Sejarah Waria di Indonesia

33 Puspitosari Pujileksono 2005:12 menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi waria antara lain: 1 Disebabkan faktor biologis yang dipengaruhi hormon seksual dan genetik seseorang. 2 Disebabkan faktor psikologis, sosial budaya yang termasuk didalamnya pola asuh lingkungan yang membesarkannya, mempunyai pengalaman yang sangat hebat dengan lawan jenis sehingga mereka berkhayal dan memuja lawan jenis sebagai idola dan ingin menjadi seperti lawan jenis. Dari berbagai pendapat di atas, peneliti sendiri mengkategorikan bahwa ada empat hal yang menjadi faktor terjadinya abnormalitas seksual waria yakni: 1 Faktor biologis, yaitu yang dipengaruhi oleh genetika. 2 Faktor psikologis, yakni dapat berupa dorongan seksual, pola asuh, dan tekanan moral seseorang. 3 Faktor lingkungan, bahwa lingkungan seseorang bergaul juga akan mempengaruhi pola perilaku seseorang. Termasuk di dalamnya menyangkut tekanan kebutuhan hidup sehari-hari oleh lingkungan.

c. Sejarah Waria di Indonesia

Sejarah waria di Indonesia memang tidak bisa dispesifikasikan kapan permulaannya, namun fenomenanya nampak dari beberapa kebudayaan di Indonesia misalnya di Ponorogo Jawa Timur dalam kesenian warok atau pun kesenian ludruk senantiasa menampilkan tokoh perempuan yang diperankan oleh laki-laki. Di Ponorogo,warokterkenal sebagaiorang yang sakti dan kebal terhadap senjata tajam. Pengorbanan dan persyaratan apa pun akan 34 dilakukan oleh para warok untuk terpenuhinya semua kesaktian ilmu hingga mendapatkan kesempurnaan. Salah satu yang menjadi pantangan adalah larangan bagi para warok untuk menggauli kaum wanita selama ilmu yang diterimanya belum sempurna Nadia, 2005: 53. Alasan inilah yang menjadikan setiap warok pasti memiliki gemblakan laki-laki usia 9-17 tahun yang bertugas untuk menjaga rumah hingga memenuhi kebutuhan seksual para warok. Kebutuhan seksual tersebutlah yang membuat para warok memilih laki-laki yang masih muda dan berwajah cantik serta berkulit mulus. Setelah ilmunya sempurna barulah warok diperbolehkan untuk menggauli istri perempuannya. Perlakuan warok terhadap gemblak-nya inilah yang dapat mengakibatkan para remaja untuk bertingkah sebagai waria. Tidak jauh bereda, kesenian gandrung di Banyuwangi memperagakan laki-laki dengan feminitasnya melakukan atau sebagai pelaku tari-tarian. Kesenian ini dilakukan oleh anak laki-laki berusia sekitar 10-12 tahun yang diharuskan mengenakan pakaian perempuan. Jauh di Kalimantan, Suku Dayak Ngaju juga mengenal adanya pendeta perantara yang mengenakan pakaian perempuan. Suku Makasar di Sulawesi juga terdapat fenomena serupa yang mengenal bisu laki-laki penjaga benda pusaka yang wajib mengenakan pakaian perempuan. Ia juga dilarang untuk berkomunikasi berhubungan badan dengan perempuan. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesakralan benda-benda pusaka yang dijaganyaKoeswinarno, 2004: 24. 35 Jadi memang jelas bahwa waria di Indonesia bisa dikatakan bukanlah produk modernisasi seperti yang banyak diisukan. Waria di Indonesia menjadi salah satu bagian dari ‘warisan’ kebudayaan leluhursendiri dansukar untuk dikatakan sebagai pengaruh budaya Barat.

d. Ikatan Waria Yogyakarta IWAYO