Eksekusi Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Hutang Akibat Wanprestasi Debitur (Studi Mengenai Penetapan Nomor 31 / Eks / HT / 2008 / PN. Mdn)

(1)

EKSEKUSI BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN HUTANG AKIBAT WANPRESTASI DEBITUR (STUDI MENGENAI

PENETAPAN NOMOR 31 / Eks / HT / 2008 / PN. Mdn) S K R I P S I

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

OLEH :

MUHAMMAD FEBRIANSYAH PUTRA NIM. 070200149

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

EKSEKUSI BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN HUTANG AKIBAT WANPRESTASI DEBITUR (STUDI MENGENAI

PENETAPAN NOMOR 31 / Eks / HT / 2008 / PN. Mdn) S K R I P S I

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM OLEH :

MUHAMMAD FEBRIANSYAH PUTRA NIM. 070200149

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN Diketahui dan Disahkan oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

DR. HASIM PURBA, SH, M.HUM NIP. 196660303 198508 1 001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

PROF. DR. TAN KAMELLO, S.H., M.S. M. HAYAT, S.H.

NIP. 19620421 198803 1 004 NIP. 19580202 198803 1 004 FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAKSI

Kesejahteraan masyarakat kerat berkaitan dengan kebutuhan primer. Salah satu kebutuhan primer adalah rumah. Rumah merupakan kebutuhan mendasar yang sangat dibutuhkan masyarakat. Namun dalam kenyataannya tidak semua masyarakat mampu membeli rumah secara tunai. Berdasarkan kondisi ini banyak masyarakat yang menggunakan jasa lembaga keuangan yakni bank dalam membantu memenuhi kebutuhan perimer ini, yakni dengan jalan menggunakan fasilitas kredit yang disediakan oleh Bank. Salah satu Bank yang memberikan fasilitas ini ialah PT BANK UOB BUANA Tbk. Keberdaan faslitas keredit ini sangat membantu masyarakat yang mempunyai finansial rendah untuk mencukupi dana untuk memiliki rumah pribadi. Pada pelaksanaan kredit tidaklah selalu berjalan lancar, salah satunya bila terjadi wanprestasi oleh pihak debitur, yang mana bila berlangsung terus menerus dapat menyebatkan kredit menjadi bermasala. Hal ini membuat keingintahuan untuk mengetahui secara lebih jauh mengenai pelaksanaan kredit dan pnyelesaiannya bila terjadi permasalahan hingga menjadi sengketa. Adapun yang menjadi permsalahan pada skripsi ini adalah, bagaimana pengaturan mengenai proses eksekusi di Indonesia, siapa saja pihak-pihak yang terkait dalam proses eksekusi, apakah telah sesuai pengaturan eksekusi dengan kenyataan yang ada ditinjau dari kasus Nomor 71/Eks/HT/2008/PN.Mdn.

Penulisan skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif, Penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau


(4)

bahan-bahan hukum lain. Data yang digunakan adalah data skunder. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustsaka. Data-data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan analisis kualitatif.

Pada pelaksanaan perjanjian kredit tidak jarang terjadi permasalahan, salah satunya ialah wanprestasi yang dilakukan debitur. Salah satu bentuk wanprestasi yang sering terjadi yanki debitur menunggak dalam pembayaran, yang mana bila hal ini berlangsung terus menurus akan menyembabkan permasalahan berupa kredit macet. Bila terjadi hal seperti ini, tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan sengketa. untuk menghindari hal ini para pihak diharapkan saling bekerja sama, pihak kreditur lebih berhati-hati dalam memberikan kredit, sedangkan pihak debitur diharpkan mampu manjalankan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan sehingga kemungkinan munculnya sengketa dapat diminimalisir.


(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir selama menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi merupakan suatu kewajiban dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan studinya pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara di Medan sebagai suatu karya ilmiah dalam melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Penulisan skripsi ini sangatlah penting sebagai suatu sarana meningkatkan mutu pendidikan mahasiswa/i pada khususnya dan dunia perguruan tinggi pada umumnya.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis mengetengahkan sebuah karya ilmiah atau skripsi dengan judul:

“EKSEKUSI BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI JAMINAN HUTANG AKIBAT WANPRESTASI DEBITUR (STUDI MENGENAI PENETAPAN NOMOR 31 / Eks / HT / 2008 / PN. Mdn)”.

Pada penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari segi bahasa penulisan maupun penjabarannya yang mana masih belum lengkap dan ditemui berbagai kekurangan atau kesilapan yang mana hal ini


(6)

dikarenakan kurangnya pengalaman penulis dan terbatasnya pengetahuan yang dimiliki penulis sehingga penulis sangat mengharapkan kemakluman dan bimbingan serta kritikan yang membangun sebagai penyempurna tulisan ini.

Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain serta hidup bermasyarakat dalam perjalanannya menempuh kehidupan di dunia ini khususnya dalam mengemban tugas-tugasnya yang tidak akan lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu penulis pada kesempatan ini menghanturkan terima kasih yang tidak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr Runtung Sitepu S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Sumatra Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan Fakultas Hukum Sumatra Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H., M.H., D.F.M. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Sumatra Utara

4. Bapak M. Husni S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Sumatra Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Kekhususan Perdata BW

6. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello S.H., M.S. Selaku pembimbing I penulis 7. Bapak M. Hayat SH., Selaku Pembimbing II Penulis

8. Ibu Rabiatul Syahriah S.H., M.Hum. selaku Sekertaris departemen Hukum Keperdataaan Fakultas Hukum USU.


(7)

9. Kepada Papa dan Mama yang selalu memberi semangat dan dukungan yang begitu besar

10. Tak lupa pula kepada teman dan adik yang memberi motifasi dan dukungan sepenuhnya , penulis mengucapkan terima kasih.

11.Seluruh civitas akademika Fakultas Hukum USU Medan.

12.Bapak dan Ibu Dosen serta Seluruh Staf Pegawai Fakultas Hukum USU penulis mengucapkan terima kasih.

Atas semua bantuan dan bimbingan serta dorongan yang diberikan kepada penulis, akhirnya penulis menyerahkan kepada Allah SWT semoga dapat memberikan balasan yang berlipat ganda atas jasa – jasa meareka. Amin ya rabbal alamin.

Medan, September 2011 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... iv

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 10

D. Keaslian Penulisan... 11

E. Tinjauan Kepustakaan ... 11

F. Metode Penelitian... 17

G. Sistematika Penulisan ... 20

BAB II: TINJAUAN UMUM ATAS WANPRESTASI PADA BENDA TIDAK BERGERAK A. Pengertian Wanprestasi ... 22

B. Macam-macam Prestasi dan Wanprestasi ... 27

C. Sebab Terjadinya Wanprestasi ... 29


(9)

   

BAB III: TINJAUAN UMUM ATAS JAMINAN HUTANG DAN PELAKSANAAN EKSEKUSI

A. Pengertian Jaminan Hutang ... 56

B. Proses Terlaksananya Hutang dengan Jaminan... 57

C. Pengaturan Tentang Jaminan Hutang ... 58

D. Pengertian Eksekusi ... 64

E. Objek Eksekusi Dan Proses Pelaksanaannya ... 64

BAB IV: PENELAAHAN KASUS PENETAPAN NOMOR 31 / Eks / HT / 2008 / PN. Mdn A. Pengaturan Mengenai Proses Eksekusi ... 68

B. Pihak Yang Terkait Dalam Proses Eksekusi ... 69

C. Penelaahan Kasus Nomor 31/Eks/HT/2008/PN. Mdn ... 69

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80


(10)

ABSTRAKSI

Kesejahteraan masyarakat kerat berkaitan dengan kebutuhan primer. Salah satu kebutuhan primer adalah rumah. Rumah merupakan kebutuhan mendasar yang sangat dibutuhkan masyarakat. Namun dalam kenyataannya tidak semua masyarakat mampu membeli rumah secara tunai. Berdasarkan kondisi ini banyak masyarakat yang menggunakan jasa lembaga keuangan yakni bank dalam membantu memenuhi kebutuhan perimer ini, yakni dengan jalan menggunakan fasilitas kredit yang disediakan oleh Bank. Salah satu Bank yang memberikan fasilitas ini ialah PT BANK UOB BUANA Tbk. Keberdaan faslitas keredit ini sangat membantu masyarakat yang mempunyai finansial rendah untuk mencukupi dana untuk memiliki rumah pribadi. Pada pelaksanaan kredit tidaklah selalu berjalan lancar, salah satunya bila terjadi wanprestasi oleh pihak debitur, yang mana bila berlangsung terus menerus dapat menyebatkan kredit menjadi bermasala. Hal ini membuat keingintahuan untuk mengetahui secara lebih jauh mengenai pelaksanaan kredit dan pnyelesaiannya bila terjadi permasalahan hingga menjadi sengketa. Adapun yang menjadi permsalahan pada skripsi ini adalah, bagaimana pengaturan mengenai proses eksekusi di Indonesia, siapa saja pihak-pihak yang terkait dalam proses eksekusi, apakah telah sesuai pengaturan eksekusi dengan kenyataan yang ada ditinjau dari kasus Nomor 71/Eks/HT/2008/PN.Mdn.

Penulisan skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif, Penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau


(11)

bahan-bahan hukum lain. Data yang digunakan adalah data skunder. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustsaka. Data-data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan analisis kualitatif.

Pada pelaksanaan perjanjian kredit tidak jarang terjadi permasalahan, salah satunya ialah wanprestasi yang dilakukan debitur. Salah satu bentuk wanprestasi yang sering terjadi yanki debitur menunggak dalam pembayaran, yang mana bila hal ini berlangsung terus menurus akan menyembabkan permasalahan berupa kredit macet. Bila terjadi hal seperti ini, tidak tertutup kemungkinan akan menimbulkan sengketa. untuk menghindari hal ini para pihak diharapkan saling bekerja sama, pihak kreditur lebih berhati-hati dalam memberikan kredit, sedangkan pihak debitur diharpkan mampu manjalankan kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan sehingga kemungkinan munculnya sengketa dapat diminimalisir.


