Profil Penderita Tuberkulosis Paru Dengan Diabetes Mellitus Dihubungkan Dengan Kadar Gula Darah Puasa

(1)

PROFIL PENDERITA TUBERKULOSIS PARU

DENGAN DIABETES MELLITUS DIHUBUNGKAN

DENGAN KADAR GULA DARAH PUASA

TESIS

Oleh

ELY JULI SURYANI NASUTION

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT PARU

FK. USU / RSUP. H. ADAM MALIK

M E D A N


(2)

PROFIL PENDERITA TUBERKULOSIS PARU

DENGAN DIABETES MELLITUS DIHUBUNGKAN

DENGAN KADAR GULA DARAH PUASA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Spesialis Paru

Pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Departemen Ilmu Penyakit Paru FKUSU

Oleh

ELY JULI SURYANI NASUTION

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT PARU

FK. USU / RSUP. H. ADAM MALIK

M E D A N


(3)

LEMBARAN PERSETUJUAN

Judul Penelitian : PROFIL PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DENGAN

DIABETES MELLITUS DIHUBUNGKAN DENGAN KADAR GULA DARAH PUASA

Nama : ELY JULI SURYANI NASUTION

Program Studi : PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

PARU

Menyetujui Pembimbing

Dr. Hilaluddin S. DTM&H.SpP

NIP. 130 365 290

Koordinator Penelitian Program Pendidikan Dokter Spesialis Departemen Ilmu

Penyakit Paru

Departemen Ilmu Penyakit Paru Departemen Ilmu Penyakit Paru, FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan

Ketua, Ketua, Ketua,

Dr. Tamsil Syafiuddin, SpP(K) Dr. Hilaluddin S, DTM&H, SpP Prof. dr. H. Luhur

Soeroso, SpP(K)


(4)

ABSTRAK

Objektif :

Untuk mengetahui hubungan KGD puasa pada penderita TB paru dengan DM dengan luas lesi TB paru secara radiologi dan kepositivan BTA sputum.

Metode :

Rancangan penelitian deskriptik analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan di RSUP H.Adam Malik Medan. Sampel 94 penderita yang memenuhi kriteria inklusi. Sampel yang didapat dilakukan pemeriksaan BTA sputum direct smear, Foto toraks, KGD puasa. Analisis data dilakukan uji statistik dengan Korelasi Spearman.

Hasil :

Dari 94 orang sampel didapati adanya hubungan KGD puasa dengan BTA sputum (r:0,218). Hubungan radiologi dengan BTA sputum (r:0,642). Tidak ada hubungan KGD puasa dengan radiologi (r:0,072). Laki-laki lebih banyak dijumpai dibanding perempuan (63,8% vs 36,2%). Berdasarkan umur penderita didapati yang terbanyak adalah berumur 51-60 tahun yaitu 35 orang (37,2%).

Kesimpulan :

Dari penelitian ini hasil dijumpai ada hubungan antara KGD puasa dengan BTA sputum dan ada hubungan antara radiologi dengan BTA sputum.


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha

Pengasih lagi Penyayang, karena atas berkat karunia dan perkenan Mu-lah sehingga tulisan ini dapat diselesaikan.

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan dunia karena

Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Di

Indonesia, berdasarkan survei pada tahun 1979-1982 didapat prevalensi TB dengan sputum BTA (+) sebesar 0,29%. Berdasarkan laporan tahunan WHO, Indonesia menempati peringkat ketiga setelah India (26%) dan China (19%) dengan menyumbangkan 8% dari total kasus penyakit TB di dunia. Diperkirakan 95% penderita TB yang berada di negara berkembang, 75% nya adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun).

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko yang tidak berketergantungan untuk berkembangnya infeksi saluran napas bagian bawah. Salah satu komplikasi DM yang sering terutama menyerang jaringan paru.

Tulisan ini merupakan tugas akhir sebagai syarat dalam penyelesaian

Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Paru di Departemen Ilmu Penyakit Paru FK – USU/SMF Paru RSUP H. Adam Malik Medan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam karya tulis ini, namun demikian penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat.

Selama mengikuti pendidikan di Bagian Ilmu Penyakit Paru, penulis banyak mendapat bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Untuk kesemuanya


(6)

itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya kepada:

Yang terhormat Prof. Dr. H. Luhur Soeroso, SpP(K) sebagai Ketua Departemen Ilmu Penyakit Paru FK – USU/SMF Paru RSUP H. Adam Malik, yang telah banyak menyediakan waktu serta memberikan bimbingan dan pengarahan yang tak ternilai khususnya dalam menilai foto toraks dan kasus-kasus yang menarik/sulit dalam setiap melakukan koordinasi pelayanan.

Secara khusus kami mengucapkan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada Dr. Hilaluddin Sembiring, DTM&H, SpP sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Penyakit Paru FK – USU/SMF Paru RSUP H. Adam Malik sekaligus sebagai pembimbing penulis didalam tulisan akhir ini yang dengan penuh perhatian telah memberi bimbingan dan saran selama penulis mengikuti pendidikan sampai penyelesaian tulisan akhir ini.

Yang terhormat Dr. Zainuddin Amir, SpP(K), yang juga sebagai Sekretaris Bagian Ilmu Penyakit Paru FK – USU/SMF Paru RSUP H. Adam Malik, yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti pendidikan dan khususnya sangat membantu dalam hal pelaksanaan penelitian. Yang terhormat Dr. Pantas Hasibuan, SpP yang juga sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Penyakit Paru FK – USU/SMF Paru RSUP H. Adam Malik, yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti pendidikan dan khususnya sangat membantu dalam hal pelaksanaan penelitian.


(7)

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Tamsil Syafiuddin, SpP(K) yang banyak memberikan bimbingan ilmu selama penulis menjalankan pendidikan dan bimbingan dalam penulisan ini.

Yang Terhormat Dr. H. Sugito, SpP(K) yang telah banyak memberikan bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti pendidikan.

Terima Kasih kepada Dr. Sumarli, SpP(K) yang memberikan bimbingan dan masukkan selama penulis mengikuti pendidikan.

Terima Kasih kepada Dr. RS. Parhusip, SpP(K) dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan nasehat selama penulis mengikuti pendidikan, terutama di bidang perawatan intensif penyakit paru.

Yang terhormat Dr. Adlan L Sitompul, SpP, sebagai kepala BP-4 Medan, Dr. Syahlan SpP, sebagai Kepala UPF Paru RSUD Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan bimbingan selama penulis menjalani pendidikan.

Yang Terhormat seluruh Staf Pengajar di Bagian Ilmu Penyakit paru FK – USU beserta semua senior penulis, Dr. Widirahardjo, SpP, Dr. Fajrinur Syarani, SpP, Dr. PS Pandia, SpP, Dr. Parluhutan Siagian, SpP, Dr. Amira Permatasari Tarigan ,SpP, Dr. Bintang YM. Sinaga, SpP, yang telah memberi petunjuk dan dorongan moril selama kami mengikuti pendidikan ini.

Ucapan terimakasih kepada Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes. yang telah membimbing penulis dalam analisis statistik pada penelitian ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan kepada Dekan Fakultas Kedokteran USU Medan, Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, Direktur RSUD Dr. Pirngadi Medan, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menjalani


(8)

pendidikan Spesialisasi di Bagian Ilmu Penyakit Paru FK – USU, RSUP H. Adam Malik dan RSUD Dr. Pirngadi Medan dan dinas terkait dalam penelitian ini.

Ucapan terima kasih kepada Kakanwil Dep. Kes. RI. Wilayah Sumatera Utara yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengikuti program pendidikan spesialisasi.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman sejawat peserta Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Paru FK USU, serta pegawai Tata Usaha/ Paramedis Poliklinik/ Ruang Bronkoskopi/Ruang Inap Paru RSUP. H Adam Malik Medan, atas bantuan dan kerjasama yang baik selama penulis menjalankan pendidikan.

Terima kasih juga saya ucapkan kepada papa H. Dawamuddin Nasution dan almarhumah mama tercinta Hj. Aminah Rangkuti yang telah memberikan kasih sayang dari semenjak kecil hingga saat ini serta dorongan dan motivasi dalam menjalani pendidikan. Berkat doa dan restu beliau maka ananda dapat menyelesaikan pendidikan spesialisasi ini. Kepada kedua mertua H. Mustafa Majnu dan Hj. Nurlela Sitepu atas doa restu dan memberikan dorongan dan semangat kepada penulis hingga dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Terima kasih yang mendalam penulis ucapkan kepada suami tercinta Dr. Jenda Maulana serta anak – anak tersayang, Aisyah Amira Ginting, Amalia Asfa Ginting, Alya Afifa Ginting dan Arina Azzahra Ginting atas segala pengertian, kesabaran, perhatian dan pengorbanan yang telah diberikan selama penulis mengikuti pendidikan.


