Latar Belakang Hygiene Sanitasi Makanan dan Pemeriksaan Formalin Serta Boraks Pada Makanan Jajanan (Otak-Otak) di Kota Tanjungpinang Tahun 2013

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Otak-otak merupakan makanan khas Kota Tanjungpinang yang terbuat dari ikan laut yang dicampur dengan bahan-bahan, seperti cabe kering yang dihaluskan kemudian dicampur dengan adonan tepung dan diberi penyedap rasa lalu dimasukkan kedalam daun kelapa, kemudian dibungkus rapi dan dibakar beberapa menit. Ikan laut yang digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan otak-otak adalah ikan tenggiri, sotong, dan udang. Kualitas ikan yang digunakan dalam pembuatan otak- otak dapat mempengaruhi kualitas makanan jajanan otak-otak. Ikan yang digunakan umumnya didatangkan dari laut yang ditangkap oleh nelayan. Permasalahan yang sering dihadapi oleh nelayan adalah mengenai pemasaran hasil produksi ikan dan penanganannya. Nelayan mengharapkan agar ikan hasil tangkapannya tetap segar sampai ditangan konsumen dengan harga jual yang tinggi, namun faktanya hasil tangkapan ikan yang akan dijual ke konsumen sering mengalami perubahan, baik perubahan fisik maupun kimia dan secara bertahap mengarah ke pembusukan yang mengakibatkan harga jual ikan menjadi rendah. Makanan otak-otak mengandung nilai gizi seperti protein yang tinggi karena terbuat dari ikan laut. Tampilan makanan yang terbungkus rapi dengan daun kelapa menjadikan nilai tersendiri memberikan kesan yang sangat tradisional. Dalam perkembangannya, makanan otak-otak semakin terkenal di daerah Kepulauan Riau sehingga penjualan makanan otak-otak tersebar diberbagai tempat, tidak hanya di Ubiversitas Sumatera Utara daerah Kota Tanjungpinang, misalnya di daerah pelabuhan dan berbagai pasar tradisional sering ditemui penjualan makanan otak-otak. Pada umumnya masyarakat yang berkunjung ke daerah Tanjungpinang akan membeli otak-otak yang dapat diperoleh dengan mudah diberbagai tempat penjualan. Harga makanan otak-otak tergolong murah, dan digemari oleh berbagai kalangan masyarakat. Lamanya waktu yang diperlukan untuk menangkap ikan, tingginya temperatur ruang penyimpanan hasil tangkapan, cara penangkapan, serta penanganan hasil tangkapan yang kurang tepat merupakan berbagai faktor yang dapat menyebabkan menurunnya kesegaran dan mutu ikan hasil tangkapan. Cara umum yang paling sering dipakai oleh nelayan untuk mempertahankan kesegaran ikan adalah dengan menggunakan formalin untuk mengawetkan ikan hasil tangkapannya. Secara kasat mata memang ikan tersebut terlihat baik tetapi kandungan formalin yang ada pada ikan tersebut akan menyebabkan gangguan kesehatan bagi siapapun yang mengkonsumsinya Elmatris, dkk. 2007. Penelitian BPOM DKI dalam Sampurno 2006, terhadap sampel bahan makanan seperti tahu, mie basah dan ikan asin yang diambil dari pasar tradisional dan supermarket di Jabotabek menunjukkan lebih dari 50 sampel tersebut positif mengandung formalin. Bahan pangan impor dari Cina yang masuk ke Indonesia juga mengandung formalin. BPOM telah melakukan uji laboratorium terhadap bahan makanan dari Cina dan dinyatakan positif mengandung formalin, sehingga BPOM mengeluarkan Public Warning No. KH.00.01.5.113 tanggal 2 Agustus 2007 terhadap 43 produk makanan impor dari Cina. Penelitian lain yang juga menunjukkan penggunaan formalin pada bahan makanan adalah penelitian Hastuti 2010, pada Ubiversitas Sumatera Utara penelitian tersebut dinyatakan bahwa semua sampel ikan asin yang diambil dari pasar Kamal, Socah, Bangkalan dan dari salah satu pasar di Sampang teridentifikasi adanya formalin ditandai dengan terbentuknya warna merah sampai keunguan setelah ditambahkan reagen 1,8-dihidroksinaftalena-3,6-disulfonat dalam H 2 SO 4 72. Hasil studi Elmatris, dkk, 2007 di Pasar Raya Padang dan sekitarnya, melalui analisis kuantitatif kandungan formalin pada ikan tuna ditemukan bahwa ikan tuna positif mengandung formalin 10,7 mggr. Hal tersebut dikarenakan bahwa nelayan masih mengunakan kapal yang sangat sederhana untuk penangkapan ikan, sehingga lebih ekonomis menggunakan formalin dibandingkan dengan batu es. Selain masalah kandungan formalin, dugaan bahan tambahan pangan lainnya yang terkandung pada makanan jajanan otak-otak yaitu boraks. Penggunaan boraks sebagai bahan tambahan selain dimaksudkan untuk bahan pengawet juga dimaksudkan untuk membuat bahan menjadi lebih kenyal dan memperbaiki penampilan. Hasi studi Khanto 2011, di DKI Jakarta ditemukan 26 bakso mengandung boraks baik di swalayan, pasar tradisional dan pedagang makanan jajanan. Pada pedagang bakso dorongan ditemukan 7 dari 13 pedagang menggun akan boraks dengan kandungan boraks antara 0,01-0,6. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 722MenKes PerIX88 tentang bahan tambahan makanan, boraks termasuk bahan yang berbahaya dan beracun sehingga tidak boleh digunakan sebagai bahan tambahan makanan. Sugiyatmi 2006 dalam penelitian menemukan bahwa sebagian besar 66,7 praktek pembuatan makanan jajanan tradisional yang dijual di pasar-pasar Kota Semarang dalam kaitannya dengan penggunaan boraks termasuk dalam kategori tidak Ubiversitas Sumatera Utara baik. Fatimah 2006 dari hasil penelitiannya memperoleh bahwa produsen kerupuk di Desa Merak, mengenal boraks sebagai bleng yang berwarna kuning, berbentuk padatan dalam kemasan satu kilogram tanpa mengetahui bahaya yang ditimbulkan karena penggunaannya. Produsen kerupuk akan tetap menggunakan bleng selama belum ada bahan pengganti yang dapat menggantikan fungsi bleng yaitu membuat kerupuk yang mereka hasilkan menjadi kenyal sehingga mudah bila diiris, tidak cepat rusak dan bila digoreng menjadi garing dan renyah. Hasil penelitian Bagya 2003, terhadap pedagang bakso menetap dan pedagang bakso menetap mendapatkan bahwa proporsi penggunaan boraks pada pedagang menetap sebesar 38 dan pada pedagang keliling sebesar 28. Pada umumnya para pembuat makanan jajanan otak-otak di daerah Kota Tanjungpinang tidak menyadari bahwa ikan laut yang digunakan sebagai bahan pembuat otak-otak kemungkinan mengandung formalin. Hal ini dapat disebabkan ketidaktahuan para pembuat makanan jajanan otak-otak mengenai sifat-sifat maupun bahaya penggunaan bahan tambahan pangan yang tidak sesuai dengan peraturan. Pembuat makanan jajanan tradisional biasanya adalah masyarakat yang memiliki pengetahuan rendah. Dari hasil studi pendahuluan di pasar-pasar dapat diketahui bahwa pada umumnya pembuat makanan jajanan tradisional berpendidikan Sekolah Menengah Pertama. Sebagai akibatnya dalam praktek mereka kurang memperhatikan masalah keamanan pangan termasuk dalam hal hygiene sanitasi makanan Dinas Perindag Kota Tanjungpinang, 2010. Ubiversitas Sumatera Utara Berdasarkan latar belakang di atas dan mengacu kepada hasil penelitian terdahulu, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : hygiene sanitasi makanan dan pemeriksaan formalin serta boraks pada makanan jajanan otak- otak di Kota Tanjungpinang tahun 2013. 1.2. Perumusan Masalah Pembuat makanan jajanan otak-otak di daerah Kota Tanjungpinang belum menyadari bahwa ikan laut yang digunakan sebagai bahan pembuat makanan jajanan otak-otak kemungkinan mengandung formalin. Selain itu, dalam pembuatan makanan jajanan otak-otak kurang memperhatikan masalah keamanan pangan termasuk dalam hal hygiene sanitasi makanan. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: bagaimana hygiene sanitasi makanan dan pemeriksaan formalin serta boraks pada makanan jajanan otak-otak di Kota Tanjungpinang tahun 2013.

1.3. Tujuan Penelitian