Hubungan antara Faktor Internal dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit

6.3 Hubungan antara Faktor Internal dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit

Faktor internal yang terdiri dari tingkat pengetahuan dan tingkat kepemilikan modal memiliki peran terhadap pembuatan keputusan masyarakat untuk membangun kebun kelapa sawit pada periode kedua 2006-2011 yakni periode masuknya komoditas kelapa sawit. Pada periode ketiga akhir 2011 faktor internal sudah tidak berperan karena pada dasarnya transmigran tidak memiliki pilihan selain bergabung dengan plasma perusahaan. Tingkat pengetahuan masyarakat Unit Pemukiman Transmigran tentang kebun kelapa sawit dilihat dari beberapa aspek yakni: a pengetahuan tentang keuntungan dan kerugian menanam kelapa sawit yang akan mempengaruhi minat petani, b pengetahuan tentang tatacara pembukaan kebun, c tatacara perawatan kebun, dan d pengetahuan tentang proses pasca produksi atau pasca kebun. Tingkat pengetahuan yang tinggi pada empat hal di atas akan mempengaruhi keputusan masyarakat untuk membangun kebun kelapa sawit atau dapat disebut dengan beralih komoditas. Berikut tabel yang menjelaskan hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat dengan keputusan membangun kebun dan keberlanjutan kebun tersebut. Tabel 6.4 Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit, 2011 Keterangan: Hasil Uji Korelasi Rank Spearman sebesar 0,278 sangat kuat dan searah dengan nilai p0,001alpha 5 persen . Tabel di atas menjelaskan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan masyarakat UPT Simpang Nungki dengan keputusan membuka kebun dan keberlanjutan kebun kelapa sawit tersebut. Sebagian besar masyarakat dengan pengetahuan rendah tidak membuka kebun. Hanya enam KK yang memiliki Tidak Membangun Kebun Persen Membangun Tidak Bertahan Persen Membangun Kebun Bertahan Persen Jumlah Persen Rendah 20 54,05 11 29,73 6 16,22 37 100,00 Sedang 19 65,52 6 20,69 4 13,79 29 100,00 Tinggi 23 33,82 20 29,41 25 36,76 68 100,00 Keputusan Petani KK Tingkat Pengetahuan pengetahuan rendah dan dapat bertahan. Hal tersebut dikarenakan tahun pembangunan kebun belum terlalu lama atau sekitar tahun 2009 dan 2010. Masyarakat dengan tingkat pengetahuan sedang sebagian besar tidak membuka lahan. Sedangkan masyarakat dengan tingkat pengetahuan perkebunan tinggi memiliki sebaran yang hampir merata pada ketiga keputusan yakni keputusan tidak membangun kebun, membangun kebun tidak bertahan, dan membangun kebun yang bertahan sampai sekarang. Sebagian besar masyarakat dengan tingkat pengetahuan tinggi tidak membuka kebun dengan alasan tidak memiliki modal yang cukup. Modal awal yang didapatkan dari program pengembangan perkebunan kelapa sawit dari Dinas Perkebunan pada awal pengenalan terhadap komoditas kelapa sawit seperti bibit dan pupuk telah dijual karena minat terhadap kelapa sawit masih rendah. Keterbatasan modal juga menjadi masalah bagi masyarakat dengan tingkat pengetahuan tinggi namun kebun kelapa sawit yang dibangunnya tidak dapat bertahan. Hal ini diperkuat dengan pendapat SHD 46 tahun di bawah ini 19 . “Pengetahuan sangat berpengaruh terhadap keadaan kebunnya mbak. Karena yang punya pengetahuan tinggi kan tau apa yang harus dilakukan pada pohon kelapa sawit yang bermasalah. Kalo yang pengetahuannya rendah yah cuma ikut-ikut aja. Pas awal juga pengetahuan penting, banyak orang lokal tidak membangun kebun karena belum tahu kalo kelapa sawit itu menguntungkan” Uji korelasi menggunakan Rank Spearmen menunjukkan bahwa korelasi antara pengetahuan dengan keputusan membuka kebun dan keberlanjutannya adalah sebesar 0,278 sangat kuat dan searah dengan nilai p0,001alpha 