoemaker (1971) dalam

Mugniesyah (2006) menjelaskan bahwa terdapat lima ciri-ciri inovasi berdasarkan penerimaan atau persepsi unit pengambil keputusan inovasi terhadap inovasi. Ciri-ciri tersebut adalah:

1. keuntungan relatif, yakni derajat dimana suatu inovasi dipandang sebagai jauh lebih baik dibanding gagasan/teknologi yang sebelumnya atau terdahulu;

2. kesesuaian, yakni derajat dimana suatu inovasi dipandang sebagai konsisten atau sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya yang ada, pengalaman sebelumnya, dan kebutuhan-kebutuhan partisipan (subyek) penyuluhan terhadap inovasi;

3. kerumitan, yakni suatu derajat atau tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dimengerti dan digunakan;

4. kemungkinan dicoba, yakni suatu derajat dimana suatu inovasi dapat dicobakan dalam skala kecil; dan

5. kemungkinan diamati, yakni derajat dimana hasil-hasil penerapan suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain.

Widiono (2008) menjelaskan bahwa keputusan masyarakat untuk membuka kebun kelapa sawit dan bergabung dengan program KKPA (Koperasi Kelompok Petani Anggota) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni:

a. pengetahuan yang cukup. Pengetahuan tersebut diperoleh dari hasil interaksi dengan buruh perusahaan dan migran etnis Batak;

b. ketersediaan modal untuk membuka dan merawat kebun kelapa sawit; dan

c. jaminan pembelian dari perusahaan.

2.1.4 Konsep Agraria

Sitorus (2002) menjelaskan bahwa lingkup agraria mengandung pengertian yang luas dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya. Lingkup agraria itu sendiri terdiri dari dua unsur, yaitu obyek agraria atau dapat disebut juga sebagai


(25)

sumber-sumber agraria dalam bentuk fisik. Sumber-sumber-sumber agraria ini sangat erat kaitannya dengan ruang fisik tertentu yang tidak dapat dipindahkan ataupun dimusnahkan. Oleh karena itu, sumber-sumber agraria sangat erat kaitannya dengan akumulasi kekuasaan (politik, ekonomi, sosial). Struktur agraria merupakan hal yang selalu berubah. Perubahan-perubahan tersebut terkait dengan perubahan pola penguasaan dan pemilikan lahan. Sedangkan unsur kedua adalah subyek agraria, yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Secara garis besar, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (mencakup unsur-unsur individu, kesatuan dari unit-unit rumah tangga dan kelompok), pemerintah (sebagai representasi negara mencakup Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa) dan swasta (private sector mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, menengah dan besar). Ketiga kategori ini memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/ pemilikan/ pemanfaatan (tenure institutions).

Sitorus (2002) membagi analisis agraria ke dalam dua bentuk. Pertama,

ketiga subyek agraria memiliki hubungan teknis dengan obyek agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu; kedua,

ketiga subyek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan obyek agraria tertentu. Proporsi pertama menggambarkan hubungan teknis yang menunjukan cara kerja subyek agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan obyek agraria untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan proporsi kedua menggambarkan hubungan sosial agraris yang menunjukan cara kerja subyek agraria yang saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan obyek agraria, dengan kata lain hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses dalam hal penguasaan/pemilikan/dan pemanfaatan lahan.

Wiradi (1984) menjelaskan bahwa kata ”penguasaan” menunjuk pada penguasaan efektif, sedangkan ”pemilikan” tanah menunjuk pada penguasaan formal. Penguasaan formal dapat dijelaskan dengan adanya undang-undang yang mengatur mengenai penguasaan tanah. Penguasaan tanah belum tentu dan tidak harus disertai dengan pemilikan. Penguasaan tanah dapat berupa hubungan “pemilik dengan pemilik”, “pemilik dengan pembagi - hasil”, “pemilik dengan penyewa”, “pemilik dengan pemakai” dan lain-lain (Sihaloho 2004). Kata


(26)

“pengusahaan” menunjuk pada pemanfaatan sebidang tanah secara produktif (Wiradi 1984). Hubungan-hubungan sosial agraria antar subyek agraria kemudian membentuk sebuah struktur. Hubungan pemanfaatan antara subjek-subjek agraria dengan sumber-sumber agraria menunjuk pada dimensi teknis atau lebih spesifik dimensi kerja. Hubungan antar subjek agraria menghasilkan aturan-aturan penguasaan dan pengusahaan lahan. Aturan-aturan tersebut berlaku secara turun menurun dan ditaati oleh seluruh anggota masyarakat.

2.1.5 Konsep Dinamika Struktur Agraria

Pengertian dinamika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah gerak atau aktivitas. Gerak menjadi suatu pola pergeseran dan perubahan dari waktu ke waktu hubungannya dengan pola hidup manusia yang ditandai dengan momentum tertentu. Dinamika dalam kaitannya dengan struktur agraria adalah gerak perubahan struktur agraria masyarakat yang terdiri dari kepemilikan, penguasaan dan pengusahaan lahan. Wiradi (2002) menyebutkan bahwa tranformasi struktur agraria yang berlangsung dalam suatu masyarakat berkaitan dengan hal-hal berkut: 1) dinamika internal masyarakat, 2) intervensi pemerintah melalui berbagai kebijakan, 3) intervensi pihak lain atau pengaruh eksternal, dan 4) warisan sejarah.

Struktur agraria terkait dengan tingkat penguasaan, dan pemilikan lahan merupakan hal yang dinamis. Struktur agraria dalam masyarakat akan terus berubah seiring dengan pertambahan waktu dan fenomena sosial yang terjadi. Pada awal terbentuknya masyarakat, sebagian besar wilayah di Indonesia dikuasai secara kolektif terlebih untuk daerah luar Jawa, karena pada masa kolonial di Jawa seluruh wilayah adalah milik raja. Pola penguasaan kolektif membuat masyarakat memiliki akses yang sama terhadap lahan (Fadjar 2009). Seiring dengan masuknya moda produksi modern, terjadi perubahan pola kepemilikan lahan dari yang bersifat kolektif menjadi perseorangan. Perubahan ini berakibat pada perubahan akses masyarakat terhadap lahan yang awalnya terbuka menjadi tertutup. Masyarakat dengan pola kepemilikan kolektif memiliki hak untuk menggarap lahan yang diatur oleh lembaga adat. Status kepemilikan lahan berada di tangan lembaga adat dan yang menjadi hak milik penggarap hanyalah tanaman


(27)

yang tumbuh di atas tanah tersebut. Pola penguasaan perseorangan yang dikuatkan oleh kebijakan pemerintah tentang pengakuan pemilikan tanah melalui sertifikasi membuat masyarakat yang tidak memiliki sertifikat tidak dapat mengakses lahan. Pola “petani pemilik-buruh tani” menjadi pilihan masyarakat dalam menghadapi keadaan ini. Kepemilikan lahan yang relatif sempit membuat petani lebih rentan untuk mengalihkan hak atas tanahnya kepada pihak lain dengan cara menjualnya (Indrizal 1997).