(9)

Terima kasih yang tak terhingga kepada kakanda Ely Damayanti Nst, Ely Adriati Nst dan abangda Husni sulaiman Nst, serta ipar-ipar atas dukungan moril dan materi yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan.

Sebagai manusia biasa, penulis menyadari tidak terlepas dari tutur kata dan tingkah laku yang kurang berkenan di hati selama menjalankan pendidikan, pada kesempatan ini penulis mohon maaf yang sedalam- dalamnya.

Medan, Juli 2007 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS

Nama : dr. Ely Juli Suryani Nasution

Tempat/Tgl.lahir : Medan, 31 Juli 1968

Agama : Islam

Alamat : Jl. Merpati No. 43A Medan

KELUARGA

Suami : dr. Jenda Maulana Ginting

Anak : 1. Aisyah Amira Ginting

2. Amalia Asfa Ginting 3. Alya Afifa Ginting 4. Arina Azzahra Ginting

PENDIDIKAN

1. SD Neg. Sekip Medan : Ijazah 1981

2. SMP Neg.6 Medan : Ijazah 1984

3. SMA Neg. 4 Medan : Ijazah 1987

4. Fakultas Kedokteran UISU : Ijazah 1996

RIWAYAT PEKERJAAN

1. Puskesma Siulak Gedang Kerinci : 1998 -2001

3. Peserta PPDS Ilmu Peny. Paru FK USU Medan : 2002 - sekarang

PERKUMPULAN PROFESI 1. Anggota IDI


(11)

KARYA ILMIAH

1. Menyajikan poster pada kongres Nasional X PDPI 2005 Solo

2. Menyajikan makalah pada pertemuan Ilmiah Khusus IX PDPI 2006 Batam

PARTISIPASI DALAM KEGIATAN ILMIAH 1. Panitia KONAS IX PDPI 2002 di Medan 2. Panitia TB Day 2003

3. Peserta KONKER PDPI X 2004 di Padang 4. Peserta KONAS PDPI X 2005 di Solo 6. Peserta PIK PDPI XI 2006 di Batam

TUGAS

Selama mengikuti pendidikan telah membawakan : 1. Jurnal Ilmiah : 12 buah

2. Sari Pustaka Dasar : 1 buah 3. Sari Pustaka : 4 buah 4. Laporan Kasus : 4 buah 5. Karya Ilmiah Tingkat Nasional : 2 buah


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……… i

RIWAYAT HIDUP………... ii

KATA PENGATAR………. iv

DAFTAR ISI………. ix

DAFTAR GAMBAR………. xi

DAFTAR TABEL………. xii

DAFTAR LAMPIRAN……….. xiii

BAB I PENDAHULUAN………..…... 1

1.1 Latar belakang……… 1

1.2 Perumusan masalah……….. 4

1.3 Tujuan penelitian……… 5

1.4 Manfaat penelitian……….. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……… 6

2.1 Tuberkulosis Paru………. 6

2.2 Diabetes Mellitus………... 7

2.2.1. Klasifikasi etiologi DM……….… 8

2.2.2.Patofisiologi DM………. 8

2.3 Diagnosis Tuberkulosis Paru……….. 9

2.4 Diagnosis Diabetes Mellitus……… 17

2.5 Patogenesis TB Paru pada penderita DM……… 18

2.6 Gangguan Mekanisme Pertahanan Tubuh TB Paru Dengan DM .………. 19

BAB III BAHAN & METODE PENELITIAN………...…. 22

3.1 Rancangan Penelitian………..… 22

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian……… 22

3.3 Subjek Penelitian ……… 22

3.3.1. Populasi ……… 22

3.3.2. Sampel ... 22

3.3.3. Jumlah Sampel ... 23


(13)

3.5 Definisi operasional……… 24

3.6 Variabel Penelitian ……… 27

3.6.1. Variabel bebas ……… 27

3.6.2. Variabel terikat ……… 27

3.7 Cara kerja……… 27

3.8 Pengolahan Data ……….. 28

3.9 Analisa data……… 29

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……… 30

4.1 Hasil penelitian………. 30

4.2 Pembahasan………. 37

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………. 40

5.1 Kesimpulan... 40

5.2 Saran... 40


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Disfungsi Sel Fagosit... 20

Gambar 2. Grafik Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin…… 32

Gambar 3. Grafik Karakteristik Berdasarkan Umur………... 33

Gambar 4. Karakteristik Berdasarkan Pendidikan………. 34

Gambar 5. Karakteristik BTA sputum……….. 35

Gambar 6. Karakteristik KGD puasa………... 36


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Klasifikasi etiologi DM... 8

Tabel 2. Hubungan KGD Puasa dengan BTA sputum... 30

Tabel 3. Hubungan KGD Puasa dengan Radiologi... 31

Tabel 4. Hubungan Radiologi dengan BTA sputum... 31

Tabel 5. Karakteristik Jenis Kelamin……….. 32

Tabel 6. Karakteristik Berdasarkan Umur………. 33

Tabel 7. Karakteristik Berdasarkan Pendidikan………... 33

Tabel 8. Karakteristik BTA sputum………. 34

Tabel 9. Karakteristik KGD Puasa………. 35


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Persetujuan Komite Etik Tentang Penatalaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan.

2. Lembaran Penjelasan Kepada Subjek ( Pasien ) 3. Persetujuan Pasien.


(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan dunia karena Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Tahun

1993, World Health Organization (WHO) mencanangkan kedaruratan global

penyakit TB, karena sebagian besar negara didunia penyakit TB tidak terkendali disebabkan banyaknya pasien yang tidak bisa disembuhkan terutama yang menular dengan basil tahan asam (BTA) positif.1,2 Di Indonesia, berdasarkan survei pada tahun 1979 -1982 dijumpai prevalensi TB dengan sputum BTA (+)

sebesar 0,29 %.3 Berdasarkan laporan tahunan WHO, Indonesia menempati

peringkat ketiga setelah India (26%) dan China (19%) dengan menyumbangkan 8% dari total kasus penyakit TB di dunia. Tercatat 9 juta TB paru kasus baru ditemukan tahun 2004 dengan proporsi 80% berada di 22 negara berkembang, yang rata-rata telah merengut nyawa 2 juta orang setiap tahunnya. Diperkirakan setiap detiknya 1 orang dapat terinfeksi kuman TB, setiap 4 menit terdapat 1 orang meninggal dunia karena TB. Di negara-negara yang sedang berkembang kematian oleh karena TB merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB yang berada di negara berkembang, 75% nya adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun).1,2,4 Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1980 dan 1986 disebutkan hasil bahwa TB menyebabkan kematian keempat di Indonesia.


(18)

Sementara itu SKRT 1992 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian kedua. Tahun 1995 merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan pada semua kelompok usia dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi.2,5

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu faktor risiko yang tidak berketergantungan untuk berkembangnya infeksi saluran napas bagian bawah. Salah satu komplikasi yang sering terutama menyerang jaringan paru. Askandar (1998) mendapatkan 12,8% dari penyakit DM mengalami komplikasi TB paru. Penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta, dari 126 penderita DM ternyata 9 orang menderita TB paru (7,15%). Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM. Penelitian TB paru pada DM di Indonesia masih cukup tinggi yaitu antara 12,8-42%.6,7

Survei di Philadelphia (1952), dari 3106 penderita DM dijumpai hasil 8,4% dengan TB paru berdasarkan pemeriksaan radiologis, dibanding dengan 71.767 kontrol non DM ditemukan hanya 4,3%.6 Penelitian oleh Ezung dkk melaporkan 100 pasien DM yang rawat jalan dan rawat inap di Imphal India, 27% didiagnosis TB paru secara radiologis dan 6% di diagnosis dengan pemeriksaan sputum. Dijumpai 11 pasien lesi minimal, 7 pasien lesi moderate, 9 pasien dengan lesi berat atau far advance.6,8

Penelitian oleh Root dilaporkan bahwa gambaran pasien TB paru dengan DM berbeda, yaitu terdapat peningkatan yang bermakna dari kavitas dan sputum BTA positif.8


(19)

Bacako F dkk melaporkan bahwa lesi pada bagian bawah paru lebih sering dijumpai pada penderita TB paru dengan DM dan pada wanita yang berusia > 40 tahun dengan perbandingan (17/81,21.0%) pada penderita DM dibanding (4/61,6.6%) pada penderita non DM.9

Kuman TB sangat senang berkembang biak pada tempat yang tekanan oksigennya tinggi, itu sebabnya gambaran kelainan radiologi pada TB paru lebih sering dijumpai pada lapangan atas. Pada pasien DM yang berusia lanjut terjadi perubahan pada lapangan bawah paru karena meningkatnya ventilasi tetapi perfusi menurun menyebabkan tekanan oksigen menjadi lebih tinggi dilapangan bawah paru. 10

