mengalami pemindahan kepemilikan dan pergantian manajemen. Kondisi tersebut membuat realisasi pembangunan kebun plasma PT PBB sampai menjadi
terhambat. Masuknya dua perusahaan besar di sekitar wilayah Desa Simpang Nungki membawa informasi baru tentang komoditas dan kebun kelapa sawit
kepada masyarakat Desa Simpang Nungki. Sumber lain pengetahuan masyarakat tentang perkebunan dan komoditas
kelapa sawit adalah dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Barito Kuala melalui program pengembangan perkebunan. Program tersebut bernama
“Sharing Bibit Kelapa Sawit” untuk luasan 75 hektar. Dana pelaksanaan program ini berasal dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan tingkat I Provinsi Kalimantan
Selatan dan tingkat II Kabupaten Barito Kuala. Bantuan tersebut berupa dana pembersihan lahan, saprodi herbisida, pertisida, dan pupuk, pembuatan
gundukan, pemasangan ajir, dana penanaman, dan bibit kelapa sawit. Sosialisasi tentang perkebunan kelapa sawit terkait keuntungan, tata cara penanaman dan
perawatan beberapa kali dilakukan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan Tingkat I Kalimantan Selatan sebelum pembagian bibit dan lainnya. Hal ini membuat
masyarakat yang awam tentang kelapa sawit mulai mengenal kelapa sawit sebagai komoditas baru yang menguntungkan.
Pemerintah Kecamatan Cerbon juga berpendapat bahwa perkebunan kelapa sawit memiliki dampak positif terhadap kemajuan ekonomi masyarakat.
Oleh karena itu pemerintah Kecamatan Cerbon juga membuat beberapa program untuk mendukung program pengembangan perkebunan kelapa sawit. Program-
program tersebut adalah studi banding petani dan beberapa tokoh desa-desa yang ada di wilayah Barito Kuala ke petani kelapa sawit Kecamatan Pelaihari yang
telah lebih dulu menanam kelapa sawit. Interaksi masyarakat dengan karayawan perkebunan juga menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat.
5.2.2 Sistem Kepemilikan dan Penguasaan Lahan Tenurial System
Sertifikat tanah masyarakat UPT Simpang Nungki diserahkan secara bertahap pada tahun 2010, 2011, dan 2012 sesuai dengan tahun kedatangan.
Beberapa kasus perginya transmigran dari lokasi transmigrasi membuat pembagian sertifikat pada tahun 2010 sedikit terhambat. Dinas Transmigrasi
Kabupaten Barito Kuala meminta Badan Pertanahan Nasional BPN untuk menahan sertifikat masyarakat sampai pendataan selesai. Hal tersebut
berpengaruh pada terhambatnya perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kebun plasma di UPT Simpang Nungki karena belum semua masyarakat memiliki
sertifikat tanah. Harga tanah semakin tinggi. Pendatang mulai masuk ke Desa Simpang
Nungki seiring dengan berkurangnya jumlah transmigran yang bertahan. Masyarakat menyadari nilai tanah akan semakin tinggi karena minat orang luar
Desa Simpang Nungki untuk memiliki lahan juga semakin tinggi. Hal tersebut berkaitan dengan wacana pembangunan PT PBB yang akan di laksanakan pada
akhir tahun 2011. Pada tahun 2005-2009 pembukaan lahan besar-besaran di lakukan oleh tokoh masyarakat dan dibagikan kepada masyarakat lokal. Masing-
masing kepala keluarga mendapatkan bagian dua kapling tanah. Pada akhir tahun 2009, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang melarang pembukaan lahan
negara. Seluruh rumah tangga yang ada di Desa Simpang Nungki khususnya di
Unit Pemukiman Transmigrasi UPT memiliki lahan pertanian. Data hasil sensus rumah tangga petani di UPT Simpang Nungki, status sosial masyarakat
terdiferensiasi dalam beberapa lapisan atau kategori yang terdiri dari lapisan tunggal dan lapisan majemuk seperti pada masa sebelum masuknya komoditas
kelapa sawit. Struktur agraria masyarakat pada periode ini masih menunjukkan gejala stratifikasi dan belum mengarah para proses polarisasi. Lapisan status
tersebut adalah sebagai berikut: 1. petani pemilik, yakni petani yang menguasai lahan melalui pola pemilikan tetap
sebanyak 22 rumah tangga; 2. pemilik+penggarap, yakni petani yang menguasai lahan tidak hanya melalui
pemilikan tetap tetapi juga melalui pemilikan sementara mengusahakan lahan orang lain melalui sistem bagi hasil sebanyak dua rumah tangga;
3. pemilik+buruh tani, yakni petani yang menguasai lahan melalui pemilikan tetap. Selain itu, petani ini juga menjadi buruh tani di lahan orang lain dan
perkebunan besar swasta untuk menambah penghasilan sebanyak 99 rumah tangga; dan
4. pemilik+penggarap+buruh tani, yakni petani yang menguasai lahan tidak hanya melalui pemilikan tetap tetapi juga sementara menggarap lahan orang lain
dengan sistem bagi hasil sebanyak 11 rumah tangga. Selain itu, masyarakat juga menjadi buruh tani di lahan orang lain dan perkebunan swasta untuk
menambah penghasilan. Jumlah petani tiap lapisan di UPT Simpang Nungki dapat dilihat pada tabel di bawah ini tabel 5.2.
