Hubungan Filsafat dan Ilmu yang Semakin Renggang

2. Hubungan Filsafat dan Ilmu yang Semakin Renggang

  Filsafat semakin hari semakin dianggap sebagai kajian yang mewah atau bahkan menakutkan. Bayangan ‖sesat‖ dan klaim ancaman ‖halal darah‖nya bagi

  pembelajar filsafat menyebabkan para sarjana (bahkan S-3) enggan mempelajari filsafat secara mendalam. Penyebab lain adalah adanya jarak yang tercipta antara filsafat dan praktik kehidupan atau dalam hal ini pendidikan. Sementara momen pendidikan bersifat instrumental, dalam arti bertumpu pada logika cara-tujuan, dilakukan bahkan tanpa teori yang disadari; sedangkan filsafat bersifat teoritis, kritis, dan refleksif.

  Keberjarakan ini membuat filsafat menjadi sekadar pembicaraan yang wajib dikembangkan dalam wacana, namun tidak wajib dikembangkan dalam praktik. Kondisi ini akan ‖memaksa‖ filsafat pendidikan semakin terbuka pada suatu realisme, yaitu tindakan yang mengubah (praksis). Filsafat harus lebih menyadari adanya ruang lingkup yang khas. Namun dilemanya adalah bila filsafat terlalu terfous pada hal- halyang riil, filsafat tidak mampu memberi petunjuk melawan arah sejarah. Filsafat akan hanyut dalam sejarah tanpa melahirkan sesuatu yang baru dan menciptakan ‖jalan keluar‖ dari sejarah.

  Filsafat tentang x, dalam hal ini tentang pendidikan, selalu dalam ketegangan antara tuntutan riil (yang berarti mendasarkan pada deskripsi empiris, praktik-praktik dan institusi) di lain pihak filsafat mengacu pada kehidupan ideal konsepsi filosofis. Maka masalahnya adalah bagaimana menggunakan data-data empiris untuk merefleksi norma, perubahannya, perbaikannya, dan kritik? Dengan kata lain bagaimana membuat sintesa antara ‖yang seharusnya‖ dan ‖yang faktual‖?

  Tugas filsafat adalah menganalisa secara refleksif, menyingkap dan mendiskusikan secara kritis isi normatif yang ada dalam konteks sosio-budaya. Kemudian merumuskan kembali dalam kerangka prinsip umum dengan metode pembenaran yang mudah dipahami.

  Sedangkan berhadapan dengan situasi kemanusiaan yang plural baik dalam budaya, gaya hidup, dan nilai maupun norma, filsafat politik mencoba mendasari penalaran manusia dalam kerangkan komunikatif atau dialogis (Habermas) dan bukan kerangka yang mengatur secara univeral (Kant). Kesadaran akan keterbatasan suatu teori menyebabkan ‖nafsu‖ keuniversalan dibatasi dan lebih diarahkan pada apa yang dapat diterima sebanyak mungkin anggota masyarakan bertitik tolak dari konteks konkret yang terbuka terhadap penafsiran yang berbeda, melalui diskusi –atau kalau bertitik tolak dari Rotey bertitik tolak dari percakapan (conversation).

  Apa yang dikomunikasikan kepada yang lain adalah penalaran atau prosedur yang digunakan dalam menetapkan norma-norma yang bisa diterima sebanyak mungkin anggota masyarakat. Jadi, sifat refleksif intulah yang merupakan dimensi khas filsafat x.

  Filsafat memang memiliki dua wilayah kajian: teoritis dan praktis. Filsafat yang berkenaan dengan praktik ekonomi adalah filsafat teoritis yang mendasari kegiatan praktis. Ada dua asumsi yang mendasari perlunya dasar filosofis bagi suatu tindakan: a) secara umum, adalah lebih baik bertindak berdasarkan keyakinan intelektual dibandingkan bertindak tanpa didahului perenungan; b) Sebagian besar perilaku didasari oleh keyakinan-keyakinan intelektual.

  Pada beberapa filsuf hubungan filsafat teoritis dan praksis ini kadang bertentangan (O‘neil, 2001:37). Hal ini dapat ditemukan pada dua preposisi ini: pertama, Jika maka; jika kita menciptakan sebuah masyarakat yang sempurna, maka kita harus mendidik [atau mengorganisasikan kegoiatan pendidikan] dalam cara tertentu. Pada rangkaian jika-maka ini ada keterkaitan erat antara teoritis dan praktis. Kedua, Akan tetapi-karenanya; akan tetapi dalam budaya kita saat ini, pendidikan sempurna adalah mustahil, karenanya kita harus menyesuaikan praktik-praktik yang ada untuk membuatnya jadi sebaik mungkin dalam keadaan yang ada sekarang. Di titik yang kedua ini, teori dan praktek bertentangan. Walaupun demikian filsafat atau acuan teoritis tetap diperlukan bagi kepastian tindakan.

  Susan K Langer menyatakan bahwa filsafat adalah perburuan terus-menerus terhadap makna (makna-makna yang luas, yang lebih jernih, lebih bisa dirundingkan, lebih jelas)‖. Filsafat sebagai filsafat adalah sebuah sistem terpadu dari gagasan- gagasan umum untuk memungkinkan seseorang mengorganisir pengalamannya sendiri secara intelek. Filsafat mungkin mempengaruhi cara seseorang menafsirkan dan mengurai keadaan-keadaan atau prioritas yang dipilihnya.