Meningkatnya frekuensi TB paru pada penderita diabetes akan menyebabkan

angka kematian yang lebih tinggi secara bermakna.6 Pemeriksaan autopsi

pasien TB paru yang meninggal dunia diperkirakan 38-50% menderita DM.11

Meningkatnya lesi TB aktif pada penderita DM akan memperburuk keadaan penderita DM karena dibutuhkan dosis insulin yang lebih tinggi dari sebelumnya.6 Root menyatakan bahwa TB paru akan 10 kali lebih sering pada penderita DM. Penyelidikan yang dilakukan pada hewan dijumpai bahwa jika pankreasnya diambil maka akan lebih mudah terkena TB paru.11 Kadar insulin plasma berfluktuasi antara keadaan makan (tinggi insulin) dan keadaan puasa (rendah insulin), dibutuhkan sel pancreas yang mampu melepas dan menahan insulin tergantung pada keadaan nutrisi dan keadaan substrat dalam darah, terutama glukosa. Produksi insulin yang sedikit berkurang mungkin masih adekuat untuk mengontrol KGD puasa. Pada kekurangan insulin ringan KGD


(20)

puasa bisa normal. Bila tingkat defisiensi lebih berat kebutuhan insulin basal tidak bisa dipenuhi sebagai akibatnya KGD puasa akan meningkat.12

Telah lama diperkirakan terdapat hubungan tingkat keparahan DM dengan dijumpainya TB paru aktif.11 Defisiensi insulin akan mengakibatkan keterbatasan dari lekosit dan limfosit untuk melawan infeksi. Dengan pengobatan DM yang baik maka angka kematian TB paru dengan DM akan menurun dari 5,5% menjadi 3%.11

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah :

a. Apakah ada hubungan antara tingginya KGD puasa dengan luasnya lesi TB paru secara radiologis.

b. Apakah ada hubungan antara tingginya KGD puasa dengan kepositivan BTA sputum.

1.3. TUJUAN PENELITIAN 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara KGD puasa pada penderita TB paru dengan DM dengan luas lesi TB paru secara radiologis dan kepositivan BTA sputum.


(21)

1.3.2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui hubungan antara umur, jenis kelamin, pendidikan dengan KGD puasa penderita TB paru dengan DM.

1.4. HIPOTESIS

Terdapat hubungan antara tingginya KGD puasa pada penderita TB paru dengan DM dengan luas lesi secara radiologis dan kepositivan BTA sputum.

1.5. MANFAAT PENELITIAN

a. Dari penelitian ini diharapkan kepada penderita untuk mengontrol KGD supaya komplikasi TB paru dapat dicegah.

b. Dari penelitian ini diharapkan dokter dapat memberikan terapi yang sesuai pada penderita TB dengan DM.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TUBERKULOSIS PARU

Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis complex.12 Organisme ini termasuk ordo

Actinomycetales, familia Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Genus

Mycobacterium memiliki beberapa spesies diantaranya Mycobacterium

tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil tuberkulosis berbentuk batang ramping lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung, panjang 1 - 4 µ, lebar 0,3 - 0,6 µ. Untuk membelah dari satu sampai dua (generation time) kuman membutuhkan waktu 14-20 jam dan pertumbuhan pada media kultur biasa dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu.3,15,16

Suhu optimal untuk tumbuh pada 37oC dan PH 6,4-7,0. Jika dipanaskan pada suhu 60oC akan matidalam waktu 15-20 menit. Dinding selnya 60% terdiri dari kompleks lemak seperti mycolic acid yang menyebabkan kuman bersifat tahan

asam, cord factor merupakan mikosida yang berhubungan dengan virulensi.

Kuman yang virulen mempunyai bentuk khas yang disebut serpentine cord, Wax

D yang berperan dalam immunogenitas dan phospatides yang berperan dalam

proses nekrosis kaseosa. Basil tuberkulosis sulit untuk diwarnai tapi sekali diwarnai ia akan mengikat zat warna dengan kaya yang tidak dapat dilepaskan dengan larutan asam alkohol seperti: pewarnaan Ziehl Nielsen, sehingga organisme ini di sebut tahan asam.3,17,18


(23)

2.2. DIABETES MELLITUS

Pengetahuan tentang DM berawal sejak sebelum Masehi. Pada Egyptian Papyrus (1500 SM) digambarkan penyakit DM berkaitan dengan banyaknya urine keluar. Pada abad ke 3 sampai ke 6 M, sarjana Cina, Jepang dan India menerangkan mengenai poliuria pada penderita DM dimana urine terasa manis dan lengket. Walaupun telah diketahui selama berabad-abad bahwa urine penderita diabetes terasa manis, Thomas Willis (174) menyatakan rasa manis tersebut akibat madu. Kemudian ditetapkanlah nama diabetes mellitus (mellitus=madu).

Beberapa abad yang lalu telah diketahui penyakit ini ada hubungannya dengan gangguan sel beta, dimana kelompok sel membentuk pulau-pulau jaringan kecil pada pankreas eksokrin. Pulau-pulau ini pertama kali dikenali pada ikan oleh Brockman, dan diberi nama Langerhans.12,19

Diabetes Mellitus merupakan sindroma yang ditandai dengan hiperglikemia kronik dan gangguan karbohidrat, lemak, protein yang disebabkan defisiensi insulin absolut/relatif .20


(24)

Klasifikasi etiologi DM:21

Tipe 1

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut :

• Autoimun

• Idiopatik Tipe 2

• Bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin

Tipe lain

• Defek genetik fungsi sel beta

• Defek genetik kerja insulin

• Penyakit eksokrin pankreas

• Endokrinopati

• Karena obat atau zat kimia

• Infeksi

• Sebab imunologi yang jarang

• Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM Diabetes

melitus gestasional

Tabel 1. Klasifikasi etiologi DM21

2.2.2. Patofisiologi Diabetes Mellitus.

Mempunyai dua defek fisiologis: sekresi insulin abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas mana yang utama tidak diketahui. Ada tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa antara lain :


(25)

2. Resistensi insulin cendrung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan.

3. Resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa. 22

2.3. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PARU

Untuk menegakkan diagnosis TB paru perlu dilakukan beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan klinis, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan laboratorium. a. Pemeriksaan Klinis

TB disebut juga the great immitator oleh karena gejalanya banyak mirip dengan penyakit lain. Pada pemeriksaan klinis dibagi atas pemeriksaan gejala klinis dan pemeriksaan jasmani.23

1. Gejala klinis. Dibagi menjadi 2 (dua) golongan : a) Gejala respiratorik :

- Batuk : gejala yang paling dini dan paling sering dikeluhkan. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus. Batuk-batuk yang berlangsung ≥ 3 minggu harus dipikirkan adanya tuberkulosis paru. - Batuk darah : darah yang dikeluarkan dapat berupa garis-garis,

bercak-bercak atau bahkan dalam jumlah banyak.

- Sesak napas: jika proses penyakit sudah lanjut dan terdapat kerusakan paru yang cukup luas.


(26)

b) Gejala sistemik: - Demam

Gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia berat badan menurun.23,24

b. Pemeriksaan Jasmani

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung pada luas lesi dan kelainan struktur paru yang terinfeksi. Pada permulaan perkembangan penyakit umumnya tidak (sulit sekali) menemukan kelainan. Pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penanarikan paru, diafragma dan mediastinum.18,25

c. Pemeriksaan Radiologis.

Pada pemeriksaan foto toraks memberikan gambaran bermacam-macam yaitu : 25,26

1. Bayangan lesi dilapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah. 2. Adanya kavitas tunggal atau ganda.

3. Bayangan berawan atau berbercak. 4. Bayangan bercak milier.

5. Bayangan efusi pleura, umumnya unilateral.

6. Destroyed lobe sampai destroyed lung.


(27)

8. Schwartze.

Menurut American Thoracic Society dan National Tuberculosis Association

luasnya proses yang tampak pada foto toraks dapat dibagi sebagai berikut : 21, 25, 27

1. Lesi minimal (minimal lesion)

Bila proses TB paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.

2. Lesi sedang (moderately advanced lesion)

Proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas proses tidak boleh luas dari satu paru, atau jumlah dari proses yang paling banyak seluas satu paru atau bila proses tadi mempunyai densitas lebih padat, lebih tebal maka proses tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga pada satu paru dan proses ini dapat/ tidak disertai kavitas. Bila disertai kavitas maka luas (diameter) semua kavitas tidak boleh lebih dari 4 cm.

3. Lesi luas (far advanced)


(28)

d. Pemeriksaan Laboratorium: 1. Pemeriksaan darah rutin

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk tuberkulosis paru. Laju endapan darah sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositosis juga kurang spesifik.27

2. Pemeriksaan bakteriologis.

Untuk pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi dapat diambil spesimen dari sputum, bilasan lambung, cairan pleura, cucian lambung, jaringan baik kelenjar getah bening atau jaringan reseksi operasi, cairan serebrospinalis, pus/aspirasi abses, apusan laring.14

a) Pemeriksaan mikroskopis biasa

Pemeriksaan mikroskopis ini dapat melihat adanya basil tahan asam, dimana dibutuhkan paling sedikit 5000 batang kuman per ml sputum untuk mendapatkan kepositivan. Pewarnaan yang umum dipakai adalah pewarnaan Zielh Nielsen dan pewarnaan Kinyoun Gabbett.28

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease).2


(29)

̇ Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang : ditulis jumlah kuman yang ditemukan.

