76
peran ekonomi walaupun pengolahan minyak kita udah tutup tapi gak ada berpengaruh. Lagian gaji disini cukup membiayai
saya dan keluarga.” Wawancara, 15 November 2014
Dari hasil wawancara yang dilakukan bersama pegawai Pertamina tersebut menunjukkan bahwa peran ekonomi dikeluarga mereka tidak mengalami
perubahan. Tidak terjadinya perubahan peran ekonomi berrkaitan dengan tidak adanya terjadi perubahan yang berarti pada mata pencaharian mereka sehingga
tidak ada penuruan pada pendapatan dalam keluarga mereka. Akibat dari tidak adanya perubahan peran ekonomi dalam kelurag yang dialami sehingga aktifitas
peran ekonomi pada keluarga yang masih bekerja di Pertamina tidak ada mengalami perubahan.
4.2.3. Perubahan Tingkat Kriminalitas
Bila melihat kebelakang awal terjadinya perubahan tingkat kriminalitas pada msyarakat kota Pangkalan Brandan dikarenakan membludaknya
pengangguran yang timbul akibat tidak tersedianya lapangan pekerjaan menjadi salah satu faktor utama penyumbang munculnya kriminalitas. Sebagian besar
kasus kriminalitas bermula dari persoalan ekonomi yang menerpa kalangan tidak mampu.
Di tengah situasi sulit yang dialami masyarakat pangkalan Brandan saat itu yang menjadi titik permasalahn ekonominya terletak pada penutupan
pengolahan minyak UP 1 karena sebagai penyumbang tebesar bagi pendapatan daerah. Kisah yang sama juga terjadi pada pabrik triplek yang berada di kawasan
Besitang yaitu RGM akibat kehabisan bahan baku dimana keduanya merupakan
Universitas Sumatera Utara
77
tempat penyerapan tenaga kerja terbanyak. Kemerosotan hingga mengakibatkan penutupan bagi kedua industri tersebut merupakan pukulan besar bagi kehidupan
sosial ekonomi masyarakat hingga berdampak pada peningkatan kriminalitas. Kondisi perekonomian yang semakin merosot menimbulkan banyaknya
pengangguran yang terjadi di mana-mana dikarenakan kurangnya lapangan pekerjaan. Dengan alasan demikian, banyak orang yang mengambil jalan pintas
bahkan melakukan hal negatife lainnya. Pernyataan ini seperti yang di ungkapkan oleh bapak Eduard, berikut peuturannya:
“waktu Pertamina tutup bahkan sebelum tutup sekitar tahun 2005 memang banyak kriminalitas. Apalagi ekonomi disitu lagi
surut-surutnya mau minjam kadang orang belum tentu kasih, jadinya pikiran orang sempit, orang jadi suka nekat-nekatan,
cari jalan pintas, yang setau saya yang paling sering itu pencurian apalagi komplek udah banyak kosong. Dulu kita kalu
mau olahraga maen voli biasanya dompet atau HP kita tinggal di jok kereta aman aja sekarang banyak yang kehilangan,
pencurian asset-aset pertamina jugak misalnya besi-besi, instalasi listrik. Kalok sekarang rumah gak di tutup bagus-bagus
juga kadang masuk pencurik, pagi berangkat kerja sorenya kabel dah ada yang hilang karena kalau masuk komplek inikan
bebas.”
Diawal-awal penutupan pengolahan minyak dan RGM maraknya aksi ini tidak terlepas dari himpitan persoalan ekonomi terlebih lagi tidak adanya
kemampuan dan kesiapan untuk bekerja pada bidang lain, semakin sulitnya dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga niat jahat dari orang-orang yang
tidak bertanggung jawabpun semakin besar. Keadaan tersebut tentunya meningkatnya gangguan keamanan atau ketidak nyamanan bagi masyarakat
terkhususnya para pedagang.