5 persen artinya korelasi signifikan. Hasil tersebut menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang kuat dan positif antara tingkat pengetahuan masyarakat dengan keputusan membangun kebun dan keberlanjutan kebun kelapa sawit masyarakat. Hal tersebut berarti, jika tingkat pengetahuan yang dimiliki masyarakat tinggi maka keputusan untuk membangun kebun kelapa sawit juga tinggi. Proses pembangunan kebun kelapa sawit memerlukan modal yang besar terutama jika dilakukan secara mandiri. Keadaan lahan gambut dan berawa seperti 19 Hasil wawancara transmigran pada tanggal 15 April 2011 di mayoritas wilayah Kabupaten Barito Kuala memerlukan biaya yang lebih besar yakni sekitar 30-40 juta rupiah sampai kebun tersebut dapat berproduksi. Namun, masyarakat UPT Simpang Nungki memiliki keadaan yang berbeda, karena sebagian masyarakat pernah menjadi peserta program pengembangan perkebunan kelapa sawit yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan wilayah setempat. Bantuan yang diberikan tersebut meringankan beban biaya yang harus ditanggung petani dalam proses pembukaan dan perawatan kebun. Namun, beberapa kasus berbeda terjadi di masyarakat UPT Simpang Nungki. Masyarakat yang memiliki minat rendah untuk membangun kebun kelapa sawit memilih untuk menjual bibit dan pupuk yang diberikan oleh Dinas Perkebunan melalui program pengembangan perkebunan kelapa sawit. Kemudian, saat minat dan pengetahuan tentang perkebunan kelapa sawit meningkat, modal yang dimiliki tidak memadai untuk membangun dan merawat kebun tersebut. Hama tikus yang meningkat pada saat air pasang dan kebakaran lahan yang terjadi pada musim kemarau tahun 2008 dan 2009 menyebabkan banyak kebun kelapa sawit masyarakat rusak. Ketersediaan modal sangat diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut. Berikut disajikan tabel yang menjelaskan hubungan antara tingkat kepemilikan modal dengan keputusan pembukaan kebun dan keberlanjutan kebun. Tingkat pengetahuan yang rendah dalam mengatasi masalah yang dihadapi petani juga membuat modal yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki keadaan kebun kelapa sawit semakin besar. Tabel 6.5 Hubungan antara Kepemilikan Modal dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit, 2011 Keterangan: Hasil Uji Korelasi dengan Rank Spearman sebesar 0,238 sangat kuat dan searah dengan nilai p0,003alpha 5 persen. Tabel di atas menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat kepemilikan modal dengan keputusan petani membangun kebun tidak signifikan. Petani dengan tingkat kepemilikan modal rendah lebih memilih untuk tidak membangun kebun kelapa sawit. Hanya lima kelapa keluarga dengan tingkat kepemilikan modal Tidak Membangun Kebun Persen Membangun Tidak Bertahan Persen Membangun Kebun Bertahan Persen Jumlah Persen Rendah 24 80,00 1 3,33 5 16,67 30 100,00 Sedang 24 37,50 21 32,81 19 29,69 64 100,00 Tinggi 14 35,00 15 37,50 11 27,50 40 100,00 Keputusan Petani KK Tingkat Kepemilikan Modal rendah namun kebun kelapa sawit yang dibangunnya dapat bertahan hingga saat ini. Hal itu dikarenakan waktu pembangunan kebun belum terlalu lama, sehingga kebun dapat bertahan hingga sekarang. Selain itu, beberapa transmigran meminjam modal kepada kerabat atau menjual aset yang dimiliki di daerah asal untuk terus memperbaiki kondisi kebun yang dibangunnya. Masyarakat pada kelompok tingkat kepemilikan modal sedang memiliki jumlah yang paling besar dibandingkan dua kelompok lain. Hal yang lebih berpengaruh terhadap keputusan dan keberlanjutan kebun kelapa sawit adalah akses terhadap modal yang dimiliki oleh petani. Akses terhadap modal dapat berupa akses kepada lembaga keuangan yang