(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Dewasa ini perkembangan pembangunan ekonomi dalam bidang perbankan menunjukkan peningkatan yang pesat. Hal itu dapat dilihat dari semakin besarnya kredit yang disalurkan ke masyarakat sebagai akibat paket kebijakan di bidang perbankan.

Pembangunan ekonomi di bidang perbankan ini membutuhkan modal yang sangat besar dalam penanganannya, sehingga masalah hutang piutang dewasa ini sudah merupakan suatu masalah umum yang terjadi di dunia perbankan. Dalam perkembangannya, hutang piutang ini banyak dimanfaatkan di dalam dunia usaha. Hal ini sejalan dengan kemajuan yang dicapai dari kebijaksanaan pembangunan perekonomian yang menimbulkan permintaan akan modal melalui fasilitas kredit1.

Muchdarsyah Sinungan menyebutkan bahwa lembaga keuangan bank sangat dibutuhkan keberadannya oleh masyarakat sesuai dengan defenisinya, yaitu “lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa – jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”2. Lembaga keuangan dengan kegiatan utamanya

      

. Mantayborbir, dkk, Pengurusan Piutang Negara Macet Pada PUPN/BUPLN (Suatu

Kajian Teo  dan Praktik), (Medan:Putaka Bangsa press, 2001), hal. 1. 

S

ri

   Muchdarsyah Sinaung, Uang dan Bank, (Jakarta:Pudy Cipta, 1991), hal 11. Liat juga Muhammad Djumhana, Hukum perbankan di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, bandung, 2000, hal 77 mengatakan bahwa peranan lembaga keuangan yaitu sebagai perantara masyarakat (financial intermeditiary). 


(13)

menghimpun dana dan menyalurkan kredit, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam kegiatan prekonomian.

Lembaga keuangan bank tersebut di atas dalam operasionalnya diatur dalam Undang – Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang –Undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam pasal 1 angksaa 2 disebutkan “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk – bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

Bank dalam hal ini berperan sebagai pemberi kredit kepada debitur. Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas perkreditan yang sehat.

Faktor – faktor yang harus di perhatikan dalam pemberian kredit adalah sebagai berikut:

1. Harus dilakukan dengan menggunakan prinsip kehati – hatian (prudential principles)

2. Harus mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.

3. Wajib memenuhi cara – cara yang tidak merugikan bank dan masyarakat yang mempercayakan dananya pada bank.

4. Harus memperhatikan asas – asas perkreditan yang sehat.

Karena perkembangan ekonomi dan perdagangan akan diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit dan pemberian fasilitas kredit memerlukan jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut maka adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dihindari lagi. Karena itu pemberian kredit merupakan suatu keharusan yang tidak dapat dihindari lagi.


(14)

Karena itu pemberian kredit perlu didukung dengan agunan yang memadai sebagaimana disebutkan pada pasal 1 butir 23 Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 bahwa “Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”. Oleh karena itu agunan tersebut adalah upaya preventif apabila di kemudian hari pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) sesuai dengan persyaratan yang telah disepkati bersama, atau dengan istilah lain akhirnya akan melahirkan kredit bermasalah atau kredit macet.3

Dengan demikian berarti, istilah “agunan” sebagai terjemahan dari istilah collecteral merupakan bagian dari istilah “jaminan” pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Artinya pengertian “jaminan” lebih luas daripada pengertian “agunan”, dimana agunan berkaitan dengan “barang”, sementara “jaminan” tidak hanya berkaitan dengan “barang”, tetapi berkaitan pula dengan

chracter, capacity, capital dan condition of economic4 dari nasabah debitur yang

bersangkutan.

      

Munir Fuady, Hukum perbankan Modern, Buku I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal 201. Lihat Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku I, PT. Citra Aditya Bakti, bandung, 1996, hal 177. Lihat jug Rhmad Usman, Aspek – Aspek hukum perbankan Di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jkarta, 2001, hal 225, menyataka bank harus meyakini bahwa kredit yang akan diberikannya dapat dilunasi kembali pada waktunya oleh nasabah debitur dan tidak akan berkembang menjadi kredit bermasalah atau macet. Lihat juga hasanuddin Rahman, Aspek – Aspek Hukum pemberian kredit Perbankan di Indonesia (Panduan Dasar Legal Officer), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal 120.

 Djuhendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaaan Bahi Tanah Dan Benda Lain yang

Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Horisontal, (Bandung: Citra Aditya Bakti,


(15)

Menurut Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum perdata menetapkan bahwa

“Segala kebendaan siberutang, baik yang berupa benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak/benda tetap, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”5

Menurut J. Satrio hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan – jaminan piutang seorang kreditor terhadap seorang debitur. Ringkasnya hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang (J. Satrio, 2002: 3). 6

Hukum jaminan memiliki kaitan erat dengan bidang hukum benda dan perbankan yakni sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, yang salah satu usahanya adalah memberikan kredit. Di samping itu juga fungsi jaminan berfungsi melindungi bank dari kerugian yang terjadi baik disengaja maupun yang tidak di sengaja dari pihak debitur. Jaminan kredit biasanya harus melebihi nilai kredit yang diberikan, sehingga jaminan ini bisa dijadikan beban kepada debitur untuk dapat mengembalikan kredit dalam jangka waktu yang telah diperjanjikan.

Nilai dan legalitas dari sebuah jaminan yang dikuasai oleh bank atau yang disediakan oleh debitur harus cukup untuk menjamin fasilitas kredit yang diterima nasabah/ debitur.

      

R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Edisi Revisi,

cetakan du puluh delapan, PT. Pradnya Paramita, 1996, hal 291  

a


(16)

Kegunaan jaminan adalah untuk:

1. memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk dapat pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut, apabila nasabah melakukan cidera janji, yaitu, tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.

2. Menjamin agar nasabah berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang – kurangnya kemungkinan untuk dapat berbut demikian diperkecil terjadinya. 3. Memeberi dorongan kepada debitur (tertagih) unutuk memenuhi

perjanjiankredit khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar tidak kehilangan kekayaan yang telah dijamin kepada bank.

Perjanjian kredit harus diukung dengan jaminan dan agunan yang memadai. Dukungan jaminan ini merupakan upaya preventif bank, dimana apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi dikemudian hari maka bank dapat mengeksekui jaminan/agunan untuk membayar hutang dari debitur, maka didalam akta perjanjian kredit tersebut disebutkan jaminan atau agunan. Dalam hal si debitur melalaikan atau tidak memenuhi kewajiban – kewajibannya seperti apa yang telah disepakati bersama dalam perjanjian kredit atau adanya itikad tidak baik dari debitur maka terjadilah wanprestasi atau kredit macet.

Berbagai macam banyaknya barang jaminan yang dapat dijadikan sebagai jaminan kredit, maka dalam hal ini tanah merupakan barang jaminan yang banyak disukai oleh kreditur, karena tanah pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditur.


(17)

Menurut pasal 1 ayat (1) Undang – undang Hak Tanggungan menyebutkan bahwa:

Hak Tanggungan atas tanah beserta beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalh hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang – undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengfan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memeberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.7

Dengan keluarnya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah (UUHT) maka UUHT tersebutlah yang ada dan berlaku di Indonesia saat ini. Lahirnya undang – undang ini merupakan perwujudan dari ketentuan pasal 51 UUPA yang mengamanahkan terciptanya suatu lembaga jaminan yang dapat dibebankan pada hak atas tanah.

Dasar pertimbangan hukum terbentuknya UUHT diantaranya adalah sejalan dengan meingkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi dikaitkan dengan kebutuhan penyediaan dana yang cukup besar dan memerlukan suatu lembaga jaminan yang kuat serta mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan, hal ini dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan dapat memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Kreditur tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang menjadi pemegang Hak Tanggungan tersebut.

      

7

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-peraturan Hukum


(18)

Dasar pertimbangan hukum terbentuknya UUHT diantaranya adalah sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi dikaitkan dengan kebutuhan penyediaan dana yang cukup besar dan memerlukan suatu lembaga jaminan yang kuat serta mampu memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan.

Sambutan positif terhadap lahirnya UUHT muncul dari berbagai pihak termasuk lembaga perbankan milik Negara sebagai pihak pemberi kredit, dengan mengharapkan undang-undang ini dapat menjadi suatu lembaga jaminan yang kuat serta mampu memberikan kepastian hukum dalam rangka melindungi jaminan kreditnya, sebagaimana dijanjikan dengan ketentuan hukumnya. UUHT yang berlaku saat ini merupakan suatu lembaga jaminan hak atas tanah yang cukup kuat dan mempunyai ciri-ciri pokok sebagai berikut:

1. memberikan kedudukan yang diutamakan atau memiliki hak mendahului (prefern) bagi pemegangnya.

2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek jaminan itu berada

3. Memenuhi asas Spesialitas dan Publisitas yang dapat memihak pihak ketiga serta memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan.


(19)

Pada prinsipnya dalam suatu kredit perbankan menghendaki bahwa si debitur/penanggung hutang dapat mengembalikan hutang-hutangnya berupa hutang pokok dan bunga tepat waktu sesuai dengan perjanjian kepada kreditur/bank. Namun dapat pula terjadi bahwa si debitur/penanggung hutang tidak dapat mencicil/melunasi hutangnya berupa hutang pokok dan bunga kredit, baik sebahagian maupun keseluruhan tepat pada waktu yang diperjanjikan sehingga tunggkan hutang pokok maupun bunga kredit berubah statusnya menjadi kredit macet.