̇ Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang : +

̇ Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang : ++

̇ Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang : +++ Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopis yaitu :

̇ Bila 2x positif → mikroskopis (+)

̇ Bila 1x positip, 2x negatif → ulang BTA 3x - Bila 1x positif → mikroskopis positif - Bila 3x negatif → mikroskopis negatif b) Pemeriksaan mikroskopis fluoresens

Dengan mikroskopis ini gambaran basil tahan asam akan terlihat lebih besar dan lebih jelas karena daya pandang diperluas dan adanya fluoresens dari zat warna auramin-rhodamin.14

c) Kultur/biakan kuman

Pemeriksaan kultur dibutuhkan paling sedikit 10 kuman tuberkulosis yang hidup. Jenis pemeriksaan kultur :

Metode konvensional : Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh, Middle

brook.

Tehnik pemeriksaan dengan metode radiometrik seperti BACTEC.29

d) Imunologi / Serologi


(30)

Di Indonesia dengan prevalensi TB yang tinggi pemeriksaan ini kurang berarti apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan bermakna jika dijumpaikan konversi dari uji yang sebelumnya atau apabila kepositivan dari uji yang dijumpai besar sekali atau timbul bulla.3,18

o ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

Merupakan tes serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Dengan cara ini dapat ditentukan kadar antibodi terhadap basil tuberkulosis pada serum penderita. Dari hasil penelitian dijumpaikan bahwa IgG saja yang memberikan kenaikan diatas normal secara bermakna. Sayangnya uji serologis ini hanya memberikan sensitivitas yang sedang saja (62%) dan spesifisitas 74,3%.21

o Uji PAP (Peroksidase Anti Peroksidase)

Uji serologi imunoperoksida untuk menentukan adanya IgG anti TB. Uji PAP dikatakan positif jika terdapat 3 atau lebih antigen dalam lapangan pandang kecil (pembesaran mikroskop 10x10) yang tercat merah.

Dikatakan :

- Positif lemah (+) : bila antigen tercat merah muda - Positif sedang (++) : bila antigen tercat merah cerah - Positif (+++) : bila antigen tercat merah tua 30


(31)

Tes ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan kedalam serum penderita dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai dan sesuai dengan aktivitas penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir. 25,31

e) RFLP (Restrictive Fragment Length Polymorphism)

Tehnik ini dikenal sebagai teknik finger printing. Pada teknik ini dapat dideteksi perbedaan antara satu Mycobacterium tuberculosis dengan

mycobacterium lainnya.31,32

f) PCR (Polymerase Chain Reaction)

Tehnik ini pada dasarnya mendeteksi DNA yang memang spesifik untuk tiap mahluk hidup. Pemeriksaan ini sangat baik bahkan dapat mendeteksi bila terdapat satu kuman saja. Teknik ini spesifik, sensitif dan cepat. Hasil dijumpai dalam waktu ± 6 jam dan dapat membedakan Mycobacterium tuberculosis dengan MOTT (Mycobacterium other than

tuberculosis).32

Dalam klasifikasi TB paru terdapat beberapa pegangan yang prinsipnya hampir bersamaan. PDPI membuat klasifikasi berdasarkan gejala klinis, radiologis dan hasil pemeriksaan bakteriologis dan riwayat pengobatan sebelumnya. Klasifikasi ini dipakai untuk menetapkan strategi pengobatan dan penanganan pemberantasan TB , yaitu :


(32)

• Dengan atau tanpa gejala klinis

• BTA positif mikroskopis ++

mikroskopis + biakan + mikroskopis + radiologis +

• Gambaran radiologis sesuai dengan TB paru 2. TB paru BTA negatif yaitu:

• Gejala klinis dan gambaran radiologis sesuai dengan TB paru aktif

• Bakteriologis (sputum BTA) negatif, jika belum ada hasil tulis belum diperiksa

• Mikroskopis -, biakan, klinis dan radiologis + Mikroskopis -, biakan, klinis dan radiologis + 3. Bekas TB paru yaitu:

• Bakteriologis (mikroskopis dan biakan) negatif

• Gejala klinis tidak ada, atau ada gejala sisa akibat kelainan paru yang ditinggalkan

• Radiologis menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, terlebih menunjukkan gambaran serial foto toraks yang sama/tidak berubah

• Riwayat pengobatan OAT yang adekuat, akan lebih mendukung.29

Pada tahun 1997 WHO membuat klasifikasi menurut regimen pengobatan yang dibagi atas empat kategori yaitu:34,35

a. Kategori I adalah kasus dengan dahak yang positif dan penderita dengan keadaan yang berat seperti meningitis, tuberkulosis milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis masif atau bilateral spondilitis dengan gangguan


(33)

neurologik, penderita dengan dahak negatif tapi paru luas, tuberkulosis usus, saluran kemih dan sebagainya.

b. Kategori II adalah kasus relaps atau gagal dengan dahak yang tetap positif.

c. Kategori III adalah kasus dengan dahak yang negatif dengan kelainan paru yang tidak luas, dan kasus tuberkulosis ekstrapulmoner selain dari yang disebut dalam kategori I.

d. Kategori IV adalah kasus tuberkulosis kronik.

2.4. DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS

Berbagai keluhan dapat diketemukan pada diabetisi. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut :

a. Keluhan klasik DM berupa : poliuri, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

b. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.21

Kriteria diagnosis DM :

a. Gejala klasik DM + glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL .

Glukosa sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

b. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL

Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam. c. Kadar glukosa darah 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dL


(34)

TTGO dilakukan dengan standar WHO dengan menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.21,35,36

2.5. PATOGENESIS TB PARU PADA PENDERITA DM

Patogenesis DM sampai saat ini belum diketahui dengan pasti namun faktor genetik dan lingkungan memegang peranan dalam proses terjadinya DM. Disamping itu defisiensi sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan resistensi insulin di perifer merupakan dua keadaan yang ditemukan bersamaan pada DM. Proses mana yang terjadi terlebih dulu belum diketahui dengan pasti. Meningkatnya kepekaan primer DM terhadap infeksi TB paru disebabkan oleh berbagai faktor, pada umumnya efek hiperglikemi sangat berperan dalam hal mudahnya pasien DM terkena TB paru. Hal ini disebabkan karena hiperglikemi mengganggu fungsi netrofil, monosit, makrofag dan fagositosis.37

Infeksi adalah penyebab utama klinis hiperglikemi pada DM. Tercatat 30% kasus ketoasidosis diabetik dicetuskan oleh infeksi. Efek metabolik infeksi pada DM diawali oleh kenaikan kadar glukosa darah karena glukoneogenesis yang distimulasi oleh meningkatnya sekresi counter regulatory hormones (glukagon, kortisol, growth hormon, katekolamin) maupun penekanan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Katekolamin diproduksi oleh saraf simpatis sedangkan adrenalin dihasilkan oleh medulla adrenal, keduanya menyebabkan meningkatnya glukoneogenesis dan penekanan terhadap sekresi insulin.13,37


(35)

2.6. GANGGUAN MEKANISME PERTAHANAN TUBUH TB PARU DENGAN DM

Pada penelitian yang dilakukan penderita TB paru jumlah CD4 nya akan menurun sedangkan pada penderita DM gangguan fungsi polimorpho nuklear

leukosit (PMNL) lebih menonjol terutama pada DM yang tidak terkontrol.13

Ada tiga aspek fungsi PMNL yang terganggu : a. Kemotaksis

Penelitian oleh Mowatt dan Baumm mendapatkan penurunan daya kemotaksis lekosit pada penderita DM dibandingkan dengan kontrol dan akan semakin memburuk bila pasien jatuh dalam koma ketoasidosis. Keadaan ini dapat diperbaiki dengan menambah insulin kedalam larutan penguji. Penyebab dan gejala klinis gangguan kemotaksis pada DM belum diketahui dengan pasti. Basement Membran yang menebal dan berkombinasi dengan gangguan kemotaksis akan menyebabkan gangguan mekanisme pertahanan tubuh.

b. Fagositosis

Mekanisme pertahanan ini meliputi masuknya dan dihancurkannya bakteri oleh lekosit. Balch dan Watters melaporkan adanya gangguan fagositosis pada penderita DM terhadap bakteri tetapi tidak pada semua bakteri yang dipakai pada pemeriksaan. Bybee, Rogers, Crosby dan Allison mendapat perbedaan efisiensi fagositosis apabila penderita DM jatuh kedalam keadaan asidosis. Penelitian lain juga mendapati adanya penurunan fagositosis meskipun pasien


(36)

belum jatuh kedalam keadaan asidosis, ini terutama terjadi pada penderita DM dengan kontrol yang jelek.