Transfer kepemilikan melalui jual-beli merupakan hal yang wajar pada masyarakat dengan pola pemilikan perseorangan. Karena tanah memiliki nilai yang tinggi di mata masyarakat. Namun masyarakat yang pernah mengalami masa pemilikan kolektif memiliki kesulitan dalam menjalankan jual beli sebagai proses transfer kepemilikan. Karena tidak semua masyarakat memiliki cukup modal untuk membeli lahan. Masyarakat yang tidak memiliki cukup uang untuk membeli lahan akan menjadi penggarap dengan sistem sewa dan bagi hasil ataupun menjadi buruh tani di lahan-lahan yang telah dimiliki secara perseorangan.

Perubahan-perubahan pada pola penguasaan dan pemilikan tanah membuat pola struktur agraria menjadi terstratifikasi oleh banyak lapisan bahkan dalam beberapa kasus menunjukkan gejala polarisasi, seperti dijelaskan oleh Sihaloho M, Purwandari H, dan Supriyadi A (2009) dalam penelitiannya di dua desa perkebunan di Banten. Gejala polarisasi terlihat dari timpangnya tingkat kepemilikan lahan pada masyarakat. Ketersediaan lahan yang semakin sempit membuat masyarakat perkebunan memiliki peran ganda dalam penguasaan lahan baik permanen maupun sementara. Proses masuknya moda produksi modern ke dalam sistem pertanian masyarakat memunculkan peran-peran baru dalam masyarakat. Peran-peran baru ini terkait dengan penyediaan alat-alat/sarana produksi pertanian. Bertambahnya jenis lapisan masyarakat pada struktur agraris masyarakat menunjukkan diferensiasi sosial. Perubahan yang terjadi pada struktur agraria menyebabkan pergerakan pada pelaku didalamnya. Banyak pihak yang masuk ke dalam struktur yang ada, tetapi juga banyak pihak yang kemudian keluar dari struktur masyarakat karena akses terhadap lahan yang hilang. Penelitian Sihaloho M, Purwandari H, dan Supriyadi A (2009) menyebutkan


(28)

lapisan-lapisan yang terbentuk setelah adanya proses pembukaan dan pengembangan perkebunan menjadi semakin beragam yakni “petani pemilik”, “petani pemilik + penggarap”, “petani pemilik + buruh tani”, “petani penggarap”, “petani penggarap + buruh tani”, dan “buruh tani”.

2.2 Kerangka Pemikiran

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Komoditas yang ditanam masyarakat UPT Simpang Nungki pada awal kedatangannya beragam seperti padi, palawija, buah-buahan (jeruk), dan lain lain. Petani yang mengusahakan tanaman padi sawah pada umumnya lebih bersifat subsisten. Komoditas lain seperti palawija, sayur, dan jeruk lebih bersifat komersil. Perubahan produksi pertanian menjadi kelapa sawit yang merupakan komoditas baru dipengaruhi oleh beberapa hal yang dikelompokkan dalam dua aspek yakni faktor eksternal masyarakat yang terdiri dari kebijakan pemerintah terkait perluasan perkebunan kelapa sawit dan faktor internal masyarakat yang terdiri dari tingkat pengetahuan masyarakat dan tingkat pemilikan modal masyarakat untuk membangun maupun merawat kebun kelapa sawit. Tingkat pengetahuan ini ditinjau dari beberapa aspek yakni pengetahuan tentang

Perubahan Produksi Pertanian:

- Keputusan membuka Kebun - Keberlanjutan Kebun

Faktor Eksternal Masyarakat: Kebijakan Pemerintah

FaktorInternal Masyarakat: -Tingkat Pengetahuan

-Tingkat Kepemilikan Modal

Dinamika

Struktur Agraria: - Perubahan

Kepemilikan - Perubahan

Penguasaan - Perubahan

Pengusahaan

Keterangan:

: Berhubungan : Berhubungan bolak balik


(29)

penanaman, perawatan, keuntungan serta kerugian menanam kelapa sawit, dan proses pasca produksi atau pasca kebun kelapa sawit. Perubahan produksi pertanian masyarakat dilihat dari dua hal yakni keputusan untuk membuka kebun kelapa sawit dan keberlanjutannya. Seiring dengan berlangsungnya proses perubahan komoditas pertanian masyarakat, berlangsung pula gerak perubahan dalam bidang struktur agraria masyarakat. Hal tersebut seperti di gambarkan pada kerangka pemikiran (Gambar 1).

2.3 HIPOTESIS PENELITIAN

1. faktor internal memiliki hubungan positif dengan perubahan produksi pertanian;

2. faktor eksternal masyarakat memiliki hubungan positif dengan perubahan produksi pertanian masyarakat; dan

3. dinamika struktur agraria memiliki hubungan dengan perubahan produksi pertanian masyarakat.

2.4 Definisi Operasional dan Konseptual

1. Perubahan produksi pertanian adalah proses perubahan komoditas pertanian masyarakat menjadi kelapa sawit.

Pengukuran:

a. tinggi (skor 3) jika responden memutuskan untuk membuka kebun kelapa sawit dan kebunnya bertahan sampai sekarang;

b. sedang (skor 2) jika responden memutuskan membuka kebun tetapi kebunnya tidak bertahan sampai sekarang; dan

c. rendah (skor 1) jika responden memutuskan untuk tidak membuka kebun kelapa sawit.

2. Faktor internal masyarakat adalah keadaan responden yang mempengaruhi keputusan responden membuka kebun kelapa sawit dan keberlanjutan kebunnya. Faktor internal terdiri dari:


(30)

- tingkat pengetahuan adalah pengetahuan responden yang terdiri dari pengetahuan tentang tata cara pembangunan kebun, perawatan kebun, pengetahuan tentang pasca kebun (pasca produksi) dan keuntungan serta kerugian dari kebun kelapa sawit,

Pengukuran:

a. tinggi (skor 3) jika responden dapat menjawab dan menjelaskan jawaban dengan sangat baik dan memiliki pandangan positif terhadap kebun dan komoditas kelapa sawit;

b. sedang (skor 2) jika responden dapat menjawab dan menjelaskan jawaban dengan baik dan memiliki pandangan negatif terhadap kebun kelapa sawit atau responden memiliki pandangan positif tentang kebun kelapa sawit namun tidak dapat menjawab pertanyaan tentang pengetahuan tatacara pembukaan dan perawatan kebun dengan baik; dan

c. rendah (skor 1) jika responden tidak dapat menjawab pertanyaan terkait pengetahuan tatacara pembukaan dan perawatan kebun kelapa sawit serta memiliki pandangan negatif tentang kebun kelapa sawit.

- tingkat kepemilikan modal adalah jumlah uang yang dimiliki dan dialokasikan responden baik untuk membuka maupun merewat kebun kelapa sawit.

Pengukuran:

a. tinggi (skor 3) jika responden memiliki modal untuk membuka dan merawat kebun kelapa sawit;

b. sedang (skor 2) jika responden hanya memiliki modal untuk membuka kebun kelapa sawit; dan

c. rendah (skor 1) jika responden tidak memiliki modal untuk membuka maupun merawat kebun kelapa sawit.


(31)

3 Faktor eksternal masyarakat adalah faktor yang memengaruhi keputusan masyarakat untuk membangun kebun kelapa sawit yang berasal dari luar masyarakat. Faktor tersebut ditinjau dari kebijakan pemerintah yang memengaruhi keputusan masyarakat.