Dalam hal ini terjadi kredit macet biasanya terlebih dahulu diselesaikan secara intern oleh pihak bank dengan pihak penerima kredit (debitur), tapi kalau ternyata piutang tersebut tetap tidak dapat diselesaikan secara intern, hutang tersebut dikategorikan sebagai kredit macet. Maka jalan yang harus ditempuh oleh pihak bank selaku kreditur dalam upaya untuk mengebalikan uangnya adalah dengan menggugat nasabah atau debiturnya atas pertanggungan hutangnya melalui pengadilan negeri, tetapi khusus untuk bank pemerintah, sebelum keluarnya peraturan pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 maka usaha pengembalian kredit macet tersebut pengurusannya diserahan kepada Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Namun dengan keluarnya peraturan pemerintah nomor 33 tahun 2006 maka pengurusan piutang perusahaan Negara/daerah dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perseroan terbatas dan badan usaha milik Negara berserta peraturan pelaksanaannya.

Pada dasarnya baik kreditur maupun debitur tidak menghendaki transaksi kredit brakhir dengan jalan eksekusi jaminan. Kredit diberikan dengan harapan dapat


(20)

membantu debitur berusaha secara lebih baik dibandingkan sebelum menerima kredit, sehingga akan mampu memperoleh keuntungan lebih banyak dan dapat melunasi pinjamannya. Eksekusi jaminan hanya dijalankan bilamana tidak ada jalan lain yang lebih baik untuk menyelesaikan kredit bermasalah.

Banyak bank yang mengalami kesulitan dalam menangani kasus kredit, Karena tidak cermat dalam meneliti aspek hukum dan nilai harta yang diajukan oleh debitur sebagai jaminan kredit, walaupun di pengadilan bank menangani kredit bermasalah dengan debitur, namun pelaksanaan eksekusi jaminan sering kali memakan waktu yang dan biaya yang tidak sedikit. Eksekusi Hak Tanggungan telah diatur dalam pasal 20 dan pasal 21 UUHT. Apabila debitur cidera janji dapat ditempuh eksekusi Hak Tanggungan lewat dua kemungkinan yaitu:

1. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melelui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

2. Title eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan seperti putusan hakim yang memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini dilaksanakan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri di wilayah mana tanah tersebut terletak.

B. Perumusan masalah

Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat diasimpulkan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Dimanakah diatur mengenai tata cara eksekusi dalam peraturan perundang-undangan


(21)

2. Siapa pihak-pihak yang teribat dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan sebagai mana yang tertera dalam undang – undang?

3. Apakah prosedur pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh PT. BANK UOB BUANA dengan JOHN JERRY sebagai cidera janji dalam undang-undang telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku?

C. Tujuan dan Manfaat Peneliti11an

Berkaitan dengan uraian rumusan permasalahan diatas, maka tujuan penenilitan ini adalah sebagai berikut:

1. untuk mengetahui sebab-sebab eksekusi itu dilaksankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

2. untuk mengetahui siapa-siapa saja yang terlibat dalam pelaksanaan eksekusi

3. untuk mengetahui apakah kasus yang dibahas mengenai pelaksanaan eksekusi yang dilakukan telah benar terlaksana seperti di dalam undang- undang atau tidak,

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat:

1. secara teoritis dapat menambah kepustakaan tentang pelaksanaa eksekusi benda tidak bergerak sebagai jaminan hutang akibat wanprestasi debitur dan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu


(22)

pengetahuan hukum pada umumnya, juga menjadi bahan untuk pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut tetang pelaksanaan eksekusi benda tidak bergerak.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan membawa dampak positif bagi instansi pelaksana dari suatu eksekusi.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini yang berjudul: “Eksekusi Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Hutang Akibat Wanprestasi Debitur (Tinjauan kasus Pengadilan Negeri Medan)” merupakan hasil dari pemikiran penulis sendiri Judul ini diangkat agar diketahui lebih lanjut mengenai eksekusi dalam pelaksanaannya diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu Skripsi ini merupakan sebuah karya asli dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif dan terbuka. Tulisan ini belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada, penulisan penulis yakni substansi pembahasannya berbeda. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.


(23)

E. Tinjauan Kepustakaan

Istilah eksekusi menurut Subekti dan Retno Wulan Sutanto diartikan sebagai pelaksanaan putusan. R. Soepomo menyatakan bahwa hal menjalankan putusan hakim sama artinya dengan eksekusi.8

Eksekusi merupakan suatu tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah dari pelakasanaan tata tertib beracara di pengadilan.( Yahya Harahap:2004). Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain daripada melakasanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan “secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan alat-alat Negara apabila pihak yang kalah tiadak menjalankan secara sukarela. Pada masa belakangan ini, menurut yahya hampir baku dipergunakan istilah hukum “eksekusi” atau “menjalankan eksekusi” (Yahya Harahap).

Sita Eksekusi (executoir beslag) ialah sita yang yang diletakkan atau barang-barang yang tercantum dalam amar putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dimana barang – barang tersbut tidak dapat dieksekusi secara langsung, tetapi harus melalui pelangan.9

Hukum eksekusi mengatur cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna mambantu pihak berkepentingan untuk menjalankan putusan hakim, apabila pihak yang kalah tidak bersedia dengan sukarela memenuhi bunyi

      

 Soetarwo Soemowidjojo, eksekusi oleh PUPN, proyek pendidikan dan latihan BLPK Departeman Keungan RI, Jakarta 1996, hal 7, dikutip dari S. Mantayborbir, Iman Jauhari, Agus Hari Widodo, H kum piutang dan Lelang Negara di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa, 2002), hal 163. u


(24)

putusan dalam waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang.10 Hal tersebut memberikan kesempatan bagi pihak yang kalah untuk melaksanakan dengan sukarela putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, namun apabila pihak yang kalah tersebut tidak mau melaksanakannya, maka disinilah fungsi eksekusi tersebut. Akan tetapi. Menurut Wirjono Prodjodikoro11 tidak semua putusan pengadilan itu dilaksanakan, misalnya:

a. putusan yang menolak permohonan gugatan

b. putusan yang menyatakan suatu keadaan yang sah (atau disebut juga keputusan declaratoir)

c. putusan yang menciptakan suatu yang baru (putusan constitutief)

Di dalam KUH Perdata di temukan dua istilah yaitu, benda (zaak) dan barang (goed). Pada umumnya yang diartikan dengan benda (berwujud, bagian kekayaan, hak), ialah segala sesuatu / yang ‘dapat’ dikuasai manusia dan dapat dijadikan obyek hukum (499 KUHD). Pengertian ini adalah abstrak, yang dinamakan dengan istilah subyek hukum (pendukung hak dan kewajiban). Kata ‘dapat’ di sini mempunyai arti yang penting, karena membuka berbagai kemungkinan, yaitu pada saat-saat yang tertentu sesuatu itu belum berstatus sebagai obyek hukum, namun pada saat-saat yang lain merupakan byek hukum, seperti aliran listrik. Untuk menjadi obyek hukum ada syarat harus dipenuhi yaitu penguasaan manusia dan mempunyai nilai ekonomi dan karena itu dapat dijadiakan sebagai obyek (perbuatan) hukum.

      

10

R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, (Jakarta: Fazco, 1958), Hal 175

11

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1962), hal 100.


(25)

Terlihat di sini ‘proses’ yang teriakat pada waktu jika seseorang membuka hutan, dan mengolahnya, lahir penguasaan terhadap tanah tersebut. Penguasaan itu menjadi pasti setelah pohon-pohon yang ditanami pembuka tanah itu tumbuh berbuah, sehingga hutan yang dibuka itu tadi, bukan lagi merupakan ‘res nulus’ akan tetapi sudah ada pemiliknya.12

Benda dalam arti Ilmu Pengetahuan Hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum sedangkan menurut pasal 499 KUHD benda ialah segala barang dan hak yang dapat menjadi milik orang (objek hak milik). Benda-benda tersebut dapat dibedakan menjadi:13

a. Benda tetap ialah benda-benda yang karena sifatnya, tujuannya atau penetapan undang-undang dianyatakan sebagai benda tak bergerak misalnya bangun-bangunan, tanah tanam-tanaman (karena sifatnya) mesin-mesin pabrik, sarang burung yang dapat dimakan (karena tujuannya), hak postal, hak erpah, hak hipotik (karena penentuan undang-undang) dan sebagainya.

b. Benda bergerak ialah benda-benda yang karena sifatnya atau karena penentuan undang-undang dianggap benda bergerak misalnya alat-alat pekakas, kenderaan, binatang (karena sifatnya), hak-hak yang terdapat surat-surat berharga (karena undang-undang dan sebagainya).

Benda tidak bergerak di dalam KUH Perdata terletak di dalam pasal 509 yang menyebabkan adanya penggolongan benda, penggolongan itu terjadi karena:14

1. sifatnya sendiri menggolongkan kedalam golongan itu, misalnya:

a. Tanah serta segala yang tetap ada disitu, umpamanya bangunan, tanaman, pohon-pohonan, kekayaan alam yang ada di dalam bumi dan

ng belum terpisah dari rumah itu. barang-barang ya

      

       

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional,(Bandung: Alumni, 19 ), Hal 35.

  97

 C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-asas

Hukum Pe ata Cetakan ke Tiga, (Jakarta: Pradya Paramita, 2000) Hal 157. rd


(26)

b. Rumah

2. tujuan menggolongkannya ke dalam golongan itu misalnya:

a. Segala macam peralatan yang dipergunakan buat suatu pabrik, atau pertukangan besi.

b. Segala macam kaca, gambar serta perhiasan lain yang diikatkan atau diantungkan atau merupakan bagian dari dinding atau kamar atau ruangan pada sebuah rumah atau tempat tinggal

c. Segala macam pupuk yang dipergunakan untuk tanah d. Ikan-ikan yang masih dalam kolam-kolam dan sebagainya. 3. Undang-undang menggolongkan ke dalam golongan itu misalnya:

a. hak penggunaan hasil atau pemakaian dasi benda itu b. hak servitut

c. hak optal

d. segala macam tuntutan hukum untuk menuntut kembali suatu barang yang tak bergerak

Pada sistem perbankan juga dikenal istilah mengenai jaminan dari suatu benda, khusunya benda tidak bergerak. Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa objek dari jaminan merupakan benda.

