Prosedur Pelaksanaan Eksekusi dan Pembatalan Putusan Arbitrase

commit to user Menurut Convention on the Coice of court 1965, pilihan yurisdiksi; terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat internasional, namun tidak berlaku bagi: 1. Status kewarganegaraan orang atau hukum keluarga termasuk kewajiban atau hak-hak pribadi atau finansial antara orang tua dan atau antara suami dan istri. 2. Permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir 1. 3. Warisan. 4. Kepailitan. 5. Hak-hak atas benda tidak bergerak. Pilihan Yurisdiksi yang dimaksud di atas selain dapat menunjuk kepada suatu pengadilan di negara tertentu juga dapat menunjuk badan arbitrase tertentu. Pengadilan atau arbitrase sebelum mengadili perkara harus meneliti dulu apakah ia berwenang mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Salah satu caranya adalah dengan meneliti klausula pilihan Yurisdiksi yang terdapat dalam kontrak tersebut.

C. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi dan Pembatalan Putusan Arbitrase

Internasional Putusan arbitrase asing dalam pelaksanaanya termasuk dalam perkara e- commerce, ada prosedur yang harus dijalani atau dilaksanakan agar putusan arbitrase asing tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia. Peraturan yang mengatur tentang prosedur pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia, diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Perma Republik Indonesia No. 1 Tahun 1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing No. 1 Tahun 1990 dan UU No. 30 Tahun 1999. Perma No. 1 Tahun 1990 dan UU No. 30 Tahun 1999 tidak banyak perbedaan dalam prosedur pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang membedakan antara Perma No. 1 Tahun 1990 dan UU No. 30 Tahun 1999 adalah mengenai pemberian eksekuatur. Dalam Perma No. 1 Tahun 1990, putusan commit to user arbitrase asing baru dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung, sedangkan dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 1999, kewenangan Eksekuatur Mahkamah Agung berpindah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kecuali jika keputusan arbitrase internasional menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, maka pelaksanaan putusannya hanya dapat dilakukan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung, kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999, putusan arbitrase hanya dapat diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia jika memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut: 1. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau mejelis arbitrase di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dalam kaitannya dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. 2. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf 1 terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. 3. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 4. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dati Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 5. Putusan arbitrase internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung RI, yang selanjutnya dilimpahkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Jika diperhatikan isi Pasal tersebut, huruf 1 sampai dengan 4 adalah sama dengan Pasal 3 Perma No. 1 Tahun 1990 Gatot Sumartono, 2006:92, dengan pengecualian huruf d tentang kompetensi pengadilan untuk memberikan eksekusi, yaitu oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pasal 3 ayat 4 Perma No. 1 Tahun 1990 menyebutkan bahwa “suatu putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di commit to user Indonesaia setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Prosedur yang harus dilakukan untuk melaksanakan eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia diatur dalam UU No. 3 Tahun 1999, dimana dalam Pasal 67 ayat 1 menjelaskan bahwa pemohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pendeponiran putusan arbitrase asing, semuanya disentralisir di kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pendeponiran putusan arbitrase asing, menjadi kompetensi relatif tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa yang berwenang mengenai masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Secara garis besar tahap-tahap eksekusi putusan arbitrase dapat digambar dengan bagan sebagai berikut: Bagan 2 Tahap-tahap Eksekusi Putusan Arbitrase Perintah pelaksanaan eksekuatur putusan arbitrase asing dapat dimintakan dengan mengajukan pelaksanaan putusan arbitrase asing kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan disertai persyaratan sebagaimana diatur Permohonan pelaksanaan putusan Penyerahan dan pendaftaran putusan Tahap II Tahap I Perintah pelaksanaan putusan eksekatur Tahap III Pelaksanaan putusan Tahap IV commit to user dalam Undang-Undang Pasal 67 ayat 2 yaitu dengan menyertakan berkas permohonan dengan: 1. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; 2. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokimen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; 3. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di Negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut di tetapkan, yang menyatakan bahwa Negara pemohon terikat pada perjanjian baik secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. Praktiknya, hanya dokumen 1 dan 2 yang diserahkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada saat putusan arbitrase internasional didaftarkan. Selanjutnya pada saat permohonan eksekusi dilakukan, dokumen 1 dan 2 tidak perlu diserahkan lagi, cikip menunjukkan bukti surat pendaftaran putusan dan dokumen 3 Gatot Sumartono, 2006:90. Pasal 68 mengatur bahwa, jika Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan putusan yang mengakui dan melaksanakan suatu putusan arbitrase internasional, maka putusan tersebut tidak dapat diajukan banding atau kasasi, tetapi jika putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak untuk mengakui dan malaksanakan putusan arbitrase internasional, maka putusan tersebut dapat dimintakan kasasi, Mahkamah Agung mempertimbangkan dan memutuskannya. Putusan Mahkamah