Pengertian dan Jenis-jenis Istishna` Landasan Hukum dan Operasional Istishna`

Prinsip Objektivitas Realibilitas pengukuran digunakan dengan dasar bias personal Berhubungan erat dengan konsep ketakwaan, yaitu pengeluaran materi maupun non materi untuk memenuhi kewajiban Prinsip Materi Dihubungkan dengan kepentingan relatif mengenai informasi pembuatan keputusan Berhubungan dengan pengukuran dan pemenuhan tugaskewajiban kepada Allah, masyarakat dan individu Prinsip Konsistensi Dicatat dan dilaporkan menurut pola GAAP Dicatat dan dilaporkan secara konsisten sesuai dengan prinsip yang dijabarkan oleh syariah Prinsip Konservatisme Pemilihan teknik akuntansi yang sedikit pengaruhnya terhadap pemilik Pemilihan teknik akuntansi dengan memperhatikan dampak baiknya terhadap masyarakat Sumber: Muhammad, Akuntansi Syariah, 2005.

B. Istishna`

1. Pengertian dan Jenis-jenis Istishna`

Istishna` berarti minta dibuatkan. Secara terminologi muamalah istishna` adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau komoditas tertentu untuk pembelipemesan. Istishna` merupakan salah satu bentuk jual beli dengan pemesanan yang mirip dengan salam yang merupakan bentuk jual beli forward kedua yang diperbolehkan oleh syariah. Jika perusahaan mengerjakan untuk memproduksi barang yang dipesan dengan bahan baku dari perusahaan, maka kontrakakad istishna` muncul. Agar akad istishna` menjadi sah, harga harus ditetapkan di awal sesuai kesepakatan dan barang harus memiliki spesifikasi yang jelas yang telah disepakati bersama. Dalam istishna` pembayaran dapat dimuka, dicicil sampai selesai, atau dibelakang, serta istishna` biasanya diaplikasikan untuk barang industri dan manufaktur. Sedangkan pada salam pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima 15 Secara umum akad jual-beli istishna` yang dipraktekkan dalam bermuamalah ada dua macam, yaitu jual-beli istishna` dan istishna` pararel. Perbedaan pada keduanya yaitu terletak pada penggunaan sub-kontaktor, yakni bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan sub-kontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna` kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak baru ini yang kemudian dikenal sebagai istishna` pararel. 16 15 Arcarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, Cet ke-1, hal. 97 16 M. Syafi`i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, Cet.ke-1, hal.115

2. Landasan Hukum dan Operasional Istishna`

Mengingat jual-beli istishna` merupakan lanjutan dari jual-beli salam maka secara umum landasan syariah yang berlaku pada jual-beli salam juga berlaku pada jual-beli istishna`. Sungguhpun demikian, para ulama membahas lebih lanjut keabsahan jual-beli istishna` dengan penjelasan berikut. Menurut mazhab Hanafi, jual-beli istishna` termasuk akad yang dilarang karena bertentangan dengan semangat bai` secara qiyas. Mereka mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak penjualan harus ada dan dimiliki oleh penjual, sedangkan pada istishna` , pokok kontrak itu belum ada atau tidak dimiliki penjual. Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak jual-beli istishna` atas dasar istihsan karena alasan-alasan berikut ini: 17 a. Masyarakat telah mempraktikkan jual-beli istishna` secara luas dan terus menerus tanpa ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan jual- beli istishna` sebagai kasus ijma` atau konsensus umum b. Di dalam syariah di mungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas berdasarkan ijma` ulama c. Keberadaan jual-beli istishna` didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang sering kali memerlukan barang yang tidak tersedia dipasar sehingga mereka cenderung melakukan kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka 17 M. Syafi`i Antonio, hal.114 d. Jual-beli istishna` sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama tidak bertentangan dengan nash atau aturan syariah. Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa jual-beli istishna` adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga kemungkinan terjadi perselisihan atas jenis dan kualitas barang dapat diminimalkan dengan pencantuman spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material pembuatan barang tersebut. a. Landasan Hukum Ulama fiqh berpendapat, bahwa yang menjadi dasar diperbolehkannya transaksi istishna` adalah firman Allah yang terdapat pada beberapa surat dibawah ini, yaitu: 1 QS. Al-Baqarah, ayat 282, yang berbunyi: ی ی ی ﻡ ی ی ﻡ Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya......” Al-Baqarah : 282 Dalam kaitan ayat tersebut, Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi jual-beli salam, yang dalam hal ini dalil ini pun menjadi acuan pada jual-beli istishna`. Hal ini pun tampak jelas dari ungkapan beliau, “Saya bersaksi bahwa salaf salam yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya”. Ia lalu membaca ayat tersebut diatas. 2 QS. Al-Baqarah, ayat: 275, yang berbunyi: + , - . , Artinya : “Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” Selain dari firman Allah yang telah disebutkan diatas, ulama fiqh juga mengemukakan beberapa sabda Rasulullah yang menjadi dasar diperbolehkannya istishna`, yaitu 1 HR. Imam yang Enam, yang berbunyi: 18 0 1 23ﺱ ﻡ 5 1 ﻡ 63 - , , 7 8 ﻡ 63 - 1 ﻡ 63 - 9 : ; = ? “Barangsiapa yang melakukan salaf salam,hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui” 2 HR. Ibnu Majah, yang berbunyi: A B A C ; D E D E F ﺱ E A 3 1 3 ; , ﺱ 3 G H3 IJ + 1 , K F L , : 3 M . N 6 18 M. Syafi`i Antonio, hal.108 3 O 3 + 9 F , ﻡ ; ? “Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah mudharabah, dan mencampur gandum dengan terigu untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”. H.R. Ibnu Majah, No.2280, Kitab Tijarah b. Landasan Operasional Adapun yang menjadi landasan hukum diperbolehkannya istishna` dalam dunia perbankan, yaitu: 1 UU No. 792 jo UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 2 Lampiran 6: SK BI No. 3234SK tgl.120599 Dir BI, tentang Prinsip- prinsip Kegiatan Usaha Perbankan Syariah 3 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 617PBI2004 Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, pasal 34. 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 624PBI2004 Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, pasal 36. 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor: 746PBI2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, pasal 15, 16 dan 17. 6 Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 06DSN-MUIIV2000 tertanggal 4 April 2000 tentang Jual Beli Istishna` 7 Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 22DSN-MUIIII2004 tertanggal 28 Maret 2004 tentang Jual Beli Istishna` Pararel

3. Rukun dan Syarat-syarat Istishna`