Jenis lapisan-lapisan tersebut sama dengan jenis lapisan pada masa sebelum masuknya komoditas kelapa sawit, namun jumlah petani tiap lapisan mengalami
perubahan. Informan kunci Pak SRI 46 tahun berpendapat bahwa setelah adanya perusahaan kelapa sawit, sulit mencari buruh pertanian karena banyak yang
menjadi buruh lepas di perusahaan
11
. Para petani juga lebih memilih untuk menjadi buruh lepas perusahaan dibandingkan menjadi penggarap lahan
masyarakat lokal. Berikut data kategori petani berdasarkan status kepemilikan lahannya.
Tabel 5.2 Jumlah Petani Berdasarkan Kategori Petani, 2011 Kategori Petani
Jumlah KK Persentase
Petani Pemilik 22
16,42 Petani Pemilik + Penggarap
2 1,49
Petani Pemilik + Buruh Tani 99
73,88 Petani Pemilik +Penggarap + Buruh Tani
11 8,21
Jumlah 134
100,00 Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas petani UPT Simpang Nungki
berstatus sebagai petani pemilik+buruh tani. Buruh tani yang dimaksud dalam kasus ini bukan hanya buruh tani di lahan masyarakat yang lain tetapi juga buruh
lepas di perkebunan besar swasta yang letaknya tak jauh dari UPT Simpang Nungki. Sawah di Desa Simpang Nungki adalah sawah pasang surut yang umur
tanamnya selama enam bulan sehingga masyarakat memiliki banyak waktu luang saat masa tanam selesai dan memasuki masa tunggu. Masyarakat yang menanam
kelapa sawit juga memiliki banyak waktu luang. Waktu luang tersebut dapat di manfaatkan untuk bekerja sebagai buruh lepas perkebunan kelapa sawit.
11
Hasil wawancara dengan warga transmigran UPT Simpang Nungki pada tanggal 5 Mei 2011
Penghasilan dari pekerjaan sebagai buruh sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kepemilikan lahan masyarakat mengalami sedikit pergeseran pada masa ini. Transmigran yang meninggalkan Unit Pemukiman Transmigrasi UPT
Simpang Nungki mencapai lebih dari 50 persen dari jumlah transmigran awal. Hasil survei kepemilikan lahan tercatat hanya 121 kepala keluarga transmigran
yang masih menetap di UPT Simpang Nungki. Sehingga dapat diketahui sekitar 204 transmigran meninggalkan kompleks transmigrasi. Sebagian besar
transmigran yang berasal dari luar Kalimantan Selatan memilih untuk mengalihkan kepemilikan melalui ganti rugi kepada transmigran maupun
pendatang. Berikut data transmigran UPT Simpang Nungki berdasarkan kepemilikan lahan.
Tabel 5.3 Jumlah Transmigran Berdasarkan Luas Lahan, 2011
Luas Lahan Ha Jumlah KK
Persentase 0,5
1 0,83
1,5 108
89,26 2 - 4,5
11 9,08
15 1
0,83 Jumlah
121 100,00
Tabel di atas menunjukkan ada satu KK yang mengalami penurunan luas lahan dan satu KK yang mengalami peningkatan luas lahan yang signifikan hingga
mencapai 15 hektar. Pemilik 15 hektar lahan transmigran ini juga memiliki lahan kapling yang dibeli dari masyarakat lokal
12
. Kepergian transmigran dengan beragam alasan membuka kesempatan bagi masyarakat bermodal besar untuk
memperluas lahan yang dimiliki. Hal tersebut juga membuka kesempatan bagi pendatang untuk masuk. Berdasarkan data hasil sensus kepemilikan lahan di UPT
Simpang Nungki tercatat sembilan kepala keluarga yang datang dan tinggal di pemukiman transmigrasi pada tahun 2009 dan 2010. Pendatang masuk ke wilayah
UPT Simpang Nungki karena daerah tersebut dianggap strategis. Letaknya yang tidak jauh dari Kota Kabupaten dan berada di wilayah perkebunan kelapa sawit
12
Pemilik lahan terluas ini adalah EDS 50 tahun yang menjadi informan dalam penelitian ini. Bapak EDS adalah tokoh masyarakat Simpang Nungki dan juga Kasie Bina Ketentraman dan
Ketertiban Masyarakat Kecamatan Cerbon. Hasil wawancara tanggal 5 Mei 2011.
