LANDASAN TEORI Hubungan antara kecerdasan emosi dengan pemecahan masalah pada mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi.
pada suatu objek untuk dapat memotivasi dirinya. Zahara, 2012
4 Mengenali emosi orang lain Empathy
Mengenali emosi orang lain merujuk pada memahami dan mengembangkan orang lain, memberikan bantuan, menerima
keberagaman, dan kesadaran politik. Kemampuan ini dibangun dari kesadaran diri dan memposisikan diri memiliki emosi yang
sama dengan emosi orang lain akan membantu membaca dan memahami perasaan orang lain Brahmana, 2013.
5 Membina hubungan dengan orang lain Social skill
Membina hubungan dengan orang lain berhubungan dengan memberikan pengaruh, cara berkomunikasi, manajemen
konflik, kepemimpinan,
membangun ikatan,
dapat berkolaborasi dan bekerja sama, dan memiliki kemampuan
bekerja dalam tim. Kemampuan ini juga dapat dipelajari seseorang sejak kecil mengenai pola-pola berhubungan dengan
orang lain Brahmana, 2013. Berdasarkan skala tentang kecerdasan emosi Brahmana, 2013 yang memaparkan tentang
makna yang terkandung pada setiap aspek-aspek kecerdasan emosi, pengelolaan diri mengandung arti bagaimana seseorang
mengelola diri dan perasaan-perasaan yang dialaminya.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi
Beberapa faktor
yang mempengaruhi
kecerdasan emosional
Qurniyawati dan Budi, 2010 a.
Usia Usia merupakan salah satu hal yang mempengaruhi emosi
seseorang Freund dan Baltes; Satiadarma dan waruru, 2003; dalam Qurniyawati dan Budi, 2010. Usia merupakan salah satu indikator
yang harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi kecerdasan emosi
seseorang. Perubahan
pengalaman hidup
sangat mempengaruhi kondisi emosi seseorang. Januarsari dan Murtanto
2000, dalam Qurniyawati dan Budi, 2010 menambahkan usia yang semakin matang membantu terciptanya kestabilan emosi dan
cenderung lebih handal dalam memecahkan permasalahan secara realistis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semakin
bertambahnya usia seseorang, maka kecerdasan emosinya semakin terlatih untuk memecahkan permasalahan.
b. Budaya dan tingkat sosial ekonomi
Budaya dan kondisi sosial ekonomi sangat mempengaruhi perkembangan emosi seseorang. Satiadarma dan Waruru, 2003
dalam dalam Qurniyawati dan Budi, 2010. Seseorang dapat mengendalikan emosinya akan mengalami banyak perubahan
apabila pindah tempat tinggal atau jika kondisi sosial ekonominya mengalami perubahan.
c. Keadaan keluarga
Hasil penelitian Ulpatusalicha 2009, dalam Qurniyawati dan Budi, 2010 menunjukan bahwa keadaan keluarga
menyumbang pengaruh besar terhadap kecerdasan emosional anak. Terutama pada kasus single parents, akan berdampak pada anak
yaitu: kecenderungan anak yang tidak dapat mengontrol diri, kecewa, frustrasi, melawan peraturan, memberontak, kurang
konsentrasi, murung, merasa bersalah, mudah marah, kurang motivasi, iri, ketidakstabilan emosi dan kurang percaya diri.
Hurlock 1993 dalam Zahara, 2012 mengemukakan tiga faktor yang dapat mempengaruhi emosi kerja yaitu:
a. Kondisi fisik
Apabila keseimbangan tubuh terganggu karena kelelahan, kesehatan yang buruk atau perubahan yang berasal dari
perkembangan, maka akan mengalami emosionalitas yang meninggi. Biasanya orang berada dalam keadaan lelah akan
menjadi cepat tersinggung atau marah apabila ada yang mengusiknya.
b. Kondisi psikologis
Pengaruh psikologis yang penting, antara lain intelegensi, tingkat aspirasi dan kecemasan. Tingkat intelegensi seseorang
berhubungan dengan kemampuannya mengendalikan emosi.
Kegagalan mencapai tingkat aspirasi yang timbul berulang dapat membuat keadaan cemas dan tidak berdaya. Kecemasan setelah
pengalaman emosional tertentu yang sangat kuat akan membuat mereka takut kepada setiap situasi yang dirasakan mirip dan
mengancam. c.
