tetapi kadang-kadang dukun ini menyarankan orang yang sakit pergi ke puskesmas setempat atau ke dokter kecamatan.
2.7.3 Sarana Jalan Desa Ibu kota Kecamatan Mandau adalah Kota Duri berada di tepi jalan raya
Lintas Riau. Jarak pemukiman masyarakat Sakai di Jembatan II menuju kota Duri sekitar 30 km. Kendaraan umum berupa bus besar dan kecil yang melalui jalan
raya ini dapat digunakan oleh orang-orang yang berpergian dari Kota Duri baik ke arah Medan maupun ke arah Pekanbaru. Waktu tempuh Kota Duri – Kota
Pekanbaru dengan bus adalah sekitar 3 jam bila tidak sering berhenti mengambil atau menurunkan penumpang selama perjalanan.
Kota Duri dan Desa Petani dihubungkan oleh jalan desa serta jalan PT Chevron yang telah dikeraskandiaspal. Sarana angkutan umum yang
menghubungkan kedua tempat tersebut belum ada walaupun kendaraan roda empat dapat melewatinya. Jalan desa ini ditempuh orang dengan menggunakan
sepeda motor, sepeda atau jalan kaki. Waktu tempuh Jembatan II-Kota Duri dengan sepeda motor adalah sekitar 45 menit.
2.8 Bahasa
Lubis 1985 menjelaskan nama Sakai berasal dari tujuh anak-anak sungai dari sungai yang lebih besar yaitu sungai Samsam. Nama suku Sakai pertama kali
diucapkan oleh suku pendatang itu ketika mereka membuka perkampungan sesuai
Universitas Sumatera Utara
dengan nama anak sungai yang mereka temukan. Bahasa yang mereka pakai juga mereka namai bahasa Sakai.
Bahasa Sakai berfungsi sebagai alat pergaulan sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga dan dalam lingkungan masyarakat suku Sakai. Di samping
itu, karena keterbatasan pendidikannya, suku Sakai menggunakan bahasa Sakai itu sebagai alat perhubungan dengan masyarakat yang berlainan etnis. Hal ini juga
berlangsung karena bahasa Sakaiitu dapat juga dipahami oleh masyarakat di daerah itu. Perlu diketahui bahwa struktur dan kosa kata bahasa Sakai itu hampir
sama dengan struktur dan kosa kata bahasa Melayu maupun bahasa Minangkabau yang banyak dipakai di daerah Mandau.
Bahasa Sakai juga berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah dan lambang identitas daerah. Ternyata, suku Sakai apabila berhubungan dengan
masyarakat yang berlainan etnis dengan mereka, mereka merasa bangga memakai bahasa Sakai. Suku Sakai tidak pernah menggunakan bahasa lain jika bertemu
dengan orang sedaerahnya walaupun orang itu telah merantau ke negeri lain. Jika orang itu menggunakan bahasa lain, dia dianggap sebagai orang yang sombong.
Bahasa Sakai juga berfungsi sebagai alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah. Dalam upacara-upacara adat, kesenian, suku Sakai
menggunakan bahasa Sakai sebagai alat pengembangan kebudayaan. Akan tetapi bahasa Sakai tidak digunakan dalam kegiatan proses belajar mengajar di sekolah.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA DAN EKONOMI
3.1 Pola Pemukiman
Rumah Orang Sakai terletak di Jalan Jurong Jembatan II RW 09 Dusun Buluh Manis, Desa Petani, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Rumah-rumah berdiri dipinggir sungai, diatas bekoan, berjajar dijalan kampung, dan di atas timbunan serbuk kayu yang sudah menjadi tanah di tengah
perkampungan. Mereka tidak memiliki surat kepemilikan tanah. Menurut masyarakat tanah tempat mereka mendirikan rumah adalah tanah masyarakat. Di
sepanjang jalan Jembatan II itu terdapat aliran pipa minyak dan gas milik PT Chevron Pacific Indonesia CPI. Jembatan II pun hanya berjarak beberapa km
dari Kilang Minyak Pematang milik PT Chevron Pacific Indonesia CPI.
Gambar 1: Pemukiman Orang Sakai di pinggir sungai Jembatan II
Rumah Orang Sakai seluruhnya berbentuk panggung dengan 16 atau 18 tiang penyangga. Hal ini dikarenakan rumah Orang Sakai didirikan dipinggir
Universitas Sumatera Utara
sungai dan diatas bekoan sehingga rawan banjir pada saat musim hujan. Konstruksi rumah panggung di Jembatan II tergolong permanen, dalam arti
berdinding dan berlantai papan serta beratap seng. Beberapa rumah tergolong semipermanen, dalam arti berdinding dan berlantai papan serta beratap terpal.