Jaminan adalah suatu benda atau barang yang dijadikan sebagai tanggungan dalam bentuk pinjaman uang. Selain itu jaminan menurut kamus diartikan sebagai tanggungan (Wjs Poerwardaminta, kamus umum bahasa Indonesia). Di dalam literatur lain disebutkan bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan (Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok hukum perikatan dan Jamin).

Istilah “Jaminan” merupakan terjemahan dari istilah Zakerhaeid atau cautie yaitu kemampuan debitur untuk memenuhi atau melunasi perutangannya kepada kreditor, yang dilakukan dengan cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis


(27)

sebagai tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur terhadap kreditornya. 15

Dalam perspektif hukum perbankan, istilah “jaminan” ini dibedakan dengan istilah “agunan”. Di bawah Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, tidak dikenal dengan istilah “agunan”, yang ada istilah “jaminan”. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan sebagai mana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, memberi pengertian yang tidak sama dengan istilah “jaminan” menurut Udang-Undang Nomor 14 Tahun 1967.

Arti jaminan menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 diberi istilah “agunan” atau “tanggungan”, sedangkan “jaminan” menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, diberi arti lain, yaitu “keyakinan atas itikad dengan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan Perjanjian”.

Jaminan hutang dari suatu kegiatan kredit di dalam bank diartikan sebagai “benda” dimana benda tersebut dijadikan sebagai alat untuk menjamin si debitur membayar kewajiban/hutangnya terhadap kreditur. Jaminan hutang ini dimungkinkan, ketika si debitur tidak dapat membayar hutangnya, maka jaminan tersebut sebagai pegangan kreditur agar tidak rugi.

      

       


(28)

Sebuah perjanjian kredit memerlukan jaminan, dimana jaminan itu berupa benda, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Dalam perjanjian kredit sering terjadi suatu kecurangan-kecurangan, yaitu berupa cidera janji atau dapat disebut juga wanprestasi. Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa belanda “wanprestatie”, artinya tidak memenuhu kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.16

Wanprestasi juga terdapat di dalam kitap Undang – Undang Hukum Perdata yang terletak di dalam pasal 1238, bahwa “si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau denagn sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa siberutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dengan demikian wanprestasi merupakan sebuah bentuk perbuatan yang dilakuka seseorang dengan sengaja maupun tidak disengaja untuk mengingkari suatu perjanjian yang telah dibuat, antara kreditur dan debitur.

Dengan adanya sebuah perjanjanjian maka salah satu yang sangat diperhatikan adalah debitur. Debitur merupakan pihak peminjam kepada pihak kreditur. Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, ‘Nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan

      

 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan Cetakan Ke Dua, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal 20.


(29)

berdasarkan prinsip syariah atau dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

F. Metode Penelitian

Untuk menghasilkan karya tulis lmiah yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya maka harus didukung dengan fakta-fakta/dalil-dalil yang akurat yang diperoleh melalui penelitian. Penelitian pada dasarnya merupakan suatu upaya pencarian dan bukannya sekedar mengamati dengan teliti terhadap sesuatu objek yang mudah terpegang, di tangan.17

Pada dasarnya sesuatu yang dicari itu tidak lain adalah pengetahuan atau lebih tepatnya pengetahuan yang benar, dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.18

Dalam penulisan skripsi ini penulis berusaha untuk mengumpulkan informasi dan data-data yang diperlukan untuk menjadi bahan dalam penulisan skripsi ini. Bahan-bahan yang telah dikumpulkan tersebut haruslah mempunyai hubungan satu sama lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah Penelitian Hukum Normitif, penelitian ini sering juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen.

      

17

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997), hal. 27.

18


(30)

Penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lain.19

2. Data dan Sumber Data

Pada umumnya data dibagi dalam dua jenis data yakni data primer dan data sekunder. Data primer (primary data) adalah data yang diperoleh peneliti langsung dari sumber pertama, yakni perilaku individu atau masyarakat. Untuk memperoleh data primer, perlu dilakukan pengumpulan data langsung kepada masyarakat dengan cara wawancara, quisioner/angket, pengamatan (observasi) baik secara partisipatif maupun nonpartisipatif. Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh dari sumber pertama. Data sekunder bisa diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya.20

Pada penulisan skripsi ini data yang digunakan adalah data sekunder. Di dalam penelitian hukum, data skunder mencakup:21

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari: (a) Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu pembukaan UUD 1945; (b) Perturan Dasar:mencakup diantaranya Batang Tubuh UUD 1945; (c) peraturan perundang-undangan; (d) Bahan hukum yang tidak

      

        Ali Murthado, Mustafa Kamal Rokan, Metode Penelitian Hukum suatu pemikiran

dan penerapan, (Medan: Wal Ashri Publishing, 2008), hal 27.  

 Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Bahan Ajar Metode Penelitian dan Penulisan

Hukum,(Medan : Fakultas Hukum USU), hal. 29.  


(31)

dikodifikasikan, seperti hukum adat; (e) Yurisprudensi; (f) Traktat; (g) Bahan Hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku. b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti rancangan UU, hasil-hasil penelitian, hasil karya dar kalangan hukum seterusnya.

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan pentunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya.

3. Alat Pengumpul Data

Pada skripsi ini digunakan alat pengumpul data yang digunakan yakni, Studi Kepustakaan, yakni penelitian yang dilakukan berdasarkan bahan-bahan bacaan, dengan cara membaca buku-buku, literatur-literatur, dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis Data

Sebagai penelitian normatif Ronald Dworkin dalam buku Ali Murthado menyatakan penelitian harus berbasis pada analisis norma hukum, baik hukum dalam arti law as it is written in the the books maupun hukum sebagai putusan-putusan pengadilan (law as it is decided by judge throught judicial process). Dengan demikian objek yang dianalisis adalah norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, maupun keputusan- keputusan majelis hakim atau pengadilan.


(32)

G. Sistematika Penulisan

Di dalam penulisan skripsi sangatlah diperlukan suatu sistematika penulisan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam melakukan penulisan ini, dan juga untuk memudahkan pembaca untuk mengerti dan memahami isi dari skripsi ini. Skripsi ini dibahas dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari sub-sub bab. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan merupakan gambaran terhadap masalah-masalah yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya. Pada bab ini terdiri atas 7 (tujuh) sub bab yakni latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM ATAS WANPRESTASI PADA BENDA TIDAK BERGERAK

Pada bab ini dibahas mengenai pengertian wanprestasi secara menditail dan pengertian benda tidak bergerak. Bab ini terdiri dari 4 (empat) sub bab yakni, pengertian wanprestasi, sebab terjadinya wanprestasi, akibat wanprestasi, dan pengertian benda di dalam kitab undang-undang hukum perdata.

BAB III : TINJAUAN UMUM ATAS JAMINAN HUTANG DAN EKSEKUSI Pada bab ini dibahas mengenai pemahaman mengenai jaminan hutang dan eksekusi secara mendalam. Bab ini terdiri dari 5 (lima) sub judul yakni,


(33)

pengertian jaminan hutang, proses terlaksananya hutang dengan jaminan, pengaturan tentang jaminan hutang, pengertian eksekusi, objek eksekusi dan, proses pelaksanaannya.

BAB IV : PENELAAHAN KASUS PENETAPAN NOMOR 31 / Eks / HT / 2008 / PN. Mdn

Pada bab ini akan dibahas mengenai kasus terjadi pada perjanjian kredit antara PT BANK OUB BUANA Tbk (kreditur) dengan JHON JERRY(debitur). Bab ini terdiri dari 3 (tiga) sub bab yakni, praturan tentang proses eksekusi, pihak – pihak yang terkait dengan proses eksekusi, penelaahan kasus Nomor 31 / Eks /HT / 2008.


(34)

BAB II

TINJAUAN UMUM ATAS WANPRESTASI PADA BENDA TIDAK BERGERAK

A. Pengertian Wanprestasi 1. Prestasi

Prestasi merupakan hal yang harus dilaksanakan dalam suatu perikatan.22

Pemenuhan prestasi merupakan hakikat dari suatu perikatan. Kewajiban memenuhi prestasi dari debitur selalui disertai dengan tanggung jawab (liability), artinya debitur mempertaruhkan harta kekayaannya sebagai jaminan pemenuhan hutangnya kepada kreditur. Menurut ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata, semua harta kekayaan debitur baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada menjadi jaminan pemenuhan hutangnya terhadap kreditur, jaminan semacam ini disebut jaminan umum.23

Pada prakteknya tanggung jawab berupa jaminan harta kekayaan ini dapat dibatasi sampai jumlah yang menjadi kewajiban debitur untuk memenuhinya yang disebutkan secara khusus dan tertentu dalam perjanjian, ataupun hakim dapat menetapkan batas-batas yang layak atau patut dalam keputusannya. Jaminan harta kekayaan yang dibatasi ini disebut jaminan khusus.24 Artinya jaminan khusus itu

hanya mengenai benda tertentu saja yang nilainya sepadan dengan nilai hutang

      

22

Mariam Darus Badrulzaman, Asas-Asas Hukum Perikatan, (Medan: FH USU,1970), hal 8.

23

Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal 17.

24


(35)

debitur, misalnya rumah,kendaraan bermotor. Bila debitur tidak dapat memenuhi prestasinya maka benda yang menjadi jaminan khusus inilah yang dapat diuangkan untuk memenuhi hutang debitur.

Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suatu perikatan. Apabila esensi ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut ,yakni :25

i. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan ii. Harus mungkin

iii. Harus diperbolehkan (halal)

iv. Harus ada manfaatnya bagi kreditur

v. Bisa terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan

2. Wanprestasi

Semua subjek hukum baik manusia atau badan hukum dapat membuat suatu persetujuan yang menimbulkan prikatan diantara pihak-pihak yang membuat persetujuan tersebut. Persetujuan ini mempunyai kekuatan yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut sebagai mana yang diatur di dalam pasal 1338 KUH Perdata.

Di dalam perjanjian selalu ada dua subjek yaitu pihak yang berkewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi dan pihak yang berhak atas suatu prestasi.

      

25


(36)

Didalam pemenuhan suatu prestasi atas perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tidak jarang pula debitur (nsabah) lalai melaksanakan kewajibannya atau tidak melaksanakan kewajibannya atau tidak melaksanakan seluruh prestasinya, hal ini disebut wanprestasi.

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.26

Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdaspat di berabgai istilah yaitu: “ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.

Dengan adanya bermacam-macaam istilah mengenai wanprestsi ini, telah menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestsi”. Ada beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai wanprestsi tersebut.

      

26


(37)

Dr. Wirjono Prodjodikoro SH, mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali daslam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi”.27

Prof. R. Subekti, SH, mengemukakan bahwa “wanprestsi” itu asalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam yaitu:

1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya.

2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang diperjanjikan.

3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat,

4. Selakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.28

H. Mariam Darus Badrulzaman SH, mengatakan bahwa apabila debitur “karena kesalahannya” tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan, maka debitur itu wanprestasi atau cidera janji. Kata karena salahnya sangat penting, oleh karena dabitur tidak melaksanakan prestasi yang diperjanjikan sama sekali bukan karena salahnya.29

      

R.Subekti, Hukum perjanjian Cet.ke-II,(Jakarta: Pembimbing Masa, 1970), hal 50 .  Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur, hal 17.  


(38)

Menurut M.Yahya Harahap bahwa “wanprestasi” dapat dimaksudkan juga sebagai pelaksanaan kewajuban yang tidak tepat pada waktunya atau dilaksankan tidask selayaknya.30

Hal ini mengakibatkan apabila salah satu pihak tidak memnuhi atau tidak melaksanakan isi perjanjian yang telah mereka sepakati atau yang telah mereka buat maka yang telah melanggar isi perjajiab tersebut telah melakukan perbuatan wanprestasi.

Dari uraian tersebut di atas kita dapat mengetahui maksud dari wanprestasi itu, yaitu pengertian yang mengatakan bahwa seorang diakatakan melakukan wanprestasi bilamana : “tidak memberikan prestasi sama sekali, telamabat memberikan prestasi, melakukan prestsi tidak menurut ketentuan yang telah ditetapkan dalam pejanjian”.

Faktor waktu dalam suatu perjanjian adalah sangat penting, karena dapat dikatakan bahwa pada umumnya dalam suatu perjanjian kedua belah pihak menginginkan agar ketentuan perjanjian itu dapat terlaksana secepat mungkin, karena penentuan waktu pelaksanaan perjanjian itu sangat penting untuk mengetahui tibanya waktu yang berkewajiban untuk menepati janjinya atau melaksanakan suatu perjanjian yang telah disepakati.

Dengan demikian bahwa dalam setiap perjanjian prestasi merupakan suatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perjanjian. Prests merupakan isi dari

      


(39)

suatu perjanjian, pabila debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian maka dikatakan wanprestasi.

Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

B. Macam-Macam Prestasi dan Wanprestasi

Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata, tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

Maka dari itu wujud prestasi itu berupa : 1. Memberikan Sesuatu

Dalam pasal 1235 dinyatakan :“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahannya.

Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap perjanjian-perjanjian tertentu, yang akibat-akibatnya mengenai hal ini ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan”

Pasal ini menerangkan tentang perjanjian yang bersifat konsensual (yang lahir pada saat tercapainya kesepakatan) yang objeknya adalah barang, dimana sejak


(40)

saat tercapainya kesepakatan tersebut, orang yang seharusnya menyerahkan barang itu harus tetap merawat dengan baik barang tersebut sebagaimana layaknya memelihara barang kepunyaan sendiri sama halnya dengan merawat barang miliknya yang lain,yang tidak akan diserahkan kepada orang lain.31

Kewajiban merawat dengan baik berlangsung sampai barang tersebut diserahkan kepada orang yang harus menerimanya. Penyerahan dalam pasal ini dapat berupa penyerahan nyata maupun penyerahan yuridis.32

2. Berbuat Sesuatu

Berbuat sesuatu dalam suatu perikatan yakni berarti melakukan perbuatan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan. Jadi wujud prestasi disini adalah melakukan perbuatan tertentu.33 Dalam melaksanakan prestasi ini debitur harus

mematuhi apa yang telah ditentukan dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diperjanjikan oleh para pihak. Namun bila ketentuan tersebut tidak diperjanjikan, maka disini berlaku ukuran kelayakan atau kepatutan yang diakui dan berlaku dalam masyarakat.34 Artinya

sepatutnya berbuat sebagai seorang pekerja yang baik.

      

31

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233

sampai 1456 BW, (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2008), hal. 5.

32

J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1999), hal. 84.

33

Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 19.

34


(41)

3. Tidak Berbuat Sesuatu

Tidak berbuat sesuatu dalam suatu perikatan yakni berarti tidak melakukan suatu perbuatan seperti yang telah diperjanjikan.35 Jadi wujud prestasi di sini adalah

tidak melakukan perbuatan. Di sini kewajiban prestasinya bukan sesuatu yang bersifat aktif, tetapi justru sebaliknya yaitu bersifat pasif yang dapat berupa tidak berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu berlangsung.36 Disini bila ada pihak yang berbuat

tidak sesuai dengan perikatan ini maka ia bertanggung jawab atas akibatnya. 4. Wujud wanprestasi

Untuk menetapkan apakah seorang debitur itu telah melakukan wanprestasi dapat diketahui melalui 3 keadaan berikut :37

1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali

Artinya debitur tidak memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan undang-undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang.

2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru

Artinya debitur melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut kualitas yang ditentukan dalam perjanjian atau menurut kualitas yang ditetapkan oleh undang-undang.

      

35

Ibid.

36

J.Satrio, Op. cit, hal. 52. 

37


(42)

3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya

Artinya debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat, waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi.

Prof. Subekti menambah lagi keadaan tersebut di atas dengan “melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya”.

C.Sebab Terjadinya Wanprestasi

Dalam pelaksanaan isi perjanjian sebagaimana yang telah ditentukan dalam suatu perjanjian yang sah, tidak jarang terjadi wanprestasi oleh pihak yang dibebani kewajiban (debitur) tersebut. Tidak dipenuhinya suatu prestasi atau kewajiban (wanprestasi) ini dapat dikarenakan oleh dua kemungkinan alasan. Dua kemungkinan alasan tersebut antara lain yakni :

1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun kelalaiannya.

Kesalahan di sini adalah kesalahan yang menimbulkan kerugian.38Dikatakan

orang mempunyai kesalahan dalam peristiwa tertentu kalau ia sebenarnya dapat menghindari terjadinya peristiwa yang merugikan itu baik dengan tidak berbuat atau berbuat lain dan timbulnya kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya. Dimana tentu kesemuanya dengan memperhitungan keadaan dan suasana pada saat peristiwa itu terjadi.

Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada unsur kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang merugikan itu pada diri debitur yang

      

38


(43)

dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Kita katakan debitur sengaja kalau kerugian itu memang diniati dan dikehendaki oleh debitur, sedangkan kelalaian adalah peristiwa dimana seorang debitur seharusnya tahu atau patut menduga, bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan timbul kerugian.39

Disini debitur belum tahu pasti apakah kerugian akan muncul atau tidak, tetapi sebagai orang yang normal seharusnya tahu atau bisa menduga akan kemungkinan munculnya kerugian tersebut.40 Dengan demikian kesalahan disini berkaitan dengan masalah

“dapat menghindari” (dapat berbuat atau bersikap lain) dan “dapat menduga” (akan timbulnya kerugian).41

2. Karena keadaan memaksa (overmacht / force majure) , diluar kemampuan debitur,debitur tidak bersalah.

Keadaan memaksa ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.42 Vollmar menyatakan bahwa overmacht itu hanya dapat timbul dari

kenyataan-kenyataan dan keadaan-keadaan tidak dapat diduga lebih dahulu.43 Dalam

hukum anglo saxon (Inggris) keadaan memaksa ini dilukiskan dengan istilah “frustration” yang berarti halangan, yaitu suatu keadaan atau peristiwa yang terjadi

      

39

J. Sa rio, Op. cit, hal. 91. t

40

Ibid.

41

Ibid. 

42

Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 27.

43


(44)

diluar tanggung jawab pihak-pihak yang membuat perikatan (perjanjian) itu tidak dapat dilaksanakan sama sekali.44

Dalam keadaan memaksa ini debitur tidak dapat dipersalahkan karena keadaan memaksa tersebut timbul diluar kemauan dan kemampuan debitur. Wanprestasi yang diakibatkan oleh keadaan memaksa bisa terjadi karena benda yang menjadi objek perikatan itu binasa atau lenyap, bisa juga terjadi karena perbuatan debitur untuk berprestasi itu terhalang seperti yang telah diuraikan diatas. Keadaan memaksa yang menimpa benda objek perikatan bisa menimbulkan kerugian sebagian dan dapat juga menimbulkan kerugian total. Sedangkan keadaan memaksa yang menghalangi perbuatan debitur memenuhi prestasi itu bisa bersifat sementara maupun bersifat tetap.45

Unsur –unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa itu ialah :46

a) Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap

b) Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara.

c) Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak, khususnya debitur.