Kondisi lingkungan Kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi keadaan emosi,
misalnya ketegangan yang terus-menerus, jadwal yang terlalu ketat dan terlalu banyak pengalaman menggelisahkan yang merangsang
anak secara berlebihan. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kecerdasan
emosi menurut Agustian Noho, 2012 dalam Puluhulawa dan Hulukati, 2013 yaitu:
a. Faktor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu, faktor internal ini akan membantu individu dalam
mengolah, mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif.
b. Faktor pelatihan emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan
menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai value. Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan
berkembang menjadi suatu kebiasaan, pengendalian diri tidak akan muncul begitu saja tanpa dilatih.
c. Faktor pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai
dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak hanya
berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah diharapkan mampu
mendidik individu untuk memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas,
ketahanan mental,
kebijaksanaan, keadilan,
kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi, sebagai bagian dari fondasi kecerdasan emosi.
B. Pemecahan Masalah
1. Pengertian pemecahan masalah
Anderson Suharnan,
2005 dalam
Widiantari, 2012
mendefinisikan masalah sebagai suatu kesenjangan antara situasi sekarang dengan situasi yang akan datang atau tujuan yang diinginkan.
Adanya berbagai masalah yang muncul di dalam kehidupan, seseorang dituntut untuk berpikir dan mencari penyelesaiannya atau
dikenal dengan pemecahan masalah problem solving. Begitu pula
yang disampaikan oleh Chaplin 1999 dalam Ayu, 2012 yaitu proses menemukan urutan yang benar dari alternatif jawaban, mengarah pada
satu sasaran atau ke arah pemecahan yang ideal adalah problem solving. Proses ini dapat membantu seseorang untuk menemukan apa
yang mereka inginkan dan bagaimana mencapainya dengan cara yang paling efektif Bedel dan Lennox, 1994 dalam Ayu, 2012. Seseorang
dianggap sebagai pemecah masalah yang baik jika ia mampu memperlihatkan kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi
dengan memilih dan menggunakan berbagai alternatif strategi sehingga mampu mengatasi masalah tersebut Goos et.al. 2000 dalam Lidinillah,
2008. Menurut Polya Lasmahadi, 2005 dalam Widiantari, 2012
pemecahan masalah diartikan sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu
segera dapat dicapai. Menurut Hunsaker Lasmahadi, 2005 dalam Widiantari, 2012
pemecahan masalah adalah sebagai suatu proses penghilangan atau ketidaksesuaian yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil yang
diinginkan. Selain itu, Hunsaker mengatakan bahwa salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan yang tidak tepat akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah.
Menurut Santrock 2010 dalam Wijayanti, 2013, pemecahan masalah adalah suatu proses kognitif dalam mencari solusi atau cara
penyelesaian yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Solso 2007 dalam Wijayanti, 2013, pemecahan masalah
adalah suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi, jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik.
Menurut Dixon dan Glover 1984, dalam Ayu, 2012 beberapa hal yang menyebabkan kesulitan dalam menyelesaikan masalah adalah:
a. Beberapa orang mungkin tidak pernah belajar bagaimana
menghadapi suatu masalah dengan baik. b.
Orang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka sudah memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi.
c. Mereka kehilangan semangat untuk mengatasi masalahnya, dan
berharap hanya dengan sedikit usaha saja ia dapat menemukan jalan keluarnya dibandingkan dengan menghadapi masalahnya
secara efektif sehingga ia sudah biasa menghadapinya dengan ketidakberdayaan.
d. Adanya kecemasan yang berlebihan atau masalah emosi yang lain
Berdasarkan beberapa pengertian tentang pemecahan masalah, maka dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah suatu
proses kognitif yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu
solusi, jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik dengan cara yang paling efektif.
2. Langkah-langkah Pemecahan Masalah Menurut Polya dalam Wijayanti dan Rizki, 2013, terdapat suatu
indikator-indikator yang dapat mencerminkan kemampuan pemecahan masalah melalui empat langkah pemecahaan masalah, yaitu:
1. Memahami masalah
Dalam merumuskan masalah, kemampuan yang diperlukan adalah kemampuan mengetahui dan merumuskan suatu
masalah Winarso. Mahasiswa dapat dikatakan memahami masalah, jika dapat menjawab pertanyaan sebagai berikut:
a. Apa yang ditanyakan?
b. Apakah data yang diketahui?
c. Apakah datanya cukup untuk memecahkan masalah
tersebut? d.
