commit to user
B. Pilihan Hukum yang Berlaku dalam Penyelesaian Sengketa
Transaksi Bisnis E-commerce melalui Arbitrase
Masalah hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce adalah salah satu masalah krusial dalam hukum
kontrak internasional termasuk dalam hukum perdagangan internasional, masalahnya adalah hukum yang berlaku ini akan menjadi penentu kepastian
hukum terutama bagi badan peradilan bahwa ia telah menetapkan hukumnya dengan benar, dalam hal ini badan peradilan tidak mengambil jalan pintas dalam
menetapkan suatu hukum terhadap suatu sengketa yang dibawa kehadapannya. Pasal 18 ayat 2 dan ayat 3 UU ITE pada dasarnya mengatur berkaitan
dengan hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce, sebagai berikut: ayat 2 “Para
pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya”, ayat 3 “dan apabila para pihak tidak
melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas-asas Hukum Perdata Internasiona”l.
Pilihan hukum choice of law, proper law atau applicable law suatu hukum nasional dari suatu negara tertentu berarti bahwa badan peradilan negara
tersebut secara otomatis yang berwenang menyelesaikan sengketanya, dan pada prinsipnya choice of law ini berbeda dengan choice of forum sebagai peran choice
of law dalam transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce adalah hukum yang akan digunakan oleh badan peradilan pengadilan atau arbitrase
dalam hal : 1. Menentukan keabsahan suatu kontrak dagang dalam konteks ini khusus
berkaitan dengan sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e- commerce;
2. Menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan atau persetujuan dalam kontrak yang dibuat para pihak;
3. Menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi yang menjadi objek kontrak tersebut pelaksanaan suatu kontrak dagang;
commit to user
4. Menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap kontrak yang telah disepakati para pihak.
Hukum yang berlaku ini dapat mencangkup beberapa macam hukum, hukum-hukum tersebut adalah :
1. Hukum yang diterapkan dalam hal terhadap pokok sengketa applicable substantive law atau lex causae;
2. Hukum yang akan berlaku untuk proses persidangan yang akan dilaksanakan dalam penyelesaian perselisihanatau sengketa yang terjadi antara para pihak.
Hukum yang berlaku ini akan sedikit banyak bergantung pada kesepakatan para pihak, hukum yang akan berlaku tersebut dapat berupa hukum nasional suatu
negara tertentu, biasanya hukum nasional tersebut ada atau terkait dengan nasionalitas salah satu pihak, cara pemilihan inilah yang lazim ditetapkan dewasa
ini. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak sepakat mengenai salah satu hukum nasional tersebut, biasanya kemudian mereka akan berupaya mencari
hukum nasional yang relatif lebih netral. Alternatif lainnya yang memungkinkan dalam hukum perdagangan
internasional adalah menerapkan prinsip-prinsip kepatutan dan kelayakan ex aequo et bono namun demikian penerapan prinsip ini pun harus berdasarkan pada
kesepakatan para pihak. Menurut Gerald Cooke, kebebasan para pihak untuk menentukan pilihan hukum yang mereka gunakan akan banyak dipengaruhi oleh
sistem hukum nasional yang akan dipilih baik oleh salah satu pihak maupun oleh kedua belah pihak, tidak hanya sekedar menentukan hukum suatu negara, tetapi
juga mempertimbangkan apakah hukum di negara tersebut konsisten atau tidak, artinya apakah hukum di suatu negara tertentu sering berubah-ubah atau tidak.
Dengan tegas Cooke menyatakan sebagai berikut Gerald Cooke , 2001:22: “The significance of needing to provide for the prover law is that the
parties will frequently prefer to have their disputes dealt with by a legal system which is perhaps independent of each of the parties or which is
recognized to have highly sophisticated and consistent trading law” Arti pentingnya perlu memberikan standar benar kepada para pihak untuk
memilih hukum yang digunakan sebagai penyelesaian perselisihan mereka alami
commit to user
oleh sistem hukum yang mungkin independen dari salah satu pihak atau yang memiliki sangat canggih dan koheren hukum dagang.
Hukum nasional Indonesia menjelaskan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, yaitu dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
disebutkan bahwa hukum yang akan diberlakukan oleh para pihak diserahkan sepenuhnya kepada mereka, Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
tersebut menyatakan sebagai berikut: “para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin telah
timbul antara para pihak”. Model Arbitration Law 1985 juga mengandung prinsip yang sama dalam
hal hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa ini. Pasal 28 Model Law menggariskan sebagai berikut :
1. The arbital tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to, the substance of the dispute,
any designation of the law or legal, system of a given state shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that
state and not to its conflict of law rules. 2. Failing any designation by the parties, the arbital tribunal shall apply the law
determined by the conflict of law rules which it considers applicable. 3. The arbital tribunal shall decide ex aequo ot bono or amiable compositeur
only if the parties expressly authorized to do so. 4. In all cases, the arbital tribunal shall decide in accordance with the terms of
the contract and shall take into account the usages of the trade applicable to the transaction.