Universitas Sumatera Utara
78
Ketidak nyamanan dalam berdagang itu sendiri lebih dirasakan oleh etnis tionghoa karena mereka merupakan bagian dari minoritas terlebih lagi masalah
yang terjadi antara nelayan dan pemilik tambak. Selain penutupan pengolahan minyak Pertamina dan RGM masalah ini juga semakin membuat tingkat
kenyamanan etnis tionghoa dalam berdagang semakin tidak terelakkan. Hal ini seperti yang terungkap dari penuturan yang disampaikan oleh pak Zainal, berikut
ini: “kenapa konflik ini bisa terjadi awalnya cina ini punya tambak
udang sama kepiting tapi entah kenapa tambaknya gak menghasilkan trus gagal panen jadi mereka beralih jadi carik
ikan dengan pakek bot atau katrol dan sampek masuk ke daerah nelayan jadinya nelayan jadi gak dapat ikan. Karena merasa
tidak senang dengan permainan cina maknya ribut-ribut dan orang itu curik ikannya trus cina lapor ke polisi makanya jadi
ada konflik”
Kekisruhan ini menimbulkan gejolak besar yang menyebabkan daerah tertentu yang semula ada di huni oleh etnis tionghoa kini sama sekali tidak
ditempati lagi terlebih lagi daerah nelayan dan bahkan kecendrungan sekarang kenyamanan untuk perdagangan mereka lebih dirasa jauh lebih baik berjualan di
daerah yang condong bergeser ke komunitas perdagangannya bercampur dengan milik pribumi jika dibandingakan keseluruhannya adalah etnis tionghoa karena
tingkat kenyamanan yang jauh lebih baik dan daerahnya yang tidak terlalu dekat dengan daerah-daerah yang memiki tingkat kriminalitas yang tinggi hal inilah
yang mengakibatkan semakin banyaknya pergeseran tempat untuk berdagang. Ini dapat dilihat dari semakin banyaknya pergeseran tempat berjualan yang berpusat
pada daerah jalan masjid saja seperti penuturan pak Rusli, berikut penuturaannya: “sekarang kalau untuk etnis tionghoa tinggal di daerah pesisir
udah gak ada lagi kayak Perlis, Sei bilah paling yang dekat
Universitas Sumatera Utara
79
dengan daerah nelayan cuma daerah Babalan. Terus kalau daerah yang dekat nelayan ini kan banyak preman, banyak
uang-uang siluman jadi kalau etnis tionghoa yang berdagang misalnya di jalan Masjid, Kartini, Wahidin bukaknya bisa
sampek maleman karena itu tadi gak terlalu takut mana tau ntah ada perang lagi, brantam lagi karena banyak premannya trus
lebih rame karena banyak juga pribumi yang jualan apalagi di jalan Masjid jadi kita berani kalau cuman etnis tionghoa aja
kayak di Babalan kalau sampek malam kayaknya resikonya besar.”
Selain itu masyarakat masih tidak terima dengan penutupan pengolahan minyak yang telah di putuskan oleh pihak Pertamina, karena dengan penutupan
tersebut mereka kehilangan mata pencaharian mereka. Ketidakpuasan masyarakat Pertamina ini diwujudkan mereka dalam aksi demonstrasi. Mereka menganggap
Pertamina meutup UP 1 karena adanya politik kotor yang dilakukan oleh kelompok tertentu. Peristia ini seperti yang ungkapkan oleh bapak Sarnedi dalam
wawancaranya berikut ini: “malah sempat sewaktu sudah ada kabar penutupan pengolahan
minyak di Brandan mau di tutup, itu masyarakat demon. Orang itu fikir ini sengaja di tutup, minyak masih ada tapi ditutup,
anggapan mereka ada pihak tertentu yang bermain, taunya nguras aja, banyaklah anggapan orang itu yang buruk-buruk. Itu
seingat saya dua kali demon ke Pertamina sampai akhirnya kami jelaskan ke salah satu perwakilan demonstran alasan tutupnya
karena memang kapasitas minyak kita minim sekali sehingga diharuskan untuk tutup. Barulah mereka gak demon lagi. ”
Di satu sisi pihak Pertamina menganggap masyarakat tidak paham akan kondisi pengolahan minyak yang sedang terjadi karena cadangan minyak yang
semakin menipis dan alat-alat pengolahan minyak yang sudah semakin tua. Pihak Pertamina mengungkapkan jika UP 1 tetap di operasikan maka yang ada hanya
kerugian karena memaksa cadangan minyak yang tidak cukup untuk di produksikan dalam skala besar tetapi bagi masyarakat lainnya penutupan
Universitas Sumatera Utara
80
merupakan kegagalan mereka dalam mengolah minyak dan eksploitasi terhadap SDA di Pangkalan Brandan.