Sedang beberapa rumah lagi tergolong nonpermanen, dalam arti berlantai papan namun dinding dan atapnya terpal.
Ukuran rumah beragam antara lain 4 x 6 meter, 5 x 6 meter atau 6 x 10 meter. Tiang-tiang penyanggah rumah menggunakan kayu merah. Sedangkan
untuk dinding dan lantai menggunakan kayu kelakok. Kayu merah dan kayu kelakok yang dipilih karena kayu tersebut kuat dan tahan lama. Biasanya bisa
tahan sampai 15 tahun. Rumah Orang Sakai yang menggunakan atap dan dinding terpal biasanya adalah milik mereka yang mempunyai rencana akan pindah.
Mereka pindah karena akan mencari kayu ditempat lain.
Gambar 2: Pemukiman Orang Sakai yang berada diatas sungai
Universitas Sumatera Utara
Sebuah rumah pada umumnya terdiri dari ruang tamu yang sekaligus untuk ruang menonton televisi, dapur dan hanya memiliki satu kamar. Sebagian
Orang Sakai menggunakan kasur untuk alas tidur dan sebagian lainnya menggunakan tikar saja. Ada pula sebagian dari mereka yang tidur diatas tempat
tidur dari besi atau kayu. Lantai rumah dan dinding rumah tidak dapat tersusun rapat. Terdapat lobang-lobang atau celah-celah di antara papan-papan yang
disusun untuk lantai maupun dinding rumah sehingga angin dengan bebas berhembus masuk kedalam rumah. Selain itu hal tersebut menimbulkan
banyaknya nyamuk yang masuk jika malam tiba. Ada pula Orang Sakai yang menggunakan karpet plastik untuk lantai rumah mereka.
Orang Sakai Jembatan II melakukan aktivitas mandi, mencuci dan buang air seluruhnya di sungai. Rumah-rumah yang berada di pinggir sungai atau diatas
bekoan membuat rakit untuk keperluan mandi, mencuci, dan buang air. Sedangkan rumah yang jauh dari sungai pada umumnya tidak memiliki kamar
mandi dan mereka juga ke sungai. Rakit dibuat dari kayu yang dapat terapung misalnya kayu meranti, kayu pisang-pisang, dan kayu mentangur.
Gambar 3: Kegiatan mencuci dan mandi di atas rakit
Universitas Sumatera Utara
Perlengkapan rumah tangga berupa meja dan kursi tamu, lemari dan peralatan dapur hanya dimiliki lengkap oleh sekitar 5 rumah saja. Penduduk masih
memasak dengan kompor yang berbahan bakar minyak tanah. Setiap rumah menggunakan mesin untuk penerangan ketika malam hari. Seorang warga yang
mengusahakan disel listrik biasanya digunakan untuk 2-3 rumah. Diesel listrik dihidupkan pukul 18.30wib dan akan dimatikan pukul 21.30wib. Terkadang siang
hari pun hidup pukul 13.00wib atau 14.00wib. Sedangkan sebagian rumah warga lain menggunakan lampu minyak tanah untuk penerangan. Padahal terlihat
dipinggir jalan tiang-tiang listrik milik PT CPI. Pemilikan peralatan elektronik yang hampir seluruh warga miliki adalah
radio dan televisi. Kedua alat itu lebih dimanfaatkan sebagai sarana hiburan dari pada penambah pengetahuan. Sementara itu sarana transportasi pribadi yang
merata adalah sepeda motor. Rumah Orang Sakai yang umumnya memiliki ruangan yang kurang luas ataupun yang berada diatas sungai dan bekoan tidak
bisa menyimpan kendaraan roda dua mereka di rumah. Mereka akan menitipkan kendaraan roda dua tersebut kepada tetangga atau sanak keluarga yang rumahnya
lebih luas atau berada di tanah yang datar. Pada masa lampua rumah panggung Orang Sakai di Jembatan II ini
dibangun diatas tiang-tiang yang tingginya kira-kira 130 cm sampai dengan 180 cm. Tiang-tiang rumah dan gelar-gelarnya kayu-kayu penyangga yang
memanjang dan melintang terbuat dari kayu-kayu gelondongan yang besar dan kecil, sedangkan lantai dan dinding rumah terbuat dari kulit kayu. Atap rumah
terbuat dari jalinan daun kapau, daun rumbia, atau alang-alang. Rumah dibangun tanpa menggunakan paku. Semua hubungan-hubungan atau sambungan-
Universitas Sumatera Utara
sambungan di antara bahan-bahan material rumah diikat dengan tali yang terbuat dari rotan.