4. Dinamika adalah gerak atau aktivitas. Gerak menjadi suatu pola pergeseran dan perubahan dari waktu ke waktu hubungannya dengan pola hidup manusia yang ditandai dengan momentum tertentu.

- Struktur agraria adalah pola hubungan secara teknis dengan objek agraria (lahan) dan pola hubungan sosial(antar subjek agraria). Struktur agraria di sini dimaknai sebagai pola hubungan dalam pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan. Dinamika struktur agraria akan dilihat dari:

a. tingkat perubahan penguasaan lahan adalah perbandingan penguasaan lahan sebelum dan sesudah masuknya perkebunan kelapa sawit .Penguasaan lahan adalah penguasaan dan atau pemilikan atas dasar milik yang hanya terbatas pada akses terhadap lahan berupa lahan pribadi, sewa,bagi hasil, dan gadai;

b. tingkat perubahan kepemilikan adalah perbandingan pemilikan lahan sebelum dan sesudah masuknya perkebunan kelapa sawit. Pemilikan lahan adalah penguasaan dan atau pemilikan lahan meliputi kemampuan akses dan kontrol secara formal meliputi lahan pribadi, sewa, bagi hasil dan gadai; dan

c. tingkat perubahan pemanfaatan lahan adalah perbandingan pemanfaatan lahan sebelum dan sesudah masuknya perkebunan kelapa sawit. Status dan bentuk pemanfaatan adalah berupa pemanfaatan sendiri dan dimanfaatkan orang lain. Bentuk pemanfaatan lahan diantaranya berupa budidaya tanaman pangan, budidaya holtikultura, budidaya tanaman buah,dan lainnya.


(32)

BAB III

PENDEKATAN LAPANG 3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal yaitu penelitian yang dirancang untuk mengumpulkan data atas fenomena yang sama dalam beberapa titik waktu. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang mampu memberikan pemahaman mendalam dan rinci mengenai suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari subyek yang diteliti (Sitorus 2008). Pendekatan ini digunakan untuk menggali informasi tentang proses masuknya komoditas kelapa sawit dan proses perubahan struktur agraria. Pendekatan ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi tentang kebijakan yang terkait dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit dan mengatahui pengaruh kebijakan tersebut terhadap pembukaan perkebunan kelapa sawit masyarakat. Sedangkan pendekatan kuantitatif digunakan untuk mencari informasi faktual secara mendetail yang sedang menggejala dan mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan (Wahyuni dan Mulyono 2006). Pendekatan ini ditujukan untuk melihat struktur agraria masyarakat yang ada sekaligus dinamika yang terjadi di masyarakat.

3.2 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di UPT (Unit Pemukiman Transmigran) Desa Simpang Nungki, Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Pemilihan lokasi tersebut sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. merupakan daerah sekitar perusahaan kelapa sawit yang menjadi wilayah plasma perusahaan. Selain itu, masyarakat sudah memulai mengenal dan menanam komoditas sawit sebelum menjadi plasma perusahaan yang akan di bangun pada akhir 2011;


(33)

2. masyarakat transmigran memiliki lahan awal yang sama dan status kepemilikan yang jelas sehingga data lebih mudah didapat; dan

3. lokasi tersebut terjangkau transportasi dan dekat dengan kabupaten sehingga memudahkan peneliti untu memperoleh data.

Penelitian dilaksanakan dalam waktu lima bulan (lampiran 3). Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi:

1. data sekunder, meliputi rencana pengembangan daerah terkait rencana perluasan perkebunan sawit, undang-undang dan daftar kebijakan terkait dengan perluasan perkebunan sawit dan kepemilikan lahan, Kecamatan dalam Angka, serta Kabupaten dalam Angka terkait data luas areal perkebunan sawit; dan

2. data primer, yang diperoleh dari wawancara dengan responden dan informan.

Penelitian ini memiliki dua subjek penelitian, yang terdiri dari informan dan responden. Informan adalah pihak-pihak yang berpotensi untuk memberikan informasi mengenai diri sendiri, keluarga, pihak lain, dan lingkungannya. Pemilihan informan dilakukan dengan teknik snowball sampling (teknik bola salju). Teknik snowballing juga digunakan untuk menentukan daftar populasi yang karakteristiknya sesuai dengan masalah yang diteliti (kerangka sampling). Untuk melengkapi data yang didapatkan dari informan kunci, diperlukan data dari informan-informan lainnya yang kemudian didiskusikan dengan informan kunci. Informan penelitian ini sebanyak 14 orang terdiri dari tokoh masyarakat, pegawai kecamatan dan kabupaten, pegawai Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Transmigrasi Kabupaten Barito Kuala.

Responden didefinisikan sebagai bagian dari kerangka sampling yang sebelumnya telah didapat melalui tekhnik full enumeration survei terhadap keadaan struktur agraria masyarakat dan dapat memberikan keterangan tentang


(34)

diri sendiri. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja terhadap petani pemilik lahan yang tinggal di UPT Simpang Nungki baik transmigran maupun pendatang sebanyak 134 rumah tangga. Unit analisis penelitian ini adalah rumah tangga petani. Responden diwawancarai sesuai dengan kuesioner yang telah disusun.

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data primer dan sekunder dianalisis menggunakan metode data kualitatif dan kuantitatif. Unit analisis yang digunakan adalah rumah tangga petani. Tahapan dalam pengolahan dan analisis data menggunakan metode kualitatif meliputi reduksi data, yakni penghilangan data yang tidak diperlukan serta penambahan data apabila dibutuhkan melalui penyusunan kembali fakta-fakta menurut urutan sejarah dan waktunya.

Tahapan kedua adalah penyajian data yang dimaksudkan untuk menyusun sekumpulan informasi. Data yang mengalami proses reduksi, kemudian ditampilkan dalam bentuk lebih ringkas dan sederhana dengan mengunakan tabel atau gambar untuk memudahkan pembaca. Tahapan ketiga adalah penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan didasarkan atas hubungan antara konsep agraria dengan fakta di lapangan.

Pengolahan data secara kuantitatif dilakukan dengan tahapan editing dan koding data. Setelah itu dilakukan perhitungan frekuensi yang telah dikategorikan berdasarkan jawaban yang ada. Terakhir, dilakukan tabulasi silang dalam bentuk tabel dan analisis data menggunakan spearman. Sesuai Koentjaraningrat (1977), pada tahap ini data dapat dianggap selesai diproses sehingga akan disusun ke dalam sebuah pola atau format yang telah dirancang.


