Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk hidup yang di ciptakan oleh Allah SWT di dunia ini saling berpasang-pasangan, sebagaimana firman Allah SWT : Surat Al Hujarat ayat 13 : ﻥ ﻥ + , - . 0 1 2 3 23 - 4 5 67 89 : ; = Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Q.S Al-Hujarat 49:13 Dan di dalam Hadist Tirmidzi dari Abi Ayyub, Rasulullah SAW bersabda : ? - : 3 - A B A 0 : C 0 3 D : E . F G H1 I 37 4 JK 1 L 0 = 1 Artinya : Empat perkara yang merupakan sunnah para Nabi yaitu : celak, wangi- wangi, siwak dan kawin HR. Turmuzi 1 Abu Isa Muhammad Ibnu Saurah, Sunan Al-Turmudzi, Beirut; Dar Al- Fikr,1994 juz ke 2, H 342 Ada beberapa kebutuhan alami manusia yang perwujudannya hanya sah apabila dilakukan melalui lembaga perkawinan. Dimana pun dimuka bumi ini dikenal adanya lembaga perkawinan. Walaupun dengan tata cara, aturan, perwujudan upacara yang berbeda, esensi perkawinan tetap sama, mengesahkan perwujudan beberapa kebutuhan alami manusia. Namun sebagaimana kita ketahui bersama arti dan tujuan perkawinan dapat dibaca dari Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut: “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang MahaEsa”. 2 Kalau materi pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tersebut di atas dirumuskan ke dalam arti dan tujuan, maka yang dimaksud dengan arti perkawinan adalah: “Ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri”. Sedangkan yang dimaksud dengan tujuan perkawinan adalah: “membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan adanya perkawinan tersebut, maka timbullah hubungan hukum antara seorang wanita dan seorang pria untuk hidup bersama sebagai suami istri yang sah menurut hukum. Dengan demikian undang-undang mengatur tentang syarat-syarat 2 Undang-undang no 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Departemen Agama. Jakarta 2004 Hal 1 perkawinan, sahnya suatu perkawinan, cara pencatatan perkawinan, akibat dari suatu perkawinan dan segala sesuatunya yang mungkin timbul karena adanya suatu perkawinan. 3 Yang dimaksud dengan ikatan lahir batin seperti yang dimaksud dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tersebut tidak cukup dengan ikatan lahir batin semata-mata,akan tetapi harus perpaduan antara keduanya. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat yang mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup sebagai suami isteri secara formal. Ikatan batin adalah merupakan hubungan yang tidak formal yaitu merupakan ikatan yang tidak dapat dilihat. Tahap pertama untuk mengadakan perkawinan, ialah ikatan yang diawali dengan adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama dalam suatu ikatan. Selanjutnya dalam hidup bersama itu tergambar adanya suatu kerukunan dan seterusnya ikatan batin itu akan merupakan inti dari suatu ikatan lahir. Terjalinnya ikatan lahir dengan ikatan batin secara terpadu merupakan fondasi yang kokoh untuk membentuk serta membina suatu keluarga yang bahagia serta kekal, karena tujuan suatu perkawinan pada hakekatnya adalah agar perkawinan berlangsung seumur hidup. Dalam perkembangannya ikatan perkawinan mengalami poerubahan bentuk, yaitu tidak hanya berupa ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita 3 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia. Penerbit Bina Aksara. Jakarta. 1987. Hal.10 sebagai suami isteri, tetapi timbulnya suatu ikatan antara seorang pria dengan lebih dari seorang wanita sebagai isteri. Gejala ini timbul atas kehendak pria itu sendiri secara murni maupun adanya problematika rumah tangga yang terjadi di sebabkan oleh sang isteri yang tidak dapat melakukan kewajiban-kewajiban sebagai seorang isteri 4 Masalah poligami, dahulu pernah menjadi suatu pembicaraan masyarakat ramai dikarenakan ada satu pihak yang menyetujui dan di lain pihak ada yang tidak setuju dengan dicantumkannya poligami itu sebagai salah satu asas dalam undang- undang perkawinan yang hendak diciptakan. Kemudian