Kemotaksis

Fagositosis

Gambar 1. Disfungsi Sel Fagosit 7

Fagositosis terganggu pada DM akibat defek intrinstik dari pada PMN Aktifitas membunuh enzim lisosom juga menurun. Pada keadaan hiperglikemi cenderung terbentuk sorbitol oleh enzim aldose reduktase dengan bantuan Nicotinamide

Adenine Dinucleotide Phosphate (NADPH) menjadi NADP. Karena NADPH

banyak digunakan untuk membentuk sorbitol maka aktifitas membunuh mikroorganisme intraselular yang memerlukan NADPH menjadi menurun (respiratory burst). Normalisasi KGD akan meningkatkan aktivasi membunuh dalam 48 jam.7


(37)

c. Aktifitas Bakterisidal

Gallacer dkk mendapati hubungan negatif yang signifikan antara keadaan HbA1c dengan aktifitas bakterisidal netrofil. Patogenesis kelainan ini belum jelas tetapi terlihat adanya hubungan antara derajat dan lamanya hiperglikemi.


(38)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode dekskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional.

3.2. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada penderita TB paru disertai DM yang berobat jalan dan rawat inap di bagian paru RSUP H. Adam Malik Medan selama kurun waktu 6 bulan.

3.3. SUBJEK PENELITIAN 3.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah semua pasien penderita DM dengan TB paru yang berobat jalan dan rawat inap di bagian paru RSUP H. Adam Malik Medan.

3.3.2.Sampel

Sampel adalah semua pasien penderita DM dengan TB paru yang berobat jalan dan rawat inap di bagian paru RSUP H. Adam Malik Medan.

a. Kriteria Inklusi.

1) Penderita TB paru dengan DM pada semua kategori 2) Umur ≥ 30 tahun


(39)

5) DM tipe 2 b. Kriteria Eksklusi

1) Penderita dengan menggunakan obat immunosupresi. 2) TB ekstraparu.

3) Menderita penyakit kronis lain dan penyakit – penyakit kronik 3.3.3. Jumlah sampel

Jumlah sampel dihitung berdasarkan rumus : n = Z 2 . p ( 1-p )

d2 dimana :

n = besar sampel

Z 2. = batas kepercayaan 95% = 1,96 P = proporsi DM dengan TB paru 42 % d = ketepatan penelitian = 0,1

sehingga : n = 1,962. 0,42 (1-0,42 ) 0,12

n = 3,8416 . 0,42 . 0,58

0.01


(40)

3.4. KERANGKA KONSEP

Radiologi KGD

puasa Penderita TB paru dengan DM

BTA DS 3x

• Umur

• Jenis kelamin

• Pendidikan

3.5. DEFINISI OPERASIONAL

a. Pasien yang dinyatakan penderita DM dengan kriteria diagnosis DM.

̇ Gejala klasik DM ditambah dengan: salah satu dari glukosa darah

sewaktu ≥ 200 mg/dL, glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL, 2j PP > 200 mg/dL.

̇ Tidak terdapat gejala klasik DM, tetapi : terdapat 2 dari hasil glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL, glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL, 2j PP > 200 mg/dL.

b. Penderita TB paru adalah penderita dengan batuk berdahak lebih dari 3 minggu dengan atau tanpa batuk darah disertai dengan pemeriksaan radiologi yang positif yang ditandai dengan bayangan infiltrat dengan atau tanpa kavitas.

c. Pemeriksaan jasmani bisa dijumpai suara atau bising napas abnormal berupa suara bronkial, amforik, ronki basah, suara napas melemah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.


(41)

d. Pemeriksaan radiologis adalah yang dibuat pada penderita TB paru dengan posisi PA.

Cara penilaian ;

a) Lesi minimal (minimal lesion)

Bila proses TB paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas.

b) Lesi sedang (moderately advanced lesion)

Proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas proses tidak boleh luas dari satu paru, atau jumlah dari proses yang paling banyak seluas satu paru atau bila proses tadi mempunyai densitas lebih padat, lebih tebal maka proses tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga pada satu paru dan proses ini dapat/ tidak disertai kavitas. Bila disertai kavitas maka luas (diameter) semua kavitas tidak boleh lebih dari 4 cm.

c) Lesi luas (far advanced)

Kelainan lebih luas dari lesi sedang.

e. Pemeriksaan BTA adalah pemeriksaan terhadap sputum pada penderita TB paru dengan menggunakan tehnik Ziehl Neelsen dengan kategori :

1). BTA sputum SPS (sewaktu, Pagi, Sewaktu) : - Bila 2x positip → mikroskopis (+)


(42)

- Bila 1x positip, 2x negative → ulang BTA 3x Bila 1x positif → mikroskopis positif Bila 3x negatif →mikroskopis negatif 2) Penilaian apusan BTA

o Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang : (-)

o Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang : ditulis jumlah kuman yang ditemukan.

o Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang : ( +)

o Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang ( ++)

o Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang : (+++)

f. Umur penderita adalah lamanya hidup penderita sampai dengan datang ke bagian paru RS.H.Adam Malik.

Kategorinya : a. 30-40 tahun b. 41-50 tahun c. 51-60 tahun d. 61-70 tahun e. >71 tahun

g. Jenis kelamin adalah jenis yang membedakan penderita atas laki-laki dan perempuan.

h. Pendidikan adalah pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penderita berdasarkan jenis pendidikan formal terakhir yang dijalani penderita.


(43)

a. Rendah jika pendidikan tidak sekolah sampai dengan SD b. Sedang jika pendidikan SMP-SMA

c. Tinggi jika pendidikan > perguruan tinggi

3.6. VARIABEL PENELITIAN 3.6.1. Variabel bebas

a. Radiologi b. BTA c. Umur

d. Jenis kelamin e. Pendidikan 3.6.2. Variabel terikat KGD puasa

3.7. CARA KERJA

a. Sebelum penelitian dimulai, diminta persetujuan dan kesediaan penderita untuk mengikuti penelitian.

b. Penderita yang memenuhi kriteria inklusi dicatat nama, umur, alamat, lama keluhan, riwayat pengobatan dan dilakukan pemeriksaan fisik.

c. Dilakukan pemeriksaan radiologi toraks dan dikelompokkan atas lesi minimal, moderate dan far advance.

d. Kepada pasien dijelaskan tentang tujuan pemeriksaan sputum dan cara mengeluarkan sputum yang benar, kemudian kepada pasien diberikan pot


(44)

dan diminta untuk mengeluarkan sputum. Pada pasien diberikan pot lagi dan disuruh untuk mengeluarkan sputum pagi keesokan harinya dan ketika mengantar sputum pagi ke -2 diberi pot untuk diisi sputum pagi ke-3.

e. Pemeriksaan BTA sputum dilakukan secara mikroskopik langsung dengan pewarnaan Ziehl Neelsen.

f. Kepada pasien yang mempunyai gejala DM, diperiksakan KGD puasa dan 2 jam PP.

3.8. PENGOLAHAN DATA

Data dianalisis dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing : Untuk mengevaluasi kelengkapan, konsistensi dan kesesuaian

antara kriteria data yang diperlukan untuk menjawab tujuan penelitian.

b. Coding : Untuk mengkuantifikasi data kualitatif atau membedakan aneka

karakter. Pemberian kode ini sangat diperlukan terutama dalam rangka pengolahan data, baik secara manual maupun dengan menggunakan komputer.

c. Entry : Data yang telah terkumpul dan tersusun secara tepat sesuai

dengan variabel penelitian kemudian dimasukkan kedalam program komputer untuk diolah.

d. Cleaning: Pemeriksaan data yang telah di masukkan ke dalam program


(45)

3.9 . ANALISIS DATA

Data yang berhasil dikumpulkan, diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer menggunakan perangkat lunak SPSS, selanjutnya di lakukan analisa dasar melalui analisis univariat dan bivariat untuk mengetahui hubungan KGD dengan radiologi dan BTA. Uji statistik dengan korelasi Spearman dengan rumus :38

rS

(

)

1

6

1

2

2

=

n

n

d

i

rS : koefisien korelasi

di : selisih rangking tiap pengamatan

n : banyaknya pengamatan


(46)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan terhadap 94 orang penderita TB dengan DM yang memenuhi kriteria penelitian di rumah sakit H. Adam Malik Medan. Pada penelitian ini jumlah penderita TB dengan DM yang mengikuti penelitian sebanyak 94 orang. Dimana ke 94 penderita diperiksa foto toraks PA, BTA sputumnya dengan pewarnaan Ziehl Neelsen dan KGD puasa. Hasil penelitian kemudian dianalisis secara statistik.