Gambar 4: Bentuk perumahan yang dibuatkan oleh pemerintah
Pada tahun 2010 pemerintah membuat rumah layak huni yang diperuntukan oleh Orang Sakai yang ada di Jembatan II. Rumah layak huni ini
dibangun di ujung perkampungan. Rumah ini terdiri dari 16 rumah yang saling berhadapan. Rumah tersebut terbuat dari kayu dan berpondasikan beton. Jendela
rumah menggunakan kaca nako. Rumah ini terdiri dari 2 kamar dan 1 dapur. Rumah tersebut berjarak sekitar 1 meter antar rumah. Kayu-kayu untuk halaman
rumah tidak tersusun rapi membuat pengguna jalan harus berhati-hati. Ketinggian panggung rumah sekitar 2 meter. Terlihat di bawah rumah panggung ini sampah-
sampah yang dibuang sembarangan. Terdapat tangki air berukuran 1000 liter pada setiap rumah. Akan tetapi tangki-tangki tersebut dijual oleh Orang Sakai dan
hanya sedikit sekali yang tidak menjualnya.
Universitas Sumatera Utara
Rumah yang dibangun oleh pemerintah diperuntukkan bagi Orang Sakai yang memiliki rumah tidak layak huni dan Orang Sakai yang sudah lama tinggal
di Jembatan II. Akan tetapi rumah tersebut dengan mudahnya mereka perjual belikan. Salah satunya seperti Ibu Erma yang mendapat rumah karena Ia adalah
seorang janda dan terbilang sudah lama tinggal di Jembatan II. Ibu Erma menjual rumah tersebut pada kerabatnya karena rumah yang Ia tempati masih dapat
diperbaiki. Ada pula Orang Sakai yang menempati rumah tersebut dan akan pindah ke tempat lain, maka mereka membongkar bangunan rumah dan dibawa
untuk dibangun kembali di tempat lain.
Gambar 5: Rumah jatah yang dibongkar pemiliknya untuk dibawa ke tempat lain.
Dalam 1 rumah biasanya terdiri dari suami, istri dan anak yang belum menikah. Beberapa dari mereka lebih senang tidur di ruangan tamu yang sekaligus
ruangan menonton televisi ketimbang di dalam kamar. Kamar biasanya hanya untuk tempat menyimpan kasur dan bantal saja.
Universitas Sumatera Utara
Apabila ada yang akan membangun rumah biasanya mereka akan mengerjakannya secara gotong royong. Ada pula yang membangun sendiri
pondasinya terlebih dahulu, dan seterusnya akan dikerjakan secara bersama-sama. Rumah yang dikerjakan secara bergotong royong ini akan selesai hanya dalam 1-2
hari saja.
Gambar 6: Warga yang sedang membangun pondasi rumah Dalam hal memperbaiki rumah biasanya hanya dikerjakan oleh anggota
keluarga. Perbaikan rumah biasanya pada tiang-tiang penyanggah rumah. Tiang penyanggah rumah yang sudah mulai lapuk akan digantikan dengan tiang
penyangga yang baru. Cara menggantikannya adalah dengan meletakkan tiang penyanggah disebelah penyangga tiang yang lapuk tersebut. Kayu dipukul-pukul
menggunakan broti hingga sejajar dengan penyangga tiang yang sudah lapuk. Sedangkan tiang penyangga rumah yang lapuk tidak diambil melainkan dibiarkan
saja. Untuk mengganti tiang penyanggah rumah ini tidak bisa dikerjakan oleh 1 orang dan biasanya dikerjakan oleh 2 orang.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 7: Mengganti tiang penyanggah rumah Rumah yang atap dan dindingnya menggunakan terpal biasanya hanya
bertahan 3 bulan. Setelah 3 bulan maka mereka harus mengganti dengan terpal yang baru. Menurut mereka sebenarnya rugi apabila menggunakan atap terpal.