Kedua instrumen hukum di atas menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang cukup penting. Pertama, yang menonjol adalah bahwa kedua instrumen
berbeda dalam hal prioritas pengaturan mengenai hukum yang berlaku terhadap kontrak, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menekankan arbiter atau badan
arbitrase harus menyandarkan pada hukum untuk mengambil suatu putusan, Pasal ini tidak mensyaratkan atau menentukan bahwa hukum yang akan diterapkan
tersebut haruslah pilihan hukum para pihak, sementara itu Model Law dengan
commit to user
tegas menyatakan bahwa badan arbitrase harus menetapkan hukum yang dipilih para pihak. Kedua, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 membolehkan arbiter
atau badan arbitrase untuk menerapkan ex aequo ot bono Pasal 56 ayat 1, ketentuan yang sama dengan Model Law tercantum dalam Pasal 28 ayat 3,
bedanya adalah Undang-Undang nasional kita tidak dengan tegas menyatakan bahwa penerapan keadilan dan kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan apabila
para pihak dengan tegas memerintahkan hal tersebut. Penjelasan Pasal 56 hanya menyebutkan “dalam hal arbiter diberi kebebasan” rumusan ini tidak dengan
tegas siapa yang memberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan. Ketiga, adalah masalah ketika para pihak tidak memilih
hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dalam hal ini, UU nasional kita dan Model Law memuat aturan yang berbeda, UU nasional kita tampaknya menganut
jalan pintas. Penjelasan Pasal 56 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 bahwa apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka arbiter atau badan
arbitrase harus menerapkan hukum tempat arbitrase dilakukan, sementara itu Model Law menyatakan bahwa apabila para pihak tidak memilih hukum, badan
arbitrase atau arbiter harus mengacu kepada hukum yang ditentukan berdasarkan aturan-aturan hukum perdata internasional conflict of law rules yang dianggap
berlaku oleh arbiter atau badan arbitrase. Oleh karena sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-
commerce ini menyangkut asas-asas dalam hukum perdata internasional, maka berarti harus ditinjau dari segi Hukum Perdata Internasional HPI. Hukum
perdata negara mana dapat diketahui bahwa hukum perdata yang diberlakukan dalam rangka penyelesaian sengketa mengenai transaksi e-commerce antarnegara,
maka perlu diketahui asas-asas maupun prinsip-prinsip yang diatur di dalam Hukum Perdata Internasional HPI. Hukum Perdata Internasional HPI memuat
istilah pilihan hukum atau choice of law, sedangkan S. Gautama menyebutnya sebagai “Rechtskenze” atau “Rechtswakl”. Pilihan hukum merupakan masalah
sentral dalam Hukum Perdata Internasional. la telah diterima baik di kalangan akademisi maupun praktek pengadilan. Yansen Derwanto Latif, sebagaimana
commit to user
dikutip oleh Ridwan Khairandy menyebutkan bahwa pilihan hukum dihormati dengan beberapa alasan, yaitu Ridwan Khairandy, 2007:127 :
1. Pilihan hukum sebagaimana dimaksud para pihak, dianggap sangat memuaskan oleh mereka yang menganggap kebebasan akhir individu adalah
dasar murni dari hukum. Prinsip ini berlaku dibanyak Negara. Hal ini merupakan fakta yang menarik karena hal itu terjadi tanpa ada perjanjian
antara pengadilan di berbagai Negara. 2. Pilihan hukum dalam kontrak internasional memberikan kepastian, yakni
memungkinkan para pihak dengan mudah menentukan hukum yang mengatur kontrak tersebut.
3. Akan memberikan efisiensi, manfaat dan keuntungan. Alasan tersebut memberikan keuntungan untuk menghindari hukum memaksa yang tidak
efisien, meningkatkan persaingan hukum dan mengurangi ketidakpastian tentang hukum yang digunakan.
4. Pilihan hukum akan memberikan kepada negara insentif bersaing. Kebebasan para pihak memilih dan menentukan hukum yang berlaku bagi kontrak yang
mereka buat, yang berarti tidak semata-mata hak mereka untuk menggantikan atau memindahkan peraturan yang tidak pasti dari
setiap sistem hukum. Pada dasarnya para pihak bebas untuk menentukan pilihan hukum dengan
mengingat beberapa pembatasan : 1. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
2. Pilihan hukum tidak mengenai hukum yang bersifat memaksa. 3. Pilihan hukum diperkenankan berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
Kebebasan tersebut bukan tidak ada batasnya tetapi dibatasi oleh ketentuan ketertiban umum public policy dan hukum yang memaksa dwingen recht.
Pembatasan-pembatasan tersebut ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi kehidupan modern, seperti perlindungan konsumen, pencegahan penyalahgunaan
wewenang dari penguasa ekonomi serta menjaga iklim persaingan yang adil dalam ekonomi pasar.
commit to user
4 empat macam pilihan hukum yang dikenal dalam Hukum Perdata Internasional HPI, yaitu Ridwan Khairandy, 2007:130:
1. Pilihan hukum secara tegas, di dalam klausula kontrak tertentu dapat dilihat adanya pilihan hukum yang ditentukan secara tegas dan jelas oleh para pihak.
2. Pilihan hukum secara diam-diam, para pihak dalam suatu kontrak dapat memilih hukum secara diam-diam. Hal ini dapat disimpulkan dari maksud,
ketentuan-ketentuan dan fakta-fakta yang terdapat dalam kontrak tersebut. Misalnya bahasa yang digunakan, mata uang yang digunakan, gaya kontrak,
pelaksanaan kontrak dan pilihan domisili. 3. Pilihan hukum yang dianggap, pilihan hukum secara ini dianggap hanya
merupakan presumption iuris, atau suatu dugaan hukum. Hakim menerima telah terjadi suatu pilihan hukum berdasar dugaan belaka. Dugaan hakim
merupakan pegangan yang dipandang cukup untuk mempertahankan bahwa para pihak benar-benar telah menghendaki berlakunya suatu sistem hukum
tertentu. 4. Pilihan hukum secara hipotesis, sebenarnya para pihak tidak menentukan
pilihan hukum, namun hakimlah yang memilih. Hakim yang melakukan pilihan hukum, Hakim bekerja dengan fiksi.