menjadi suatu kenyataan, bahwa poligami merupakan salah satu asas, tetapi dengan suatu pengecualian, yaitu yang hanya ditujukan terhadap orang yang menurut hukum dan agama yang dianutnya mengizinkan bagi seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang serta hanya dalam keadaan tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu pula. 5 Selanjutnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memberikan batasan yang cukup ketat mengenai pengecualian itu, yaitu berupa suatu pemenuhan syarat disertai dengan alasan-alasan yang dapat diterima serta harus mendapat izin dari pengadilan, sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 3 sampai dengan pasal 5 Undang-Undang Perkawinan No I Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 4 Salam sholihin, Meninjau masalah poligami Jakarta; Tinta Mas, 1959 Hal 34 5 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika.Op.cit hal 15 Hal yang merupakan alasan yang dapat memungkinkan seorang suami diperbolehkan untuk beristeri lebih dari seorang di atur dalam pada pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai berikut: 6 1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri 2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3. Isteri tidak dapat melahirkan Salah satu alasan yang tersebut di atas, pasal 5 Undang-undang Perkawinan, Menyatakan: “Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 1 UU ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Adanya persetujuan dari suamiisteri-isteri; 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; 3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. . 7 Hal ini diulang kembali pada pasal 41b, c dengan tambahan penjelasan bahwa: 1. Dalam hal persetujuan lisan dari isteriisteri, harus diucapkan di depan sidang pengadilan 6 Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan , Departemen R.I Jakarta 2004 7 Ibid 2. Dalam hal adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya. Suami harus memperlihatkan surat keterangan tentang penghasilan. 8 3. Dalam hal adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Menurut K. Wantjik Saleh, “Suami harus mengemukakan suatu pernyataan atau janji dalam bentuk yang akan ditetapkan kemudian maksudnya rumusan dan cara pengucapan pernyataanjanji itu 9 Merujuk pada pernyataan K. Wantjik Saleh tersebut, bahwa perjanjian yang bentuknya akan ditetapkan kemudian rumusannya maupun cara pengucapannya, hal ini dapat secara lisan maupun tulisan. Namun perlu diingat bahwa “yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan disini tidak termasuk ta’lik talak”. 10 Dalam hal ini jaminan bahwa suami sanggup berlaku adil pada umumnya hanya berupa pernyataan dari pihak suami di depan pengadilan baik secara lisan maupun tertulis. Sebagai salah satu syarat untuk mengajukan izin poligami, Jadi hanya berupa sebuah perjanjian tertulis secara sepihak. Karena sifatnya yang hanya sekedar pernyataan atau janji yang dapat dikatakan sekedar formalitas maka hal ini seringkali tidak diacuhkan oleh para pihak yang bersangkutan, baik dari pihak suami bahkan pihak para isteri. 11 8 Peraturan Pemerintah. No. 9 Tahun 1975, Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Penerbit DEPARTEMEN AGAMA JAKARTA 2004 Hal 89 9 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia. Penerbit Ghalia Indonesia. 1976. Hal.23 10 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Op.Cit, Hal.26. 