(35)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Kondisi Umum Desa

Desa Simpang Nungki adalah salah satu desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Cerbon, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Desa ini berbatasan dengan Desa Bantuil di sebelah utara, Desa Sawahan di sebelah timur, Desa Sungai Tunjang di sebelah barat, dan Kecamatan Mandastana di sebelah selatan. Desa Simpang Nungki berjarak satu kilometer dari kantor kecamatan Cerbon atau sekitar lima menit jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor. Sedangkan jarak menuju ibu kota kabupaten atau Kota Marabahan sekitar tiga kilometer atau sekitar 15 menit dengan menggunakan sepeda motor. Akses masyarakat menuju pusat administrasi Kabupaten Barito Kuala menjadi lebih mudah setelah dibangunnya Jembatan Rumpiang yang menghubungkan Kecamatan Cerbon dengan Kecamatan Marabahan yang dipisahkan sungai Barito. Jarak tersebut dapat ditempuh dengan menggunakan transportasi umum berupa angkot (taksi dalam bahasa lokal) dan ojek. Angkot yang beroperasi adalah angkot dengan rute Banjarmasin-Marabahan yang lewat 30 menit sekali sampai pukul 17.00 WIB.

Desa Simpang Nungki memiliki wilayah seluas 19,5 kilometer persegi atau hanya sekitar 9,47 persen dari luas kecamatan Cerbon yang terdiri dari pemukiman, lahan terbuka, lahan pertanian, kebun, sungai, dan infrastruktur publik. Secara administratif Desa Simpang Nungki terdiri dari 8 RT yang terdiri dari dua wilayah yakni masyarakat asli pada RT 01 sampai RT 03 dan UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) pada RT 04 sampai RT 08. Pemukiman masyarakat lokal umumnya berada di tepi jalan utama desa. UPT atau kompleks transmigrasi sendiri dibagi menjadi 10 simpang (Ray) dan umumnya pemukiman transmigran berada di masing-masing gang. Hanya ada beberapa warung, mushola dan rumah kepala desa yang menghadap ke jalan inti. Bangunan rumah penduduk pada umumnya adalah rumah panggung terbuat dari kayu seperti rumah masyarakat asli Kalimantan.


(36)

Desa Simpang Nungki merupakan bagian dari Kabupaten Barito Kuala yang terletak di garis katulistiwa sehingga memiliki curah hujan yang tinggi. Temperatur rata-rata adalah 26-270C. Suhu maksimum adalah 27,50C pada bulan Oktober dan suhu minimum mencapai 26,50C pada bulan Juli. Curah hujan tertinggi pada tahun 2008 terjadi pada bulan Maret dan Desember, sedangkan curah hujan terendah terjadi di bulan September. Namun beberapa tahun terakhir hal tersebut sudah banyak mengalami pergeseran dan tidak dapat diperkirakan lagi.

Desa Simpang Nungki adalah salah satu desa yang terdekat dengan perusahaan PBB yakni perusahaan swasta perkebunan kelapa sawit. Desa Simpang Nungki berada pada wilayah perencanaan kebun plasma perusahaan yang pembangunannya akan direalisasikan pada akhir tahun 2011.

4.2 Kondisi Agronomi

Desa Simpang Nungki berada pada hamparan wilayah yang datar dengan kelerengan 0-2 persen, dengan ketinggian elevasi berkisar antara 1-3 meter di atas permukaan laut. Desa Simpang Nungki berada di dekat Sungai Barito dan dilewati sungai-sungai kecil baik alami maupun buatan, sehingga sistem pertaniannya sangat bergantung pada sistem pasang-surut sungai. Secara umum daerah ini ditutupi oleh tumbuhan rawa, tumbuhan jingah, rambai yang tumbuh disepanjang sungai, tumbuhan galam, dan purun tikus yang hidup berdampingan dan kadang diselingi oleh tumbuhan rumput-rumputan. Di Desa Sumpang Nungki juga dijumpai beberapa jenis fauna khas seperti beberapa jenis ikan air tawar seperti gabus, papuyu, sepat, patin, dan lain-lain yang biasa ditangkap warga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari. Jenis reptil yang sering terlihat adalah ular sawah dan biawak. Hama yang banyak menyerang tanaman warga adalah tikus yang banyak muncul saat keadaan air pasang.

Jenis tanah yang ada di Desa Simpang Nungki dan Kecamatan Cerbon umumnya ada jenis yakni organosol dan tanah aluvial. Tanah Organosol berwarna coklat hitam dan sering disebut tanah gambut atau peat (bahan yang mudah terbakar). Sifat keasamannya sangat tinggi sehingga kalau ingin mempergunakan tanah ini harus dengan sistem drainage. Kemampuan tanah di daerah ini tidak


(37)

sepenuhnya datar, yakni lereng 0,2 persen yang merupakan daerah endapan. Keadaan efektif tanah untuk alluvial lebih besar dari pada 90 centimeter tercatat hampir 60-64 persen dari luas wilayah, sedangkan daerah yang ketebalan gambutnya lebih besar dari 75 centimeter terdapat seluas 6,74 persen. Tekstur tanah 95 persen liat (halus) sedangkan drainage yang dominan yakni di daerah yang tergenang rawa. Penggunaan tanah berdasarkan peta kemampuan tanah dan jenis tanah yang diusahaakan penduduk, daerah alluvial pada umumnya digunakan untuk persawahan karena daerahnya yang cukup subur. Pada daerah organosol atau gambut juga diusahakan oleh penduduk dengan membuat handil-handil atau saluran pembuangan air sehingga daerah tersebut dapat diusahakan. Tanaman pertanian yang dibudidayakan oleh masyarakat pada umumnya adalah padi sawah, jeruk, palawija, kelapa sawit, kelapa dalam, sagu, karet, nanas, dan lain-lain.

4.3 Kondisi Demografi

Desa Simpang Nungki adalah desa dengan penduduk terbesar ketiga di wilayah Kecamatan Cerbon. Pada tahun 2010, desa seluas 19,50 kilometer persegi ini di huni oleh 335 kepala keluarga yang tersebar pada delapan rukun tetangga. Penduduk Desa Simpang Nungki terdiri dari 625 laki-laki dan 613 perempuan.

Gambar 2. Perkembangan Jumlah Penduduk Kecamatan Cerbon Tahun 2005-2009

Pertambahan penduduk Kecamatan Cerbon dalam jumlah besar pada tahun 2007 terjadi karena adanya penempatan peserta program transmigrasi pada beberapa

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000 14000 16000

2005 2006 2007 2008 2009


(38)

desa di wilayah Kecamatan Cerbon. Desa di wilayah Cerbon yang menjadi tujuan program transmigrasi adalah Desa Simpang Nungki dan Desa Sawahan. Hal tersebut juga menyebabkan lonjakan tajam jumlah penduduk Desa Simpang Nungki pada tahun 2007. Namun, jumlah penduduk pada Kecamatan Cerbon pada tahun 2008 kembali menurun karena adanya peserta transmigran yang pergi meninggalkan daerah tersebut. Perkembangan jumlah penduduk Kecamatan Cerbon dapat dilihat pada gambar 2 di atas.

Sebagian besar masyarakat Desa Simpang Nungki bekerja sebagai petani sawah dan perkebunan. Hal tersebut sesuai dengan kondisi wilayah yang cukup mendukung kegiatan pertanian. Sawah pasang surut yang banyak terdapat pada Kecamatan Cerbon mampu membuat Kecamatan Cerbon berada di posisi ke-8 penyumbang beras terbesar Kabupaten Barito Kuala yakni sekitar 5,32% dari total produksi beras Kabupaten Barito Kuala. Mata pencaharian utama penduduk dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 3. Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Cerbon Tahun 2010

Berdasarkan data profil Kecamatan Cerbon tahun 2009, mata pencaharian utama penduduk sangat beragam. Namun berdasarkan data lapang, seluruh masyarakat Desa Simpang Nungki yakni sebanyak 355 Kepala Keluarga memiliki lahan dan mengusahakan pertanian di samping pekerjaan utama. Sebagian besar penduduk

Petani PNS

Buruh Pensiunan

Karyawan Swasta Peternak/ Nelayan

TNI/Polri Pedagang

Mengurus Rumah Tangga Pelajar/mahasiswa lain-lain


(39)

dengan mata pencaharian utama sebagai petani juga menjadi buruh di dua perusahaan besar swasta dalam bidang perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di sekitar Desa Simpang Nungki. Hal tersebut dilakukan saat masa tanam padi selesai, sehingga petani memiliki banyak waktu luang untuk mengerjakan hal-hal lain untuk menambah pendapatan.

4.4 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Simpang Nungki sudah cukup lengkap. Sarana kesehatan terdiri dari satu puskesmas dan satu polendes dengan tenaga medis satu bidan. Masyarakat juga bisa memanfaatkan jasa dua dukun kampung yang terdapat di Desa Simpang Nungki. Sarana pendidikan terdiri dari satu Sekolah Dasar, satu Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tenaga pengajar setingkat SD berjumlah 14 orang. Tenaga dan setingkat SMP terdiri dari 19 orang. Sarana ibadah yang tersedia adalah berupa langgar sebanyak empat buah. Kegiatan-kegiatan keagamaan selain ibadah wajib juga sering dilaksanakan di langgar-langgar tersebut seperti pengajian rutin. Hampir seluruh masyarakat lokal yang tinggal di Desa Simpang Nungki masih memiliki hubungan kekerabatan. Sehingga kegiatan pengajian dan selamatan juga rutin di laksanakan bergiliran di rumah warga. Hal ini membuat hubungan baik antara warga semakin terjalin. Kegiatan serupa juga sering di laksanakan di kompleks transmigran. Rasa senasib dan sepenanggungan membuat masyarakat memiliki hubungan yang masih sangat dekat.

Jalan desa sudah di aspal, namun saat ini keadaannya sudah sangat rusak karena alat-alat berat perusahaan masuk ke area kebun melalui jalan desa tersebut. Jalan desa yang terdapat pada kompleks transmigran belum pernah di aspal namun pada tahun 2009 jalan tersebut dilapisi dengan pasir dan batu menggunakan biaya dari program PNPM Mandiri. Sebagian besar masyarakat Desa Simpang Nungki sudah memiliki kendaraan pribadi berupa sepeda motor untuk memudahkan transportasi ke luar desa. Namun, masyarakat juga masih menggunakan klotok (kapal motor kecil) untuk transportasi karena dianggap lebih efisien untuk beberapa hal.


(40)

4.5 Konteks Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki

Unit Pemukiman Transmigran (UPT) Simpang Nungki dibuka pada tahun 2005 sebagai salah satu daerah tujuan program transmigrasi. Masuknya peserta transmigrasi ke Desa Simpang Nungki dilakukan dalam tiga tahapan, yakni tahun 2005, 2006, dan 2007. Daerah asal transmigran beragam yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan daerah lain di luar jawa, masyarakat lokal dari Desa Simpang Nungki dan daerah lain di Kalimantan Selatan. Masing-masing kepala keluarga mendapatkan rumah dan tanah seluas 1,5 hektar (satu hektar lahan usaha dan 0,5 hektar untuk lahan pekarangan). Fasilitas lain yang didapat adalah peralatan dapur dan jatah hidup yang diterima sebulan sekali selama satu tahun yang terdiri dari beras, minyak goreng, gula, ikan asin, sabun cuci, garam, minyak tanah, kacang hijau, dan kecap. Transmigran juga mendapatkan bantuan alat-alat pertanian yang sesuai dengan kondisi wilayah dan saprodi (sarana produksi) seperti pupuk dan bibit (sayur, buah, dan padi).

Suatu wilayah akan dinyatakan layak untuk dihuni transmigran, setelah ada kunjungan dari petugas terkait dan perwakilan transmigran untuk menilai apakah wilayah dan fasilitas yang tersedia sudah cukup layak untuk ditinggali. Seperti jalan, saluran air, kondisi rumah, keadaan lahan, dan lain-lain. Namun, setelah semua dinyatakan layak dan pemberangkatan transmigran di laksanakan, masih ada transmigran yang pergi meninggalkan rumah dan tanahnya. Data jumlah tansmigran tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.1 Transmigran UPT Simpang Nungki Tahun 2011

Kategori Jumlah (KK) Persentase (%)

Transmigran Bertahan 121 37.23

Transmigran Pergi 204 62.77

Jumlah 325 100.00

Transmigran yang pergi meninggalkan UPT Simpang Nungki sebagian adalah warga lokal yang berasal dari sekitar Simpang Nungki yang lebih memilih untuk tinggal di wilayah asalnya dan tidak menggarap lahannya. Transmigran yang meninggalkan UPT Simpang Nungki kurang dari 10 tahun penempatan lebih dari


(41)

50 persen. Hal ini menyalahi aturan dan ketentuan terkait program transmigrasi 4, namun juga menjadi hal yang banyak terjadi di seluruh wilayah transmigrasi. Alasan kepergian transmigran beragam, seperti kembali ke daerah asal, mencari pekerjaan di tempat lain yang lebih menjanjikan, ada juga yang mengajukan untuk mengikuti program transmigrasi ke daerah lain. Kurang lengkapnya fasilitas di UPT Simpang Nungki juga menjadi alasan transmigran meninggalkan tempat tinggalnya. UPT Simpang Nungki tidak memiliki jaringan listrik dan saluran air bersih. Sehingga untuk mendapatkan air bersih masyarakat harus menampung air hujan, karena air tanah diwilayah ini asam. Jumlah kepala keluarga UPT Simpang Nungki juga bertambah dengan masuknya para pendatang yang tertarik untuk mengadu nasib di wilayah tersebut. Hal ini sesuai dengan penuturan Bapak SHL (50 tahun)5 dan TTK (40 tahun)6.

“Transmigran banyak meninggalkan UPT dengan alasan

sarana dan prasarana yang kurang baik. Padahal fasilitas yang diberikan sudah cukup lengkap untuk pemukiman yang baru dibuka termasuk fasilitas terkait pertanian. Keadaan wilayah juga sudah dijelaskan sebelum mereka diberangkatkan. Mereka sudah diberi pelatihan-pelatihan pertanian agar dapat bertahan di tempat yang baru. Tapi banyak yang pindah ke tempat lain. Bahkan memalsukan data untuk mengikuti program transmigrasi ke daerah yang baru. Itulah yang membuat dia tidak berhasil padahal teman-teman yang tetap bertahan dapat berhasil. Karena dia kan harus mulai lagi dari awal untuk adaptasi dan lain-lain.”

“ Yah disini ya seperti ini mbak. Panas, kering, tanah dan

airnya asam. Tidak seperti di Jawa yang enak. Untuk mandi harus mengambil air di rumah orang yang punya diesel. Trus buat minum kami nampung air hujan. Kalo tidak ada hujan ya beli air di orang lokal. Kan mereka sudah ada PAM. Air PAM nggak bisa masuk sampai sini karena tanahnya lebih tinggi. Kalau listrik sih katanya

Agustus mulai masuk ke sini.”