Ajaran tentang Keadaan Memaksa (overmacht)

Mengenai keadaan memaksa yang menjadi salah satu sebab timbulnya wanprestasi dalam pelaksaanaan perjanjian. Dikenal dua macam ajaran mengenai

      

44

Ibid. Hal. 27.

45

Ibid.

46


(45)

keadaan memaksa tersebut dalam ilmu hukum, yaitu ajaran memaksa yang bersifat objektif dan subjektif. Yang mana ajaran mengenai keadaan memaksa (overmachtsleer) ini sudah dikenal dalam Hukum Romawi, yang berkembang dari janji (beding) pada perikatan untuk memberikan suatu benda tertentu.47

Dalam hal benda tersebut karena adanya keadaan yang memaksa musnah maka tidak hanya kewajibannya untuk menyerahkan tetapi seluruh perikatan menjadi hapus, tetapi prestasinya harus benar-benar tidak mungkin lagi.48 Pada awalnya dahulu hanya

dikenal ajaran mengenai keadaan memaksa yang bersifat objektif. Lalu dalam perkembangannya, kemudian muncul ajaran mengenai keadaan memaksa yang bersifat subjektif.

1. Keadaan memaksa yang bersifat objektif

Objektif artinya benda yang menjadi objek perikatan tidak mungkin dapat dipenuhi oleh siapapun.49 Menurut ajaran ini debitur baru bisa

mengemukakan adanya keadaan memaksa (overmacht) kalau setiap orang dalam kedudukan debitur tidak mungkin untuk berprestasi (sebagaimana mestinya).50 Jadi keadaan memaksa tersebut ada jika setiap orang sama

sekali tidak mungkin memenuhi prestasi yang berupa benda objek perikatan itu. Oleh karena itu ukurannya “orang” (pada umumnya) tidak bisa

dak bisa berprestasi, sehingga kepribadiannya, berprestasi bukan “debitur” ti

      

47

J. Satrio, Op. cit. hal. 254

48

Ibid.

49

Abdulkadir Muhammad, Op. cit. hal. 28.

50


(46)

kecakapan, keadaannya, kemampuan finansialnya tidak dipakai sebagai ukuran, yang menjadi ukuran adalah orang pada umumnya dan karenanya dikatakan memakai ukuran objektif.51 Dasar ajaran ini adalah

ketidakmungkinan. Vollmarr menyebutkan keadaan memaksa ini dengan istilah “absolute overmacht” apabila benda objek perikatan itu musnah diluar kesalahan debitur.52 Marsch and soulsby juga menyatakan bahwa suatu

perjanjian tidak mungkin dilaksanakan apabila setelah perjanjian dibuat terjadi perubahan dalam hukum yang mengakibatkan bahwa perjanjian yang telah dibuat itu menjadi melawan hukum jika dilaksanakan.53

Dalam keadaan yang seperti ini secara otomatis keadaan memaksa tersebut mengakhiri perikatan karena tidak mungkin dapat dipenuhi. Dengan kata lain perikatan menjadi batal, keadaan memaksa disini bersifat tetap.54

2. Keadaan Memaksa yang Bersifat Subjektif

Dikatakan subjektif dikarenakan menyangkut perbuatan debitur itu sendiri, menyangkut kemampuan debitur sendiri, jadi terbatas pada perbuatan atau kemampuan debitur.55 Salah seorang sarjana yang terkenal

mengembangkan teori tentang keadaan memaksa adalah houwing. Menurut pendapatnya keadaan memaksa ada kalau debitur telah melakukan segala n yang berlaku dalam masyarakat yeng upaya yang menurut ukura

      

51

Ibid. Hal. 255.

52

Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.

53

Abdulkadir Muhammad, Op. cit. hal. 29.

54

Ibid.

55


(47)

bersangkutan patut untuk dilakukan,sesuai dengan perjanjian tersebut.56

Yang dimaksud dengan debitur oleh houwing adalah debitur yang bersangkutan. Disini tidak dipakai ukuran “debitur pada umumnya”(objektif), tetapi debitur tertentu, jadi subjektif. Oleh karena yang dipakai sebagai ukuran adalah subjek debitur tertentu, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari pertimbangan “debitur yang bersangkutan dengan semua ciri-cirinya” atau dengan perkataan lain kecakapan, tingkat sosial, kemampuan ekonomis debitur yang bersangkutan turut diperhitungkan.57

Dasar ajaran ini adalah kesulitan-kesulitan. Menurut ajaran ini debitur itu masih mungkin memenuhi prestasi walaupun mengalami kesulitan atau menghadapi bahaya. Vollmar menyebutnya dengan istilah “relatieve overmacht”. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara.58 Oleh

karenanya perikatan tidak otomatis batal melainkan hanya terjadi penundaan pelaksanaan prestasi oleh debitur. Jika kesulitan yang menjadi hambatan pelaksanaan prestasi tersebut sudah tidak ada lagi maka pemenuhan prestasi diteruskan.

Timbulnya ajaran mengenai keadaan memaksa seperti yang telah diuraikan di atas dikarenakan keadaan memaksa tidak mendapatkan

      

56

J. Satrio, Hukum Perikatan, (Bandung : Alumni, 1999), hal. 263, dikutip dari V.Brakel, Leerboek van het Nederlandse Verbintenissenrecht, Jilid Kesatu, Cetakan Keempat, Tjeenk Willink, Zwolle, 1948, hal. 122

57

Ibid. Hal. 263.

58


(48)

pengaturan secara umum dalam undang-undang.59 Karena itu hakim

berwenang menilai fakta yang terjadi (wanprestasi) bahwa debitur sedang dalam keadaan memaksa (overmacht) atau tidak, sehingga diketahui apakah debitur dapat dibebani kewajiban atas resiko atau tidak atas wanprestasi tersebut.

D. Akibat Hukum Dari Wanprestasi

1. Akibat Hukum dari Wanprestasi karena Kesalahan Debitur

Sejak kapan debitur dapat dikatakan dalam keadaan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi, hal ini sangat perlu dipersoalkan, karena wanprestasi tersebut memiliki konsekuensi atau akibat hukum bagi debitur. Untuk mengetahui sejak kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi maka perlu diperhatikan apakah di dalam perikatan yang disepakati tersebut ditentukan atau tidak tenggang pelaksanaan pemenuhan prestasi.

Dalam perjanjian untuk memberikan sesuatu atau untuk melakukan sesuatu pihak-pihak menentukan dan dapat juga tidak menentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi oleh debitur.60 Dalam hal tenggang waktu

pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan maka dipandang perlu untuk memperingatkan debitur guna memenuhi prestasinya tersebut dan dalam hal tenggang

      

59

Ibid. Hal. 31.

60


(49)

waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi ditentukan maka menurut ketentuan pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.61

Pasal 1238 KUHPerdata :

“Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

Pasal ini menerangkan bahwa wanprestasi itu dapat diketahui dengan 2 cara, yaitu sebagai berikut :62

1. Pemberitahuan atau somasi, yaitu apabila perjanjian tidak menentukan waktu tertentu kapan seseorang dinyatakan wanprestasi atau perjanjian tidak menentukan batas waktu tertentu yang dijadikan patokan tentang wanprestasi debitur, harus ada pemberitahuan dulu kepada debitur tersebut tentang kelalaiannya atau wanprestasinya. Jadi pada intinya ada pemberitahuan, walaupun dalam pasal ini dikatakan surat perintah atau akta sejenis. Namun, yang paling penting ada peringatan atau pemberitahuan kepada debitur agar dirinya mengetahui bahwa dirinya dalam keadaan wanprestasi.

      

61

Ibid, Hal. 22.

62


(50)

2. Sesuai dengan perjanjian, yaitu jika dalam perjanjian itu ditentukan jangka waktu pemenuhan perjanjian dan debitur tidak memenuhi pada waktu tersebut, dia telah wanprestasi.

Ketentuan pasal 1238 KUHPerdata ini hanya mengatur tentang perikatan untuk memberikan sesuatu, sedangkan perikatan untuk berbuat sesuatu tidak ada ketentuan spesifik semacam pasal ini. Namun ketentuan pasal ini dapat juga diikuti oleh perikatan untuk berbuat sesuatu.63Sebaiknya ketentuan pasal 1238 KUHPerdata

ini dapat diperluas juga meliputi perikatan untuk berbuat sesuatu. Jadi dalam penyusunan hukum perikatan nasional nanti ketentuan semacam pasal ini dapat ditiru dan meliputi perikatan untuk memberikan sesuatu dan perikatan untuk berbuat sesuatu.64

Dalam perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, prestasinya adalah tidak berbuat sesuatu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Dalam hal ini tidak perlu dipersoalkan apakah ditentukan jangka waktu atau tidak. Karena sejak perikatan itu berlaku dan selama perikatan tersebut berlaku, kemudian debitur melakukan perbuatan itu maka ia dinyatakan telah lalai (wanprestasi).65

Adapun akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi, adalah hukuman atau sanksi sebagai berikut :66

      

63

Abdulkadir Muhammad, Loc. cit.

64

Ibid.

65

Ibid. Hal. 23.

66


(51)

a) Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur

Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan. Apakah yang dimaksud dengan ganti rugi , kapan ganti kerugian itu timbul, dan apa yang menjadi ukuran ganti kerugian tersebut, dan bagaimana pengaturannya dalam undang-undang.

Pasal 1243 KUHPerdata :

“penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan dan dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.”

Berdasarkan pasal ini, ada dua cara penentuan titik awal penghitungan ganti kerugian, yaitu sebagai berikut :

a. Jika dalam perjanjian itu tidak ditentukan jangka waktu, pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak pihak tersebut telah dinyatakan lalai, tetapi tetap melalaikannya.

b. Jika dalam perjanjian tersebut telah ditentukan jangka waktu tertentu, pembayaran ganti kerugian mulai dihitung sejak terlampauinya jangka waktu yang telah ditentukan tersebut.67

      

67


(52)

Yang dimaksud dengan ganti kerugian itu ialah ganti kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi karena lalai. Ganti kerugian itu haruslah dihitung berdasarkan nilai uang, jadi harus berupa uang bukan berupa barang. Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata ganti kerugian terdiri dari 3 (tiga) unsur, yakni :

(1) Ongkos-ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan (cost), misalnya ongkos cetak, biaya materai, biaya iklan.

