PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 40% KULIT MANGGIS (Garcinia Mangostana L.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR DAN GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague Dawley YANG DIINDUKSI ISONIAZID

(1)

(2)

ABSTRACT

THE EFFECT OF ADMINISTRATING ETHANOL EXTRACT 40% OF MANGOSTEEN PEEL (Garcinia Mangostana L.) TOWARDS A LIVER HISTOPATHOLOGY AND THE MALE STRAIN Sprague Dawley OF THE

KIDNEY OF WHITE RATS (Rattus Norvegicus) THAT ARE INDUCTED BY ISONIAZID

By

FAKHMIYOGI

Isoniazid is one of tuberculosis drugs which inducts kidney and liver malfunction. Mangosteen peel has the pharmacology activities such as anti-inflammatory, antihistamine, the treatment of heart disease, anti bacterial, and anti-fungal. Xanthone compound in mangosteen peel is considered to be able to influence the liver and kidney damage which are impacted by using isoniazid. The objective of this research is to find out the effect of administrating ethanol extract 40% of mangosteen peel (Garcinia mangostana L.) towards a liver histopathology and the male strain Sprague Dawley of the kidney of white rats that are inducted by isoniazid.

In this research, 25 male rats were divided in each five group randomly and they were given treatment for 14 days. K1 was given aquadest, K2 was given isoniazid 30 mg/100gBB), K3 was given mangosteen peel extract 20 mg/100grBB and isoniazid 30 mg/100gBB, K4 was given mangosteen peel extract 40 mg/100gBB and isoniazid 30 mg/100gBB, K5 was given mangosteen peel extract 80 mg/100gBB and isoniazid 30 mg/100gBB.

The result of this research showed that the average of number of the swelling hepatocyte cells in K1: 3±4,472; K2: 96±4,183; K3: 61±4,183; K4: 42±7,582; dan K5: 16±5,477 and the average of number of the renal tubules damage in K1: 2,50±2,50; K2: 92,5±1,76; K3: 66,5±3,79; K4: 39±3,35; dan K5: 8±2,09. The conclusion of this research showed that ethanol extract 40% of mangosteen peel with dose are 20 mg/100gBB, 40 mg/100gBB, and 80 mg/100gBB have the effect towards a liver histopathology and rats kidney that are inducted by isoniazid.

Key words: A liver histopathology and kidney, isoniazid, Garcinia mangostana L., dose level.


(3)

ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 40% KULIT MANGGIS (Garcinia Mangostana L.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR DAN GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague Dawley YANG

DIINDUKSI ISONIAZID

Oleh

FAKHMIYOGI

Isoniazid merupakan salah satu obat tuberkulosis yang menginduksi kerusakan hepar dan ginjal. Kulit manggis mempunyai aktifitas farmakologi seperti antiinflamasi, antihistamin, pengobatan penyakit jantung, antibakteri, dan antijamur. Senyawa xanton dalam kulit manggis dianggap mampu mempengaruhi kerusakan hepar dan ginjal akibat penggunaan isoniazid. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol 40% kulit manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap gambaran histopatologi hepar dan ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) Jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi isoniazid.

Pada penelitian ini, 25 tikus jantan dibagi dalam 5 kelompok secara acak dan diberi perlakuan selama 14 hari. K1 yang diberi aquadest, K2 yang diberi isoniazid 30mg/100gBB), K3 yang diberi ekstrak kulit manggis 20mg/100grBB dan isoniazid 30mg/100gBB, K4 yang diberi ekstrak kulit manggis 40mg/100gBB dan isoniazid 30mg/100gBB, dan K5 yang diberi ekstrak kulit manggis 80mg/100gBB dan isoniazid 30mg/100gBB.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata jumlah pembengkakan sel hepatosit pada K1: 3±4,472; K2: 96±4,183; K3: 61±4,183; K4: 42±7,582; dan K5: 16±5,477 dan rerata jumlah kerusakan tubulus ginjal pada K1: 2,50±2,50; K2: 92,5±1,76; K3: 66,5±3,79; K4: 39±3,35; dan K5: 8±2,09. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa ekstrak etanol 40% kulit manggis dosis 20 mg/100gBB, 40 mg/100gBB, dan 80 mg/100gBB berpengaruh terhadap gambaran histopatologi hepar dan ginjal tikus yang diinduksi isoniazid.

Kata kunci : Gambaran histopatologi hepar dan ginjal, isoniazid, Garcinia mangostana L., dosis bertingkat.


(4)

(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori ... 8

2. Kerangka konsep ... 9

3. Gambaran makroskopik hati manusia dari anterior ... 13

4. Lobulus hepatik ... 15

5. Gambaran mikroskopik dengan perbesaran 30x hati manusia ... 16

6. Pembengkakan sel disertai vakuolisasi ... 17

7. Anatomi ginjal manusia ... 21

8. Histologi ginjal normal manusia ... 22

9. Penampang histologi normal ginjal ... 24

10.Ginjal manusia ... 26

11.Potongan melintang ginjal tikus yang mengalami kerusakan ... 28

12.Edema glomerulus pada ginjal tikus yang dikelilingi oleh tubulus yang mengalami degenerasi hidropis ... 28

13.Struktur isoniazid ... 31

14.Garcinia mangostana L. ... 36


(6)

viii

16.Histopatologi hepar tikus kelompok kontrol normal ... 60

17.Histopatologi hepar tikus kelompok kontrol positif ... 61

18.Histopatologi hepar tikus kelompok III ... 62

19.Histopatologi hepar tikus kelompok IV ... 63

20.Histopatologi hepar tikus kelompok V ... 64

21.Grafik perbandingan persentasi hepatosit yang mengalami degenerasi bengkak keruh ... 67

22.Histopatologi ginjal tikus kelompok kontrol normal ... 72

23.Histopatologi ginjal tikus kelompok kontrol positif ... 73

24.Histopatologi ginjal tikus kelompok III ... 74

25.Histopatologi ginjal tikus kelompok IV ... 75

26.Histopatologi ginjal tikus kelompok V ... 76

27.Grafik perbandingan persentasi sel nekrosis tubulus ... 80


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran 1. Foto-foto Gambaran Histopatologi Hepar Tikus 2. Lampiran 2. Foto-foto Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus 3. Lampiran 3. Foto-foto Penelitian

4. Lampiran 4. Hasil Analisis Statistik Histopatologi Hepar Tikus 5. Lampiran 5. Hasil Analisis Statistik Histopatologi Ginjal Tikus 6. Lampiran 6. Ethical Clearance


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tuberkulosis adalah infeksi bakteri melalui udara yang disebabkan oleh mikroorganisme Mycobacterium tuberculosis yang terutama menyerang paru, meskipun organ dan jaringan-jaringan lain mungkin dapat terlibat. Sekitar 2,2 miliar orang, atau sepertiga dari populasi dunia, terinfeksi bakteri tuberkulosis dimana kebanyakan dari penderita adalah tuberkulosis laten, yang berarti dalam tubuh mereka terdapat kuman tuberkulosis, tetapi sistem kekebalan tubuh mereka dapat melindungi mereka untuk tidak menjadi sakit. Bagaimanapun, lebih dari 9,2 juta orang mengidap penyakit tuberkulosis aktif (American Lung Association, 2010).

Prevalensi tuberkulosis di Indonesia sangat tinggi. Dalam Global Tuberculosis

Report WHO 2013, Indonesia menduduki peringkat kesembilan dengan insidensi

185 kasus per 100 ribu penduduk dan peringkat ketiga dalam regional asia-tenggara dengan angka kasus kejadian mencapai 82.799 kasus baru pada tahun 2012 yang dilaporkan dari rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta di


(9)

Indonesia, meningkat dari sebelumnya yang hanya berjumlah 71.454 kasus (WHO, 2013).

Regimen pengobatan untuk Tuberkulosis Nasional yang direkomendasikan, yakni: Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Etambutol (E), pirazinamid (P) dan Streptomisin (S) (Kishore dkk, 2010). Efek samping yang mungkin timbul adalah hepatotoksik. Obat anti tuberkulosis yang dapat menyebabkan hepatotoksik salah satunya adalah isoniazid. Rifampisin sebagai obat utama tuberkulosis mempunyai efek hepatotoksik yang paling rendah bila dibandingkan dengan isoniazid (Sherlock & Dooley, 2011). Pengobatan TB membutuhkan waktu panjang sekitar 6 sampai 8 bulan untuk mencapai penyembuhan dengan kombinasi beberapa macam obat (Bagiada & Primasari, 2010).

Isoniazid adalah obat yang sangat efektif untuk pengobatan tuberkulosis (TB) dibandingkan dengan obat antituberkulosis yang lainnya secara eksperimen pada hewan percobaan. Akan tetapi, efek samping yang ditimbulkan dari obat Isoniazid cukup banyak seperti neurotoksisitas pusat dan perifer serta hepatotoksisitas yang ditandai dengan uji fungsi hati yang abnormal, peningkatan kadar bilirubin dan nekrosis multilobular (Katzung, 2008). Toksisitas ginjal isoniazid telah dilaporkan secara sporadis dan histologi nefrotoksisitas dari isoniazid dikaitkan dengan nefritis akut tubulointerstitial (ATIN), tubular nekrosis, nekrosis papiler, nekrosis kortikal akut, dan penyakit perubahan minimal (Min et al., 2013).


(10)

3

WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat tradisional (WHO, 2008).

Salah satu manfaat dari kulit buah manggis adalah sebagai antioksidan. Jung et al. (2006) dalam penelitiannya mengenai senyawa antioksidan kulit manggis pada tikus yang diinduksi DMBA (7,12-dimethylbenz[α]anthracene) didapatkan bahwa dari berbagai senyawa xanthone yang terisolasi, mayoritas secara aktif menginhibisi adalah α-mangostin dan γ-mangostin. Dan dalam Chen et al. (2008), menunjukkan bahwa senyawa α-mangostin dan γ-mangostin juga mempuyai potensi sebagai antiinflamasi. Selain xanthone, antosianin pada kulit manggis juga merupakan senyawa yang potensial memiliki aktivitas antioksidan (Supiyanti dkk., 2010).

Berdasarkan hal diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol 40% kulit manggis (Garcinia mangostana L.) yang diindikasi memiliki efek antioksidan dan antinflamasi terhadap gambaran histopatologis hepar dan ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi Isoniazid.