Kontrak mengenai transaksi bisnis e-commerce antar negara, tidak semuanya memuat dan menggunakan kontrak sebagaimana kontrak bisnis pada
umumnya, akan tetapi dalam transaksi bisnis yang berhubungan dengan software umumnya para pihak penjual menentukan adanya pilihan hukum baik secara
tegas maupun diam-diam, dan umumnya hukum yang diberlakukan dalam hal jika terjadinya sengketa antara mereka adalah hukum dari negara penjual software,
misalnya jika yang menjual software tersebut adalah Amerika Serikat maka dalam kontrak pembelian software tersebut akan dinyatakan bahwa jika terjadi
sengketa maka perdata negara yang dipilih adalah Hukum Amerika Serikat. Dengan adanya pilihan hukum tersebut, para pihak yang membuat kontrak dalam
transaksi bisnis e-commerce harus tunduk dan taat pada hukum yang ditentukan Ridwan Khairandi, 2007:135.
commit to user
Sebaliknya, apabila dalam kontrak mengenai transaksi e-commerce, para pihak tidak menentukan adanya pilihan hukum, maka jelas menimbulkan masalah
mengenai hukum perdata negara mana yang akan diberlakukan untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Maka dapat menggunakan asas-asas HPI
untuk menentukan hokum yang berlaku yaitu: 1.
Lex Loci Contractus Lex Loci Contractus ini adalah teori klasik, di mana ditentukan bahwa
hukum yang berlaku bagi suatu kontrak internasional adalah hukum di mana tempat perjanjian atau kontrak itu dibuat. Dalam Pasal 18 AB disebutkan
bahwa: De vorm van elke handeling wordbeoordeeld naarde wetten van net land of de plaats, alwaardie handeling is verrigt. terjemahannya adalah
bentuk dari tiap perbuatan ditentukan oleh Undang-Undang hukum dari negara atau tempat di mana perbuatan tersebut telah dilakukan Werhan
Asmin, 2003:89. Transaksi bisnis konvensional di mana para pihak yang mengadakan
kontrak berada pada tempat yang sama face to face mungkin teori ini masih dapat digunakan, namun pada saat sekarang apalagi berkaitan dengan
transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce maka teori ini sulit sekali untuk dapat diterapkan karena dalam transaksi bisnis yang menggunakan e-
commerce tersebut para pihak yang mengadakan kontrak tidak hadiratau tidak berada pada tempat yang sama, sehingga tidak mudah untuk menentukan
hukum mana yang berlaku bagi kontrak tersebut apalagi menyangkut beberapa negara karena sangat sulit untuk bisa menentukan di mana kontrak tersebut
terjadi. 2.
Mail Box Theory dan Theory of Declaration Kesulitan pada penerapan teori lex loci contractus dapat diatasi, maka
negara-negara Common Law memperkenalkan Mail Box Theory, di mana dalam teori ini dinyatakan bahwa kedua belah pihak dalam suatu kontrak tidak
saling bertemu muka, maka yang terpenting adalah salah satu pihak mengirimkan surat yang berisi penerimaan atas tawaran kontrak tersebut,
dalam hal ini hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut adalah hukum, negara
commit to user
pihak yang mengirimkan penerimaan penawaran tadi, Sudargo Gautama memberikan contoh; A yang berada di Negara X menawarkan kepada B di
negara Y negara common law suatu barang dengan kondisi tertentu, B kemudian menulis surat penerimaannya dan memposkannya di negara Y, jadi
jika diterima lex loci contractus di negara Y, maka hukum yang berlaku adalah hukum negara Y Sudargo Gautama, 1989:50
Adanya perbedaan ini tidak dapat ditentukan di mana tempat dilangsungkannya perjanjian, permasalahan ini penting artinya dalam
hubungannya dengan penentuan di hadapan forum hakim mana perkara ini dapat diajukan. Jadi walaupun posisi kasusnya sama bisa saja hasilnya akan
berbeda, di samping itu penggunaan lex loci contractus ini dapat menimbulkan digunakannya hukum yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
kontrak yang bersangkutan. Menurut teori ini, suatu kontrak atau perjanjian terjadi pada saat jawaban
yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan ke dalam kotak pos. Dalam hal transaksi e-commerce maka hukum yang berlaku adalah hukum dimana
pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya. Teori ini mempunyai kelemahan sebab ada kemungkinan pihak lawan tidak menerima pesannya
atau terlambat menerima pesan tersebut. Oleh karena itu diperlukan konfirmasi pihak penjual.
3. Lex Loci Solution
Teori ini hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah tempat di mana kontrak itu tersebut dilaksanakan. Sudargo Gautama menjelaskan dalam
praktek hukum internasional umumnya diakui bahwa berbagai peristiwa tertentu dipastikan oleh hukum yang berlaku pada tempat pelaksanaan
kontrak. Berkaitan dengan hal ini ketentuan Pasal 18, A-B juga menentukan bahwa suatu permasalahan yang berkaitan dengan perbuatan hukum harus
diselesaikan berdasarkan hukum dimana perbuatan itu dilaksanakan, kontrak adalah suatu perbuatan hukum, dengan perkataan lain bahwa kontrak adalah
bagian dari perbuatan hukum, sehingga dalam hal ini jika ada perkara kontrak
commit to user
yang mengandung unsur asing di Indonesia, dan ternyata tidak dijumpai klausula pilihan hukum dalam penyelesaian sengketanya maka harus
diselesaikan berdasarkan hukum negara di mana kontrak itu dilaksanakan, misalnya A yang berada di Bandung membeli suatu barang dari perusahaan B
yang berada di Amerika, kemudian barang-barang tersebut diserahkan di Bandung, barang tersebut telah diterima di Bandung, karena merasa telah
dirugikan karena A wanprestasi dalam hal pembayaran maka Perusahaan B menggugat A di pengadilan negeri Bandung, jika ternyata dalam klausula
kontrak mereka tidak dijumpai adanya pilihan hukum maka pengadilan dapat menyelesaikan perkara wanprestasi ini didasarkan kepada hukum Indonesia,
karena perjanjian dilaksanakan di Bandung, Indonesia Sudargo Gautama, 1989:54.
Penerapan teori ini dalam praktek juga sering menimbulkan berbagai permasalahan, karena saat ini para pihak yang melakukan kontrak dapat
melaksanakan kontrak di berbagai negara, sehingga dalam konteks ini akan mengalami kesulitan hukum negara mana yang akan diberlakukan mengingat
ada beberapa negara yang terlibat dalam melaksanakan kontrak tersebut. 4.