Mereka harus mengeluarkan biaya secara rutin untuk membeli terpal. Akan tetapi karena pertimbangan mereka akan pindah suatu saat maka mereka tetap memilih
atap terpal. Rumah yang beratap terpal ini berlantai papan dan sebagian rumah tidak
mempunyai pintu serta jendela. Jika ingin masuk dan keluar rumah tinggal membuka lipatan tenda di bagian depan. Rumah ini hanya berisi peralatan masak
dan kasur gulung atau tikar untuk tidur. Sedangkan untuk mencuci, mandi dan buang air mereka akan melakukannya di sungai atau di bekoan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 8: Salah satu rumah Orang Sakai yang beratap terpal
Di pusat pemukiman Orang Sakai terdapat bangunan-bangunan umum yaitu sebuah Masjid, sebuah gedung sekolah dasar dan sebuah lapangan olah raga
untuk bermain sepak bola. Selain itu, ada pula beberapa warung es dan jajanan. Bangunan Masjid berada di tepi jalan Jembatan II, berseberangan dengan
bangunan sekolah dasar. Masjid di Jembatan II sudah ada sejak 1990-an namun letaknya tidak di tempat yang sekarang. Masjid awalnya berdiri di pinggir sungai
sebelah jembatan. Bangunan Masjid awalnya berbentuk panggung yang sangat sederhana tanpa kubah yang menyerupai bangunan rumah dengan tinggi tiang
penyanggah sekitar 1 meter. Selain itu keadaan Masjid ini juga sangat memprihatinkan. Masjid akan goyang apabila dipenuhi jamaah. Kayu untuk
membangun Masjid ini berasal dari Bapak Bahtiar pemilik kilang kayu dan ketua RW 9.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 9: Masjid di Jembatan II Pada tahun 1996 bangunan Masjid dipindahkan di tengah pemukiman
Orang Sakai. Masjid dibangun akan tetapi tidak permanen. Hingga kemudian Masjid tersebut diperbaiki dan dibangun secara permanen dengan dinding dan
lantai papan serta beratap seng. Bangunan Masjid baru ini tidak berbentuk panggung melainkan bangunan yang rapat dengan tanah. Selain itu ada sarana
yang cukup menunjang para jamaah di Masjid ini, antara lain berupa pengeras suara dengan sumber mesin disel, mimbar dan tikar atau karpet plastik. Luas
bangunannya sekitar 10 x 13 meter persegi berada pada areal tanah yang luasnya sekitar 20 x 20 meter persegi. Masjid dipagar keliling dengan menggunakan kayu
sehingga memperindah Masjid. Masjid ini dapat menampung sekitar 100 jemaah. Pembangunan Masjid keseluruhannya dibiayai oleh Bapak Bahtiar.
Lapangan olah raga yang ada di pemukiman Orang Sakai di Jembatan II adalah lapangan sepak bola. Lapangan ini terletak di tengah pemukiman, tepatnya
dibelakang Masjid dan didepan pekarangan bangunan Sekolah Dasar yang baru. Lapangan sepak bola ini berupa tumpukan serbuk kayu yang sudah padat. Anak-
Universitas Sumatera Utara
anak dan remaja Sakai setiap sore sekitar pukul 16.30 wib berlatih sepak bola. Tim anak-anak Sakai sering bertanding dengan tim sepak bola lain. Misalnya
bertanding dengan tim sepak bola dari kilometer 6 Rangau dan kilometer 10 Rangau. Mereka bertanding biasanya di lapangan bola kilometer 10 Rangau. Tim
anak-anak Sakai jika bertanding biasanya mendapat juara satu. Pada tahun 2010 kegiatan olah raga bola voli juga dilakukan oleh Orang
Sakai di Jembatan II. Mulai dari remaja hingga orang dewasa suka bermain bola voli. Peralatan bola voli di beli oleh Ibu Erleni istri Bapak Bahtiar begitu juga
dengan Netnya. Tim bola voli warga Jembatan II juga sering bertanding dan biasanya mendapat juara dua. Akan tetapi sejak Ibu Erleni masuk penjara kegiatan
bola voli tidak dilakukan lagi. Bahkan setelah Ibu Erleni keluar dari penjara kegiatan ini masih tidak dilakukan lagi.
Gambar 10: Anak-anak dan remaja bermain sepak bola Terdapat 9 warung di Jembatan II, yang terdiri dari 3 warung menjual
keperluan sehari-hari seperti beras, gula pasir, garam, cabai, bawang, dan minyak tanah. Sedangkan selebihnya adalah warung jajanan dan es. Pasar di jalan Rangau
Universitas Sumatera Utara
menjadi ramai pada hari pekan yaitu Selasa dan Jum’at. Para ibu sewaktu-waktu berbelanja keperluan dapur ke pekan selasa dan jum’at tersebut. Orang Sakai di
Jembatan II jarang pergi ke Kota Duri karena jaraknya yang jauh. Selain itu ada pula setiap pagi pedagang keliling yang menjajakan sayur dan ikan masuk ke desa
ini.
3.2 Mata Pencaharian