4.1.1.Hubungan KGD Puasa dengan BTA sputum

Hubungan KGD puasa dengan BTA, koefisien korelasi adalah sebesar 0,218 yang berarti terdapat korelasi namun nilai korelasinya lemah.

(Tabel 2).

Tabel 2. Korelasi KGD Puasa dengan BTA sputum

Pemeriksaan r p

KGD puasa

BTA sputum 0,218 0,035

4.1.2 Hubungan KGD Puasa dengan Radiologi

Nilai korelasi KGD puasa dengan radiologi dihitung dengan menggunakan korelasi spearman. Koefisien korelasi adalah sebesar 0,072 menunjukkan tidak adanya hubungan antara KGD puasa dengan gambaran radiologis. (Tabel 3).


(47)

Tabel 3. Hubungan KGD Puasa dengan Radiologi

Pemeriksaan r p

KGD puasa

Radiologi 0,072 0,492

4.1.3 Hubungan Radiologi dengan BTA sputum

Nilai korelasi radiologi dengan kepositivan BTA sebesar 0,642. Berarti ada korelasi yang kuat dan searah yaitu semakin luas lesi pada gambaran radiologis maka semakin tinggi nilai kepositivan BTA (Tabel 4).

Tabel 4. Hubungan Radiologi dengan BTA.

Pemeriksaan r p

Radiologi BTA sputum

0,642 0,001

4.1.4. Karakteristik Demografi

Pada penelitian ini berdasarkan jenis kelamin yang paling banyak penderita laki-laki 60 orang (63,8%), perempuan 34 orang (36,2%) (tabel 5 dan gambar 2).


(48)

Tabel 5. Karakteristik Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-laki 60 63.8

Perempuan 34 36.2

Jumlah 94 100

63.8

36.2

0 10 20 30 40 50 60 70

Laki-laki Perempuan

Gambar 2. Grafik Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan umur penderita dijumpai umur 51-60 tahun yaitu 35 orang (37,2%), umur 41-50 tahun 28 orang (29,8%), < 40 tahun 16 orang (17,2%), 61-70 tahun 12 orang (12,8%), dan umur >71 tahun 3 orang (3,2%). (Tabel 6 dan gambar 3).


(49)

Tabel 6. Karakteristik Berdasarkan Umur

Kelompok Umur Jumlah Persentase

< 40 16 17.2

41-50 28 29.8 51-60 35 37.2 61-70 12 12.8

> 71 3 3.2

Jumlah 94 100 17.2 29.8 37.2 12.8 3.2 0 5 10 15 20 25 30 35 40

< 40 41-50 51-60 61-70 > 71

Gambar 3. Grafik Karakteristik Berdasarkan Umur

Status pendidikan adalah SMA 51 orang (54,3%), SMP 34 orang (36,2%) dan SD 8 orang (8,5%). (Tabel 7 dan gambar 4).

Tabel 7. Karakteristik Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan Jumlah Persentase SD 8 8.5 SMP 34 36.2 SMA 51 54.3 Jumlah 94 100


(50)

8.5 36.2 54.3 0 10 20 30 40 50 60

SD SMP SMA

Gambar 4. Karakteristik Berdasarkan Pendidikan

4.1.5. Karakteristik BTA sputum

Pada pemeriksaan bakteriologi BTA sputum dijumpaikan hasil positif sebesar 62 orang (65,9%) dimana positif 3 yaitu 38 orang (40,4%), positif 1 yaitu 19 orang (20,2%), positif 2 yaitu 5 orang (5,3%), dan negatif 32 orang (34,1%). (Tabel 8 dan gambar 5).

Tabel 8. Karakteristik BTA sputum

BTA sputum n Persen (%)

Positif + Positif ++ Positif +++ Negatif 19 5 38 32 20.2 5.3 40.4 34.1


(51)

20.2 5.3 40.4 34.1 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Po si tif + Po si tif + + Po si tif + + + N e g a tif

Gambar 5. Karakteristik BTA sputum

4.1.6. Karakteristik KGD Puasa

Hasil KGD puasa dijumpai 126-225 mg/dl yaitu 51 orang (54,2%), 226-325 mg/dl 36 orang (38,3%), 326-425 mg/dl 4 orang (4,35) , dan >425 mg/dl 3 orang (3,2%). (Tabel 9 dan gambar 6).

Tabel 9. Karakteristik KGD Puasa

KGD Puasa n Persen (%)

126 – 225 51 54.2

226 – 325 36 38.3

326 – 425 4 4.3

>425 3 3.2


(52)

54.2

38.3

4.3 3.2

0 10 20 30 40 50 60

126 – 225 226 – 325 326 – 425 >425

Gambar 6. Karakteristik KGD puasa

4.1.7.Karakteristik radiologi berdasarkan luas lesi

Karakteristik gambaran luas lesi pada penderita adalah lesi sedang 60 orang (63,9%), lesi minimal 18 orang (19,1%), dan adalah lesi luas 15 orang (17,0%). (Tabel 10 dan gambar 7).

Tabel 10. Karakteristik luas lesi

Luas lesi n Persen (%)

Lesi minimal Lesi sedang Lesi luas

18 60 15

19.1 63.9 17.0


(53)

19.1

63.9

17

0 10 20 30 40 50 60 70

Lesi minimal Lesi sedang Lesi luas

Gambar 7. Karakteristik Luas Lesi

4.2. Pembahasan

Perbandingan laki-laki dan perempuan dari 94 pasien yang diteliti yaitu 60 orang (63,8%) laki-laki dan 34 orang (36,2%) perempuan. Hal ini sesuai dengan studi Gulfem Y dkk, dimana dijumpai prevalensi TB paru disertai DM lebih banyak dijumpai pada laki-laki dengan perbandingan 45/40 (52,9%:47,1%).37 C. Perez dkk, mendapatkan perbandingan pada laki-laki yang hampir mencapai dua kali proporsi yang dijumpaikan pada wanita (1,9:1). 38

Umur yang terbanyak menderita TB paru disertai DM pada usia 51-60 tahun dengan usia rata-rata 51 tahun. Hal ini sama dengan yang dilaporkan oleh C. Perez dkk.39 Pada hasil penelitian yang dilaporkan oleh Jabar. A. dkk, yang dilakukan di RS. Univ. Aga Khan, Karachi, Pakistan pada 173 pasien dijumpaikan bahwa penderita TB paru dengan DM yang berumur < 40 tahun

hanya sebesar 6% dan >70 tahun sebesar 12%.40 Hal ini sangat berbeda


(54)

yang berusia < 40 tahun sebesar 17% dan >70 tahun hanya sebesar 3,2%, namun tidak dijumpai perbedaan bermakna pada usia 40 – 70 tahun (80% : 82%).

Pemeriksaan bakteriologi BTA sputum hapusan langsung yang bernilai positif adalah sebesar 65,9%. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan oleh Feza Bacako dkk dimana dijumpai pemeriksaan BTA sputum yang positif pada 67 kasus (72,8 %).41 K.R.L. Kirani melaporkan hasil yang jauh lebih rendah dimana pemeriksaan BTA sputum yang positif dijumpai hanya 30 orang dari 100 kasus (30%).42

L.Soeroso telah melaporkan pada 100 pasien TB paru dengan DM dijumpai lesi minimal sebesar 16 orang(16,0%), lesi sedang 48 orang (48,0%) dan lesi luas 36 orang (36%).

Pada studi ini dijumpai luas lesi sedang (63,3%), lesi minimal (19,1%) dan lesi luas (17%).

Pada penelitian ini dijumpai hubungan antara peningkatan KGD puasa dengan kepositivan pemeriksaan BTA Sputum walaupun hubungan tersebut lemah. Pada umumnya efek hiperglikemia sangat berperan untuk memudahkan pasien-pasien DM mengalami infeksi. Hal ini disebabkan karena hiperglikemi akan mengganggu fungsi neutrofil dan monosit (makrofag) baik dalam hal kemotaksis, perlekatan dan fagositosis dari sel tersebut.

Penelitian ini tidak mendapatkan adanya hubungan antara tingginya KGD puasa dengan luasnya gambaran radiologis.


(55)

Belum ada penelitian sebelumnya mengenai hubungan KGD puasa dengan pemeriksaan BTA sputum. L. Soeroso telah melaporkan hubungan KGD sewaktu dengan gambaran radiologis, pada penderita TB paru disertai DM dan dijumpai hubungan antara KGD sewaktu dengan gambaran radiologi tersebut.43

Pada penelitian ini menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara gambaran radiologis dengan kepositivan BTA dimana bila lesi sedikit maka hasil pemeriksaan sputum BTA umumnya negatif. Hal ini sesuai dengan laporan yang dilakukan sebelumnya oleh L. Soeroso.


(56)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian diatas maka disimpulkan :

a) Dijumpai hubungan antara KGD puasa dengan kepositivan BTA sputum yang berarti semakin tinggi KGD puasa, semakin tidak mampu pankreas mengekskresi insulin maka semakin positif BTA sputum.

b) Dijumpai hubungan antara pemeriksaan BTA sputum dengan radiologi yang berarti semakin luas lesi pada gambaran radiologi maka semakin tinggi kepositivan BTA.

c) Tidak dijumpai hubungan antara KGD puasa dengan gambaran radiologi penderita TB paru disertai DM

d) Penderita TB paru disertai DM dijumpai lebih banyak pada laki-laki (63.8%), dan pada usia 40 tahun – 60 tahun (37.2%).

5.2. SARAN

Karena kurangnya penelitian TB paru dengan DM yang menghubungkan KGD puasa dengan gambaran radiologi dan kepositivan BTA, maka perlu dilakukan penelitian yang lebih banyak lagi.

KGD dapat berfluktuasi dengan cepat sehingga tidak menggambarkan penderita DM terkontrol atau tidak, sedangkan proses perkembangbiakan kuman TB dan


(57)

efeknya pada paru yang dapat terlihat secara radiologi memerlukan waktu yang lebih lama.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

1 Epidemiology of Tuberculosis Control. Available at

http://www.Searowho.int/en/section10/section2097/ection2102/sect ion2120.htm

2 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.Depkes RI ; 2000.

3 Aditama TY. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya. Edisi V.

Jakarta : Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia, 2005.

4 Global Tuberculosis control-surveillance, planning, financing. Geneva,

Switzerland : World Health Organization. 2006 ; report no.WHO/HTM/TB/2006.362

5 Syarani F, Soeroso L. Sindroma obstruksi paska tuberkulosis. Buku

makalah seminar TB 2004. Medan : Percetakan FK-USU. 2004 ; 93 – 7.

6 Guptan A, Shah A. Tuberculosis and Diabetes: An Appraisal. Ind J Tub

2004;3:1-8.

7 Sanusi S. Diabetes Mellitus dan Tuberkulosis Paru.J Med Nus. 2004;25:1

– 5.

8 Ezung T, Taruni DNG, Singh NT, Singh THB. Pulmonary tuberculosis

and Diabetes Mellitus. A study JIMA 2002 ;100:1-2.

9 Bacako F, Kacmaz O, Cok G, Sayner A,Ate M. Pulmonary Tuberculosis in

Patients with Diabetes mellitus. Respiration.2001:68:595-600.

10 Soeroso L. Variasi Pemeriksaan Radiologi pada Pasien Tuberkulosis

dengan Diabetes . Buku makalah seminar TB 2004. Medan : Percetakan FK-USU. 2004 ; 69-74.


(59)

11 Lowy J. Endocrine and Metabolic Manifestation of Tuberculosis. In : Rom WN, Garay SM, eds. Tuberculosis, Philadelphia : Lippincort Williams Wilkins, 2004(2):587 - 59.

12 Piliang S. Sejarah Diabetes Mellitus. In : Piliang S, Syukran OA, Bahri C,

Lidarto D, Mardianto eds. The 1st Workshop on Insulin and type 2

Diabetes. Medan. 2003 ; 1 – 12.

13 Bahar C, Piliang S. Penatalaksanaan Tuberkulosis paru dengan diabetes mellitus. Temu Ilmiah 2003 Dalam Rangka “World TB day 2003”. Medan , 2003 ; 32 – 38.

14 Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.

PDPI. Jakarta. 2006

15 Levinson W, Jawetz E. Medical Microbiology and Immunology. New

Jersey : McGraw-Hill. 1998(6):134 – 40.

16 Budiarti LY. Mikrobiologi tuberculosis. In : Isa M, Soefyani A, Juwono O, Budiarti LY eds. Tuberkulosis Tinjauan Multidisipliner. Pusat Studi Tuberkulosis Universitas Lampung Mangkurat/RSUD Ulin Banjarmasin. 2001:40 – 52.

17 Gery SM. Pulmonary tuberculosis. In : Rom WN, Garay SM, eds.

Tuberculosis, Philadelphia : Lippincort Williams Wilkins, 2004(2): 345 - 50.

18 Jagirdar J, Zagzag D. Pathology and insight into pathogenesis of tuberculosis. In : Rom WN, Garay SM, eds. Tuberculosis. Philadelphia : Lippincort William Wilkins, 2004(2):323 – 41.

19 Hazlett BE. Historical Perspective: The Discovery of Insulin. In : Davidson JK, ed. Clinical Diabetes Mellitus. New York : Thieme Inc, 1986;2 – 10.

20 Bennet PH. Defenition, Diagnosis, and Classification of Diabetes Mellitus and Impaired Glucose Tolerance. In : Kahn CR, Weir GC, eds. In Joslin’s Diabetes Mellitus. Philadelphia. 1994(3):193 – 200


(60)

21 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Divisi Metabolik Endokrin, Departemen Ilmu Penyakit Dalam. FK-UI/RSU Pusat Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Jakarta. 2006.

22 Powers AC. Diabetes mellitus. In : Braunwald E, Faucl AS, Kasper DL,

Hanser SL, Long DL, Jameson JL, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine, NewYork : McGraw-Hill, 2001(15):2109-37.

23 Leitch AG. Pulmonary tuberculosis clinical features. In : Seaton A, Seaton D, Leitch G, eds. Crofton and Doughlas’s Respiratory Diseases I. London : Blackwell Science Ltd, 2000(5):507 – 27.

24 Ulrichs T, Kauf M. Cell mediated immune respone. In : Rom WN, Garay SM, eds. Tuberculosis, Philadelphia : Lippincort Williams Wilkins, 2004(2):251 – 60.

25 Alsagaff H, Mukti A. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya : Airlangga University Press, 2002 : 85 – 90.

26 Zubaidah T, Aditama TY, Priyanti ZS, Bernida I. Diagnosis tuberkulosis. In : Abdullah A, Patau MJ, Susilo HT, editor. Naskah lengkap pertemuan ilmiah khusus (PIK) X. FK Universitas Hasanuddin/Perjan RS Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar, 2003 : 139 -44.

27 Rasad S. Tuberkulosis Paru. In : Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I,

eds. Radiologi Diagnostik. FK-UI. Jakarta. 2000:126 – 39.

28 Martin G, Lazarus A. Epidemiology and Diagnosis of Tuberculosis. Postgraduate Medicine.2000:108:2

29 Yew WW, Leung CC. Update in Tuberculosis 2005. Am J Respir Crit Care


(61)

30 Leitch AG. Management of tuberculosis. In : Seaton A, Seaton D, Leitch G, eds. Crofton and Doughlas’s Respiratory Diseases I. London : Blackwell Science Ltd, 2000(5):544 – 64.

31 Sembiring H. Pemeriksaan PAP-TB pada penderita TB paru tersangka

dewasa di poliklinik ilmu penyakit paru FK USU/BP4 Medan. Tesis. Medan : Bagian Ilmu Penyakit Paru FK-USU, 1993.

32 Leitch AG. Tuberculosis: Pathogenesis, Epidemiology and Prevention. In : Seaton A, Seaton D, Leitch G, eds. Crofton and Doughlas’s Respiratory Diseases I. London : Blackwell Science Ltd, 2000(5):476 – 9.

33 Aditama YT. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, Edisi IV

Jakarta : Lab Mikrobiologi RS Persahabatan/WHO Collaborating Center for Tuberculosis, 2002 : 1 – 140.

34 Harnies A, Maher D, Uplekar M. TB a clinical manual for South East Asia. WHO, 1997 : 20.

35 Jkokroprawiro A. Diabetes Mellitus Klasifikasi, Diagnosis dan Dasar-dasar Terapi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.2001.

36 Masharani U, Karam JH, German MS. Pancreatic Hormones & Diabetes

Mellitus. In : Greenspan FS, Gardner DG, eds. Basic & Clinical Endocrinology. New York : McGraw-Hill. 2004(7):658 – 46.

37 Sanusi H. Diabetes mellitus tipe 2 pada TB paru. Abdullah HA, Patau MJ, Susilo HT, Saleh K, Tabrani NA, Mappangara I, dkk. Naskah lengkap PIK X Makassar 2003 ; 81 – 6.

38 Sulaiman W. Statistik Non-Parametrik. Andi . Yogyakarta. 2003

39 Gulfem Y, Sema S, Orhan D, Hacer O, Ferit D. Features of Pulmonary

Tuberculosis in Patients with Diabetes Mellitas:A Comparative Study.2004:5.5-8.


(62)

40 Guzman CP, Cruc AT, Velarde HV, Vargas M. Progressive Age-related Changes in Pulmonary Tuberculosis Images and the Effect of Diabetes. Am J Resp and Crit Care Med.2000:162;1738-40.

41 Guzman CP, Cruc AT, Velarde HV, Vargas M. Atypical radiological

images of pulmonary tuberculosis in 192 diabetic patients:a comparative study. Int J Tuberc Lung Dis.2001:5;455-61.