Agung tersebut tidak dapat diajukan upaya perlawan. Seluruhan prosedur permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional telah dilakukan dan ternyata putusan arbitrase internasional tersebut diakui dan dapat dilaksanakan berdasarkan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka selanjutnya adalah pelaksanaan eksekusi berdasarkan perintah eksekusi yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang kemudian commit to user dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya. Mengenai peraturan yang mengatur mengenai pelaksanaan eksekusi, terdapat di dalam Pasal 69 UU No. 30 Tahun 1999. Pasal 69 ayat 2 menyatakan bahwa sita eksekusi dapat dilaksanakan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi. Hal ini sama dengan Perma No. 1 Tahun 1990 Pasal 6 ayat 3, dimana dalam Perma tersebut dikatakan sita eksekutorial dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang-barang milik termohon eksekusi. Pasal 69 ayat 3 UU No. 30 Tahun 1999 memyatakan tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata, sehingga dalam pelaksanaannya, tidal diperlukan lagi peraturan-peraturan yang baru dalam pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase internasional tersebut. Tentang pembatalan putusan arbitrase, hal ini diatur dalam Pasal 70 UU No. 30 Tahun 1999 yang menentukan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan, jika putusan tersebut diduga mengandung unsure-unsur antara lain sebagai berikut: 1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu, 2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan, atau 3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Prosedur permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional terdapat di dalam Pasal 71 dan 72 ayat 1 sd ayat F3 UU No. 30 Tahun 1999, yaitu permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 tiga puluh hari tehitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Jika permohonan pembatalan tersebut dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan akibat pembatalan seluruhnya atau sebagai dari putusan arbitrase. commit to user Pasal 71 dapat disimpulkan bahwa pendaftaran putusan arbitrase harus dilakukan terlebih dahulu, sebelum putusan tersebut dapat dimohonkan pembatalannya Gatot Sumartono, 2006:94. Pendaftaran pembatalan putusan arbitrase harus diajukan dalam format permohonan. Menurut UU No. 30 Tahun 1999, pembatalan putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan setelah memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: 1. putusan tersebut memenuhi salah satu atau beberapa unsure sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70, 2. putusan tersebut sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dilengkapi dengan persyaratan dokumen, dan pendaftarannya pun harus dilakukan oleh arbitrase atau kuasanya, 3. pengajuannya harus dalam bentuk format permohonan. Pelaksanakan eksekusi putusan arbitrase asing, sering kali mengalami kendala-kendala yang membuat pelaksanaan eksekusi tersebut tertunda bahkan gagl untuk di eksekusi, seperti diketahui bahwa Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional yang mengakui putusan arbitrase asing. Namun, sampai sejauh ini pelaksanaan putusan arbitrase masih menghadapi kendala di dalam praktik. Keengganan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan putusan arbitrase, khususnya putusan arbitrase asing, telah diingatkan oleh Sunayarti Hartono beliau menyatakan antara lain Sunaryati Hartono, 1991:15: “Sayang sekali masih sering dialami, bahwa pihak Indonesia yang sudah dinyatakan wajib membayar ganti rugi oleh instansi yang berwenang di Indonesia, sama sekali tidak menghormati keputusan itu, yang menyebabkan image Indonesia dimata pengusaha asing tidak bertambah baik, sekalipun Indonesia sudah bersedia mengakui dan melaksanakan keputusan arbitrase asing melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990.” Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia berupa kendala yuridis yang menyebabkan terjadi titik singgung kewenangan Peradilan Umum dengan kewenangan absolute arbitrase Panggabean, 2002:75. Titik singgung kewenangan itu dapat terjadi dalam hal- hal sebagai berikut: commit to user a. bahwa badan arbitrase juga berperan sebagai “particuliere rechtpraak” Pengadilan Swasta, sebenarnya memberikan putusannya lebih didasarkan pada aspek keadilan dan kepatutan redelijkheid en billijkheid=ex aequo et bono tanpa menyebut aspek kepastian hukum dan kemanfaatan, artinya wasit arbiter dapat mengesampingkan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Peran seperti ini, para pihak bersangkutan dapat saja “menolak” putusan arbitrase dengan alasan subjektif bahwa putusan arbitrase tersebut kurang sesuai dengan keadilan hukum, atau alasan lainnya, b. bahwa beberapa putusan arbitrase terdahulu sebelum berlakunya UU No. 30 Tahun 1999 dapat digunakan pedoman untuk mempersoalkan kewenangan absolute badan arbitrase, c. bahwa UU No. 30 Tahun 1999 sendiri telah mengatur beberapa alasan untuk membatalkan putusan arbitrase. d. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dengan tegas mengatur yurisdiksi arbitrase, namun dalam praktik penyelesaiaan sengketa melalui lembaga arbitrase hanya dapat efektif jika para pihak yang terlibat dalam sengketa mempunyai niat baik untuk menerima dan menghormati keputusan arbiter Panggabean, 2002:80. Efektifitas putusan arbitrase juga tergantung ketaatan Pengadilan Negeri untuk menggormati yurisdiksi lembaga arbitrase yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang mengandung klausula arbitrase. Kendala tersebut diatas diakibatkan karena adanya celah hukum dimana peradilan arbitrase atau yang disebut dengan peradilan swasta sering kali dianggap tidak sesuai dengan keadilan hukum, selain itu kendala yang muncul dalam peraturan perUndang-Undangan mengenai arbitrase itu sendiri yaitu dengan mengatur beberapa alasan untuk membatalkan putusan arbitrase yang telah dijatuhkan. Niat baik para pihak juga sangat berpengaruh dalam kelancaran pelaksanaan putusan arbitrase. commit to user 97

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN