Untuk menghilangkan zat padat dan mineral yang tersuspensi di dalam air serta menghilangkan terjadinya penyebaran penyakit melalui air, perlu dilakukan
beberapa tahapan proses pengolahan air seperti koagulasi-flokulasi, sedimentasi, filtrasi dan disinfeksi.
2.2. Koagulasi dan Flokulasi
Peoses koagulasi-floulasi merupakan suatu fasilitas untuk menghilangkan partikel padat yang tersuspensi SS dan koloid di dalam air. Dalam rangka
menghilangkan bahan tersuspensi dan partikel koloid, dimana masing-masing bahan membutuhkan pengolahan yang spesifik.
Pada Tabel 2.1. berikut dapat dilihat bahwa semakin kecil ukuran partikel semakin besar area yang ditempatinya. Koloid memiliki luas permukaan yang sangat
besar per unit volumenya. Dikarenakan luas permukaannya yang besar menyebabkan koloid cenderung mengadsorpsi substansi, seperti molekul air dan ion dari
sekitarnya. Koloid merupakan partikel yang tidak dapat mengendap secara alami dan faktor luas permukaan merupakan faktor yang paling menentukan. Faktor ini
menentukan kestabilan suspensi koloid. Partikel koloid mengalami dua gaya utama, yaitu:
1. Gaya Van del Waals, yang berhubungan dengan struktur dan bentuk
koloid dan jenis medium E
A
2. Gaya repulsive eletrostatis, yang berhubungan dengan muatan
permukaan koloid E
B
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Waktu Pengendapan Dari Beberapa Jenis Partikel Diameter
Partikel Waktu Pengendapan
Luas Spesifik Mm
mm Jenis Partikel
kedalaman 1 m air m
2
.m
-3
10 10
4
Gravel 1 detik
6.10
2
1 10
3
Sand 10 detik
6.10
3
10
-1
10
2
Fine Sand 2 menit
6.10
4
10
-2
10 Clay
2 jam 6.10
5
10
-3
1 Bacteria
8 hari 6.10
6
10
-4
10
-1
Colloid 2 tahun
6.10
7
10
-5
10
-2
Colloid 20 tahun
6.10
8
10
-6
10
-3
Colloid 200 tahun
6.10
9
Kestabilan suspensi koloid tergantung pada kesetimbangan antara Gaya Van der Waals dan gaya repulsive elektrostatis. Untuk membentuk penggumpalan
koloidharus dilakukan upaya untuk mengurangi gaya repulsive elektrostatik, yaitu dengan menambahkan koagulan.
Koagulasi dan flokulasi merupakan proses penambahan bahan kimia pembentuk flok kedalam air untuk menggabungkan partikel koloid yang tidak dapat
mengendap dan partikel tersuspensi yang mengendap dengan lambat untuk menghasilkan flok yang dapat mengendap dengan cepat.
Dalam proses koagulasi-flokulasi menurut Mysels 1959, partikel koloid hidrofobik cenderung menyerap ion-ion bermuatan negatif dalam limbah cair melalui
sifat adsorbsi koloid tersebut, sehingga partikel tersebut menjadi bermuatan negatif. Koloid bermuatan negatif ini melalui gaya-gaya Van der Waals menarik ion-ion
bermuatan berlawanan dan membentuk lapisan kokoh lapisan Stern mengelilingi partikel inti. Selanjutnya lapisan Stern yang bermuatan positif menarik ion-ion negatif
Sumber : Brault, 1991
Universitas Sumatera Utara
lainnya dari dalam larutan membentuk lapisan kedua lapisan difus. Kedua lapisan tersebut bersama-sama menyelimuti partikel-partikel kolid dan membuatnya manjadi
stabil. Partikel-partikel koloid dalam keadaan stabil menurut Davis dan Cornwell 1991 cenderung tidak mau bergabung satu sama lainnya membentuk flok-flok
berukuran lebih besar, sehingga tidak dapat dihilangkan dengan proses sedimentasi ataupun filtrasi.
Koagulasi pada dasarnya merupakan proses destabilisasi partikel koloid bermuatan dengan cara penambahan ion-ion bermuatan berlawanan koagulan ke
dalam koloid. Dengan demikian partikel koloid menjadi netral dan dapat bergabung satu sama lain membentuk mikroflok. Selanjutnya mikroflok yang telah terbentuk
dengan dibantu pengadukan lambat mengalami penggabungan satu sama lain menghasilkan makroflok flokulasi, sehingga dapat dipisahkan dari dalam larutan
dengan cara pengendapan dan filtrasi Eckenfelder, 2000. Potensial zeta berhubungan dengan muatan partikel dan ketebalan lapisan
ganda. Ketebalan lapisan ganda tergantung pada konsentrasi ion di dalam cairan, semakin besar konsentrasi ion maka semakin kecil ketebalan lapisan ganda yang
berarti semakin rapat muatan. Potensial zeta sering digunakan sebagai suatu ukuran stabilitas partikel koloid karena semakin tinggi potensial zeta semakin stabil partikel
koloid. Menurut Darmasetiawan 2001, terdapat dua jenis bahan koagulan yang umum digunakan di dalam proses penetralan koloid, yaitu koagulan garam logam dan
koagulan polimer kationik. Koagulan garam logam seperti:
Universitas Sumatera Utara
1. Aluminium sulfat atau tawas Al
2
SO
4 3
.14H
2
O 2.
Feri Chloride FeCl
3
3. Fero Chloride FeCl
2
4. Feri Sulfat Fe
2
SO
4 3
Sedangkan menurut Beddow 2010 bahwa koagulan aluminium selain aluminium sulfat, termasuk juga aluminium klorida.
Koagulan yang umum digunakan adalah Aluminium sulfat atau dalam bahasa pasarnya disebut tawas. Sedangkan feri chloride dan fero sulfat juga merupakan
koagulan yang baik, tetapi jarang digunakan pada proses pengolahan air minum di Indonesia karena alasan harga yang lebih tinggi.
Pembentukan metal hidroksida menyebabkan produksi lumpur dalam jumlah yang cukup besar. Lumpur ini harus dipisahkan pada proses pemisahan lumpur dari
air dan dibuang ke tempat pembuangan akhir lumpur. Koagulan polimer merupakan koagulan sintetis yang telah banyak digunakan
di pasaran, seperti: 1.
Poly aluminium chloride PAC 2.
Chitosan 3.
Curie flok Koagulan sintetis yang banyak digunakan adalah PAC yang merupakan
polimerisasi dari Aluminium klorida. Umumnya koagulan polimer ini sering dipakai
Universitas Sumatera Utara
sebagai koagulan aid karena memiliki sifat kelarutan di dalam air yang lebih baik dan tingkat pembentukan flok yang lebih baik.
Perbedaan kedua jenis koagulan ini adalah bahwa koagulan garam logam mengalami proses hidrolisa di dalam air, sedangkan koagulan polimer tidak.
2.3. Lumpur