42 Jabbar A, Hussain SF, Khan AA. Clinical characteristic of pulmonary

tuberculosis in adult Pakistani patients with co-existing diabetes mellitus. Eastern Mediterannean Health Journal.2006:12(5).522-27.

43 Kirani KRL, Kumari VS, Kumari RL. Co-existence of Pulmonary Tuberculosis and Diabetes Mellitus:Some Observations. Ind J Tub.1998:45-7.


(1)

efeknya pada paru yang dapat terlihat secara radiologi memerlukan waktu yang lebih lama.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

1 Epidemiology of Tuberculosis Control. Available at http://www.Searowho.int/en/section10/section2097/ection2102/sect

ion2120.htm

2 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.Depkes RI ; 2000.

3 Aditama TY. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya. Edisi V. Jakarta : Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia, 2005.

4 Global Tuberculosis control-surveillance, planning, financing. Geneva, Switzerland : World Health Organization. 2006 ; report no.WHO/HTM/TB/2006.362

5 Syarani F, Soeroso L. Sindroma obstruksi paska tuberkulosis. Buku makalah seminar TB 2004. Medan : Percetakan FK-USU. 2004 ; 93 – 7.

6 Guptan A, Shah A. Tuberculosis and Diabetes: An Appraisal. Ind J Tub 2004;3:1-8.

7 Sanusi S. Diabetes Mellitus dan Tuberkulosis Paru.J Med Nus. 2004;25:1 – 5.

8 Ezung T, Taruni DNG, Singh NT, Singh THB. Pulmonary tuberculosis and Diabetes Mellitus. A study JIMA 2002 ;100:1-2.

9 Bacako F, Kacmaz O, Cok G, Sayner A,Ate M. Pulmonary Tuberculosis in Patients with Diabetes mellitus. Respiration.2001:68:595-600.

10 Soeroso L. Variasi Pemeriksaan Radiologi pada Pasien Tuberkulosis dengan Diabetes . Buku makalah seminar TB 2004. Medan : Percetakan FK-USU. 2004 ; 69-74.


(3)

11 Lowy J. Endocrine and Metabolic Manifestation of Tuberculosis. In : Rom WN, Garay SM, eds. Tuberculosis, Philadelphia : Lippincort Williams Wilkins, 2004(2):587 - 59.

12 Piliang S. Sejarah Diabetes Mellitus. In : Piliang S, Syukran OA, Bahri C, Lidarto D, Mardianto eds. The 1st Workshop on Insulin and type 2 Diabetes. Medan. 2003 ; 1 – 12.

13 Bahar C, Piliang S. Penatalaksanaan Tuberkulosis paru dengan diabetes mellitus. Temu Ilmiah 2003 Dalam Rangka “World TB day 2003”. Medan , 2003 ; 32 – 38.

14 Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI. Jakarta. 2006

15 Levinson W, Jawetz E. Medical Microbiology and Immunology. New Jersey : McGraw-Hill. 1998(6):134 – 40.

16 Budiarti LY. Mikrobiologi tuberculosis. In : Isa M, Soefyani A, Juwono O, Budiarti LY eds. Tuberkulosis Tinjauan Multidisipliner. Pusat Studi Tuberkulosis Universitas Lampung Mangkurat/RSUD Ulin Banjarmasin. 2001:40 – 52.

17 Gery SM. Pulmonary tuberculosis. In : Rom WN, Garay SM, eds. Tuberculosis, Philadelphia : Lippincort Williams Wilkins, 2004(2): 345 - 50.

18 Jagirdar J, Zagzag D. Pathology and insight into pathogenesis of tuberculosis. In : Rom WN, Garay SM, eds. Tuberculosis. Philadelphia : Lippincort William Wilkins, 2004(2):323 – 41.

19 Hazlett BE. Historical Perspective: The Discovery of Insulin. In : Davidson JK, ed. Clinical Diabetes Mellitus. New York : Thieme Inc, 1986;2 – 10.

20 Bennet PH. Defenition, Diagnosis, and Classification of Diabetes Mellitus and Impaired Glucose Tolerance. In : Kahn CR, Weir GC, eds. In Joslin’s Diabetes Mellitus. Philadelphia. 1994(3):193 – 200


(4)

21 Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Divisi Metabolik Endokrin, Departemen Ilmu Penyakit Dalam. FK-UI/RSU Pusat Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo. Jakarta. 2006.

22 Powers AC. Diabetes mellitus. In : Braunwald E, Faucl AS, Kasper DL, Hanser SL, Long DL, Jameson JL, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine, NewYork : McGraw-Hill, 2001(15):2109-37.

23 Leitch AG. Pulmonary tuberculosis clinical features. In : Seaton A, Seaton D, Leitch G, eds. Crofton and Doughlas’s Respiratory Diseases I. London : Blackwell Science Ltd, 2000(5):507 – 27.

24 Ulrichs T, Kauf M. Cell mediated immune respone. In : Rom WN, Garay SM, eds. Tuberculosis, Philadelphia : Lippincort Williams Wilkins, 2004(2):251 – 60.

25 Alsagaff H, Mukti A. Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya : Airlangga University Press, 2002 : 85 – 90.

26 Zubaidah T, Aditama TY, Priyanti ZS, Bernida I. Diagnosis tuberkulosis. In : Abdullah A, Patau MJ, Susilo HT, editor. Naskah lengkap pertemuan ilmiah khusus (PIK) X. FK Universitas Hasanuddin/Perjan RS Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar, 2003 : 139 -44.

27 Rasad S. Tuberkulosis Paru. In : Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, eds. Radiologi Diagnostik. FK-UI. Jakarta. 2000:126 – 39.

28 Martin G, Lazarus A. Epidemiology and Diagnosis of Tuberculosis. Postgraduate Medicine.2000:108:2

29 Yew WW, Leung CC. Update in Tuberculosis 2005. Am J Respir Crit Care Med. 2006;173:491-8


(5)

30 Leitch AG. Management of tuberculosis. In : Seaton A, Seaton D, Leitch G, eds. Crofton and Doughlas’s Respiratory Diseases I. London : Blackwell Science Ltd, 2000(5):544 – 64.

31 Sembiring H. Pemeriksaan PAP-TB pada penderita TB paru tersangka dewasa di poliklinik ilmu penyakit paru FK USU/BP4 Medan. Tesis. Medan : Bagian Ilmu Penyakit Paru FK-USU, 1993.

32 Leitch AG. Tuberculosis: Pathogenesis, Epidemiology and Prevention. In : Seaton A, Seaton D, Leitch G, eds. Crofton and Doughlas’s Respiratory Diseases I. London : Blackwell Science Ltd, 2000(5):476 – 9.

33 Aditama YT. Tuberkulosis diagnosis, terapi dan masalahnya, Edisi IV Jakarta : Lab Mikrobiologi RS Persahabatan/WHO Collaborating Center for Tuberculosis, 2002 : 1 – 140.

34 Harnies A, Maher D, Uplekar M. TB a clinical manual for South East Asia. WHO, 1997 : 20.

35 Jkokroprawiro A. Diabetes Mellitus Klasifikasi, Diagnosis dan Dasar-dasar Terapi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.2001.

36 Masharani U, Karam JH, German MS. Pancreatic Hormones & Diabetes Mellitus. In : Greenspan FS, Gardner DG, eds. Basic & Clinical Endocrinology. New York : McGraw-Hill. 2004(7):658 – 46.

37 Sanusi H. Diabetes mellitus tipe 2 pada TB paru. Abdullah HA, Patau MJ, Susilo HT, Saleh K, Tabrani NA, Mappangara I, dkk. Naskah lengkap PIK X Makassar 2003 ; 81 – 6.

38 Sulaiman W. Statistik Non-Parametrik. Andi . Yogyakarta. 2003

39 Gulfem Y, Sema S, Orhan D, Hacer O, Ferit D. Features of Pulmonary Tuberculosis in Patients with Diabetes Mellitas:A Comparative Study.2004:5.5-8.


(6)

40 Guzman CP, Cruc AT, Velarde HV, Vargas M. Progressive Age-related Changes in Pulmonary Tuberculosis Images and the Effect of Diabetes. Am J Resp and Crit Care Med.2000:162;1738-40.

41 Guzman CP, Cruc AT, Velarde HV, Vargas M. Atypical radiological images of pulmonary tuberculosis in 192 diabetic patients:a comparative study. Int J Tuberc Lung Dis.2001:5;455-61.

42 Jabbar A, Hussain SF, Khan AA. Clinical characteristic of pulmonary tuberculosis in adult Pakistani patients with co-existing diabetes mellitus. Eastern Mediterannean Health Journal.2006:12(5).522-27.

43 Kirani KRL, Kumari VS, Kumari RL. Co-existence of Pulmonary Tuberculosis and Diabetes Mellitus:Some Observations. Ind J Tub.1998:45-7.