Setelah aktifitas ekonomi sudah mulai terganggu maka kehidupan sosial masyarakat banyak mengalami perkelahian bahkan antar sesama warga
masyarakat hingga menimbulkan ketidak nyamanan. Bentuk ketidak nyamanan lainnya sendiri karena semakin banyaknya anak lajang yang pengangguran dan
sehingga preman-preman mulai menjamur. Pernyataan ini seperti yang diungkapkan oleh bapak B. Hutapea, berikut ini:
“setahu saya tingkat kriminalitas memang ada seperti perampokan, apalagi ini masalahnya gak duit berarti
pengangguran jadi kerjaannyapun gak ada jadi sukak malas- malasan, ke tempat hiburan malam, main judi, minum-minuman
keras jadi mabuk-mabuk jadi makin banyak preman makanya dulu sempat anak Brandan sering brantam, daerah yang dekat
dengan Tambun, Perlis, Babalan, begabung lawannya dengan yang dekat jalan Dempo, Wahidin, Sahyan. Lempar-lempar batu,
botol kaca, bawak parang kalok gak salah sekitar tahun 2005 atau 2006 itu hampir seringlah tapi untungnya udah gak lagi
karena udah ada dibuat perjanjian khusus sama polisi. Tapi kalau untuk masalah premannya bisa dibilang masih banyak.”
Walaupun preman-preman di Pangkalan Brandan semakin meningkat dan sempat terjadinya baku hantam antar daerah satu dengan daerah yang lainnya
ditambah lagi sempat terjadi aksi demonstrasi pasca penutupan Pertamina tapi hal untuk perkelahian yang sebelumnya sangat sering terjadi perlahan surut karena
sudah adanya tindakan tegas dari aparat keamanan serta di tambah lagi adanya pasukan Marinir semenjak memakai sebahagian dari wilayah Pertamina sebagai
markas mereka. Semenjak itu anatar wilayah yang bertikai bisa meredam tingkat
perkelahian yang terjadi meskipun pada daerah tertentu jadi rawan untuk dilewati
Universitas Sumatera Utara
81
terutama daerah pesisir seperti Sei bilah, Tambun, Perlis karena banyaknya tingkat kriminalitas yang masih terjadi. Hal ini seperti ungkapan yang di
sampaikan bapak Nanang, berikut ini: “sewaktu saya menjabat jadi camat memang kriminalitas
meningkat paling nampak itu anak lajang yang bandal-bandal, banyak pakek ganja, sabu, minuman keras, brantam, preman,
pencurian apalagi di komplek tapi memang sekarang udah berkurang apalagi brantam-brantamnya apalagi semenjak ada
Marinir udah agak kuranagn pasti orangkan gak brani.”
Akibat telah dibuat kesepakatan diantara pihak yang bertikai sebelumnya dan ditambah lagi kedatangn pihak Marinir yang memang sekarang bertugas di
Brandan mampu menyurutkan aksi-aksi brutal yang sebelumnya pernah terjadi. Untuk membuktikannya, ini dapat dilihat berdasarkan data yang diperoleh dari
Polri daerah Sumatera Utara, Resort Langkat, Sektor Pangkalan Brandan dalam JTP atau Jumlah Tindak Pidana berikut ini:
No Tabel 13 : Jumlah Tindak Pidana Sektor Pangkalan Brandan
Tahun Jumlah Tindak Pidana
1 2009
523 kasus 2
2010 461 kasus
3 2011
415 kasus 4
2012 374 kasus
5 2013
284 kasus Sumber: Kantor Polri Resort Langkat, Sektor Pangkalan Brandan
4.2.4. Kondisi Terkini Sosial Ekonomi dan Kota Pangkalan Brandan