4

Aturan dan ketentuan program transmigran dapat dilihat pada Lampiran

5

Bapak SHL adalah kepala bagian Transmigrasi di Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Barito Kuala. Hasil wawancara tanggal 28 April 2011.

6


(42)

Program-program pengembangan masyarakat transmigran juga beragam, seperti kredit usaha kecil, PNPM Mandiri, dan bantuan pengembangan perkebunan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Bantuan dana dari program PNPM Mandiri digunakan masyarakat untuk melapisi jalan Unit Pemukiman Transmigrasi dengan pasir dan batu. Bantuan pengembangan perkebunan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan berupa pembagian bibit karet dan kelapa sawit serta saprodi yang menunjang program tersebut.


(43)

BAB V

DINAMIKA STRUKTUR AGRARIA UNIT PEMUKIMAN TRANSMIGRASI (UPT) SIMPANG NUNGKI 5.1 Masa Pra Masuknya Komoditas Kelapa Sawit (2005 – 2006) 5.1.1 Sejarah Unit Pemukiman Transmigrasi Simpang Nungki7

Desa Simpang Nungki adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Cerbon yang memiliki lokasi strategis, yakni dekat dengan jalan kabupaten yang menghubungkan Kabupaten Banjar dengan Kabupaten Barito Kuala. Namun, jumlah penduduk yang kecil dan pola pikir masyarakat lokal yang masih tradisional membuat wilayah tersebut sulit berkembang. Bapak EDS (50 tahun) selaku tokoh Desa Simpang Nungki yang juga bekerja sebagai pegawai kecamatan mendapatkan informasi dari Dinas Transmigrasi Barito Kuala bahwa akan dipilih beberapa wilayah untuk dijadikan lokasi transmigrasi. Tokoh masyarakat baik di tingkat desa maupun kecamatan mengoordinasikan hal tersebut dan mengajukan permohonan kepada dinas terkait. Para tokoh berpendapat bahwa dengan dibukanya Unit Pemukiman Transmigrasi di Desa Simpang Nungki, maka wilayah tersebut dapat lebih cepat berkembang. Persiapan suatu wilayah untuk dijadikan tujuan transmigrasi berlangsung dalam beberapa mekanisme, seperti pelepasan dan pembukaan lahan, pembangunan sarana dan prasarana dan pengecekan apakah tempat tersebut sudah layak untuk dihuni atau belum.

Peserta program transmigrasi memiliki komposisi yang berbeda sesuai dengan periode berlangsungnya program tersebut. Saat ini, komposisi yang digunakan adalah 50 persen penduduk lokal dan 50 persen adalah pendatang. Keresediaan lahan yang tidak terlalu luas membuat mekanisme pemberian lahan untuk penduduk lokal sedikit berbeda. Pada umumnya lahan transmigrasi berada dalam satu luasan wilayah, tapi di Desa Simpang Nungki tidak demikian. Beberapa peserta transmigrasi lokal tidak mendapatkan bagian lahan pekarangan sebagaimana mestinya. Transmigran tersebut diperkenankan mendaftarkan lahan

7

Berdasarkan penuturan informan kunci bapak EDS selaku tokoh masyarakat dan pegawai kecamatan pada tanggal 28 April 2011


(44)

pribadi yang dimiliki dan mendapatkan ganti rugi sesuai dengan harga lahan pada saat itu.

Unit pemukiman Transmigran (UPT) Simpang Nungki dibuka pada tahun 2005. Peserta program transmigrasi datang dalam tiga tahap yakni pada tahun 2005 sebanyak 150 kepala keluarga, tahun 2006 sebanyak 100 kepala keluarga, dan pada tahun 2007 sebanyak 75 kepala keluarga. Peserta transmigrasi mendapatkan fasilitas pertanian berupa saprodi, bibit, dan lain-lain untuk menunjang kegiatan pertaniannya. Oleh karena itu, jenis komoditas masyarakat pun hampir sama yakni padi, palawija, dan sayur-sayuran seperti benih-benih yang dibagikan oleh Dinas Transmigrasi. Kondisi tersebut mulai berubah setelah satu tahun penempatan, karena transmigran lokal mulai kembali ke daerah asal setelah jatah hidup tidak lagi diberikan oleh Dinas Transmigrasi. Transmigran lokal lebih memilih untuk tinggal di rumah sendiri karena sarana dan prasarana yang tersedia lebih memadai dibandingkan di Unit Pemukiman Transmigran (UPT). Transmigran lain yang berasal dari luar Kalimantan Selatan juga mulai meninggalkan lokasi transmigrasi untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Beberapa transmigran memilih untuk pulang kembali ke daerah asalnya seperti Jawa dan Lombok. Hal ini sesuai dengan penuturan SRI (46 tahun) di bawah ini.8

“Masyarakat lokal tertarik mengikuti program

transmigrasi karena mendapatkan jadup selama setahun. Setelah jadup habis, ya mereka kembali lagi ke rumah mereka. Transmigran asal Jawa dan Lombok juga banyak yang kembali ke daerah asal karena tidak tahan. Sebagian besar lahan ditinggalkan begitu saja. Ada juga yang masih sering ke sini cuma untuk melihat lahan dan

rumahnya saja.”

5.1.2 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan Lahan (Tenurial System)

Transmigran Simpang Nungki mendapatkan lahan dari program transmigrasi. Masing-masing kepala keluarga mendapatkan lahan seluas 1,5 hektar dengan rincian 0,5 hektar lahan pekarangan dan satu hektar lahan usaha. Kepemilikan lahan pada awal kedatangan transmigran masih sama, kecuali transmigran lokal yang telah memiliki lahan pribadi sebelum mengikuti program

8


(45)

transmigrasi. Transmigran berhak untuk menggarap lahan usaha dan menempati lahan pekarangan. Bukti kepemilikan tanah (sertifikat) akan diserahkan setelah lima tahun menempati dan menggarap lahan tersebut sesuai dengan ketentuan program transmigrasi. Hal tersebut berbeda dengan masyarakat lokal yang umumnya hanya memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) sebagai bukti kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh kepala padang.

Program pembuatan sertifikat gratis oleh pemerintah daerah Kabupaten Barito Kuala sedang berlangsung, namun masyarakat Desa Simpang Nungki harus menunggu giliran. Masyarakat harus mengajukan permohonan kepada Badan Pertanahan Nasional untuk pembuatan sertifikat tersebut. Pengajuan permohonan dilakukan oleh pemerintah desa terkait. Namun banyak masyarakat yang belum memiliki kesadaran tentang pentingnya sertifikat tanah. Sehingga pemerintah desa harus berusaha untuk memberikan pengertian kepada masyarakat.