menyediakan modal, sehingga kebutuhan modal dapat selalu terpenuhi. Petani yang memiliki akses terhadap modal akan dapat membangun dan mempertahankan kebun kelapa sawit yang telah di bangun, walaupun pengetahuan dan modal yang dimiliki rendah. Sebagian kelompok masyarakat memilih untuk tidak membangun kebun. Alasan yang diungkapkan adalah karena tidak memiliki modal yang cukup untuk membangun dan merawat kebun, namun sebagian besar masyarakat dengan tingkat kepemilikan modal sedang memilih untuk membangun kebun walaupun sebagian tidak bertahan. Kebun yang tidak dapat bertahan disebabkan pengetahuan yang dimiliki kurang sehingga modal yang dimiliki tidak dapat digunakan untuk mempertahankan kebun yang telah dibangun. Hal serupa juga terjadi pada kelompok masyarakat dengan tingkat kepemilikan modal tinggi. Pada kelompok ini, kebun yang dimiliki sekitar 15 keluarga tidak dapat bertahan sampai sekarang. Pengetahuan yang rendah tetap menjadi alasan utama. Perasaan takut gagal setelah terjadi bencana kebakaran lahan dan serangan hama tikus setiap air pasang membuat masyarakat pada tingkat kepemilikan modal tinggi tidak memperbaiki kebun kelapa sawitnya. Bahkan, 14 kepala keluarga dengan tingkat kepemilikan modal tinggi memilih untuk tidak membangun kebun kelapa sawit. Hasil uji korelasi menggunakan rank spearman antara tingkat kepemilikan modal dengan keputusan membuka kebun sebesar 0,238 sangat kuat dan searah dengan nilai p0,003alpha 5 persen artinya korelasi signifikan. Artinya, tingkat kepemilikan modal dan keputusan membuka kebun dan keberlanjutannya memiliki hubungan yang kuat dan positif. Jika tingkat kepemilikan modal tinggi maka keputusan untuk membangun kebun kelapa sawit juga tinggi. Tingkat pengetahuan dan kepemilikan modal merupakan faktor yang saling berkaitan. Berikut disajikan tabel hubungan antara faktor internal dengan keputusan petani. Tabel 6.6 Hubungan antara Faktor Internal dengan Keputusan Membangun Kebun Kelapa Sawit, 2011 Keterangan: Hasil Uji Korelasi dengan Rank Spearman sebesar 0,397 sangat kuat dan searah dengan nilai p0,000alpha 5 persen. Tabel di atas menunjukkan bahwa faktor internal memiliki hubungan yang signifikan dengan keputusan petani membangun kebun kelapa sawit. Petani dengan tingkat pengetahuan dan kepemilikan modal sedang lebih memilih untuk tidak membuka kebun atau membuka kebun namun tidak bertahan. Hasil uji korelasi Rank Spearman antara faktor internal dengan keputusan membuka kebun sebesar 0,397 sangat kuat dan searah dengan nilai p0,000alpha 5 persen artinya korelasi signifikan. Alasan lain yang mempengaruhi keputusan petani untuk tidak membuka kebun dapat dijelaskan melalui ciri-ciri inovasi. Komoditas kelapa sawit adalah hal baru bagi masyarakat UPT Simpang Nungki. Sebagian petani memutuskan tidak membangun kebun kelapa sawit walaupun memiliki modal yang cukup dan memiliki kesempatan untuk mempelajari tentang kebun kelapa sawit. Masyarakat menilai kelapa sawit memiliki keuntungan relatif, kesesuaian, kemungkinan diamati dan kemungkinan di coba yang rendah. Hal ini dikarenakan belum ada kebun kelapa sawit yang menghasilkan, bahkan kebun yang dimiliki perusahaan. Masyarakat juga menganggap bahwa kebun kelapa sawit memiliki kerumitan yang tinggi sehingga petani tidak membangun kebun kelapa sawit. Kasus kebun yang gagal semakin membuktikan tingginya kerumitan membangun kebun kelapa sawit. Tidak Membangun Kebun Persen Membangun Tidak Bertahan Persen Membangun Kebun Bertahan Persen Jumlah Persen Rendah 26 76,47 2 5,88 6 17,65 34 100,00 Sedang 34 40,48 32 38,09 18 21,43 84 100,00 Tinggi 2 12,50 2 12,5 12 75,00 16 100,00 Keputusan Petani KK Faktor Internal

6.4 Ikhtisar