(2) Kerugian karena kerusakan, kehilangan atas barang kepunyaan kreditur akibat kelalaian debitur (damages). Kerugian disini adalah sungguh-sungguh diderita, misalnya busuknya buah – buahan karena kelambatan penyerahan, ambruknya sebuah rumah karena salah konstruksi sehingga merusak perabot rumah tangga, lenyapnya barang karena terbakar.

(3) Bunga atau keuntungan yang diharapkan (interest). Karena debitur lalai, kreditur kehilangan keuntungan yang diharapkannya.

Dalam ganti kerugian itu tidak senantiasa ketiga unsur itu harus ada. Minimal ganti kerugian itu adalah kerugian yang sesungguhnya diderita oleh kreditur (unsur 2).68Meskipun debitur telah melakukan wanprestasi dan diharuskan membayar

sejumlah ganti kerugian, undang-undang masih memberikan pembatasan-pembatasan yaitu : dalam hal ganti kerugian yang sebagaimana seharusnya dibayar oleh debitur

      

68


(53)

atas tuntutan kreditur. Pembatasan-pembatasan itu diberikan undang-undang sebagai bentuk perlindungan terhadap debitur dari perbuatan kesewenang-wenangan kreditur.

Pembatasan-pembatasan tersebut dapat kita liat pada pasal 1247 dan 1248 KUHPerdata.

Pasal 1247 KUHPerdata :

“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi, dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya.”

Pasal ini sebagai penegasan tentang pembatasan ganti kerugian yang dapat dituntut dari debitur, yaitu kerugian yang nyata – nyata telah dapat diperhitungkan pada saat perjanjian tersebut dibuat oleh para pihak.69

Pasal 1248 KUHPerdata :

“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi, dan bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan.”

      

69


(54)

Pasal ini sebenarnya memberikan juga perlindungan kepada debitur yang walaupun melakukan tipu daya terhadap kreditur, ganti kerugian yang harus dibayarnya hanya meliputi kerugian langsung sebagai akibat wanprestasinya debitur.70

Dari ketentuan dua pasal ini dapat diketahui bahwa ada dua pembatasan kerugian :

a. Kerugian yang dapat diduga ketika membuat perikatan. b. Kerugian sebagai akibat langsung dari wanprestasi (lalai).71

Selain pembatasan seperti yang telah diuraikan di atas, masih ada lagi pembatasan pembayaran ganti rugi itu, yaitu dalam perjanjian yang prestasinya berupa pembayaran sejumlah uang. Hal ini dapat kita lihat pada ketentuan pasal 1250 KUHPerdata.

Pasal 1250 ayat 1 KUHPerdata :

“Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang, dan tidak mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus”.

Penggantian biaya, rugi, dan bunga tersebut wajib dibayar, dengan tidak usah dibuktikannya sesuatu kerugian oleh si berpiutang.

      

70

Ibid.

71


(55)

Penggantian biaya, rugi dan bunga itu hanya harus dibayar terhitung mulai dari ia diminta di muka Pengadilan, kecuali dalam hal-hal dimana undang-undang menetapkan bahwa ia berlaku demi hukum.”

Maksud pasal ini adalah bahwa setiap tagihan yang berupa uang, yang pembayarannya terlambat dilakukan oleh pihak debitur, maka tuntutan ganti kerugian tidak boleh melebihi ketentuan bunga moratorium (bunga menurut undang-undang).72

Bunga yang harus dibayar karena lalai ini disebut “moratoir interest”, sebagai hukuman bagi debitur.73Moratoir berasal dari kata “mora” bahasa Latin yang

berarti lalai. Pembayaran ganti kerugian sebesar bunga moratorium tersebut semata-mata digantungkan pada keterlambatan pembayaran tersebut sehingga kreditur tidak perlu dibebani untuk membuktikan dasar penuntutan ganti kerugian tersebut.74

Penghitungan besarnya ganti kerugian tersebut terhitung bukan pada saat utang tersebut tidak dibayar atau lalainya debitur, melainkan mulai dihitung sejak tuntutan tersebut diajukan ke pengadilan, kecuali jika dalam keadaan tertentu undang-undang memberikan kemungkinan bahwa penghitungan bunga tersebut berlaku demi hukum (mulai saat terjadinya wanprestasi).75

      

72

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Op. cit, hal.18.

73

Abdulkadir Muhammad, Op. cit, hal. 43.

74

Ahmadi Miru dan Sakka Pati , Loc. cit.

75


(56)

b)Dalam perjanjian timbal balik (bilateral), wanprestasi dari satu pihak memberikan hak kepada pihak lainnya untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian lewat hakim

Pasal 1266 KUHPerdata :

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan – persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya”.

Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.

Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.

Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, Hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.

Pasal ini menerangkan bahwa secara hukum wanprestasi selalu dianggap sebagai syarat batal dalam suatu perjanjian sehingga pihak yang merasa dirugikan karena pihak lain wanprestasi, dapat menuntut pembatalan perjanjian melalui pengadilan, baik karena wanprestasi itu dicantumkan sebagai syarat batal dalam perjanjian maupun tidak dicantumkan dalam perjanjian, jika syarat batal itu tidak dicantumkan dalam perjanjian, hakim dapat memberi kesempatan kepada pihak yang


(57)

wanprestasi untuk tetap memenuhi perjanjian dengan memberikan tenggang waktu yang tidak lebih dari satu bulan.76

c) Resiko beralih kepada debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata).

Ketentuan ini hanya berlaku bagi perikatan untuk memberikan sesuatu.

Pasal 1237 KUHPerdata :

“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.

Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaiannya, kebendaan adalah atas tanggungannya. Berdasarkan pasal ini dapat kita lihat bahwa kelalaian debitur dalam menyerahkan kebendaan mengalihkan resiko menjadi atas tanggungannya.

d) Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka hakim (pasal 181 ayat 1 HIR).

Debitur yang terbukti melakukan wanprestasi tentu dikalahkan dalam perkara. Ketentuan ini berlaku untuk semua perikatan.

      

76


(58)

e) Memenuhi perjanjian jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (pasal 1267 KUHPerdata).

Ini berlaku untuk semua perikatan.

Pasal 1267 KUHPerdata :

“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga”

Pasal ini memberikan pilihan kepada pihak yang tidak menerima prestasi dari pihak lain untuk memilih dua kemungkinan agar tidak dirugikan, yaitu :77

a. Menuntut agar perjanjian tersebut dilaksanakan (agar prestasi tersebut dipenuhi), jika hal itu masih memungkinkan; atau

b. Menuntut pembatalan perjanjian.

Pilihan tersebut dapat disertai ganti kerugian (biaya, rugi dan bunga) kalau ada alasan untuk itu, artinya pihak yang menuntut ini tidak harus menuntut ganti kerugian, walaupun hal itu dimungkinkan berdasarkan pasal 1267 ini. Berdasarkan pasal inilah sehingga banyak sarjana menguraikan pilihan tuntutan kreditur tersebut menjadi lima kemungkinan tuntutan, yaitu :78

a. Pemenuhan perjanjian; b. Pemenuhan perjanjian dise

       

rtai ganti kerugian;

 

77

Ibid, Hal. 30.

78


(59)

c. Ganti kerugian saja; d. Pembatalan perjanjian;

e. Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian.

Kemungkinan tersebut di atas, sebenarnya terdapat kekeliruan karena seharusnya tidak ada tuntutan ganti kerugian yang dapat berdiri sendiri, karena ganti kerugian itu hanya dapat menyertai dua pilihan utama yaitu melaksanakan perjanjian atau membatalkan perjanjian sehingga hanya ada empat kemungkinan, yaitu :79

a. Pemenuhan perjanjian;

b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian; c. Pembatalan perjanjian;

d. Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian 2. Akibat Hukum dari Wanprestasi karena keadaan memaksa

Keadaan memaksa yang bersifat objektif dan bersifat tetap secara otomatis mengakhiri perikatan, dalam arti kata perikatan itu batal.80

Jadi perikatan ini dianggap tidak pernah ada (seolah-olah tak pernah dibuat). Jika suatu pihak telah melakukan pembayaran terhadap harga barang yang menjadi objek perikatan, pembayaran tersebut harus dikembalikan kepadanya. Bila pembayaran belum dilakukan, pelunasannya tidak perlu dilaksanakan (dihentikan).

Dalam keadaan memaksa yang bersifat subjektif dan sementara keadaan ini memberi akibat menangguhkan prestasi (mempunyai daya menangguhkan) dan bila

      

79

Ibid.

80


(60)

keadaan memaksa sudah berakhir maka kewajiban berprestasi hidup kembali. Bila prestasi tersebut sudah tidak mempunyai arti lagi untuk kreditur maka perikatan menjadi gugur, dan pihak yang satu tidak dapat menuntut pada pihak lain. Istilah batal dan gugur di atas mempunyai arti yang berbeda.

Istilah batal menunjuk kepada tidak dipenuhinya salah satu sifat prestasi yaitu harus mungkin dilaksanakan. Jika prestasi tidak mungkin dilaksanakan, maka perikatan itu tidak akan mencapai tujuan, jadi batal demi hukum. Sedangkan istilah gugur, prestasi memungkinkan untuk mencapai tujuan perikatan, tetapi berhubung keadaan memaksa, tujuan perikatan menjadi tidak tercapai karena terhalang oleh keadaan memaksa, yang mengakibatkan prestasi menjadi tidak berarti. Pada perikatan yang gugur pihak yang satu tidak dapat menuntut kepada pihak yang lainnya.81

E. Pengertian Benda di Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Hukum benda adalah hukum yang mengatur hubungan subjek hukum dengan benda, yang menimbulkan hak kebendaan. Hukum benda merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Diatur dalam Buku II KUHPerdata, pasal 499 sampai dengan pasal 1232, meliputi Pengertian Benda dan macam-macam benda serta pengertian hak kebendaan dan macam-macam hak kebendaan.