The Proper Law of Contract Prinsipnya asas ini tidak akan digunakan jika para pihak memilih suatu
sistem hukum tertentu ketika kontrak dibuat pilihan hukum, pengadilan akan menerapkan sistem hukum lain yang bertujuan untuk menyesuaikan maksud
para pihak, walaupun sudah ada pilihan hukum, pengadilan masih memperhatikan lex loci contractus dengan menafsirkan hal-hal yang tidak
terkait dengan hukum suatu negara di mana kontrak itu dibuat, jadi pengadilan lebih mengutamakan hukum suatu negara dengan menggunakan pandangan
pada suatu hukum di mana kontrak itu dibuat. Pengadilan Kanada mengadopsi doktrin Proper law yang kemudian
banyak dimodifikasi oleh Dicey dan Morris yaitu sebagai suatu sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak. Jika maksud para pihak baik yang
diungkapkan secara tegas atau tidak dapat diketahui dari keadaan sekitarnya, maka digunakan suatu sistem hukum yang mempunyai kaitan paling erat dan
commit to user
paling nyata dengan transaksi yang terjadi. Ketika para pihak telah mengungkapkan bahwa proper law yang mereka pilih, maka tidak ada
kesulitan untuk menerapkan hukum yang dikehendaki oleh para pihak, akan tetapi jika tidak disebutkan tentang proper law yang mereka pilih, hal ini tidak
menjadi masalah apakah pengungkapan maksud mereka merupakan sistem hukum yang dikehendaki secara langsung oleh para pihak dalam kontrak,
ataupun merupakan sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak yang paling berwenang dalam kontrak.
Berkaitan dengan permasalahan apakah doktrin proper law ini sebaiknya diformulasikan secara subjektif atau objektif, maka jika diterima pandangan
bahwa para pihak dapat selalu memilih proper law secara tegas dengan batasan tertentu, maka perbedaan formulasi proper law secara subjektif dan
objektif sangat penting, khususnya jika seseorang mempertimbangkan hasil- hasil yang diperoleh oleh pengadilan, hasilnya akan tetap sama apabila
digunakan kedua formulasi tersebut. Jika tidak ada pilihan yang tegas, maka pengadilan akan menerapkan hukum suatu negara di mana kontrak tersebut
dianggap berada, atau di mana transaksi tersebut mempunyai kaitan dengan faktor-faktor yang relevan yang mempunyai hubungan paling dekat dan
subtansial, pengadilan akan menegaskan proper law secara objektif yang sesuai dengan fakta dan keadaan tiap kasus, termasuk tempat kontrak itu
dibuat, tempat pelaksanaan kontrak, tempat kedudukan atau bisnis para pihak, subjek kontraknya, dan lain-lain. Formulasi doktrin proper law secara singkat
dapat dinyatakan sebagai berikut: Jika dalam suatu kontrak telah ditentukan sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak, maka pilihan hukum itulah
yang akan diberlakukan bagi penyelesaian sengketa kontrak tersebut, namun jika kehendak itu tidak dinyatakan secara tegas, atau tidak dapat diketahui dari
keadaan sekitarnya, maka proper law bagi kontrak tersebut adalah sistem hukum yang mempunyai kaitan yang paling erat dan nyata dengan transaksi
yang terjadi Sudargo Gautama 1989: 58. Sistem hukum dalam penentuannya yang mempunyai kaitan paling erat
dan nyata dengan transaksi yang terjadi, pengadilan mempertimbangkan
commit to user
faktor-faktor relevan yang memungkinkan seperti tempat pembuatan kontrak dan tempat pelaksanaan kontrak, selain itu juga tetap diperhatikan aturan-
aturan domestik suatu negara yang bersangkutan dan juga hubungan antara negara terhadap transaksi yang terjadi dan para pihaknya. Kepentingan negara
yang bersangkutan terhadap putusan tentang hal-hal yang menyangkut kepentingan mereka juga harus diperhatikan, terlebih lagi jika negara tersebut
mempunyai kepentingan yang lebih daripada pihak lainnya untuk menerapkan sistem hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan. Jika para pihak menyetujui
pengadilan dari negara tertentu mempunyai eksklusif jurisdiksi terhadap kontrak tersebut, maka pengadilan akan berpendapat bahwa hukum yang
dikehendaki para pihak adalah hukum yang diterapkan oleh negara itu. Adanya klausula tersebut bukanlah merupakan hal yang menentukan akan
tetapi hal ini hanya merupakan bahan pertimbangan saja. Tidak ada pernyataan tentang pilihan hukum proper law oleh para pihak
dalam kontrak mereka, pengadilan di common law, khususnya Anglo- Canadian dalam menyatakan bahwa mereka akan menghubungkan setiap
maksud para pihak atau menentukan proper law bagi para pihak dan dalam hal ini sistem hukum yang digunakan dalam kontrak adalah sistem hukum suatu
negara di mana kontrak itu dianggap berlokasi, lokasi ini ditandai oleh pengelompokan elemen-elemen, berdasarkan fakta-fakta atau lainnya dalam
transaksi tersebut. Kelemahan teori ini menurut Sudargo Gautama adalah bahwa sebelum
suatu perkara yang terjadi diajukan ke pengadilan, sukar sekali menentukan terlebih dahulu hukum mana yang berlaku bagi kontrak tersebut, sebab di sini
hakim harus menyelidiki dulu dengan seksama semua titik taut yang ada dalam kontrak tersebut untuk menentukan hukum negara mana yang berlaku
bagi kontrak itu Sudargo Gautama, 1989:60. 5.