(11)

1.2Perumusan Masalah

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah penting bagi kesehatan karena merupakan salah satu penyebab utama kematian. Ada sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis dan 98% diantaranya mengalami kematian. Pengobatan untuk mengatasi tuberkulosis dirasa belum memuaskan karena memiliki efek samping yang tidak baik bagi kesehatan. Oleh karena itu diperlukan suatu hepatoprotektor dan nefroprotektor yang dapat diberikan sebagai obat pendamping. Dari uraian singkat tersebut dapat dirumuskan :

1. Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak etanol 40% kulit manggis (Garcinia

mangostana L.) terhadap gambaran histopatologi hepar dan ginjal tikus putih

(Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi isoniazid ? 2. Apakah ada pengaruh pemberian peningkatan dosis ekstrak etanol 40% kulit

manggis (Garcinia mangostana L.) 20 mg, 40 mg, dan 80 mg terhadap gambaran histopatologi hepar dan ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi isoniazid ?

1.3Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui adanya pengaruh pemberian ekstrak etanol 40% kulit manggis

(Garcinia mangostana L.) terhadap gambaran histopatologi hepar dan ginjal

tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi isoniazid.


(12)

5

2. Tujuan Khusus

Mengetahui adanya pengaruh pemberian peningkatan dosis ekstrak etanol 40% kulit manggis (Garcinia mangostana L) 20 mg, 40 mg, dan 80 mg terhadap gambaran histopatologi hepar dan ginjal tikus (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi isoniazid.

1.4Manfaat Penelitian

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai efek ekstrak kulit mangggis terhadap hepar dan ginjal yang diinduksi oleh Isoniazid.

b. Bagi Peneliti

Penelitian ini sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah dipelajari sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti.

c. Bagi Pembangunan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan yang akan mendukung upaya pemeliharaan tanaman buah manggis (Garcinia mangostana L.) sebagai salah satu tanaman berkhasiat obat. Dengan demikian akan mendukung upaya pemerintah untuk menyukseskan program tanaman obat atau obat herbal.


(13)

d. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (FK Unila)

Meningkatkan penelitian dibidang agromedicine sehingga dapat menunjang pencapaian visi FK Unila sebagai Fakultas Kedokteran Sepuluh Terbaik di Indonesia pada Tahun 2025 dengan Kekhususan agromedicine.

e. Bagi Peneliti Lain

Dapat dijadikan bahan acuan untuk dilakukannya penelitian yang serupa yang berkaitan dengan efek kulit buah manggis (Garcinia mangostana L.)

1.5 Kerangka Penelitian

1.5.1Kerangka Teori

Isoniazid adalah obat yang sangat efektif untuk pengobatan tuberkulosis (TB) dibandingkan dengan obat antituberkulosis yang lainnya secara eksperimen pada hewan percobaan. Akan tetapi, efek samping yang ditimbulkan dari obat Isoniazid cukup banyak seperti neurotoksisitas pusat dan perifer serta hepatotoksisitas yang ditandai dengan uji fungsi hati yang abnormal, peningkatan kadar bilirubin dan nekrosis multilobular (Katzung, 2008).

Toksisitas ginjal isoniazid telah dilaporkan secara sporadis dan histologi nefrotoksisitas dari isoniazid dikaitkan dengan nefritis akut tubulointerstitial (ATIN), tubular nekrosis, nekrosis papiler, nekrosis kortikal akut, dan penyakit perubahan minimal (Min et al., 2013).


(14)

7

Kandungan kimia kulit buah manggis antara lain derivat xanton yaitu mangostin, gartanin, α-mangostin, γ-mangostin, garsimangoson B, garsinon D, garsinon E, mangostinon, kudraxanton G, garsimangoson A, garsimangoson C (Trifena, 2012).


(15)

Gambar 1. Kerangka teori. Kulit manggis (Garcinia

mangostana L.) yang diekstraksi etanol 40%

Senyawa Xanton

Mencegah kerusakan sel Hepar & Ginjal

Skor Kerusakan Sel↑ Isonicotinilhydrazine Asetil-isoniazid Mono Asetil-Hydrazine(MAH) Asetil makromolekul Skor Kerusakan Sel ↑↑ Antioksidan dan

Antiinflamasi

+

Kerusakan sel Hepar & Ginjal

Bandingkan Keterangan

: Menyebabkan : Diubah

: Metabolisme INH : Berfungsi : Mengandung N-asetil-transferase Sitokrom P450


(16)

9

1.5.2 Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka konsep.

Dianalisis Gambaran histopatologi

hepar dan ginjal Kelompok 1

Kontrol Normal

Kelompok 2 Isoniazid 30mg/100g

Kelompok 3

Kelompok 4

Kelompok 5 Kulit Manggis 20

mg/100gBB + Isoniazid 30mg

Kulit Manggis 40 mg/100gBB + Isoniazid 30mg Ekstrak Kulit Manggis

Kulit Manggis 80 mg/100gBB + Isoniazid 30mg


(17)

1.6 Hipotesis

1. Ada pengaruh pemberian ekstrak etanol 40% kulit manggis (Garcinia

mangostana L.) terhadap gambaran histopatologi hepar dan ginjal tikus putih

(Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley yang diinduksi isoniazid. 2. Ada pengaruh pemberian peningkatan dosis ekstrak etanol 40% kulit manggis

(Garcinia mangostana L.) 20 mg, 40 mg, dan 80 mg terhadap gambaran

histopatologi hepar dan ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Hati

2.1.1Anatomi Hati

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat kurang lebih 1,5 kg (Junqueira dkk., 2007). Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak di bawah kerangka iga (Sloane, 2004).

Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus costalis dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan hepar dari pleura, pulmo, pericardium, dan cor. Hepar terbentang ke sebelah kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra (Snell, 2006).

Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena centralis pada masing-masing lobulus bermuara ke venae hepaticae. Dalam ruangan antara lobulus-lobulus terdapat canalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena portae hepatis, dan sebuah cabang ductus choledochus (trias


(19)

hepatis). Darah arteria dan vena berjalan di antara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena centralis (Sloane, 2004).

2.1.2Fisiologi Hati

Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu: a. Metabolisme karbohidrat

Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat.

b. Metabolisme lemak

Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain: mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak dari protein dan karbohidrat.

c. Metabolisme protein

Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain dari asam amino.


(20)

13

d. Lain-lain

Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak dan hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.

Gambar 3. Gambaran makroskopik hati manusia dari anterior (Putz & Pabst, 2007).

2.1.3Histologi Hati

Sel–sel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak). Sel hepatosit berderet secara radier dalam lobulus hati dan membentuk lapisan sebesar 1-2 sel serupa dengan susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobulus ke pusatnya dan beranastomosis secara bebas membentuk struktur seperti labirin dan busa. Celah diantara


(21)

lempeng-lempeng ini mengandung kapiler yang disebut sinusoid hati (Junquiera et al., 2007).

Sinusoid hati adalah saluran yang berliku–liku dan melebar, diameternya tidak teratur, dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh. Sinusoid dibatasi oleh 3 macam sel, yaitu sel endotel (mayoritas) dengan inti pipih gelap, sel kupffer yang fagositik dengan inti ovoid, dan sel stelat atau sel Ito atau liposit hepatik yang berfungsi untuk menyimpan vitamin A dan memproduksi matriks ekstraseluler serta kolagen. Aliran darah di sinusoid berasal dari cabang terminal vena portal dan arteri hepatik, membawa darah kaya nutrisi dari saluran pencernaan dan juga kaya oksigen dari jantung (Eroschenko, 2010; Junqueira et al., 2007).

Traktus portal terletak di sudut-sudut heksagonal. Pada traktus portal, darah yang berasal dari vena portal dan arteri hepatik dialirkan ke vena sentralis. Traktus portal terdiri dari 3 struktur utama yang disebut trias portal. Struktur yang paling besar adalah venula portal terminal yang dibatasi oleh sel endotel pipih. Kemudian terdapat arteriola dengan dinding yang tebal yang merupakan cabang terminal dari arteri hepatik. Dan yang ketiga adalah duktus biliaris yang mengalirkan empedu. Selain ketiga struktur itu, ditemukan juga limfatik (Junqueira et al., 2007).


(22)

15

Gambar 4. Lobulus hepatik (Gartner, 2003).

Aliran darah di hati dibagi dalam unit struktural yang disebut asinus hepatik. Asinus hepatik berbentuk seperti buah berry, terletak di traktus portal. Asinus ini terletak di antara 2 atau lebih venula hepatic terminal, dimana darah mengalir dari traktus portalis ke sinusoid, lalu ke venula tersebut. Asinus ini terbagi menjadi 3 zona, dengan zona 1 terletak paling dekat dengan traktus portal sehingga paling banyak menerima darah kaya oksigen, sedangkan zona 3 terletak paling jauh dan hanya menerima sedikit oksigen. Zona 2 atau zona intermediet berada diantara zona 1 dan 3. Zona 3 ini paling mudah terkena jejas iskemik (Junqueira et al., 2007).


(23)

Gambar 5. Gambaran mikroskopik dengan perbesaran 30x hati manusia (Eroschenko, 2010).

2.1.4Histopatologi Hati

Jejas sel dalam hati dapat bersifat reversibel atau ireversibel (Chandrasoma & Taylor, 2005).

1. Jejas reversible

a. Pembengkakan Sel

Pembengkakan merupakan manifestasi pertama yang ada hampir pada semua bentuk jejas sel, sebagai akibat pergeseran air ekstraseluler ke dalam sel, akibat gangguan pengaturan ion dan volume karena kehilangan ATP (Chandrasoma & Taylor, 2005).


(24)

17

Gambar 6. Pembengkakan sel disertai vakuolisasi; Ket.: 1. Sel yang MengalamiVakuolisasi; 2. Inti Sel Menggeser ke Tepi (Robbins dkk., 2007).

Bila air berlanjut tertimbun dalam sel, vakuol-vakuol kecil jernih tampak dalam sitoplasma yang diduga merupakan retikulum endoplasma yang melebar dan menonjol keluar atau segmen pecahannya. Gambaran jejas nonletal ini kadang-kadang disebut degenerasi hidropik atau degenerasi vakuol. Selanjutnya hepatosit yang membengkak juga akan tampak edematosa (degenerasi balon) dengan sitoplasma ireguler bergumpal dan rongga-rongga jernih yang lebar (Robbins et al., 2007).

b. Perlemakan Hati

Perlemakan hati merupakan akumulasi trigliserida dalam sel-sel parenkim hati. Akumulasi timbul pada keadaan berikut:

1. Peningkatan mobilisasi lemak jaringan yang menyebabkan peningkatan jumlah asam lemak yang sampai ke hati;

1


(25)

2. Peningkatan kecepatan konversi dari asam lemak menjadi trigliserida di dalam hati karena aktivitas enzim yang terlibat meningkat;

3. Penurunan oksidasi trigliserida menjadi asetil-koA dan penurunan bahan keton;

4. Penurunan sintesis protein akseptor lipid (Chandrasoma & Taylor, 2005).

2. Jejas Ireversibel

a. Nekrosis

Nekrosis sel dapat terjadi langsung atau dapat mengikuti degenerasi sel (jejas reversibel). Gambaran mikroskopik dari nekrosis dapat berupa gambaran piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Berdasarkan lokasinya nekrosis terbagi menjadi tiga yaitu nekrosis fokal, nekrosis zona, nekrosis submasif. Nekrosis sel hati fokal adalah nekrosis yang terjadi secara acak pada satu sel atau sekelompok kecil sel pada seluruh daerah lobulus-lobulus hati. Nekrosis ini dikenali pada biopsi melalui badan asidofilik (councilman) yang merupakan sel hati nekrotik dengan inti piknotik atau lisis dan sitoplasma terkoagulasi berwarna merah muda. Selain itu dapat dikenali juga pada daerah lisis sel hati yang dikelilingi oleh kumpulan sel kupffer dan sel radang. Nekrosis zona sel hati adalah nekrosis sel hati yang terjadi pada regio-regio yang identik disemua


(26)

19

lobulus hati, sedangkan nekrosis submasif merupakan nekrosis sel hati yang meluas melewati batas lobulus, sering menjembatani daerah portal dengan vena sentralis (bridging necrosis). (Chandrasoma & Taylor, 2005).

b. Fibrosis

Fibrosis merupakan akumulasi matriks ekstraseluler yang merupakan respon dari cedera akut atau kronik pada hati. Pada tahap awal, fibrosis mungkin terbentuk di dalam atau di sekitar saluran porta atau vena sentralis atau mungkin mengendap langsung didalam sinusoid. Hal ini merupakan reaksi penyembuhan terhadap cedera.Cedera pada hepatosit akan mengakibatkan pelepasan sitokin dan faktor solubel lainnya oleh sel kupffer serta sel tipe lainnya pada hati. Faktor-faktor ini akan mengaktivasi sel stelat yang akan mensintesis sejumlah besar komponen matriks ekstraseluler (Robbins et al., 2007).

c. Sirosis

Berlanjutnya fibrosis dan cedera parenkim menyebabkan hepar terbagi-bagi menjadi nodus hepatosit yang mengalami regenerasi dan dikelilingi oleh jaringan parut. Jaringan parut ini disebut sirosis (Robbins dkk., 2007).


(27)

2.2 Ginjal

2.2.1Anatomi Ginjal

Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum, di depan dua iga terakhir, dan tiga otot besar transversus abdominis, kuadratus llumborum, dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kelenjar adrenal terletak diatas kutub masing-masing ginjal. Ginjal terlindung dengan baik dari trauma langsung-di sebelah posterior dilindungi oleh kosta dan otot-otot yang meliputi kosta, sedangkan di anterior dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri karena besarnya lobus hepatis dekstra (Price & Wilson, 2006).

Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 cm sampai 13 cm (4,7 hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci) dan beratnya sekitar 150 g. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal yang lebih dari 1,5 cm (0,6 inci) atau perubahan bentuk merupakan tanda yang penting karena sebagian besar manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan struktur (Price &Wilson, 2006).

Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian korteks dan medula ginjal (Junquiera et al., 2007). Di dalam korteks terdapat berjuta–juta nefron sedangkan di dalam medula banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah


(28)

21

unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distal, dan tubulus koligentes (Purnomo, 2012).

Setiap ginjal memiliki sisi medial cekung, yaitu hilus tempat masuknya syaraf, masuk dan keluarnya pembuluh darah dan pembuluh limfe, serta keluarnya ureter dan memiliki permukaan lateral yang cembung (Junquiera et al., 2007). Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks major, dan pielum/pelvis renalis.

Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang–cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya (Purnomo, 2012).


(29)

Gambar 7. Anatomi ginjal manusia (Moore & Agur, 2002).

2.2.2 Histologi Ginjal

Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagi nefron. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari fungsi semua nefron tersebut (Price & Wilson, 2006). Setiap nefron terdiri atas bagian yang melebaryakni korpuskel renalis, tubulus kontortus proksimal, segmen tipis, dan tebal ansa henle, tubulus kontortus distal, dan duktus koligentes (Junquiera et al., 2007).

Gambar 8. Histologi ginjal normal manusia (Slomianka, 2009).

1. Tubulus Kontortus Proksimal

Pada kutub urinarius di korpuskel renalis, epitel gepeng di lapisan parietal kapsula bowman berhubungan langsung dengan epitel tubulus kontortus proksimal yang berbentuk kuboid atau silindris rendah. Filtrat glomerulus yang terbentuk di dalam korpuskel renalis, masuk ke dalam


(30)

23

tubulus kontortus proksimal yang merupakan tempat dimulainya proses absorbsi dan ekskresi. Selain aktivitas tersebut, tubulus kontortus proksimal mensekresikan kreatinin dan subsatansi asing bagi organisme, seperti asam para aminohippurat dan penisilin, dari plasma interstitial ke dalam filtrat (Junquiera et al., 2007).

2. Tubulus Kontortus Distal

Segmen tebal asenden ansa henle menerobos korteks, setelah menempuh jarak tertentu, segmen ini menjadi berkelak–kelok dan disebut tubulus kontortus distal. Sel–sel tubulus kontortus distal memiliki banyak invaginasi membran basal dan mitokondria terkait yang menunujukkan fungsi transpor ionnya (Junquiera et al., 2007).

3. Tubulus Duktus Kolingentes

Tubulus koligentes yang lebih kecil dilapisi oleh epitel kuboid. Di sepanjang perjalanannya, tubulus dan duktus koligentes terdiri atas sel– sel yang tampak pucat dengan pulasan biasa. Epitel duktus koligentes responsif terhadap vasopressin arginin atau hormon antidiuretik, yang disekresi hipofisis posterior. Jika masukan air terbatas, hormon antidiuretik disekresikan dan epitel duktus koligentes mudah dilalui air yang diabsorbsi dari filtrat glomerulus (Junquiera et al., 2007).


(31)

Gambar. 9. Penampang histologi normal ginjal (Eroschenko, 2010).

2.2.3 Fisiologi Ginjal

Menurut Guyton & Hall (2008), ginjal adalah organ utama untuk membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Produk-produk ini meliputi urea (dari sisa metabolisme asam amino), kreatin asam urat (dari asam nukleat), produk akhir dari pemecahan hemoglobin (bilirubin). Ginjal tersusun dari beberapa juta unit fungsional (nefron) yang akan melakukan ultrafiltrasi terkait dengan ekskresi (pembentukan urin) dan reabsorpsi. Kerja ginjal dimulai saat dinding kapiler glomerulus melakukan ultrafiltrasi untuk memisahkan plasma darah dari sebagian besar air, ion-ion dan molekul-molekul.


(32)

25

Berikut ini adalah fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar ditujukkan untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan internal:

Fungsi Eksresi:

1. Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mili Osmol dengan mengubah-ubah ekresi air;

2. Mempertahankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubah-ubah ekresi natrium;

3. Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam rentang normal;

4. Mempertahankan derajat keasaman/pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan hidrogen dan membentuk kembali karbonat; 5. Mengeksresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein

(terutama urea, asam urat dan kreatinin);

6. Bekerja sebagai jalur eksretori untuk sebagian besar obat (Guyton & Hall, 2008).

Fungsi non eksresi :

Menyintesis dan mengaktifkan hormon:

a. Renin: penting dalam pengaturan tekanan darah.

b. Eritropoitin: merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang.


(33)

c. 1,25-dihidroksivitamin D3 sebagai hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk yang paling kuat.

d. Prostaglandin: sebagian besar adalah vasodilator bekerja secara lokal dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal.

e. Degradasi hormon polipeptida, insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon gastrointestinal (Guyton & Hall, 2008).

Gambar 10. Ginjal manusia (Slomianka, 2009).

2.2.4 Patologi ginjal

Menurut Junquiera (2007), Pada keadaan normal glomerulus tidak dapat dilalui oleh protein yang bermolekul besar, tetapi pada keadaan patologis protein tersebut dapat lolos. Sel tubulus selain berfungsi mereabsorbsi, juga


(34)

27

menambahkan zat-zat kimiawi seperti yodium, amonia dan hippuric acid. Pada disfungsi glomerulus, bahan-bahan asing tiba di tubulus dalam kadar yang abnormal melalui ruang Bowman. Hal ini menyebabkan sel epitel tubulus mengalami degenerasi bahkan kematian jika terlalu banyak bahan-bahan yang harus diserap kembali.

Tubulus proksimal memiliki fungsi utama yaitu menyerap kembali natrium, albumin, glukosa dan air, dan juga bermanfaat dalam penggunaan kembali bikarbonat. Epitelium tubulus proksimalis merupakan bagian yang paling sering terserang iskemia atau rusak akibat toksin, karena kerusakan yang terjadi akibat laju metabolisme yang tinggi (Suyanti, 2008).

Nefrosis merupakan istilah morfologik untuk kelainan ginjal degeneratif terutama yang mengenai tubulus. Kelainan tubulus dapat menyebabkan albuminuria dan sedimen abnormal di urin. Secara mikroskopis kelainan dijumpai pada tubulus kontortus proksimal berupa degenerasi hidropis, degenerasi lemak, nekrosis dan kalsifikasi (Suyanti, 2008).


(35)

Gambar 11. Potongan melintang ginjal tikus yang mengalami kerusakan (Soeksmanto, 2006).

Gambar 12. Edema glomerulus pada ginjal tikus yang dikelilingi oleh tubulus yang mengalami degenerasi hidropis (Suyanti, 2008).

2.3 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan pengerat dan sering digunakan sebagai hewan percobaan atau digunakan untuk penelitian, dikarenakan tikus merupakan hewan yang mewakili dari kelas mamalia,


(36)

29

sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimianya, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah dan ekskresi menyerupai manusia. Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague Dawley berjenis kelamin jantan berumur kurang lebih 3 bulan. Tikus Sprague Dawley dengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian (Kesenja, 2005).

2.3.1. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentai

Subordo : Odontoceti

Familia : Muridae

Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus (Narendra, 2007).

2.3.2. Jenis

Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague Dawley, Wistar dan galur Long Evans.


(37)

Tikus galur Sprague Dawley memiliki ciri-ciri albino putih, berkepala kecil dengan ekor yang lebih panjang daripada badannya. Tikus galur

Wistar memiliki ciri-ciri bentuk kepala lebih besar dengan ekor yang lebih

pendek sedangkan galur Long Evans memiliki ciri badan berukuran lebih kecil dari tikus putih, berwarna hitam pada bagian kepala dan tubuh bagian depan. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley merupakan tikus yang paling sering digunakan untuk percobaan. Tikus ini memiliki temperamen yang tenang sehingga mudah dalam penanganan. Rata-rata ukuran berat badan tikus Sprague Dawley adalah 10.5 gram. Berat badan dewasa adalah 250−300 gram untuk betina, dan 450−520 gram untuk jantan. Tikus ini jarang hidup lebih dari 3 tahun (Putra, 2009).

2.4 Isoniazid (INH)

Isoniazid termasuk obat lini pertama pengobatan TB. Isoniazid saat ini direkomendasikan untuk mencegah TB pada kelompok pasien human

immunodeficiency virus (HIV) dan anak-anak yang tinggal bersama penderita TB

paru. Bukti-bukti genetik menunjukkan bahwa mutasi gen-gen katG, inhA, ahpC,

oxyR dan kasA merupakan penyebab kekebalan terhadap isoniazid, dengan

persentase mutasi pada gen katG sebesar 60−70%, dan selebihnya pada gen lain (Purnami et al., 2009).


(38)

31

Kerja obat ini adalah dengan menghambat enzim esensial yang penting untuk sintesis asam mikolat dan dinding sel Mycobacterium tuberculosis. INH dapat menghambat hampir semua basil tuberkel, dan bersifat bakterisidal terutama untuk basil tuberkel yang tumbuh aktif. Obat ini kurang efektif untuk infeksi mikobakteri atipikal meskipun M. kansasii rentan terhadap obat ini. INH dapat bekerja baik intra maupun ekstraseluler (Katzung, 2008).

Gambar 13. Struktur isoniazid (Katzung, 2008).

2.4.2. Farmakokinetik

Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1−2 jam setelah pemberian oral. Di hepar isoniazid terutama mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa paruhnya. Asetilator cepat didapatkan pada orang-orang Eskimo dan Jepang, asetilator lambat terutama pada orang Skandavia, Yahudi, dan orang kaukasia Afrika Utara.


(39)

Asetilasi cepat merupakan fenotip yang dominan heterozigot atau homozigot. Pada pasien yang tergolong asetilator cepat, kadar isoniazid dalam sirkulasi berkisar antara 30−50% kadar pada pasien dengan asetilator lambat. Masa paruhnya pada keseluruhan populasi antara 1−4 jam. Masa paruh rata-rata pada asetilator cepat hampir 70 menit, sedangkan nilai 2−5 jam adalah khas untuk asetilator lambat. Masa paruh obat ini dapat memanjang bila terjadi insufisiensi hepar. Perlu ditekankan bahwa perbedaan kecepatan asetilasi tidak berpengaruh pada efektivitas atau toksisitas isoniazid bila obat ini diberikan setiap hari. Bila pasien tergolong asetilator cepat diberikan isoniazid seminggu sekali maka penyembuhannya mungkin kurang baik (Setiabudy dkk., 2008).

Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Obat terdapat dengan kadar yang cukup dalam cairan pleura dan cairan asites. Kadar dalam cairan serebrospinal pada radang selaput otak kira-kira sama dengan kadar dalam cairan plasma. Isoniazid mudah mencapai material kaseosa. Kadar obat ini mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot daripada dalam jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian obat tertinggal lama di jaringan yang terinfeksi dalam jumlah yang lebih dari cukup sebagai bakteriostatik (Setiabudy dkk., 2008).

Antara 75−95% isoniazid diekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam dan hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit. Ekskresi terutama dalam bentuk asetil isoniazid yang merupakan metabolit proses asetilasi, dan


(40)

33

isokotinat acid yang merupakan metabolit proses hidrolisis. Sejumlah

kecil diekskresi dalam bentuk isokotinil glisin dan isokotinil hidrazon, dan dalam jumlah yang kecil sekali N-metil isoniazid (Setiabudy dkk., 2008).

2.4.3. Efek Samping

Insiden dan berat ringannya efek non terapi INH berkaitan dengan dosis dan lamanya pemberian. Reaksi alergi obat ini dapat berupa demam, kulit kemerahan, dan hepatitis. Efek toksik ini meliputi neuritis perifer, insomnia, lesu, kedut otot, retensi urin, dan bahkan konvulsi, serta episode psikosis. Kebanyakan efek ini dapat diatasi dengan pemberian piridoksin yang besarnya sesuai dengan jumlah INH yang diberikan (Katzung, 2008).

Efek samping lain yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan isoniazid adalah ikterus dan kerusakan hepar yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular. Penggunaan obat ini pada pasien yang menunjukkan adanya kelainan fungsi hepar akan menyebabkan bertambah parahnya kerusakan hepar (Setiabudydkk., 2008).

Mekanisme toksisitas isoniazid pada hepar terutama disebabkan karena metabolit toksik isoniazid yaitu Mono Asetil Hidrazin (MAH). Eliminasi isoniazid yang kebanyakan berlangsung di hepar, yaitu dengan asetilasi oleh N-asetil transferase-2 (NAT-2). Asetilasi dari asetil isoniazid akan menghasilkan pembentukan dari MAH yang merupakan zat hepatotoksik poten pada hewan percobaan. Metabolisme mikrosomal dari MAH


(41)

menghasilkan reaktif alkilating agen yang dapat berikatan secara kovalen dengan makromolekul jaringan dan menyebabkan nekrosis hepar. Pendapat lain menyebutkan bahwa metabolit reaktif yaitu MAH kemungkinan menjadi agen toksik pada jaringan melalui produksi radikal bebas (Saukkonen et al., 2009). Menurut Min (2013) Toksisitas ginjal isoniazid telah dilaporkan secara sporadis dan histologi nefrotoksisitas dari rifampisin dikaitkan dengan nefritis akut tubulointerstitial (ATIN), tubular nekrosis, nekrosis papiler, nekrosis kortikal akut, dan penyakit perubahan minimal.

2.4.4. Dosis

Dewasa dan anak: 5 mg/kg BB/hari (4−6 mg/kg BB/hari; maksimal 300 mg atau 10 mg/kg BB 3x seminggu atau 15 mg/kg BB 2x seminggu) (Katzung, 2008).


(42)

35

2.5 Tanaman Manggis

2.5.1 Taksonomi Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L)

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Parietales

Suku : Guttifera

Marga : Garcinia

Jenis : Garcinia mangostana L

Di Indonesia manggis disebut dengan berbagai macam nama lokal, seperti angoita (Aceh), manggista (Sumatera Utara), manggih (Sumatera Barat), manggu (Jawa Barat), mangghis (Madura), kirasa (Makassar) dan mangustang (Halmahera) (Kukuh, 2011).

2.5.2. Ekologi dan penyebaran

Garcinia mangostana L. merupakan tanaman buah yang banyak tumbuh di

daerah iklim tropis. Tanaman manggis ini dapat ditemukan di negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Filipina, Vietnam dan termasuk Indonesia, kemudian tanaman ini tersebar ke negara-negara tropis lainnya termasuk Sri Lanka, India Selatan, Amerika Tengah, Brazil dan Queensland (Australia) (Trifena, 2012).


(43)

2.5.3. Morfologi

Gambar 14. Garcinia mangostana L. (Aiello, 2005).

Garcinia Mangostana L. merupakan pohon buah dengan tinggi mencapai

25 meter. Berbatang kayu dengan warna hijau kotor yang bulat tebal dan tegak dengan diameter batang 45 cm memiliki daun tunggal yang berwarna hijau dan berbentuk lonjong dengan ujung runcing, pangkal yang tumpul dan tepi yang rata, pertulangan menyirip, berukuran panjang 20−25 cm dan lebar 6−9 cm. Berbunga tunggal berwarna kuning, berkelamin dua dan berada di ketiak daun dengan panjang 1−2 cm. Buah berbentuk bola yang tertekan, garis tengah 3,5−7 cm, berwarna ungu tua, dinding buah tebal dan berdaging. Berbiji bulat, berwarna kuning dengan diameter ± 2 cm, dalam satu buah terdapat 5−7 biji, diselimuti oleh selaput biji yang tebal dan berair. Berakar tunggang berwarna putih kecoklatan (Trifena, 2012).


(44)

37

2.5.4. Kandungan kimia dan manfaat

Kandungan kimia kulit buah manggis antara lain derivat xanton yaitu mangostin, gartanin, α-mangostin, γ-mangostin, garsimangoson B, garsinon D, garsinon E, mangostinon, kudraxanton G, garsimangoson A, garsimangoson C (Trifena, 2012).

Pemanfaatan kulit buah manggis sebenarnya sudah dilakukan sejak dahulu. Berbagai penelitian di luar negeri menjelaskan, kulit buah manggis yang sudah makan mengandung polihidroxi-xanton yang merupakan deivat mangostin dan beta mangostin. Xanton mempunyai kemampuan sebagai antioksidan dan antiinflamasi (Iswari, 2011).

a. Xanton sebagai antioksidan

Dalam proses metabolisme tubuh, terjadi reaksi oksidasi dan reduksi sehingga terbentuk radikal bebas yang bersifat oksidator dengan oksigen yang reaktif. Karena kereaktifannya, radikal bebas itu akan mengoksidasi zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh, sehingga menyebabkan sejumlah jaringan tubuh rusak (Yatman, 2012).

Oleh karena mudah teroksidasi, radikal bebas, dalam hal ini radikal peroksil (ROO) akan mengoksidasi xanton dengan cepat, sehingga radikal peroksil itu akan berubah menjadi R-H. Perubahan itu terjadi karena molekul oksigen direduksi oleh garsinon B sebagai derivat xanton. Reaksinya dapat menghambat radikal bebas dari berbagai jenis. Oksigen reaktif dari beberapa contoh radikal bebas, seperti H3C


(45)

(carbon-centered), R, R2NO (nitrogen-centered), RO, H3COO (O2-centered), atau ROO, dapat dihilangkan oleh xanton jenis garcinon B atau parvixanton dalam proses oksidasi, sehingga senyawa bermanfaat dapat berfungsi (Yatman, 2012).

Dalam reaksi xanton dengan radikal bebas itu, R berubah jadi RH, dan reaksi akan membuat molekul A menjadi tidak aktif. Demikian juga RO. Dengan adanya xanton (garcinon B atau parvixanton-1), posisi A diganti sehingga reaksi berubah menjadi ROH, yang dapat menjaga zat-zat yang bermanfaat bagi tubuh menjadi berfungsi dengan baik untuk menjaga kesehatan. Hal yang sama juga terjadi pada ROO, yang dalam proses reaksi itu berubah menjadi ROOH (Yatman, 2012).

b. Xanton sebagai anti-inflamasi

Khasiat antiinflamasi kulit manggis ternyata telah dipraktikan sejak dulu. Setelah diteliti lebih lanjut, ternyata manggis memang mengandung zat antiinflamasi pada studi in-vitro. Penelitian lain di Jepang, menunjukkan bahwa senyawa gamma-mangostin lah yang mampu mencegah aktifitas COX (Cyclo-oxigenase), enzim yang bertugas menandai adanya inflamasi dalam tubuh. Untuk alergi, senyawa xanthon mampu mencegah pelepasan anti-histamin dan sintesis prostaglandin E2 yang dikeluarkan kerika terjadi alergi. Prostaglandin itulah penyebab inflamasi menjadi radang. Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa alfamangostin dapat


(46)

39

menghambat pelepasan reseptor pembuat histamine, sedangkan

gammamangostin dapat menghambat pelespasan reseptor pembuat


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik yang menggunakan metode rancangan acak terkontrol dengan pola post test−only control group design. Sebanyak 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley berumur 10−16 minggu yang dipilih secara acak dan dibagi menjadi 5 kelompok, dengan pengulangan sebanyak 5 kali digunakan sebagai subjek penelitian.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di BPPV (Balai Penyidikan dan Pengujian Veteiner) sedangkan pembuatan preparat dan pengamatannya dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan berada di bulan Oktober−November 2013.


(48)

41

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague Dawley berumur 10−16 minggu yang diperoleh dari laboratorium Balai

Penelitian Veteriner (BALITVET) Bogor.

Sampel penelitian sebanyak 25 ekor yang dipilih secara acak yang dibagi dalam 5 kelompok dengan pengulangan sebanyak 5 kali. Untuk penelitian eksperimen dengan rancangan acak lengkap, acak kelompok atau faktorial, secara sederhana dapat dirumuskan:

(n−1)−(t−1) ≥ 15

Dimana t merupakan jumlah kelompok percobaan dan n merupakan jumlah pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok. Penelitian ini menggunakan 5 kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel menjadi:

(n−1)−(5−1) ≥ 15 (n−1) 4 ≥ 15 (n−1) ≥ 3,75

n ≥ 4,75

Jadi, sampel yang digunakan tiap kelompok percobaan sebanyak 5 ekor (n ≥ 4,75) dan jumlah kelompok yang digunakan adalah 5 kelompok sehingga penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih dari populasi yang ada.

Kriteria inklusi:

1.Sehat (tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, atau botak, dan bergerak aktif);


(49)

2. Memiliki berat badan 100 gram; 3. Berjenis kelamin jantan;

4. Berusia sekitar ± 10−16 minggu (dewasa). Kriteria eksklusi:

1.Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi dilaboratorium;

2. Mati selama masa pemberian perlakuan.

3.4 Bahan dan Alat Penelitian

3.4.1 Bahan Penelitian

Berdasarkan penelitian Ergul (2010) dosis isoniazid yang digunakan 30 mg/100gBB dan Bahan ekstrak digunakan kulit manggis (Garcinia

mangostana L.) yang diekstraksi etanol 40% dengan dosis 20, 40, dan 80

mg.

3.4.2 Bahan Kimia

Bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi dengan metode paraffin meliputi larutan formalin 10% untuk fiksasi, alkohol 70%, alkohol 96%, alkohol absolut, etanol, xilol, pewarna hematoksilin dan eosin, dan entelan.


(50)

43

3.4.3Perangkat Penelitian

1.Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

 Neraca analitik Metler Toledo dengan tingkat ketelitian 0,01 g,

untuk menimbang berat tikus;

 Spuit oral 1 cc, 3 cc dan 5 cc;

 Minor set, membedah tikus untuk mengidentifikasi hepar;

 Kapas dan alcohol;

 Alat pemeriksaan mikroskopis: Mikroskop, gelas objek cairan

emersi;

 Kamera digital.

2. Alat Pembuat Preparat Histopatologi

Alat pembuat preparat histopatologi yang digunakan adalah object glass, deck glass, tissue cassette, rotarymicrotome, oven, water bath, platening table, autochnicom processor, staining jar, staining rak, kertas saring, histoplast, dan parafin dispenser.


(51)

3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1Prosedur Pemberian Ekstrak Kulit Manggis

1. Metode Pembuatan Ekstrak Kulit Manggis

Menurut Nakatani dalam chaverri (2008) Proses pembuatan ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) dalam penelitian ini menggunakan etanol sebagai pelarut. Penelitian ini menggunakan pelarut etanol 40%, dikarenakan memiliki efek yang paling poten. Menurut Sulistianto (2004), ekstraksi dimulai dari penimbangan buah manggis (Garcinia mangostana L.). Selanjutnya dikeringkan dalam almari pengering, dibuat serbuk dengan menggunakan blender atau mesin penyerbuk. Etanol dengan kadar 40% ditambahkan untuk melakukan ekstraksi dari serbuk ini selama kurang lebih 2 (dua) jam kemudian dilanjutkan maserasi selama 24 jam. Setelah masuk ke tahap filtrasi, akan diperoleh filtrat dan residu. Filtrat yang didapatkan akan diteruskan ke tahap evaporasi dengan Rotary evaporator pada suhu 40 0

C sehingga akhirnya diperoleh ekstrak kering.

2. Prosedur Pemberian Dosis Kulit Manggis

Dosis kulit manggis pada ekperimen ini adalah 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB, 800 mg/kgBB. yang didapat dari dosis penelitian sebelumnya, dimana dosis tersebut mempengaruhi sel yang rusak


(52)

45

Dosis kulit manggis pada ekperimen ini adalah 200 mg/kgBB, 400 mg/kgBB, 800 mg/kgBB. yang didapat dari dosis penelitian sebelumnya, dimana dosis tersebut mempengaruhi sel yang rusak. Dosis untuk 100g tikus adalah 20 mg/100gBB. Dalam penelitian ini kelompok kontrol negatif dan kontrol positif tidak diberikan ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) (Wijaya dkk., 2011).

1) Dosis untuk tiap tikus kelompok III

2) Dosis untuk tiap tikus kelompok IV

3) Dosis untuk tiap tikus kelompok V

Volume ekstrak kulit manggis (Garcinia mangostana L.) diberikan secara oral sebanyak 1 ml yang merupakan volume yang boleh diberikan berdasarkan pada volume normal lambung tikus yaitu 3−5 ml. Jika volume ekstrak melebihi volume lambung, dapat berakibat

Dosis tikus (100g) = 200 mg/kgBB /100

= 0,2 mg x 100 = 20 mg/100gBB

Dosis tikus (100g) = 400 mg/kgBB /100

= 0,4 mg x 100 = 40 mg/100gBB

Dosis tikus (100g) = 800 mg/kgBB /100


(53)

dilatasi lambung secara akut yang dapat menyebabkan robeknya saluran cerna (Ngatidjan, 2006).

3.5.2 Prosedur Pemberian Dosis Isoniazid (INH)

Berdasarkan penelitian Ergul (2010) Dosis INH yang digunakan untuk menimbulkan efek toksik pada tikus sebesar 50 mg/kgBB per hari. Jika dilakukan konversi untuk dosis tikus dewasa adalah sebagai berikut: Berat manusia dewasa umumnya 70 kg jika dosis toksik 50 mg/Kg BB/hari maka dosis toksik total 3500 mg untuk manusia. Angka konversi dosis dari manusia 70 kg ke tikus 200 gr adalah 0,018. Sehingga dosis toksik isoniazid untuk tikus 200 gr adalah 0,018 x 3500 mg = 63 mg. Rerata berat tikus yang digunakan pada penelitian ini adalah 100 gr. Dosis toksik untuk tikus dengan berat 100 gr adalah 31,5 mg dibulatkan menjadi 30 mg.

Dosis isoniazid yang dipilih adalah isoniazid tablet sediaan 300 mg, hal ini dikarenakan pemberian peroral dimana kadar puncak dicapai dalam waktu 2 jam setelah pemberian oral ( Setiabudy, 2009), Isoniazid tabet digerus dan dilarutkan dalam 10 ml aquadest. Jadi dalam 1 ml larutan isoniazid terdapat 30 mg dan diberikan 1 kali sehari kepada tikus kontrol postif (KII), K III, K IV dan K V.


(54)

47

a. Tikus sebanyak 25 ekor, dikelompokkan dalam 5 kelompok. Kelompok I sebagai kontrol negatif, hanya yang diberi aquades. Kelompok II sebagai kontrol positif, diberikan INH dengan dosis 30 mg/kgBB. Kelompok III adalah kelompok perlakuan coba dengan pemberian dosis kulit manggis dengan dosis 20 mg/100gBB, kelompok IV dengan dosis kulit manggis sebanyak 40 mg/100gBB, dan kelompok V dengan dosis kulit manggis sebanyak 80 mg/kgBB. Kemudian selang 2 jam, kelompok III, IV dan V diberikan induksi isoniazid sebesar 30 mg/kgBB. Masing−masing diberikan secara peroral satu kali sehari selama 14 hari;

b. Setelah 14 hari, perlakuan diberhentikan;

c. Selanjutnya tikus di anesthesia kemudian dilakukan euthanasia; d. Dilakukan pemeriksaan morfologi hepar dan ginjal secara

mikroskopis:

Organ hepar dan ginjal dibuat preparat histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin−Eosin. Kemudian preparat histopatologi dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi untuk dikonsultasikan dengan ahli patologi anatomi.Pengamatan mikroskopis dilakukan oleh peneliti sendiri.

Gambaran kerusakan hepatosit tikus dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi menggunakan mikroskop dengan


(55)

perbesaran 400x pada 5 lapangan pandang dimana setiap lapangan pandang diamati berupa degenerasi bengkak keruh yang terjadi pada hepatosit. Skala degenerasi bengkak keruh kemudian dihitung secara semikuantitatif dalam 5 lapang pandang berbeda. Berikut ini adalah skala penilaian Kawasaki (2009) dengan modifikasi:

Tabel 1. Skor penilaian derajat degenerasi bengkak keruh.

Tingkat Perubahan Skor

Tidak ada hepatosit yang mengalami degenerasi

bengkak keruh 0

<10% hepatosit yang mengalami degenerasi bengkak

keruh 1

10% – 33% hepatosit yang mengalami degenerasi

bengkak keruh 2

34% – 66% hepatosit yang mengalami degenerasi

bengkak keruh 3

>67% – 100% hepatosit yang mengalami degenerasi

bengkak keruh 4

Gambaran kerusakan tubulus proksimal ginjal mencit dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x pada 10 lapang pandang, kerusakan tubulus proksimal ditandai dengan adanya sel yang nekrotik.

Tabel 2. Skor penilaian derajat sel yang mengalami nekrotik.

Tingkat Perubahan Skor

Tidak ada sel yang nekrotik 0

<10% sel yang mengalami nekrotik 1

10% – 33% sel yang mengalami nekrotik 2


(56)

49

>67% – 100% sel yang mengalami nekrotik 4

Metode teknik pembuatan preparat histopatologi menurut bagian PA FK Unila :

1. Fixation

a. Spesimen berupa potongan organ hepar dan ginjal yang telah dipotong secara representatif kemudian segera difiksasi dengan formalin 10% selama 3 jam;

b. Dicuci dengan air mengalir sebanyak 3−5 kali.

2. Trimming

a. Organ dikecilkan hingga ukuran ± 3 mm;

b. Potongan organ hepar dan ginjal tersebut lalu dimasukkan ke dalam tissue cassette.

3. Dehidrasi

a. Mengeringkan air dengan meletakkan tissue cassette pada kertas tisu;

b. Berturut−turut organ hepar dan ginjal direndam dalam alkohol 70% selama 0,5 jam, alkohol 96% selama 0,5 jam, alkohol absolut selama 1 jam, dan alkohol xylol 1:1 selama 0,5 jam.

4. Clearing

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xylol I dan II, masing−masing selama 1 jam.


(57)

5. Impregnasi

Impregnasi dilakukan dengan menggunakan paraffin selama 1 jam dalam oven suhu 650 C.

6. Embedding

a. Sisa paraffin yang ada pada pan dibersihkan dengan memanaskan beberapa saat di atas api dan diusap dengan kapas; b. Paraffin cair disiapkan dengan memasukkan paraffin ke dalam

cangkir logam dan dimasukkan dalam oven dengan suhu diatas 580C;

c. Paraffin cair dituangkan ke dalam pan;

d. Dipindahkan satu persatu dari tissue cassette ke dasar pan dengan mengatur jarak yang satu dengan yang lainnya;

e. Pan dimasukkan ke dalam air;

f. Paraffin yang berisi potongan hepardilepaskan dari pan dengan dimasukkan ke dalam suhu 4−60 C beberapa saat;

g. Paraffin dipotong sesuai dengan letak jaringan yang ada dengan menggunakan skalpel/pisau hangat;

h. Lalu diletakkan pada balok kayu, diratakan pinggirnya, dan dibuat ujungnya sedikit meruncing;

i. Memblok paraffin, siap dipotong dengan mikrotom.

7. Cutting


(58)

51

b. Sebelum memotong, blok didinginkan terlebih dahulu di lemari es;

c. Dilakukan pemotongan kasar, lalu dilanjutkan dengan

pemotongan halus dengan ketebalan 4−5 mikron. Pemotongan dilakukan menggunakan rotary microtome dengan disposable knife.

d. Dipilih lembaran potongan yang paling baik, diapungkan pada air, dan dihilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yan lain ditarik menggunakan kuas runcing;

e. Lembaran jaringan dipindahkan ke dalam water bath suhu 600C selama beberapa detik sampai mengembang sempurna;

f. Dengan gerakan menyendok, lembaran jaringan tersebut diambil dengan slide bersih dan ditempatkan di tengah atau pada

sepertiga atas atau bawah;

g. Slide yang berisi jaringan ditempatkan pada inkubator (suhu

370C) selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.

8. Staining (pewarnaan) dengan Harris Hematoksilin−Eosin

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, dipilih slide yang terbaik, selanjutnya dilakukan deparafinisasi dalam larutan xylol I selama 5 menit dan larutan xylol II selama 5 menit. Kemudian, dihidrasi dalam ethanol absolut selama 1 jam, alkohol 96% selama 2 menit, alkohol 70% selama 2 menit, dan air selama 10 menit. Lalu


(59)

dilakukan pulasan inti denganHarris Hematoksilin selama 15 menit, dibilas dengan air mengalir, lalu diwarnai dengan eosin selama maksimal 1 menit. Selanjutnya, didehidrasi dengan alkohol 70% selama 2 menit,alkohol 96% selama 2 menit, dan alkohol absolut selama 2 menit.Kemudian dilakukan penjernihan dengan xylol I selama 2 menit dan xylol II selama 2 menit.

9. Mounting dengan entelan dan tutup dengan deck glass

Setelah pewarnaan selesai, slide ditempatkan di atas kertas tisu pada tempat datar, ditetesi dengan bahan mounting, yaitu entelan, dan ditutup dengan deck glass, cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara.

10. Slide dibaca dengan mikroskop

Slide diperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran

400x.Preparat histopatologi dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi untuk dikonsultasikan dengan ahli patologi anatomi. Pengamatan mikroskopis dilakukan oleh peneliti sendiri.


(60)

53

Timbang berat badan tikus

K1 K2 K3 K4 K5

Tikus diadaptasikan selama 7 hari Tikus diberi perlakuan selama 14 hari

Cekok Cekok Cekok INH 30 mg INH 30 mg INH 30 mg 1 X sehari 1 X sehari 1 X sehari

Cekok I.P I.P. I.P. I.P.

Aquadest INH 30mg Kulit manggis 20 mg Kulit manggis 40 mg Kulit manggis 80 mg 1 x sehari 1x sehari

Tikus di anesthesia kemudian di authanasia

Lakukan laparotomi lalu hepar dan ginjal tikus di ambil Sampel hepar dan ginjal difiksasi dengan formalin 10%

Sample hepar dan ginjal dikirim ke Laboratorium PA Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek Pengamatan sediaan histopatologi dengan mikroskop

Interpretasi hasil pengamatan

Gambar 15. Diagram alur penelitian.


(61)

3.5.3 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Identifikasi Variabel

a. Variabel Independen adalah dosis ekstrak etanol 40% kulit manggis (Garcinia mangostana L.) yang di ekstraksi etanol yang diberikan kepada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.

b. Variabel dependen adalah gambaran histopatologi hepar dan ginjal yang di induksi isoniazid.


(62)

55

2. Definisi Operasional Variabel

Tabel 3. Definisi Operasional Variabel.

Variabel Definisi Skala

Dosis Ekstrak kulit manggis Gambar histopatologi hepar tikus Gambaran histopatologis ginjal tikus

Dosis efektif kulit manggis adalah 80 mg/100gBB Kelompok I (kontrol negatif) = pemberian aquadest Kelompok II (kontrol positif) = pemberian INH 30 mg

Kelompok III (perlakuan coba) = pemberian mkulit manggis dosis 20 mg + INH 30 mg

Kelompok IV (perlakuan coba) = pemberian kulit manggis dosis 40 mg + INH 30 mg

Kelompok V (perlakuan coba) = pemberian kulit manggis dosis 80 mg + INH 30 mg

Gambaran kerusakan hepatosit tikus dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400x pada 5 lapangan pandang dimana setiap lapangan pandang diamati berupa degenerasi bengkak keruh yang terjadi pada hepatosit. Skaladegenerasi bengkak keruh kemudian dihitung secara semi kuantitatif dalam 5 lapang pandang berbeda. Skala penilaian Kawasaki (2009).

Gambaran kerusakan tubulus ginjal tikus dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x pada 10 lapang pandang, kerusakan tubulus ditandai dengan hilangnya inti pada sel tubulus atau disebut sel nekrotik. Persentase sel yang rusak tiap lapangan pandang dijumlahkan dan dirata−ratakan.

Kategorik

Numerik

Numerik


(63)

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan histopatologi di bawah mikroskop diuji analisis statistik menggunakan software analisis statistik Hasil penelitian dianalisis apakah memiliki distribusi normal atau tidak secara statistik dengan uji normalitas Shapiro−Wilk karena jumlah sampel ≤50. Kemudian, dilakukan uji Levene untuk menyetahui apakah dua atau lebih kelompok data memiliki varians yang sama atau tidak. Jika varians data berdistribusi normal dan homogen, dilanjutkan dengan metode uji parametrik one way ANOVA.Bila tidak memenuhi syarat uji parametrik, digunakan uji nonparametrik Kruskal−Wallis.Hipotesis dianggap bermakna bila p<0,050. Jika pada uji ANOVA atau Kruskal−Wallis menghasilkan nilai p<0,050, maka dilanjutkan dengan melakukan analisis Post−Hoc LSD untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan.

3.7 Ethical Clearance

Penelitian ini telah diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, dengan menerapkan prinsip 3R dalam protokol penelitian, yaitu:

1. Replacement, adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah

diperhitungkan secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh makhluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan.


(64)

57

2. Reduction, adalah pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin,

tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Dalam penelitian ini sampel dihitung berdasarkan rumus Frederer yaitu (n−1) (t−1) ≥ 15, dengan n adalah jumlah hewan yang diperlukan dan t adalah jumlah kelompok perlakuan.

3. Refinement, adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi,

dengan prinsip dasar membebaskan hewan coba dalam beberapa kondisi.

a. Bebas dari rasa lapar dan haus, pada penelitian ini hewan coba diberikan pakan standar dan minum secara ad libitum;

b. Bebas dari ketidaknyamanan, pada penelitian hewan coba ditempatkan di

animal house dengan suhu terjaga 20−25°C, kemudian hewan coba

terbagi menjadi 3−4 ekor tiap kandang. Animal house berada jauh dari gangguan bising dan aktivitas manusia serta kandang dijaga kebersihannya sehingga, mengurangi stress pada hewan coba;

c. Bebas dari nyeri dan penyakit dengan menjalankan program kesehatan, pencegahan, dan pemantauan, serta pengobatan terhadap hewan percobaan jika diperlukan, pada penelitian hewan coba diberikan perlakuan dengan menggunakan nasogastric tube dilakukan dengan mengurangi rasa nyeri sesedikit mungkin, dosis perlakuan diberikan berdasarkan pengalaman terdahulu maupun literatur yang telah ada.


(65)

Prosedur pengambilan sampel pada akhir penelitian telah dijelaskan dengan mempertimbangkan tindakan manusiawi dan anesthesia serta

euthanasia dengan metode yang manusiawi oleh orang yang terlatih

untuk meminimalisasi atau bahkan meniadakan penderitaan hewan coba sesuai dengan IACUC (Ridwan, 2013).


(66)

100

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Pengaruh pemberian ekstrak etanol 40% kulit manggis dapat menurunkan jumlah pembengkakan sel hepatosit dan kerusakan tubulus ginjal.

2. Pengaruh pemberian ekstrak etanol 40% kulit manggis dosis 20, 40, 80 mg dapat menurunkan jumlah pembengkakan sel hepatosit sebesar 61%, 42% dan 16% serta menurunkan jumlah kerusakan tubulus ginjal sebesar 66,5%, 39% dan 8%.

5.2. Saran

1. Peneliti lain disarankan untuk menguji lebih lanjut toksisitas dan efektivitas pada ekstrak kulit manggis;

2. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut tentang potensi zat-zat aktif dalam kulit manggis sebagai fitofarmaka;

3. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut terkait dosis teurapeutik kulit manggis dengan meminimalkan efek samping yang mungkin timbul;


(67)

4. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut dengan jangka waktu lebih lama terkait pemberian ekstrak kulit manggis terhadap gambaran histopatologi ginjal yang diinduksi dengan isoniazid;

5. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut efek kulit manggis pada organ lain selain ginjal dan hepar.


(68)

DAFTAR PUSTAKA

Aiello A. 2005. Smithsonian tropical research institute: Garcinia mangostana Fruit. http://biogeodb.stri.si.edu/bioinformatics/dfm/metas/view/41486, [ Diakses 3 November 2013].

Amelia, N. 2008. Efek hepatoprotektor ekstrak daun teh hijau (Camellia sinensis) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi Isoniazid. Skripsi. FKUNS. Surakarta.

American Lung Association. 2010. State of lung disease in diverse communities 2010. 101-104 site: www.lung.org/assets/documents/publications/solddc-chapters/tb.pdf - 39k - 2010-03-26 [Diakses 2 September 2013].

Bagiada IM, Primasari NLP. 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketidak patuhan penderita tuberculosis dalam berobat di poliklinik dots RSUP sanglah denpasar. Artikel kesehatan. Denpasar: FKUNUD. hlm.158−59. Bhara M. 2009. Pengaruh pemberian kopi dosis bertingkat peroral 30 hari terhadap

gambaran histopatologi hepar tikus wistar. Laporan akhir karya tulis ilmiah. UNDIP.

Chambers HF. 2011.Antimycobacterial drugs, dalam Katzung, BG (editor), basic and clinical pharmacology, 8th Ed. new york: McGraw-Hill, pp. 796−8.

Chandrasoma P, Taylor CR. 2006. Ringkasan patologi anatomi, Edisi ke−2. Jakarta: EGC. hlm. 230.

Chasani S. 2008. Antibiotik nefrotoksik: penggunaan pada gangguan fungsi ginjal. Artikel kesehatan. Semarang: FK UNDIP. hlm. 2.

Chen LG, Chen HY, Liu MC, Chiang W, Lin CC. 2004. Anti-Inflamatory activity of mangostins from Garcina mangostana.Food chem. Toxicol. 46: 688−93.


(69)

Ergul Y, Erkan T, Uzun H, Genc H, Altug T, Erginoz E. 2010. Effect of vitamin c on oxidative liver injury due to isoniazid is rats. Journal of pediatrics internasional. 52.pp. 69−74.

Eroschenko VP. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan korelasi fungsional, edisi ke− 11. Jakarta: EGC. hlm. 552.

Gartner LP, Hiatt JL. 2010. Color textbook of histology third Edition. Elsevier Saunder. pp. 256.

Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku ajar fisiologi kedokteran, edisi ke-11. Jakarta: EGC. hlm. 324−6, 331−2, 369−75.

Iswari K. 2011. Kulit manggis berkhasiat tinggi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 13−14.

Jung HA, Su BN, Keller WJ, Mehta RG, Kinghorn AD. 2006. Antioxidant xanthones from the pericarp of garcinia mangostana (Mangosteen). J. Agric. Food Chem. 6: 2077−82.

Junqueira LC, Carneriro J. 2007. Histologi dasar teks dan atlas, edisi ke-10.Jakarta: EGC. hlm. 369−75.

Katzung BG. 2011. Farmakologi dasar dan klinik, edisi 10. Jakarta: EGC. hlm. 798. Kawasaki T, Igarashi K, Koeda T, Sugimoto K, Nakagawa K, Hayashi S, Yamaji R,

Inui H, Fukusato T, Yamanouchi T. 2009. Rats fed fructosed enriched diets have charactheristies of nonalcoholic hepatic steatosis. The journal of nutrition. 11(139): 2067−71.

Kesenja R. 2005. Pemanfaatan tepung buah pare (Momordica charantia L.) untuk penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes mellitus. Skripsi. Bogor: IPB. hlm. 35.

Khakim JL. 2007. Pengaruh jus buah pepaya (Carica papaya) terhadap kerusakan histologis lambung mencit yang diinduksi aspirin. Skripsi. Surakarta: UNS. Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. 2007. Drug

induced hepatitis with anti-tubercular chemotherapy: challenges and difficulties in treatment. Kathmandu University Medical Journal. 5(2): 256−260.

Kukuh RPH. 2011. Karakter kulit manggis, kadar polifenol dan potensi antioksidan kulit manggis (Garciniamangostana L.) pada berbagai umur buah dan setelah buah dipanen. Karya tulis ilmiah. Bogor: Depatemen Agronomi dan Holtikultura Fakultas Pertanian IPB. hlm. 3−4.


(70)

Min HK, Kim EO, Lee SJ, Chang YK, Suh SY ,Yang CW, Kim SY, Hwang HS. 2013. Rifampin-associated tubulointersititial nephritis and Fanconi syndrome presenting as hypokalemic paralysis. BMC Nephrology. 13(14):1−5.

Moore KL, Agur AMR. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates. hlm.125. Nakatani K, Atsumi M, Arakawa T, Oosawa K, Shimura S, Nakahata N, Ohizumi Y.

2002. Inhibition of histamine release and prostaglandin e2 synthesis by mangostin in : Chaverri JP, Rodriguez NC, Ibarra MO, Rojas JMP. 2008. Medicinal properties of mangosteen (Garciniamangostana). Elsevier: Food and chemical Toxycology. 46: 3227−39.

Narendra DW. 2007. Pengaruh dehidrasi dengan pemberian bisacodyl terhadap gambaran hematokrit tikus putih jantan (Rattus Norvegicus). Skripsi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan IPB. hlm. 3−7.

Ngatidjan PS. 2006. Metode laboratorium dan Toksikologi. Artikel kesehatan. Yogyakarta: FK UGM. hlm. 34.

Nugroho. 2007. Manggis (Garcinia mangostana L.) dari kulit buah yang terbuang hingga menjadi kandidat suatu obat. Majalah obat tradisional.Yogyakarta: FK UGM. hlm. 3-5.

Nurchasanah. 2013. Khasiat sakti manggis tumpas berbagai penyakit. Jakarta: Dunia Sehat. hlm 84−5.

Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, edisi ke- 6. Jakarta: EGC. hlm. 867−75.

Purnami S, Syaifudin M, Giyatmi. 2009. Penanda DNA dengan 32p untuk deteksi resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap isoniazid. JFN. 3(1). hlm. 11−14.

Purnomo BB. 2012. Buku kuliah dasar–dasar urologi.Jakarta: CV Info medika. hlm. 8−9.

Putra AP. 2009. Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus Norvegicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi anak tikus betina. Skripsi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan IPB. hlm. 10−12. Putz R, Pabst R. 2007. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, edisi ke-22. Jakarta: EGC.


(71)

Ridho MR. 2010. Pengaruh pemberian deksametason dosis bertingkat per oral 30 hari terhadap kerusakan tubulus ginjal tikus wistar. Artikel karya tulis ilmiah. Semarang: FK UNDIP. hlm. 10

Ridwan E. 2013. Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam penelitian kesehatan. J Indon MedAssoc. 63(3): 112−6

Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. 2007. Robbins buku ajar patologi, edisi ke-7. Jakarta: EGC. hlm. 664−84.

Russmann S, Kullak-Ublick GA, Grattagliano I. 2009. Current concepts of mechanisms in drug-Induced hepatotoxicity. current medicinal chemistry. 16: 3041−53.

Saukkonen JJ, Cohn DL, Jasmer RM. 2006. Hepatotoxicity of antituberculosis Therapy. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.175(8): 858−59.

Seef LB, Fontana RJ. 2011. Drug-induced liver injury in : diseases of the liver and biliary system. Sherlock, S. D. J, editors. Blackwell science itd, Oxford. 11: 478−506.

Setiabudy R, Istiantoro YH. 2009. Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. hlm. 613−16.

Singh NP, Ganguli A, Prakash A. 2004. Drug induced kidney disease. Journal Assoc Physicians. 51(2): 970−9.

Sloane E. 2004. Anatomi dan fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC. hlm. 291−389. Slomianka L. 2009. Blue-histologi urinary system. school of anatomy and human

biology - The University of Western Australia. Australia. [Diakses 20 September 2013].

Snell RS. 2006. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran, edisi ke-6. Jakarta: EGC. hlm. 240−4.

Soeksmanto, A. 2007. Pengaruh ekstrak butanol buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap jaringan ginjal mencit (Mus Musculus). Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bogor.hlm. 280.

Sulistianto DE, Harini M, Handajani NS. 2004. Pengaruh pemberian ekstrak buah mahkota dewa (Phaleriamacrocarfa (Scheff) Boer) terhadap struktur histopatologis hepar tikus (Rattusnorvegicus L.) setelah perlakuan dengan karbon tetraklorida (CCl4) secara oral. Skripsi.Surakarta: FMIPA UNS.


(1)

101

4. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut dengan jangka waktu lebih lama terkait pemberian ekstrak kulit manggis terhadap gambaran histopatologi ginjal yang diinduksi dengan isoniazid;

5. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut efek kulit manggis pada organ lain selain ginjal dan hepar.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aiello A. 2005. Smithsonian tropical research institute: Garcinia mangostana Fruit. http://biogeodb.stri.si.edu/bioinformatics/dfm/metas/view/41486, [ Diakses 3 November 2013].

Amelia, N. 2008. Efek hepatoprotektor ekstrak daun teh hijau (Camellia sinensis) pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi Isoniazid. Skripsi. FKUNS. Surakarta.

American Lung Association. 2010. State of lung disease in diverse communities 2010. 101-104 site: www.lung.org/assets/documents/publications/solddc-chapters/tb.pdf - 39k - 2010-03-26 [Diakses 2 September 2013].

Bagiada IM, Primasari NLP. 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat ketidak patuhan penderita tuberculosis dalam berobat di poliklinik dots RSUP sanglah denpasar. Artikel kesehatan. Denpasar: FKUNUD. hlm.158−59. Bhara M. 2009. Pengaruh pemberian kopi dosis bertingkat peroral 30 hari terhadap

gambaran histopatologi hepar tikus wistar. Laporan akhir karya tulis ilmiah. UNDIP.

Chambers HF. 2011.Antimycobacterial drugs, dalam Katzung, BG (editor), basic and clinical pharmacology, 8th Ed. new york: McGraw-Hill, pp. 796−8.

Chandrasoma P, Taylor CR. 2006. Ringkasan patologi anatomi, Edisi ke−2. Jakarta: EGC. hlm. 230.

Chasani S. 2008. Antibiotik nefrotoksik: penggunaan pada gangguan fungsi ginjal. Artikel kesehatan. Semarang: FK UNDIP. hlm. 2.

Chen LG, Chen HY, Liu MC, Chiang W, Lin CC. 2004. Anti-Inflamatory activity of mangostins from Garcina mangostana.Food chem. Toxicol. 46: 688−93.


(3)

Ergul Y, Erkan T, Uzun H, Genc H, Altug T, Erginoz E. 2010. Effect of vitamin c on oxidative liver injury due to isoniazid is rats. Journal of pediatrics internasional. 52.pp. 69−74.

Eroschenko VP. 2010. Atlas Histologi diFiore dengan korelasi fungsional, edisi ke− 11. Jakarta: EGC. hlm. 552.

Gartner LP, Hiatt JL. 2010. Color textbook of histology third Edition. Elsevier Saunder. pp. 256.

Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku ajar fisiologi kedokteran, edisi ke-11. Jakarta: EGC. hlm. 324−6, 331−2, 369−75.

Iswari K. 2011. Kulit manggis berkhasiat tinggi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. hlm. 13−14.

Jung HA, Su BN, Keller WJ, Mehta RG, Kinghorn AD. 2006. Antioxidant xanthones from the pericarp of garcinia mangostana (Mangosteen). J. Agric. Food Chem. 6: 2077−82.

Junqueira LC, Carneriro J. 2007. Histologi dasar teks dan atlas, edisi ke-10.Jakarta: EGC. hlm. 369−75.

Katzung BG. 2011. Farmakologi dasar dan klinik, edisi 10. Jakarta: EGC. hlm. 798. Kawasaki T, Igarashi K, Koeda T, Sugimoto K, Nakagawa K, Hayashi S, Yamaji R,

Inui H, Fukusato T, Yamanouchi T. 2009. Rats fed fructosed enriched diets have charactheristies of nonalcoholic hepatic steatosis. The journal of nutrition. 11(139): 2067−71.

Kesenja R. 2005. Pemanfaatan tepung buah pare (Momordica charantia L.) untuk penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes mellitus. Skripsi. Bogor: IPB. hlm. 35.

Khakim JL. 2007. Pengaruh jus buah pepaya (Carica papaya) terhadap kerusakan histologis lambung mencit yang diinduksi aspirin. Skripsi. Surakarta: UNS. Kishore PV, Palaian S, Paudel R, Mishra P, Prabhu M, Shankar PR. 2007. Drug

induced hepatitis with anti-tubercular chemotherapy: challenges and difficulties in treatment. Kathmandu University Medical Journal. 5(2): 256−260.

Kukuh RPH. 2011. Karakter kulit manggis, kadar polifenol dan potensi antioksidan kulit manggis (Garciniamangostana L.) pada berbagai umur buah dan setelah buah dipanen. Karya tulis ilmiah. Bogor: Depatemen Agronomi dan Holtikultura Fakultas Pertanian IPB. hlm. 3−4.


(4)

Min HK, Kim EO, Lee SJ, Chang YK, Suh SY ,Yang CW, Kim SY, Hwang HS. 2013. Rifampin-associated tubulointersititial nephritis and Fanconi syndrome presenting as hypokalemic paralysis. BMC Nephrology. 13(14):1−5.

Moore KL, Agur AMR. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates. hlm.125. Nakatani K, Atsumi M, Arakawa T, Oosawa K, Shimura S, Nakahata N, Ohizumi Y.

2002. Inhibition of histamine release and prostaglandin e2 synthesis by mangostin in : Chaverri JP, Rodriguez NC, Ibarra MO, Rojas JMP. 2008. Medicinal properties of mangosteen (Garciniamangostana). Elsevier: Food and chemical Toxycology. 46: 3227−39.

Narendra DW. 2007. Pengaruh dehidrasi dengan pemberian bisacodyl terhadap gambaran hematokrit tikus putih jantan (Rattus Norvegicus). Skripsi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan IPB. hlm. 3−7.

Ngatidjan PS. 2006. Metode laboratorium dan Toksikologi. Artikel kesehatan. Yogyakarta: FK UGM. hlm. 34.

Nugroho. 2007. Manggis (Garcinia mangostana L.) dari kulit buah yang terbuang hingga menjadi kandidat suatu obat. Majalah obat tradisional.Yogyakarta: FK UGM. hlm. 3-5.

Nurchasanah. 2013. Khasiat sakti manggis tumpas berbagai penyakit. Jakarta: Dunia Sehat. hlm 84−5.

Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, edisi ke- 6. Jakarta: EGC. hlm. 867−75.

Purnami S, Syaifudin M, Giyatmi. 2009. Penanda DNA dengan 32p untuk deteksi resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap isoniazid. JFN. 3(1). hlm. 11−14.

Purnomo BB. 2012. Buku kuliah dasar–dasar urologi.Jakarta: CV Info medika. hlm. 8−9.

Putra AP. 2009. Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus Norvegicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi anak tikus betina. Skripsi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan IPB. hlm. 10−12. Putz R, Pabst R. 2007. Sobotta Atlas Anatomi Manusia, edisi ke-22. Jakarta: EGC.


(5)

Ridho MR. 2010. Pengaruh pemberian deksametason dosis bertingkat per oral 30 hari terhadap kerusakan tubulus ginjal tikus wistar. Artikel karya tulis ilmiah. Semarang: FK UNDIP. hlm. 10

Ridwan E. 2013. Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam penelitian kesehatan. J Indon MedAssoc. 63(3): 112−6

Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. 2007. Robbins buku ajar patologi, edisi ke-7. Jakarta: EGC. hlm. 664−84.

Russmann S, Kullak-Ublick GA, Grattagliano I. 2009. Current concepts of mechanisms in drug-Induced hepatotoxicity. current medicinal chemistry. 16: 3041−53.

Saukkonen JJ, Cohn DL, Jasmer RM. 2006. Hepatotoxicity of antituberculosis Therapy. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.175(8): 858−59.

Seef LB, Fontana RJ. 2011. Drug-induced liver injury in : diseases of the liver and biliary system. Sherlock, S. D. J, editors. Blackwell science itd, Oxford. 11: 478−506.

Setiabudy R, Istiantoro YH. 2009. Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. hlm. 613−16.

Singh NP, Ganguli A, Prakash A. 2004. Drug induced kidney disease. Journal Assoc Physicians. 51(2): 970−9.

Sloane E. 2004. Anatomi dan fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC. hlm. 291−389. Slomianka L. 2009. Blue-histologi urinary system. school of anatomy and human

biology - The University of Western Australia. Australia. [Diakses 20 September 2013].

Snell RS. 2006. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran, edisi ke-6. Jakarta: EGC. hlm. 240−4.

Soeksmanto, A. 2007. Pengaruh ekstrak butanol buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) terhadap jaringan ginjal mencit (Mus Musculus). Pusat Penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bogor.hlm. 280.

Sulistianto DE, Harini M, Handajani NS. 2004. Pengaruh pemberian ekstrak buah mahkota dewa (Phaleriamacrocarfa (Scheff) Boer) terhadap struktur histopatologis hepar tikus (Rattusnorvegicus L.) setelah perlakuan dengan karbon tetraklorida (CCl4) secara oral. Skripsi.Surakarta: FMIPA UNS.


(6)

Supiyanti W, Wulansari ED, Kusmita L. 2010. Uji aktivitas antioksidan dan penentuan kandungan antosianin total kulit buah manggis (Garcinia Mangostana L). Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi Yayasan Pharmasi Semarang. Majalah Obat Tradisional, 15(2): 64−70.

Suyanti, L. 2008. Gambaran histopatologi ginjal tikus pada pemberian fraksi asam amino non protein lantara nera (Acacia villosa) pada uji toksisitas akut. Skripsi. Bogor: IPB. hlm. 23.

Trifena. 2012. Analisisuji In vitro dan in vivo ekstrak kombinasi kulit manggis (Garciniamangostana L.) dan pegagan (Centellaasiatica L.) sebagai krim antioksidan. Tesis. Jakarta: Program Studi Magister Herbal FMIPA UI. WHO. 2008. The 10 Leading Causes of Death by Broad Income

Group.http://who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/, [diakses 2 september2013].

WHO. 2013. Global Tuberculosis Report 2013. www.who.int/iris/bitstream/10665/91355/1/9789241564656_eng.pdf

[diakses 3 november 2013].

Wijaya A, Setyawati S, Santosaningsih D. 2011. Pengaruh ekstrak kulit buah manggis(Garciniamangostana L.) terhadap penurunan jumlah foam cell pada aortatikus (Rattusnovergicus) model aterogenik. Skripsi. Malang: FK UB. Yatman E. 2012. Kulit buah manggis mengandung xanton yang berkhasiat tinggi.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus (Rattus norvegicus L.) Jantan yang Dipapari Kebisingan

2 103 56

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Hitung Leukosit dan diferensiasi Leukosit Tikus (Rattus noevegicus L.) Jantan Setelah Dipapari Kebisingan

0 58 58

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) Terhadap Fungsi Hati, Jumlah Eritrosit dan Kadar Hemoglobin Tikus (Rattus norvegicus) yang Dipapari dengan Karbon Tetraklorida (CCl4)

3 53 59

Uji Antifertillitas Ekstrak Metanol Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L) pada Tikus Jantan Strain Sprague Dawley Secara In Vivo

4 11 134

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL 40% KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

2 30 64

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana Linn.) TERHADAP AKTIVITAS ENZIM ALANIN AMINOTRANSFERASE (ALT) TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

1 5 60

EFEK KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.) YANG DIEKSTRAKSI ETANOL 40% TERHADAP AKTIVITAS AST DAN ALT PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIINDUKSI ISONIAZID

2 10 69

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 26 71

Pengaruh Pemberian Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) dalam Mencegah Kerusakan Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) yang Diinduksi Gentamisin.

0 1 5

Pengaruh Ekstrak Etanol Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Histopatologi Pankreas Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley yang diberi Paparan Gelombang Elektromagnetik Handphone

0 0 7