Seluruh rumah tangga yang ada di Desa Simpang Nungki khususnya transmigran memiliki lahan pertanian. Namun, pada masa ini telah terbentuk beberapa lapisan status sosial masyarakat. Hal tersebut dikarenakan transmigran juga menggarap lahan masyarakat lokal melalui sistem bagi hasil dan juga menjadi buruh pertanian untuk menambah penghasilan. Saat ini status sosial masyarakat terdiferensiasi dalam beberapa lapisan atau kategori yang terdiri dari lapisan tunggal dan lapisan majemuk. Lapisan status tersebut adalah sebagai berikut:

1. petani pemilik, yakni petani yang menguasai lahan melalui pola pemilikan tetap;

2. pemilik+penggarap, yakni petani yang menguasai lahan tidak hanya melalui pemilikan tetap tetapi juga melalui pemilikan sementara (mengusahakan lahan orang lain melalui sistem bagi hasil);

3. pemilik+buruh tani, yakni petani yang menguasai lahan melalui pemilikan tetap. Selain itu, petani ini juga menjadi buruh tani di lahan orang lain dan perkebunan besar swasta untuk menambah penghasilan; dan


(46)

4. pemilik+penggarap+buruh tani, yakni petani yang menguasai lahan tidak hanya melalui pemilikan tetap tetapi juga sementara (menggarap lahan orang lain dengan sistem bagi hasil).

Petani yang hanya memiliki status tunggal sebagai petani pemilik umumnya memiliki mata pencaharian lain selain sebagai petani seperti pedagang, pegawai pemerintah, wiraswasta, dan sebagainya. Petani yang berstatus sebagai penggarap umumnya menggarap lahan yang dimiliki oleh masyarakat lokal yang berada di luar kompleks lahan transmigran. Buruh tani adalah salah satu pilihan bagi para transmigran untuk menambah pendapatan rumah tangga. Masyarakat lebih tertarik untuk menjadi buruh tani karena resiko yang ditanggung lebih kecil dibandingkan dengan menjadi penggarap yang membutuhkan modal lebih besar.

Pemindahan kepemilikan lahan transmigran dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun atau setidaknya sebelum sertifikat lahan turun adalah hal yang melanggar hukum. Proses transfer kepemilikan lahan pada masa awal penempatan masih sangat jarang terjadi. Harga tanah juga masih rendah. Harga tanah kapling (bukan lahan transmigran) tahun 2005 sekitar Rp 300.000,- sampai Rp 500.000,- per hektar. Sedangkan tanah transmigran yang telah bersertifikat sekitar Rp 1.500.000,- sampai Rp 2.000.000,- per kapling lahan usaha (dua hektar). Pada masa ini transfer kepemilikan melalui ganti rugi banyak terjadi pada kasus tanah kapling yang dimiliki masyarakat lokal. Lahan kapling adalah lahan yang dibuka oleh masyarakat lokal, sebagian besar belum memiliki sertifikat dan hanya memiliki SKT (Surat Keterangan Tanah). Lahan kapling terletak di luar kompleks pemukiman warga sekitar satu sampai tiga kilometer. Hal ini sebagaimana di jelaskan oleh SHT (45 tahun)9.

“Sebelum tahun 2007, proses jual beli banyak terjadi pada lahan kapling, karena harganya murah dan memiliki SKT. Harganya cuma 300-500 ribu rupiah. Kalau lahan transmigran kan masih belum bersertifikat dan dilarang

untuk digantirugikan.”

Sistem transfer kepemilikan lain yang ada di Unit Pemukiman Transmigran Simpang Nungki adalah pemindahan hak kepemilikan lahan kepada saudara atau anak seperti yang dibenarkan dalam ketentuan transmigrasi. Sistem

9

Bapak SHT adalah sekretaris Kecamatan Cerbon sekaligus wakil ketua Koperasi Desa Simpang Nungki. Hasil wawancara tanggal 3 Mei 2011.


(47)

tersebut hampir sama dengan waris. Jika hal tersebut dilakukan sebelum sertifikat diserahkan kepada transmigran, maka proses pemindahan harus melalui tahapan yang ditentukan. Transmigran yang ingin memberikan haknya kepada anak atau saudara harus melapor dan mengajukan permohonan kepada dinas transmigrasi. Sistem transfer kepemilikan sebelum kurun waktu 10 tahun kepada orang lain tidak diperbolehkan. Jika transmigran pergi meninggalkan UPT tanpa izin dari kepala UPT dan melampaui batas waktu yang ditoleransi, maka haknya sebagai transmigran akan dicabut. Proses pemberian hak transmigran yang telah pergi kepada yang baru tidak dapat dilakukan secara langsung. Transmigran pengganti akan dipilih dari dinas transmigrasi daerah asal transmigran yang pergi. Transmigran pengganti harus melalui proses yang sama dengan transmigran sebelumnya, yakni melalui proses pendaftaran, seleksi, pelatihan dan lain-lain. Oleh karena itu tidak dibenarkan jika seorang transmigran memberikan haknya kepada pendatang yang menggantikannya di lokasi UPT.

5.1.3 Sistem Kelembagaan (Tenancy System)

Masyarakat lokal Simpang Nungki memiliki luas kepemilikan lahan yang beragam. Biaya besar yang harus dikeluarkan untuk menggarap lahan membuat petani dengan kepemilikan lahan luas tidak menggarap semua lahannya. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh sistem pertanian masyarakat lokal Simpang Nungki yang masih bersifat subsisten (untuk memenuhi kebutuhan sendiri). Banyak lahan yang dibiarkan bera dan ditumbuhi rumput liar. Hal ini menjadi peluang bagi transmigran dan masyarakat berlahan sempit untuk menggarap lahan-lahan tersebut. Sistem kelembagaan yang dijalankan Desa Simpang Nungki adalah sistem bagi hasil.

Aturan-aturan bagi hasil berlaku untuk sekali masa panen. Bagi hasil ini menggunakan pola aturan pemilik lahan akan mendapatkan bagian 1 blek (kaleng) gabah atau setara dengan 10 kilogram per borong luas lahan yang digarap. Aturan-aturan tambahan diberlakukan sesuai kesepakatan. Misalnya, jika pembersihan lahan dilakukan oleh pemilik maka penggarap akan memberikan sejumlah uang sebagai uang jasa. Besar uang yang diberikan sesuai dengan luasan lahan dan kesepakatan antara pemilik dengan penggarap. Ukuran lahan yang


(48)

digunakan adalah per borong atau setara dengan 17 X 17 meter. Masyarakat lokal kadang juga menggunakan ukuran hektar untuk lahannya.

Rasa saling percaya antar masyarakat Simpang Nungki masih sangat tinggi. Proses pembuatan kesepakatan-kesepakatan dilakukan dengan cara kekeluargaan. Termasuk dalam urusan tanah. Penggarap kadang tidak mengetahui pemilik tanah yang digarapnya. Penggarap biasanya menentukan kesepakatan-kesepakatan dengan perantara atau wakil dari pemilik lahan. Kesepakatan yang telah dibuat tidak di buat secara tertulis namun hanya berupa pembicaran saja. Hal ini seperti pengakuan TTK (40 tahun) di bawah ini10.

“Saya nggak tau siapa pemilik lahan yang saya garap.

Waktu itu perantara saya adalah Pak WSN. Katanya itu tanah saudaranya dan boleh digarap dengan sistem bagi hasil. Yah dasarnya saling percaya aja. Tiap satu borong

lahan saya harus ngasih pemiliknya satu blek gabah.”

5.1.4 Pemanfaatan Lahan

Transmigran yang ditempatkan di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Simpang Nungki mendapatkan benih-benih tanaman pertanian, pupuk dan alat-alat pertanian. Benih yang dibagikan berupa benih padi, palawija, sayur dan buah-buahan. Pada awal kedatangan, transmigran menanam semua jenis benih yang diberikan oleh Dinas Transmigrasi. Namun, tidak semua benih dapat ditanam dengan baik dan menghasilkan. Hal tersebut karena keadaan lingkungan yang berbeda dengan daerah asal sehingga kemampuan bertani para transmigran kurang sesuai. Berikut disajikan jenis komoditas yang ditanam masyarakat pada awal kedatangan di UPT Simpang Nungki dan sebelum masuknya komoditas kelapa sawit (tahun 2005 sampai pertengahan 2006).

10


(1)

Yang menggarap

Sendiri, keluarga inti, kerabat luas, tetangga/teman, orang lain, lainnya....

3. Jika lahan diperoleh dengan cara membeli/ganti rugi, ceritakan Tahun

Luas

Identitas penjual (nama,etnis) Harga lahan

Harga beras

4. Jika kebun bapak diperoleh dengan bagi hasil, ceritakan pola kerjasama yang disepakati:

5. Jika ada kebun bapak yang digarap orang lain, ceritakan: - alsannya:

- hubungan sosial dengan penggarap: - Jelaskan pola kerjasama yang disepakati:

6. Ceritakan lahan yang pernah dimiliki bapak, tetapi sekarang sudah di lepas Lokasi (dalam/luar desa)

Jarak dari rumah (km) Luas (Ha)

Tahun peroleh Tahun dilepas Alasan dilepas

Cara melepas (jual beli, waris, lainnya..)

Kepada (keluarga initi, kerabat luas, teman/tetangga, orang lain) Alamat penerima

Asal etnis penerima

7. Ceritakan kebun milik orang lain yang sedang bapak usahakan: Lokasi (dalam/luar desa)

Jarak dari rumah (km) Luas (Ha)

Tahun mulai

Pola hubungan kerja (sewa,bagi hasil, lainnya..) Hubungan sosial dg pemilik Pekerjaan pemilik


(2)

Jelaskan Pola Kerjasama yang disepakati

C. Minat Terhadap Kelapa Sawit

Pertanyaan Ya Tidak

1. Apakah Bapak/Ibu berencana untuk menanam kelapa sawit?

Alasan

2. Jika Ya, apakah Bapak/Ibu berencana untuk bekerjasama dengan perusahaan (plasma)? Alasan

3. Apakah Bapak/Ibu tahu tatacara penanaman dan perawatan kelapa sawit? Jika Ya, darimana Bapak/ibu mendapatkan pengetahuan tersebut?Jelaskan:

D. Tingkat Pengetahuan dan Tingkat Kepemilikan Modal D1. Pembangunan Kebun

1. Apakah bapak pernah membangun kebun kelapa sawit? Jelaskan alasannya!

2. Jelaskan tatacara membangun kebun?

3. Apa masalah yang sering muncul pada saat pembangunan kebun?

4. Berapa besar biaya pembangunan kebun seluas satu hektar lahan?

5. Apakah bapak memiliki modal yang cukup untuk membuka kebun? a. Tidak, darimana bapak mendapatkan

b Punya, tapi kurang. Darimana mendapat tambahan.... c. Punya

D2. Perawatan Kebun

1. Berapa tahun masa tanam sawit?

a. 5-10 tahun b.15-20 tahun d.25-30 tahun


(3)

2. Pada usia berapa tahun kelapa sawit mulai menghasilkan tandan dengan berat normal?

a. 4 tahun c. 6 tahun

b. 5 tahun d. Lainnya

3. Berapa kali anda melakukan pemupukan dalam sebulan? a. 0-1 kali c. 2-4 kali

b. 1-2 kali d. Lebih dari 4 kali

4. Berapa besar biaya perawatan yang diperlukan 1 hektar kebun kebun kelapa sawit ?

5. Jelaskan alokasi penggunaan biaya tersebut!

6. Menurut Anda apakah keuntungan dan kerugian menanam kelapa sawit dibandingkan komoditas yang lain?

7. Apakah masalah yang sering muncul pada perkebunan kelapa sawit di wilayah ini? Bagaimana cara mengatasinya?

8. Apakah kebun kelapa sawit Bapak/Ibu bertahan sampai sekarang? Jelaskan alasannya!

9. Jika kebun Bapak/Ibu masih bertahan, apakah sudah menghasilkan? Jelaskan!

10. Apakah Bapak/Ibu tahu proses pasca kebun dari hasil kebun (kemana menjual, dll)? Jelaskan!


(4)

Lampiran 8

Panduan Pertanyaan

1. Menurut Anda, bagaimana prospek perkebunan kelapa sawit di daerah Anda di masa yang akan datang?

2. Menurut Anda, apakah kebijakan pemerintah yang menjadi faktor pendorong dalam memperluas areal perkebunan sawit?

3. Menurut Anda, apakah alasan pemerintah (baik pusat dan daerah) mendukung pembangunan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit?

4. Menurut Anda, bagaimana posisi tawar komoditas kelapa sawit di pasar domestik maupun internasional?

5. Apakah permintaan pasar dan harga komoditas sawit di pasaran berpengaruh pada pertambahan areal perkebunan sawit di wilayah Anda?

6. Apakah alasan masyarakat membuka atau tidak membuka kebun kelapa sawit?

7. Apakah menurut Anda kepemilikan modal dan pengetahuan masyarakat tentang perkebunan kelapa sawit mempengaruhi keputusan mereka untuk membuka kebun kelapa sawit?

8. Bagaimana aktivitas perpindahan kepemilikan lahan setelah masuknya komoditas kelapa sawit?

9. Ceritakan perubahan-perubahan kepemilikan yang terjadi setelah masuknya komoditas sawit!

10. Menurut Anda apakah perkebunan kelapa sawit memberikan lebih banyak dampak positif atau negatif terhadap kesejahteraan masyarakat?

11. Bagaimana respon masyarakat UPT Simpang Nungki terhadap program pengembangan program kelapa sawit dan pembangunan kebun plasma?

12. Menurut Anda, bagaimana tingkat pengetahuan dan kepemilikan modal masyarakat mempengaruhi keputusan untuk membuka kebun?

13. Apakah dengan tingkat pengetahuan dan kepemilikan modal yang dimiliki, masyarakat mampu membangun kebun secara mandiri?


(5)

Lampiran 9

Dokumentasi

Gambar 1. Jalan Desa Simpang Nungki

Gambar 2. Jalan UPT Simpang Nungki

Gambar 3. Unit Pemukiman Transmigrasi

Gambar 4. Kebun Kelapa Sawit Masyarakat yang Kurang Baik

Gambar 5. Tanaman Kelapa Sawit Pasca Kebakaran Lahan


(6)

Gambar 7. Bekas Kebun Kelapa Sawit Transmigran

Gambar 8. Jalan Kebun Transmigran

Gambar 9. Kebun yang Mulai