Teori Most Characteristic Connection Teori ini menurut Sudargo Gautama merupakan teori yang terbaik untuk
dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan persoalan pemakaian hukum dan kontrak bisnis internasional dewasa ini. Menurut Rabbel apabila
commit to user
para pihak dalam suatu kontrak bisnis internasional tidak menentukan sendiri pilihan hukumnya, maka akan berlaku hukum dari suatu negara di mana
kontrak yang bersangkutan memperlihatkan most characteristic connection hubungan yang paling karakteristik Sudargo Gautama, 1989:61.
Teori ini kewajiban untuk melakukan prestasi yang paling khas karakteristik menjadi tolak ukur penentuan yang akan mengatur kontrak,
dalam setiap kontrak dapat dilihat pihak mana yang melakukan prestasi yang paling khas, menjadi hukum yang seharusnya berlaku bagi kontrak, misalnya
dalam kontrak jual-beli, pihak penjual dianggap memiliki prestasi yang khas, dalam perjanjian kredit bank, pihak bank dianggap memiliki prestasi yang
paling khas, demikian juga hubungan antara klien dan advokat, prestasi pihak advokat dianggap paling khas.
Teori ini memiliki beberapa kelebihan, dengan adanya prinsip prestasi yang paling khas, dapat secara pasti ditentukan terlebih dahulu prestasi yang
paling khas sehingga sebelum kontrak dibuat sudah dapat diketahui hukum yang seharusnya berlaku, di sini juga tidak perlu lagi diadakan kualifikasi
yang rumit seperti lex loci contractus dan lex loci solutions, walaupun teori ini dianggap sebagai teori terbaik, akan tetapi tidak berarti memiliki kelemahan,
ada kelemahan yang melekat di dalam, misalnya jika di dalam kontrak jual- beli, prestasi pihak penjual dianggap memiliki prestasi yang paling khas, tetapi
jika perhatian terhadap pembeli lebih besar atau jika pihak pembeli dinyatakan lebih harus dilindungi, maka keadaannya menjadi lain.
Sehingga hukum yang berlaku adalah hukum pihak mana yang melakukan prestasi yang paling karakteristik atau paling banyak. Dengan
demikian teori-teori tersebut dapat dipakai untuk menentukan hukum mana yang berlaku jika terjadi sangketa di kemudian hari.
Dalam transaksi e- commere teori ini yang paling sesuai karena mudah menetukan hukum yang
digunakan yaitu menggunakan hukum dari pihak yang memiliki karaktristik yang kas dalam artian prestasinya yang paling besar.
commit to user
6. Lex Mercatoria
Hukum yang berlaku di dalam suatu kontrak internasional tidak hanya merujuk pada salah satu hukum negara tertentu, tetapi dapat juga tidak
mengacu pada salah satu hukum negara tertentu. Hukum secara historis lex mercatoria ini merupakan hukum kebiasaan di antara para pedagang Eropa,
yang kemudian diadministrasi oleh pengadilan pedagang, di mana pedagang itu sendiri yang jadi hakimnya. Lex mercatoria dapat diartikan sebagai
prinsip-prinsip dan kebiasaan yang diterima secara umum dalam praktek perdagangan internasional tanpa merujuk pada suatu sistem hukum
internasional tertentu, dengan demikian lex mercatoria merupakan suatu norma yang bersifat otonom, suatu norma yang berlaku di kalangan
masyarakat bisnis Sudargo Gautama, 1989:68. Elemen-elemen lex mercatoria adalah sebagai berikut :
1. Peraturan-peraturan yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian internasional.
2. Hukum-hukum yang seragam. 3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa pedagang di
seluruh dunia seperti asas pacta suntservanda. 4. Resolusi-resolusi Majelis Umum PBB.
5. Rekomendasi-rekomendasi dan kode-kode perilaku yang dikeluarkan lembaga-lembaga Internasional.
6. Kebiasaan-kebiasaaan yang berlaku dalam bidang perdagangan dan kontrak-kontrak standar yang diterima secara universal.
7. Putusan-putusan Arbitrase. Disamping pilihan hukum, dalam Hukum Perdata Internasional HPI
dikenal istilah kualifikasi. Kualifikasi yang dimaksud adalah melakukan translationatau penyalinandaripada fakta-fakta sehari-hari dalam istilah-
istilah hukum. Garis besarnya terdapat tiga macam kualifikasi, yaitu : 1. Lex Fori.
2. Lex Causae.
commit to user
3. Teori Kualifikasi yang dilakukan secara otonom berdasarkan metode perbandingan hukum.
Menurut kualifikasi Lex Fori, bahwa hukum yang berlaku adalah hukum materiil negara sang hakim yang mengadili perkaranya. Para penganut teori ini
pada umumnya berpendapat bahwa beberapa kualifikasi yang disebut di bawah ini dikecualikan dari kualifikasi Lex Fori, yaitu :
a. Kualifikasi kewarganegaraan. b. Kualifikasi benda bergerak-tidak bergerak.
c. Kualifikasi suatu kontrak yang tidak ada pilihan hukumnya. d. Kualifikasi berdasarkan konvensi-konvensi internasionali
e. Kualifikasi perbuatan melawan hukum. f. Pengertian yang digunakan Mahkamah Internasional.
Sisi positif atau kebaikan dari teori ini adalah, bahwa kaidah-kaidah hukum Lex Fori paling dikenal hakim, perkara yang ada relatif lebih mudah
diselesaikan. Kelemahannya adalah adakalanya menimbulkan ketidakadilan, karena kualifikasi dijalankan menurut ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai
dengan sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan, atau bahkan dengan ukuran-ukuran yang sama sekali tidak dikenal oleh sistem hukum
asing tersebut Sudargo Gautama, 1989:70. Kualifikasi Lex causa beranggapan, bahwa kualifikasi harus dilakukan
sesuai dengan sistem serta ukuran dari keseluruhan hukum yang bersangkutan dengan perkara. Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah
HPI mana dari Lex fori yang erat kaitannya dengan hukum asing yang seharusnya berlaku. Penentuan ini dilakukan dengan mendasarkan diri pada
kualifikasi yang telah dilakukan berdasarkan sistem hukum asing yang bersangkutan. Setelah lembaga hukum tersebut ditetapkan, barulah ditetapkan
kaidah-kaidah hukum apa di antara kaidah Lex fori yang harus digunakan untuk menyelesaikan perkara.