Pisahkan syarat-syaratnya jika ada. Dapatkah anda menuliskan kembali masalahnya dengan lebih sederhana?
2. Merencanakan penyelesaian
Mahasiswa dikatakan dapat merencanakan pemecahan pada suatu masalah jika dapat menjawab pertanyaan berikut:
a. Apa yang harus dilakukan? Pernahkah mengalami masalah
tersebut?
b. Tahukah masalah yang lain terkait dengan masalah ini?
Adakah teorema yang bermanfaat untuk digunakan? c.
Jika pernah mengalami masalah serupa, dapatkah strategi atau cara pemecahannya digunakan pada masalah ini?
d. Apakah pernah melihat masalah yang sama tetapi dalam
bentuk yang berbeda? e.
Apakah mengetahui permasalahan lain yang terkait? f.
Bagaimana strategi pemecahan yang terkait? 3.
Melaksanakan rencana Mahasiswa dikatakan dapat melaksanakan rencana pemecahan
masalah apabila dapat menjawab pertanyaan berikut: a.
Apakah melaksanakan rencana pemecahan masalah yang sudah dipilih dengan setiap kali mengecek kebenaran di
setiap langkah? b.
Apakah langkah yang gunakan sudah benar? c.
Dapatkah membuktikan atau menjelaskan bahwa langkah itu benar?
4. Memeriksa kembali
Mahasiswa dikatakan sudah memeriksa kembali pekerjaannya, apabila dapat menjawab pertanyaan berikut:
a. Apakah sudah diperiksa semua hal yang didapat?
b. Apakah argument yang digunakan benar?
c. Dapatkah mencari hasil yang berbeda?
d. Adakah cara lain untuk memecahkannya?
Menurut Haris, 1998 dalam Purwantoro, 2010 proses pemecahan masalah meliputi langkah-langkah:
1. Mengumpulkan informasi untuk memperoleh gambaran yang
jelas tentang situasi dalam memastikan pemahaman yang benar 2.
Brainstorm dan merencanakan proses solusi. Brainstorm adalah melihat situasi beserta perubahannya, serta memikirkan
konsekuensi dari perubahan tersebut 3.
Mengimplementasikan solusi 4.
Memeriksa hasil
Berdasarkan langkah-langkah pemecahan masalah menurut Polya dan Haris, maka dapat disimpulkan bahwa langkah
pemecahan masalah terdiri dari: 1
Memahami masalah adalah mengumpulkan informasi untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang situasi dalam
memastikan pemahaman yang benar 2
Merencanakan penyelesaian adalah merencanakan strategi pemecahan dengan melihat situasi beserta perubahannya dan
memikirkan konsekuensi dari strategi. 3
Melaksanakan rencana
adalah penerapan
solusi dari
permasalahan
4 Memeriksa kembali adalah memeriksa kembali penerapan
solusi dari permasalahan untuk mengetahui solusi lain dan melihat apakah masalah tersebut terselesaikan
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemecahan masalah
Menurut Davidoff 1988 dalam Widiantari, 2012 terdapat dua faktor
yang mempengaruhi
keterampilan seseorang
dalam memecahkan masalah, yaitu hasil belajar sebelumnya dan derajat
kewaspadaan. Terdapat empat faktor yang mempengaruhi proses dalam
pemecahan masalah menurut Rahmat 2001 dalam Winarso yaitu: a.
Motivasi Motivasi belajar yang rendah akan mengalihkan perhatian,
sedangkan motivasi belajar yang tinggi akan membatasi fleksibilitas.
b. Kepercayaan dan sikap yang salah
Asumsi yang salah dapat menyesatkan pada pemahaman dalam pembelajaran. Apabila terbentuk suatu keyakinan bahwa
kebahagiaan dapat diperoleh dengan kekayaan material, maka hal tersebut dapat menjebak kearah kesulitan ketika memecahkan
masalah kehidupan. Kerangka rujukkan yang tidak cermat menghambat efektifitas pemecahan masalah.
c. Kebiasaan
Kecenderungan untuk mempertahankan pola pikir tertentu atau melihat masalah hanya dari satu sisi saja atau kepercayaan yang
berlebihan dan tanpa kritis pada pendapat otoritas menghambat pemecahan masalah yang efisien. Hal ini menimbulkan pemikiran
yang kaku rigid mental set , lawan dari pemikiran yang fleksibel flexible mental set
d. Emosi
Dalam menghadapi berbagai situasi, tidak disadari terlibat secara emosional. Emosi ini mewarnai cara berpikir disebagian manusia
yang utuh, kita tidak dapat mengesampingkan emosi. Tetapi bila emosi itu sudah mencapai intensitas yang begitu tinggi sehingga
menjadi stres, barulah menjadi sulit untuk berpikir efisien.
Pemecahan masalah akan diukur dengan mengacu pada indikator- indikator langkah-langkah pemecahan masalah. Di dalam tes pemecahan
masalah, akan diberikan kasus tentang permasalahan mahasiswa yang sedang menyusun skripsi. Selanjutnya, mahasiswa akan mengidentifikasi
kasus tersebut dengan melihat langkah-langkah pemecahan masalah.
C. Mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi
Mahasiswa termasuk dalam tahapan memasuki dewasa awal, sehingga memiliki tugas perkembangan layaknya sebagai individu pada
dewasa awal. Mahasiswa sebagai peserta didik di Perguruan Tinggi pada umumnya berusia 18-24 tahun Masykur; Indrawati; Putri, 1983. Dewasa
awal adalah jenjang usia perkembangan seseorang sedang berada pada puncaknya. Pada tahap ini seseorang mengalami peningkatan yang
dimanifestasikan melalui berbagai macam hal, seperti sosialisasi yang luas, penelitian karir, semangat hidup yang tinggi, perencanaan ke depan,
dan sebagainya. Papalia Olds, dalam Ninawati dan Fransisca, 2005. Menurut Havighurst Dariyo, 2003 tugas perkembangannya antara
lain: mencari dan menemukan pasangan hidup, membina kehidupan rumah tangga serta menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Perkembangan pada masa dewasa awal ditandai dengan adanya keinginan untuk mengaktualisasikan segala ide pemikiran yang dimatangkan selama
mengikuti pendidikan tinggi universitas atau akademik. Tuntutan dan tugas perkembangan mahasiswa tersebut muncul dikarenakan adanya
perubahan yang terjadi pada beberapa aspek fungsional individu, yaitu fisik, psikologis dan sosial. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan
semakin banyak tanggung jawab yang perlu dilaksanakan. Menurut Piaget, kapasitas kognitif dewasa awal termasuk
operasional formal menyebabkan memiliki kemampuan memecahkan masalah-masalah yang kompleks dengan kapasitas berpikir abstrak, logis
dan rasional Dariyo dalam Ninawati dan Fransisca, 2005. Pada mahasiswa tanggung jawab yang perlu dilaksanakan untuk mencapai
kelulusan adalah dengan membuat karya ilmiah yang biasa disebut dengan skripsi.
Menurut Poerwadarminta dalam Masykur; Indrawati; Putri, 1983 skripsi adalah karya ilmiah yang diwajibkan sebagai bagian dari
persyaratan pendidikan akademis di Perguruan Tinggi. Kewajiban tersebut dimaksudkan supaya mahasiswa mampu menerapkan ilmu dan
kemampuan sesuai disiplin ilmu yang dimiliki ke dalam kenyataan yang dihadapi. Menurut Ahmadi dalam Masykur;Indrawati;Putri, 2003
mengatakan bahwa hal pertama dalam pembuatan skripsi adalah menentukan rumusan topik skripsi yang selanjutnya menentukan dan
mengumpulkan materi yang relevan. Proses dalam menyusun skripsi membutuhkan waktu yang cukup
panjang karena mahasiswa melewati beberapa proses dan membutuhkan konsentrasi penuh. Proses ini akan menimbulkan stress, kelelahan dalam
berpikir dan kejiwaan ketika menyusun skripsi Gunawati dkk, 2006 dalam Masykur;Indrawati;Putri. Oleh karena itu, skripsi bagi sebagian
mahasiswa dianggap sebagai momok yang menakutkan dan beban yang berat. Banyak faktor yang mungkin menyebabkan hal ini terjadi. Seperti
kesulitan menentukan latar belakang masalah, teori dan metodologi, ketakutan menghadapi dosen pembimbing dan merasa jenuh. Michelle
dalam Puspitasari, 2013 memaparkan risetnya bahwa mahasiswa dapat
mengalami kecemasan
akibat kesulitan-kesulitan
dalam proses
penyususnan skripsi.
D. Hubungan antara kecerdasan emosi dengan pemecahan masalah
Menurut Santrock 2010, pemecahan masalah merupakan suatu proses kognitif dalam mencari solusi atau cara penyelesaian yang tepat untuk
mencapai suatu tujuan. Solso 2007 juga menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk
menemukan suatu solusi dan jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik. Berdasarkan kedua pendapat tentang pemecahan masalah, dapat
disimpulkan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu proses berpikir secara kognitif yang terarah secara langsung dalam mencari solusi atau
cara penyelesaian yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Namun, bukan hanya proses berpikir secara kognitif yang diperlukan
untuk memecahkan suatu masalah, karena kecerdasan intelektual tidak sepenuhnya mendominasi pencapaian prestasi belajar yang baik
Qurniyawati dan Budi, 2010. Hal ini karena taraf inteligensi bukan satu- satunya faktor penentu dalam keberhasilan seseorang dalam memecahkan
masalah. Selain itu, cara berpikir seseorang juga diwarnai oleh emosi yang ada pada dirinya, sehingga tidak bisa mengesampingkan emosi dalam
menghadapi situasi tertentu Davidoff dalam Widiantari, 2012. Oleh karena itu, kecerdasan emosi berperan pula dalam pemecahan masalah.
Goleman mengungkapkan bahwa beberapa orang yang gagal dalam hidupnya bukan karena memiliki kecerdasan intelektual yang rendah,
namun karena kurang memiliki kecerdasan emosional. Dengan demikian dapat terlihat bahwa keberhasilan seseorang dalam menjawab persoalan
hidupnya dipengaruhi oleh kecerdasan intelektual serta kecerdasan emosional. Selain itu, beberapa orang yang berhasil hanya memiliki IQ
yang tergolong rata-rata, tetapi kecerdasan emosionalnya tinggi Hulukati, 2013. Hal ini tampak bahwa kecerdasan emosional lebih berperan dalam
menentukan keberhasilan seseorang dalam memecahkan masalah. Seperti yang diungkapkan oleh Cooper dan Sawaf dalam Yuwono; Purwanto;
Hidayati, 2010, berbagai penelitian telah membuktikan bahwa kecerdasan emosional menyumbang presentase yang lebih besar dalam kemajuan dan
keberhasilan masa depan seseorang, dibandingkan dengan kecerdasan intelektual yang biasanya diukur dengan Intelligent Quotient IQ. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional mempengaruhi kemampuan individu dalam keberhasilannya memecahkan permasalahan.
Menurut Shapiro dalam Yuwono; Purwanto; Hidayati, 2010 kecerdasan emosional akan mempengaruhi perilaku tiap individu dalam
mengatasi permasalahan yang muncul pada diri sendiri termasuk dalam permasalahan
kerja. Davies
dalam Qurniyawati
dan Budi,
2010menjelaskan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dirinya sendiri dan orang lain,
membedakan satu emosi dengan lainnya dan menggunakan informasi
untuk menuntun proses berpikir dan perilaku. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kecerdasan emosional ini mempengaruhi bagaimana
perilaku individu dalam menyikapi permasalahan yang muncul. Diungkapkan pula oleh Januarsari dan Murtanto 2002, dalam
Qurniyawati dan Budi, 2010 mengenai alasan pentingnya kecerdasan emosi, bahwa kecerdasan emosi yang rendah akan menyebabkan hasil
belajar yang dicapai kurang baik. Hal ini karena kecerdasan emosi berkaitan dengan kesempurnaan akal budi, ketajaman berpikir dan dapat
menyelesaikan persoalan dengan efektif serta mampu mengendalikan diri. Seperti yang dikatakan oleh Damasio dalam Goleman, 2007 bahwa
emosi individu berperan besar terhadap suatu tindakan bahkan pengambilan keputusan “rasional”.
E. Skema kecerdasan emosi dan pemecahan masalah
Mahasiswa
Mencari dan menemukan
pasangan hidup Meniti karier
Membina kehidupan rumah tangga
Menyelesaikan perguruan tinggi
skripsi
Timbul permasalahan dalam
penyusunan
Masalah yang diselesaikan
Masalah yang tidak diselesaikan
Pemecahan masalah
Kecerdasan intelektual
Kecerdasan emosional
Muncul kecemasan dan stres
Kecerdasan emosional tinggi Kecerdasan emosional rendah
F. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya hubungan antara kecerdasan emosi dan kemampuan pemecahan masalah pada mahasiswa
yang sedang menyusun skripsi. Semakin Tinggi kecerdasan emosi yang dimiliki mahasiswa, maka semakin tinggi pula kemampuan pemecahan
masalahnya.
33