membawa daya tarik ekonomi bagi para pendatang. Berikut data kepemilikan lahan pendatang pada tahun 2011.
Tabel 5.4 Jumlah Pendatang Berdasarkan Luas Lahan, 2011
Luas Lahan Ha Jumlah KK
Persentase 1,5
7 77,78
2 1
11,11 2,5
1 11,11
Jumlah 9
100,00
Tabel di atas menyebutkan bahwa sebagian pendatang memiliki lahan seluas 1,5 hektar. Lahan ini diperoleh melalui proses ganti rugi lahan transmigran yang pergi
meninggalkan kompleks transmigrasi. Pembeli lahan transmigran yang pergi meninggalkan UPT Simpang Nungki tidak hanya pendatang yang menetap di
wilayah tersebut. Pemilik modal yang berdomisili di Kabupaten Banjar juga membeli lahan transmigran. Hal ini sesuai dengan penuturan informan, yakni Pak
SRI 46 tahun: “Sejak adanya wacana pembangunan kebun plasma,
orang luar seperti Banjar dan sekitarnya banyak yang membeli lahan transmigran dan lahan kapling. Dari
seluruh lahan yang ditinggal pergi pemiliknya, sekitar 25 persen yang mengalami ganti rugi. 10 persen diganti rugi
orang-lokal dan transmigran lokal seperti Pak EDS, 10 persen diganti rugi oleh orang luar tadi, dan 5 persen di
ganti rugi oleh sesama transmigran atau pendatang.” Status kepemilikan lahan UPT Simpang Nungki secara umum belum
banyak mengalami perubahan. Sebagian besar transmigran yang berasal dari daerah sekitar Simpang Nungki meninggalkan lahan transmigrasi tanpa adanya
pemindahan kepemilikan, sehingga hak milik lahan masih atas nama transmigran tersebut. Hal tersebut dikarenakan masyarakat lokal lebih nyaman untuk tinggal di
daerah asal dengan fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan wilayah UPT yang baru dibuka. Sebagian transmigran yang kembali ke daerah asal tidak bisa
menjual lahan karena peraturan dan ketentuan terkait transmigrasi menyebutkan bahwa peralihan kepemilikan lahan transmigran di bawah 10 tahun merupakan hal
yang illegal. Selain itu, pembeli kurang berminat membeli lahan transmigrasi
yang belum bersertifikat. Namun beberapa kasus proses transfer kepemilikan lahan transmigran tetap berlangsung. Sistem transfer kepemilikan yang ada di
Desa Simpang Nungki umumnya waris dan ganti rugi. Sistem waris yang dilakukan di Desa Simpang Nungki adalah sistem waris yang sesuai dengan
aturan agama Islam, karena seluruh masyarakat Desa Simpang Nungki beragama Islam. Pada wilayah transmigrasi sistem transfer kepemilikan yang umum
dilakukan adalah ganti rugi. Data di lapang menyatakan bahwa hampir 25 persen lahan transmigrasi sudah mengalami pindah kepemilikan. Proses transfer
kepemilikan lahan transmigrasi ini terjadi secara sembunyi-sembunyi. Harga lahan pada masa ini sudah semakin tinggi baik lahan transmigran
maupun lahan kapling. Lahan transmigran yang sudah memiliki sertifikat memiliki harga sekitar Rp 3.500.000,- sampai Rp 5.000.000,- sesuai dengan
keadaan lahan. Wacana pembangunan kebun plasma perusahaan dan dibangunnya jalan antar kabupaten membuat daya tarik bagi pemilik modal di luar Desa
Simpang Nungki untuk membeli lahan masyarakat.
5.2.3 Sistem Kelembagaan Tenancy System