Kualifikasi otonom pada dasarnya menggunakan metode perbandingan hukum untuk membangun suatu sistem kualifikasi yang berlaku secara
universal. Kualifikasi yang dilakukan secara otonom ini terlepas dari salah
commit to user
satu sistem hukum tertentu, artinya dalam HPI seharusnya ada pengertian hukum yang khas dan berlaku umum serta mempunyai makna yang sama
dimanapun di dunia ini. Mengacu pada kualifikasi tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa
apabila sengketa transaksi e-commerce antarnegara diadili oleh negara A, maka hukum yang berlaku adalah hukum sang hakim dari negara A, meskipun
demikian, kesimpulan itu belumlah bersifat final, dalam artian bahwa masalah hukum yang berlaku terhadap penyelesaian sengketa transaksi e-commerce
masih perlu diperdebatkan lagi oleh para akademisi maupun praktisi hukum. Prinsip yang ditemukan dalam Hukum Perdata Internasional HPI
juga dikenal adanya 2 dua prinsip, yaitu : 1. Prinsip tempat badan hukum didirikan The Place of Incorporation yang
menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi suatu badan hukum adalah hukum tempat badan hukum itu didirikan.
2. Prinsip tempat kedudukan yang efektif Siege Reel yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi status badan hukum adalah hukum
tempat badan hukum itu melakukan usahanya. Berdasarkan kedua prinsip tersebut, apabila transaksi e-commerce
antarnegara dilakukan oleh badan hukum dengan perseorangan dan terjadi sengketa, maka hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana badan
hukum itu didirikan atau tempat di mana badan hukum itu melakukan usahanya. Misalnya, transaksi dilakukan antara badan hukum Indonesia PT
dengan warga negara Singapura perseorangan dan terjadi sengketa, maka hukum yang berlaku adalah hukum di Indonesia, meskipun demikian, kedua
prinsip ini masih tetap menimbulkan masalah berkenaan dengan hukum yang berlaku dalam sengketa e-commerce antarnegara, baik pelaku bisnisnya
berupa badan hukum dan perseorangan maupun antara sesama badan hukum. Terciptanya kepastian hukum mengenai hukum yang berlaku dalam
rangka penyelesaian sengketa transaksi e-commerce antarnegara, maka para pihak perlu menentukannya dalam kontrak yang dibuatnya baik secara pilihan
hukum atau secara kualifikasi hukum.
commit to user
Alternatif lainnya adalah bahwa para pelaku bisnis yang akan menggunakan internet dalam melakukan transaksi e-commerce antarnegara,
baik sesama badan hukum, perseorangan maupun antara badan hukum dengan perseorangan perlu membentuk sebuah forum seperti General Agreement on
Tariffs and Trade GATT. Forum ini perlu disepakati antara lain mengenai hukum yang akan diberlakukan apabila terjadi sengketa transaksi e-commerce.
Ketentuan di atas berkaitan dengan persoalan hukum yang berlaku applicable law, dalam kontrak bisnis internasional negara-negara yang
menganut sistem common law dan civil law berusaha melakukan harmonisasi peraturan perUndang-Undangan berkaitan dengan hukum yang diberlakukan
tersebut dan hasilnya ada dua konvensi utama yang sangat penting dalam menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak bisnis internasional, yaitu
PB Triton, 2006:73: 1. Convention on the law Applicable to Contract for International Sale of
Goods the Hague Convention, dalam Pasal 7 konvensi ini mengadopsi prinsip-prinsip bahwa para pihak bebas untuk membuat pilihan hukum
yang mengatur kontrak yang mereka buat, kemudian Pasal 8 menentukan bahwa untuk memperluas hukum yang berlaku dalam suatu kontrak jual-
beli yang tidak dipilih para pihak sesuai Pasal 7, maka kontrak diatur oleh hukum negara di mana kedudukan bisnis penjual pada saat kontrak dibuat.
2. The European Convention on the Law Applicable to Contractual Obligations Rome Convention 1980. Pasal 1 ayat 1 dari konvensi ini
menyatakan bahwa ketentuan pilihan hukum berlaku bagi kewajiban kontraktual dalam setiap situasi yang menyangkut tentang pilihan hukum
antara dua negara yang berbeda, yaitu kontrak yang menyangkut satu atau lebih elemen asing di dalamnya. Pasal 2 secara tegas menyatakan bahwa
setiap hukum yang telah ditetapkan oleh konvensi ini harus diterapkan baik hukum itu merupakan hukum dari contracting state ataupun bukan,
selanjutnya ketentuan Pasal 19 ayat 2 menyatakan bahwa konvensi ini tidak berlaku untuk konflik hukum wilayah yang berbeda dalam satu
negara yang sama.
commit to user
Kontrak akan diatur hukum negara di mana pembeli memilih tempat bisnisnya pada saat kontrak dibuat jika pertama, negosiasi diadakan dan
kontrak ditandatangani oleh dan dalam kehadiran para pihak, dalam suatu negara, kedua, kontrak menentukan secara tegas bahwa penjual harus
memenuhi kewajibannya untuk mengirim barang dalam suatu negara, dan ketiga, kontrak ditandatangani dengan syarat yang ditentukan sebagian besar
oleh pembeli dan dalam tanggapan atas suatu undangan oleh pembeli ditujukan kepada orang yang diundang untuk mengajukan penawaran.
Pasal 13 the Hague Convention menentukan bahwa dalam hal tidak ada pilihan yang tegas, maka berlaku hukum negara di mana pemeriksaan barang
dilakukan. Inggris sejak Tahun 1990 telah memiliki The Contract Applicable Law Act 1990, Undang-Undang ini merupakan implementasi Konvensi Roma
1980 tentang Hukum yang berlaku terhadap kewajiban kontraktual Rome Convention 1980 on The Law Applicable to Contract Obligations, keadaan
ini mengakibatkan perubahan terhadap doktrin proper law dalam kontrak yang dianut Inggris. Konvensi Roma ini menjadi tanda bagi kemajuan harmonisasi
hukum bagi negara anggota masyarakat Eropa Europen Community, EC, unifikasi hukum yang terjadi akan mengurangi ketidakadilan yang disebabkan
dari forum perdagangan antarnegara anggota EC, konvensi ini bertujuan untuk mengidentifikasi hukum yang berlaku, terlepas dari ke mana dan di mana
setiap tindakan negara anggota EC ini akan dibawa. Ruang lingkup pilihan hukum dalam Rome Convention tidak
mencangkup pada semua hal. Beberapa pengecualian terhadap ruang lingkup pilihan hukum itu, dengan perkataan lain pilihan hukum tidak dapat diterapkan
pada beberapa permasalahan, yakni Suyud Margono, 2000:73: 1. Persoalan yang berkaitan dengan status atau kepastian hukum seseorang,
tetapi yang merupakan subjek dari Pasal 11 Rome Convention. 2. Kewajiban kontraktual yang terkait dengan surat wasiat dan warisan.
3. Kewajiban kontraktual yang terkait dengan hak atas harta benda yang timbul dari hubungan perkawinan, masalah keluarga.
commit to user
4. Kewajiban yang timbul dalam wesel, cek, surat sanggup, atau surat promise, dan instrumen yang dapat diperjualbelikan lainnya.
5. Perjanjian arbitrase dan yurisdiksi. 6. Persoalan yang diatur oleh hukum perusahaan dan badan usaha lainnya
seperti pembentukan, kapasitas hukum, organisasi internal atau winding up, dan tanggung jawab karyawan dan anggota sebagai suatu kewajiban
perusahaan atau badan usaha itu. 7. Persoalan apakah agen itu mampu untuk mengikat prinsipal, atau suatu
organ mampu untuk mengikat perusahaan atau badan usaha pada pihak ketiga.
8. Pengaturan trust dan hubungan antara settlors, trustee, dan beneficiaries. 9. Pembuktian dan prosedur yang termasuk subjek Pasal 14 Rome 5:
Convention. 10. Kontrak asuransi yang mencangkup risiko yang berada dalam wilayah
negara anggota EC. Ketentuan common law Inggris yang dikemukakan oleh Munir Fuadi,
konvensi ini juga memberikan perbedaan yang mendasar antara situasi di mana hukum yang berlaku itu dipilih oleh para pihak dan situasi di mana tidak
ada pilihan hukum yang tegas dari para pihak, maka hukum yang berlaku harus diketahui, biasanya hukum yang berlaku dalam konvensi ini mengacu
pada hukum domestik suatu negara dan disesuaikan dengan doktrin renvoi. Pasal 3 ayat 1 konvensi ini menyatakan bahwa kontrak itu diatur oleh hukum
yang dipilih oleh para pihak, asalkan pilihan itu dinyatakan dengan tegas dan ditujukan dengan alasan yang patut sesuai dengan term kontraknya atau situasi
kasusnya. Sesuai dengan Pasal di atas para pihak dapat memilih hukum yang berlaku dalam kontrak mereka baik sebagian atau seluruhnya dan para pihak
juga dapat memilih dua hukum yang berbeda untuk mengatur bagian yang berbeda dalam kontrak. Hal ini disebut dengan depecage yaitu menggunakan
dua sistem hukum yang berbeda dalam satu kontrak, sebagai contoh para pihak dapat memilih satu hukum untuk mengatur tentang penafsiran
kontraknya dan menggunakan sistem hukum yang lain untuk mengatur tentang
commit to user
pemutusan kontrak itu. Pasal 3 ayat 2 Konvensi Roma menyatakan bahwa para pihak dapat membuat pilihan hukum kapan saja, walaupun hal itu disebut
setelah penandatanganan kontrak, mereka sewaktu-waktu juga dapat merubah pilihan hukum yang telah dibuat sebelumnya, perubahan itu diperbolehkan
dengan ketentuan perubahan pilihan hukum itu tidak melanggar syarat sahnya suatu kontrak sesuai dengan peraturan yang ada dalam Pasal 9, atau
merugikan pihak ketiga. Ketentuan ini memungkinkan para pihak untuk mempunyai kebebasan yang maksimum untuk membuat pilihan hukum
mereka, selaln itu pilihan hukum itu juga bisa dibuat pada saat pembuatan kontrak, ataupun setelah atau sesudah penandatanganan kontrak Munir
Fuady, 2000: 84. Jika pihak gagal dalam membuat pilihan hukum baik secara tegas
ataupun secara diam-diam, maka pilihan hukum itu akan ditentukan sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam hal ketika pilihan
hukum itu tidak dapat dipilih sesuai dengan Pasal 3 maka kontrak tersebut diatur oleh hukum suatu negara yang mempunyai hubungan paling dekat
dengan kontrak itu. Pasal 4 ayat 2 menjelaskan tentang anggapan bahwa kontrak ini mempunyai hubungan yang paling dekat dengan negara di mana
para pihaknya mempunyai karakterlstik tertentu pada pelaksanaan kontrak seperti tempat tinggal mereka saat penandatanganan kontrak. Menurut the
Giuliano-Lagarde Report, biasanya karakteristik prestasinya itu ditandai pada saat pembayaran itu terjadi seperti pengiriman barang, ketentuan pelayanan,
memberikan hak untuk membuat item barangnya, dan lain-lain, walaupun Pasal 4 ayat 2 ini lebih menekankan pada ciri khas prestasi, akan tetapi di
sini juga dijelaskan tentang hukum negara mana yang berlaku ketika para pihaknya mempunyai tempat tinggal yang tetap, atau untuk kasus sebuah
badan hukum atau tidak berbadan hukum, di mana pusat administrasinya pada saat penandatanganan kontrak, ketika tempat tinggal para pihak dan pusat
administrasi dari suatu perusahaan tidak disebutkan maka kemudian hukum sebuah forum akan dianggap diterapkan dalam kontrak itu httpthe giuliano
lagarde-e-commerce.doc. diakses 28 September 2010.
commit to user
Kehadiran internet walaupun masih dalam fase pertumbuhan, telah memperkokoh keyakinan tentang pentingnya peranan teknologi dalam
pencapaian tujuan finansial. Salah satu sarana guna melakukan transaksi perdagangan seperti penjualan, pembelian, promosi, dan lain-lain, internet
dirasakan manfaatnya pada saat sejumlah situs yang menyajikan breaking news telah menarik para pelaku bisnis.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa perkembangan transaksi e- commerce menunjukkan adanya peningkatan yang sangat signifikan, tidak
saja di negara-negara maju tetapi juga negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Keuntungan yang ditawarkan transaksi e-commerce yang sulit atau
tidak dapat diperoleh melalui cara-cara transaksi konvensional. Transaksi e-commerce terbuka kemungkinan terjadinya sengketa antara
para pihak yang membuatnya, oleh karena dalam transaksi e- commerce para pihak tidak bertemu secara fisik dan tidak menggunakan tanda
tangan asli, sehingga salah satu pihak bisa saja mengingkari kontrak yang telah dibuat.
Jika dalam transaksi e-commerce terjadi sengketa antara para pihak yang berbeda negara, maka selain dikenal adanya pilihan hukum juga dikenal
adanya pilihan yurisdiksi Choice of Forum. Pilihan yurisdiksi ini bermakna, bahwa para pihak di dalam kontrak akan bersepakat memilih pengadilan
negara manakah yang berwenang mengadili perkara mereka. Transaksi e- commerce dilakukan antara perseorangan bukan berbentuk badan usaha, untuk
mengetahui pengadilan negara yang berwenang mengadili sengketa yang terjadi, maka dapat dilihat pada pilihan yurisdiksi sebagaimana disebutkan di
atas. Jika dalam kontrak e-commerce antarnegara, para menentukan pilihan
yurisdiksi baik secara tegas maupun diam, maka pengadilan sebagaimana ditentukan dalam tersebutlah yang diberlakukan. Kualifikasi hukum tertentu
dalam kontrak transaksi e-commerce, maka yang berwenang mengadili sengketa yang terjadi adalah pengadilan yang ditentukan dalam kualifikasi
tersebut sesuai dengan hukum yang diberlakukan.
commit to user
Jika pelaku bisnis dalam transaksi e-commerce berupa badan usaha seperti Perseroan Terbatas PT dan perseorangan, kemudian terjadi sengketa,
maka berdasarkan prinsip Siege Statutair, pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya adalah pengadilan tempat didirikannya perusahaan
Werhan Asmin, 2003:97, oleh karena menurut prinsip Siege Statutair bahwa hukum yang berlaku bagi suatu badan hukum itu didirikan. Prinsip ini pada
hakekatnya identik dengan prinsip The Place of Incorporation atau prinsip tempat badan hukum didirikan yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku
bagi suatu badan hukum adalah hukum tempat badan hukum itu didirikan. Kemudian prinsip Siegle Reel atau prinsip tempat kedudukan yang
efektif yaitu hukum yang berlaku bagi status badan hukum ialah hukum tempat badan hukum itu melakukan usahanya. Berdasarkan prinsip ini bahwa
pengadilan yang berwenang mengadili sengketa transaksi e-commerce antarnegara, di mana para pelaku bisnisnya badan hukum dan perseorangan
adalah pengadilan tempat badan hukum melakukan usahanya, meskipun telah ada beberapa prinsip yang dapat menjadi acuan untuk menentukan pengadilan
yang berwenang mengadili sengketa mengenai transaksi e-commerce antara badan hukum dengan perse orangan, namun hal ini akan menimbulkan
masalah apabila transaksi e-commerce antarnegara dilakukan antara badan hukum, apakah prinsip tersebut di atas dapat diterapkan.
Oleh karena itu, dalam rangka mengantisipasi terjadinya sengketa dalam pelaksanaan transaksi e-commerce, maka sudah seharusnya para pihak yang
menentukan pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya dalam kontrak yang dibuatnya.
Para pihak pada umumnya dianggap mempunyai kebebasan untuk memilih, namun mereka bisa menyimpang dari kompetensi relatif dengan
memilih hakim lain, namun tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan menjadi tidak berwenang bilamana kaidah-kaidah hukum intern
negara yang bersangkutan menentukan bahwa hakim tidak berwenang adanya.
commit to user
Menurut Convention on the Coice of court 1965, pilihan yurisdiksi; terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat
internasional, namun tidak berlaku bagi: 1. Status kewarganegaraan orang atau hukum keluarga termasuk kewajiban
atau hak-hak pribadi atau finansial antara orang tua dan atau antara suami dan istri.
2. Permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir 1. 3. Warisan.
4. Kepailitan. 5. Hak-hak atas benda tidak bergerak.
Pilihan Yurisdiksi yang dimaksud di atas selain dapat menunjuk kepada suatu pengadilan di negara tertentu juga dapat menunjuk badan arbitrase
tertentu. Pengadilan atau arbitrase sebelum mengadili perkara harus meneliti dulu apakah ia berwenang mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Salah
satu caranya adalah dengan meneliti klausula pilihan Yurisdiksi yang terdapat dalam kontrak tersebut.
C. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi dan Pembatalan Putusan Arbitrase