      

81


(61)

1. Pengertian Benda

Pengertian benda (zaak) secara yuridis adalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat menjadi objek hak milik (pasal 499 BW). Menurut terminologi benda di atas ini benda berarti objek sebagai lawan dari subyek dalam hukum yaitu orang dan badan hukum. Oleh karena yang diamaksud dengan benda menurut undang-undang hanyalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat dimiliki orang, maka segala seuatu yang tidak dapat dimiliki orang bukanlah termasuk pengertian benda menurut BW (buku II), seperti bulan, bintang, laut, udara, dan lain – lain sebagainya.82

Meurut ilmu hukum, benda memiliki tanda tanda pokok. Tanda-tanda pokok benda ini adalah sebagai berikut:83

a. Hak kebendaan adalah absolut. Artinya hak ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Pemegang hak berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya.

b. Hak kebendaan jangka waktunya tidak terabatas.

c. Hak kebendaan mempunya droit de suit artinya hak itu mengikuti bendanya di dalam tangan siapa pun benda itu berada. Jika ada beberapa hak kebendaan diletakkan diatas suatu benda, maka kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya.

      

Riduan Syahrani, Seluk –Beluk dan Asas –asa Hukum perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hal 116.

 

 Mariam Darus Badrul Zaman, Mencari Sistem Hukum Benda nasional, (Bandung: Alumni, 1983), hal 30.


(62)

d. Hak kebandaan mamberikan wewenang yang luas kepada pemiliknya hak itu dapat dialihkan, diletakkan sebagai jaminan, disewakan atau dipergunakan sendiri.

Dapat dikatakan hak kebendaan itu mempunyai sifat yang mutlak karena yang berhak atas benda yang menjadi objek hukum, mempunyai kekuasaan tertentu untuk mempertahankan hak tersebut terhadap siapapun juga.

2. Macam-macam Benda Benda dapat dibedakan atas:

a. Benda berwujud dan tidak berwujud (pasal 503 KUHPerdata) b. Benda bergerak dan tidak bergerak (pasal 504 KUHPerdata)

c. Benda dapat dipakai habis dan tidak dapat dipakai habis (pasal 505 KUHPerdata)

d. Benda yang sudah ada dan yang akan ada (pasal 1334 KUHPerdata) e. Benda dalam perdagangan dan di luar perdagangan (pasal 537, pasal 1444

dan pasal 1445 KUHPerdata)

f. Benda yang dapat dibagi dan benda yang tidak dapat dibagi (pasal 1296 KUHPerdata)

g. Benda terdaftar dan tidak terdaftar (Undang-undang hak tanggungan, Undang-undang jaminan fidusia)


(1)

diletakkan sita eksekusi diatasnya. Berdasarkan fakta-fakta pada proses pelaksanaan penyelesaian kasus melalui eksekusi ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaannya telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Dari pembahsan skripsi diatas dapat ditarik suatu kesimpulan berdasarkan permsalahan sebagai berikut:

1. Proses eksekusi merupakan salah satu tata cara di dalam peradilan perdata dimana pengaturannya diatur dalam kitab undang-undang hukum acara perdata yaitu HIR dan RBG. Eksekusi ini terdapat di dalam Bab kesepuluh Bagian Kelima HIR atau Titel ke Empat RBG, Namun pada saat sekarang, tidak semua ketentuan pasal – pasal tadi berlaku efektif. Pasal-pasal yang ada disesuaikan dengan keadaan sekarang sehingga tidak ada ketidak sesuaian dengan perinsip-prinsip kemanusiaan.

2. Pada Pelaksanaan eksekusi di lapangan dapat disimpulkan pihak-pihak yang terlibat ialah: ketua pengadilan negeri sebagai pemimpin dan pemerintah eksekusi, panitera dan jurusita sebagai pelaksana yang menjalankan eksekusi secara nyata dan fisik, saksi-saksi terkait yang terdiri dua orang pembantu pejabat eksekusi yang merupakan pegawai dari Pengadilan Negeri, dan aparatur Negara yang beerfungsi mengamankan jalannya eksekusi apabila terjadi hal yang tak diinginkan seperti keributan.

3. Kasus yang terjadi pada perjanjian kredit (hutang-piutang) antara pihak PT BANK UOB BUANA Tbk selaku kreditur dengan JHON JERRY selaku


(3)

debitur yang mana telah terjadi wanprestasi oleh pihak debitur, dimana proses penyelesaiannya berakhir dengan eksekusi terhadap jaminan hak tanggungan. Hal ini terjadi karena upaya dalam penyelamatan kredit tidak dapat dilakukan. Pada proses penyelesaian kasus yang dilaksanakan dengan jalan eksekusi oleh pengadilan ini dalam pelaksanaannya dilapangan telah sesuai dengan atauran aturan yang berlaku mengenai tara cara eksekusi. Yang mana prosesnya dimulai dengan aanmaning atau peringatan, disusul dengan sita jaminan/pengosongan, kemudian dilakukannya lelang, dan yang terakhir angkat sita.

B.Saran

1. Pengaturan mengenai eksekusi yang terdapat di dalam HIR dan RBG yang dipakai sebagai acuan dalam bertata cara penyelesaian sengketa melalui eksekusi dirasakan sudah cukup baik. HIR atau RBG merupakan kitab undang-undang peninggalan belanda, naumun alangkah bangganya jika Indonesia dapat memiki kitab undang mengenai tata cara eksekusi sendiri, dan disesuiakannya dengan keadaan dan perkembangan zaman sekarang ini. 2. Mengenai pihak-pihak terkait telah sesuai dengan yang seharusnya.

Pihak-pihak yang terkait dalam proses penyelesaian sengketa, proses pelaksanaan putusan sebaiknya saling bekerjasama guna mencapai proses penyelesaian yang cepat sederhana dan biaya ringan, dan juga disini pihak tereksekusi dapat


(4)

menerima putusan yang ditetapkan hakim kepadanya, sehingga dalam pelaksanaan eksekusi tidak sampai terjadi keributan.

3. Dalam pelaksanaan isi perjanjian sebaikanya kedua belah pihak dapat menjalankan kewajibannya sebagaimana telah ditentukan dalam akatd perjanjian yang telah disepakati. Hal ini diharapkan agar tidak terjadi permasalahan dalam proses plaksanaan isi perjanjian, sehingga kemungkinan untuk terjadinya eksekusi terhdap jaminan dapat dihindari.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Akhmadi, Miru dan Pati, Saka, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456 BW, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2008.

Badrulzaman, Darus, Mariam, Asas-Asas Hukum Perikatan, Medan: FH USU,1970. Badrulzaman, Darus, Mariam, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung:

Alumni, 1997.

Badrul Zaman, Darus, Mariam, Mencari Sistem Hukum Benda nasional, Bandung: Alumni, 1983.

Djumhna, Muhammad, Hukum perbankan di Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000.

Fuady, Munir, Hukum perbankan Modern, Buku I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Fuady, Munir, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.

Harahap, Yahya, M, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1982.

Harahap, Yahya, M, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (akarta: PT Gramedia, 1989.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah), UU No. 4 Tahun 1996 (LN 1996-42), Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000.

Hasan, Djuhendah, Lembaga Jaminan Kebendaaan Bahi Tanah Dan Benda Lain yang Melekat Pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Horisontal, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Ikhsan, Edy dan Siregar, Mahmul, Bahan Ajar Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Medan : Fakultas Hukum USU.

Kansil, C.S.T, Kansil, Christine, S.T, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-asas Hukum Perdata Cetakan ke Tiga, Jakarta: Pradya Paramita, 2000.

Komariah, Hukum Perdata (edisi revisi), Cetakan Keempat, Malang: UMM yang mey Press, 2005.

Mantayborbir, S dkk, Pengurusan Piutang Negara Macet Pada PUPN/BUPLN (Suatu Kajian Teori dan Praktik), Medan:Putaka Bangsa press, 2001.


(6)

   

Mantayborbir, S, Jauhari, Imam, Hukum piutang dan Lelang Negara di Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa, 2002.

Muhammad, Abdulkadir Hukum Perikatan Cetakan Ke Dua, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990.

Mulyadi, Kartini dan Widjaya, Gunawan Kebendaan Pada Umumnya, Bogor: Kencana, 2003.

Murthado, Ali Rokan, Kamal, Mustofa, Metode Penelitian Hukum suatu pemikiran dan penerapan, Medan: Wal Ashri Publishing, 2008.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung: Sumur, 1962. Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Sumur,

Salim, H Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Satrio, J, Hukum Perikatan, Bandung : Alumni, 1999.

Sinaung, Muchdarsyah Uang dan Bank, Jakarta:Pudy Cipta, 1991.

Soepomo, R, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta: Fazco, 1958. Subekti, R & Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Edisi Revisi,

cetakan duapuluh delapan, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1996. Subekti, R, Hukum perjanjian Cet.ke-II, Jakarta: Pembimbing Masa, 1970. Subekti, R, Hukum Perjanjian, Cet ke-IV, Jakarta: Pembimbing Masa, 1979.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1997.

Suyuthi, Wildhan, Sita dan Eksekusi, Jakarta: PT Tatanusa, 2004.

Syahrani, Riduan Seluk –Beluk dan Asas –asas Hukum perdata, Bandung: Alumni, 1992.

Usman, Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

B. Internet

http/ngeblogwebid.blogspot.com/2009/11/pengertian-hutang.html, diakses pada tanggal 12 Juli 2011.