11 K. Wantjik Saleh, Op.Cit Hal 27 Padahal dikemudian hari dapat mengakibatkan timbulnya pihak yang merasa diperlakukan tidak seimbang dalam perkawinan poligami. Maka bukan tidak mungkin, adanya formalitas tersebut dapat melemahkan kedudukan hukum pihak yang merasa dirugikan dalam hal ini pada umumnya adalah pihak isteri. Karena memandang perlu dalam sebuah perkawinan poligami dibuat suatu aturan yang sifatnya memberatkan dan dapat melindungi pihak yang merasa dirugikan berupa sehelai surat perjanjian untuk poligami, untuk mencegah adanya pihak yang merasa dirugikan dan agar pihak tersebut dapat memperjuangkan hak-haknya kembali di samping memiliki kekuatan hukum yang sejajar dengan pihak suami. Tentunya hal yang demikian harus dilakukan perjanjian-perjanjian tersendiri diantara kedua belah pihak. Dengan tujuan agar masing-masing pihak paham akan hak dan kewajibannya. Karena bila perjanjian-perjanjian dalam pelaksanaan poligami tidak disepakati, tidak menutup kemungkinan akan timbul perceraian. Dimana suami sebagai pengayom dan sebagai kepala rumah tangga tidak dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya, yang berakibat salah satu pihak dari isteri mendapat perlakuan yang tidak seimbang atau menjadi pihak yang merasa dirugikan. Hal inilah yang sering terjadi dalam masyarakat, dimana seorang suami yang telah memiliki isteri lagi meskipun telah membuat pernyataan sanggup berlaku adil untuk berpoligami, masih tetap melakukan pelanggaran terhadap pernyataan sanggup berlaku adil di depan Pengadilan, dalam arti kata sang suami ingkar janji terhadap isterinya. Padahal, diharapkan dengan pernyataan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak maka rumah tangga yang dijalani suami dengan memiliki dua isteri atau lebih akan berjalan dengan baik. Hal ini bisa terwujud bila suami bisa berlaku adil sesuai dengan kesepakatan yang telah diambil. 12 Mungkin, karena hal tersebut pulalah, hingga saat ini, pada umumnya, wanita- wanita Indonesia asli yang beragama Islam, sebagian besar merasa keberatan terhadap sistem poligami, meskipun peraturan hukum Agama Islam memperbolehkan mempunyai empat orang isteri bagi seorang laki-laki. Salah satu jalan atau kemungkinan yang meringankan keberatan-keberatan dan memperkecil adanya sistem poligami, yaitu dengan hukum agama islam yang mengajarkan bahwa: “beristeri lebih dari seorang hanya diperbolehkan, apabila si suami mampu dan berniat sungguh-sungguh untuk memperlakukan semua isterinya dengan cara yang sama dan sepantasnya”. Dalam hal ini Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika berpendapat, “hal ini berarti bahwa seorang suami harus memberi nafkah kepada isteri-isterinya dengan pantas dan tidak ada perbedaan di antara isteri-isterinya. Demikian pula dalam hal mencintai secara layak. Karena itulah sebenarnya dimaksudkan oleh Hukum Agama Islam adalah agar seorang laki-laki yang beristeri lebih dari seorang haruslah terlebih dahulu mempertimbangkan kemampuan diri dalam hal materi maupun pemenuhan janji untuk bersikap adil dalam segala hal dan bukan sekedar memenuhi kebutuhan hawa nafsu belaka” 13 12 Abdul Manan, dan M Fauzan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006. Hal 31 13 8 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op. Cit. Hal.53 Kemudian mengapa kita tidak berusaha untuk membenahi semua aturan- aturan yang mudah untuk disimpangi. Bagaimana caranya agar pihak isteri yang dalam hal ini sering menjadi pihak yang dirugikan, juga punya kekuatan untuk menggugat hak-haknya yang selama ini tidak didapatkannya dari suami yang telah berlaku tidak adil kepadanya. Tentunya agar pihak isteri menjadi pihak yang sejajar dengan pihak suami di pengadilan maka pihak isteri harus memiliki bukti yang cukup kuat pula, yaitu berupa sehelai surat perjanjian perkawinan untuk poligami yang telah disepakati bersama baik sebelum, sesudah dan setelah terjadinya perkawinan poligami tersebut diperlakukan tidak adil karena takut diceraikan oleh suami. Namun pendapat ini juga bukan berarti bahwa penulis menganjurkan perceraian sebagai jalan keluar dari semua permasalahan di atas. Berangkat dari apa yang penulis paparkan seperti di atas maka penulis bermaksud dan tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam wujud skripsi dengan judul: “Perjanjian Dalam Perkawinan Poligami Studi Anlisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Nomor 184Pdt.GPA.Bks

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah