commit to user
58
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Pengaturan yang digunakan dalam Penyelesaian Sengketa
Transaksi Bisnis Internasional E-commerce di Indonesia
Transaksi-transaksi atau hubungan bisnis yang menggunakan e-commerce ini pada dasarnya bermacam-macam seperti hubungan jual-beli barang,
pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu kontrak, dan lain-lain. Transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan konflik
atau sengketa. Berkaitan dengan sengketa dan bagaimana cara menyelesaikannya adalah inheren dalam setiap sistem hukum, termasuk dalam sistem hukum
Internasional, perbedaan pendapat dan bagaimana para subyek hukum mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat ini untuk sampai pada suatu penyelesaian yang
dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa, baik secara sukarela maupun karena dirasakan sebagai kewajiban sebagai anggota masyarakat yang
diatur sistem hukum yang bersangkutan, akan memperkuat dan memperkaya sis- tem hukum yang bersangkutan secara normatif maupun dalam implementasinya
sebagaimana yang dikemukakan oleh Shabtai Rosenne bahwa “Dispute and controversy are the life blood of international law as of all law without which
international law would degenerate simply into an abstraction, unrelated to what
is happening in the world,”yaitu perselisihan dan kontroversi adalah nyawa dari
hukum internasional sebagai hukum semua tanpa yang hukum internasional akan menurun hanya sebuah abstraksi, tidak berhubungan dengan apa yang
sedang terjadi di dunia http:mkn.perdagangan internasional.blog.com: diakses tanggal 15 Agustus 2010.
Salah satu fungsi dari penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce adalah agar norma-norma hukum yang mengatur
hubungan di antara anggota masyarakat dipatuhi, dengan perkataan lain di dalamnya terkandung fungsi pengawasan, dalam masyarakat nasional pengawasan
ini dipercayakan kepada suatu lembaga yaitu negara, sedangkan dalam
commit to user
masyarakat internasional yang tidak terdapat atau mempunyai kekuatan sentral maka pengawasan ini diserahkan kepada para anggotanya sendiri. Transaksi bisnis
internasional yang menggunakan e-commerce salah satu institusi yang terkait dengan pengawasan terhadap kepastian atau pengesahan terhadap identitas dari
seseorang atau pelanggan adalah apa yang disebut dengan Certification Authority CA, C.A. berkedudukan sebagai pihak ketiga yang dipercaya untuk memberikan
kepastian atau pengesahan terhadap identitas dari seseorangatau pelanggan klien C.A. tersebut, selain itu C.A. juga mengesahkan pasangan kunci publik dan kunci
privat milik orang tersebut. Proses sertifikasi untuk mendapatkan pengesahan dari C.A. dapat dibagi menjadi 3 tiga tahap:
1. Pelanggan atau subscriber membuat sendiri pasangan kunci privat dan kunci publiknya dengan menggunakan software yang ada di dalam komputernya.
2. Menunjukkan bukti-bukti identitas dirinya sesuai dengan yang disyaratkan C.A.
3. Membuktikan bahwa dia mempunyai kunci privat yang dapat dipasangkan dengan kunci publik tanpa harus memperlihatkan kunci privatnya.
Tahapan-tahapan tersebut tidak mutlak harus seperti di atas, akan tetapi tergantung pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh C.A. itu sendiri.
Hal ini berkaitan dengan level atau tingkatan dari sertifikat yang diterbitkannya dan level atau tingkatan ini berkaitan juga dengan besarnya kewenangan yang
diperoleh pelanggan atau “subscriber” berdasarkan sertifikat yang didapatkannya. Semakin besar kewenangannya yang diperoleh dari suatu Digital Certificate yang
diterbitkan oleh C.A., semakin tinggi pula level sertifikat yang diperoleh serta semakin ketat pula persyaratan yang ditetapkan oleh C.A.. Sebagai contoh, untuk
mendapatkan suatu sertifikat yang mempunyai level kewenangan yang cukup tinggi, terkadang C.A. bahkan memerlukan kehadiran secara fisik si “subscriber”
sehingga C.A. dapat memperoleh kepastian pihak yang akan memperoleh sertifikat tersebut, setelah persyaratan-persyaratan tersebut diuji keabsahannya
maka C.A. menerbitkan sertifikat pengesahan dapat berbentuk hard-copy maupun soft-copy.“Subscriber” telah diumumkan secara luas sebelumnya,
terlebih dahulu mempunyai hak untuk melihat apakah informasi-informasi yang
commit to user
ada pada sertifikat tersebut telah sesuai atau belum. Jika informasi-informasi tersebut telah sesuai, maka subscriber berdapat mengumumkan sertifikat tersebut
secara luas atau tindakan tersebut dapat diwakilkan kepada C.A. atau suatu badan lain yang berwenang untuk itu suatu lembaga notariat. Selain untuk memenuhi
sifat integrity dan authenticity dari sertifikat tersebut, C.A. akan membubuhkan digital signature miliknya pada sertifikat tersebut.
Informasi-informasi yang terdapat di dalam sertifikat tersebut di antaranya dapat berupa :
1. Identitas C.A. yang menerbitkannya. 2. Pemegang atau pemilikatau subscriber dari sertifikat tersebut.
3. Batas waktu keberlakuan sertifikat tersebut. 4. Kunci publik dari pemilik sertifikat.
Setelah sertifikat tersebut diumumkan maka pihak-pihak lain dapat melakukan transaksi, transfer pesan dan berbagai kegiatan dengan media internet
secara aman dengan pihak pemilik sertifikat. Fungsi-fungsi C.A yang telah kita bicarakan di atas dapat kita golongkan sebagai berikut :
1. Mernbentuk hierarki bagi penandatanganan digital. 2. Mengumumkan peraturan-peraturan mengenai penerbitan sertifikat.
3. Menerima dan memeriksa pendaftaran yang diajukan. Berkaitan dengan konteks transaksi bisnis internasional yang menggunakan
e-commerce dalam fungsi pengawasan internasional ada baiknya kita lihat pendapat Van Hoof sebagaimana dikutip dalam buku Diana Anastasya yang
membagi pengawasan internasional ini menjadi tiga fungsi Diana Anastasya, 2001:36:
1. Review Function : pada umumnya “review” diartikan sebagai mengukur atau menilai sesuatu berdasarkan tolak ukur tertentu, dalam konteks hukum hal ini
berarti menilai sesuatu perilaku untuk menentukan kesesuaiannya dengan aturan hukum, review function dalam hubungannya dengan negara
dilaksanakan apabila perilaku suatu negara dinilai menurut hukum internasional oleh suatu lembaga pengawasan yang mempunyai status
internasional, pengawasan ini dilakukan oleh suatu negara atau lebih atau
commit to user
oleh suatu lembaga yang dibentuk menurut perjanjian internasional. Hasil dari pengawasan ini adalah suatu keputusan tentang sesuai tidaknya tindakan
dengan hukum. 2. Correction Function: fungsi ini dilaksanakan manakala telah timbul suatu
keadaan yang bertentangan dengan hukum internasional, namun demikian fungsi ini dapat pula bersifat preventif, misalnya dalam transaksi bisnis
internasional yang menggunakan e-commerce, CA dapat memberitahukan apabila ternyata identitas dari seseorang atau pelanggan klien C.A. tersebut
ternyata tidak valid atau tidak benar. Tujuan dari correction function ini adalah untuk menjamin dan memastikan kepatuhan terhadap aturan-aturan
hukum para pihak, oleh karena itu terhadap pelanggarnya harus diperbaiki atau dikoreksi.
3. Creative Function: sekalipun review dan creative function merupakan bagian pokok dari pengawasan, namun pengawasan ini juga dapat berfungsi kreatif,
terutama dalam hukum internasional, hal ini disebabkan karena tidak adanya semacam lembaga eksekutif dan judikatif, tindakan-tindakan legislatif
seringkali abstrak dan tidak jelas, oleh karena itu usaha untuk memperjelas norma-norma hukum internasional ini khususnya berkaitan dengan transaksi
bisnis yang menggunakan e-commerce merupakan bagian dari fungsi pengawasan yaitu fungsi kreatif, jadi fungsi kreatif ini berupa penafsiran atas
aturan-aturan hukum internasional yang belum jelas. Dalam kerangka teoritis tersebut di atas maka mekanisme penyelesaian
sengketa internasional, khususnya transaksi bisnis yang menggunakan e- commerce merupakan salah satu bentuk dari mekanisme pengawasan dalam
hukum internasional. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang
menggunakan e-commerce dan pengaturanya hukumnya di Indonesia dapat di tunjukan dalam Tabel 1.
commit to user
Tabel 1. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa bisnis internasional yang menggunakan e-commerce dan pengaturan hukumnya di Indonesia
No Prinsip-prinsip yang
Digunakan dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis
Internasional e-commerce
Pengaturan dalam Hukum Indonesia
1 Prinsip kesepakatan para pihak
Konsensus UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 4 ayat 1
2 Prinsip kebebasan
memilih cara-cara penyelesaian
sengketa UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 18 ayat 4
3 Prinsip kebebasan
memilih hukum
a. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Pasal 18 ayat 2 b. UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 56
ayat 2 4
Prinsip itikad baik good faith KUH Perdata Pasal 1338 ayat 3
5 Prinsip Exhaustion of Local
Remedies UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 2
Penjelasan berdasarkan Tabel 1 dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak Konsensus
Prinsip kesepakatan para pihak ini merupakan prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa bisnis internasional termasuk transaksi bisnis yang
menggunakan e-commerce, karena prinsip ini yang merupakan dasar untuk dilaksanakan atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa yang terjadi
antara kedua belah pihak. Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu proses penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri atau tidak,
jadi prinsip ini sangat esensial dan logis karena dalam suatu sengketa setidak- tidaknya ada kehendak para pihak yang saling berseberangan atau
commit to user
bertentangan dan tentu saja kesepakatan para pihak untuk memilih cara-cara penyelesaian sengketa tersebut adalah sangat penting, badan-badan peradilan
termasuk arbitrase harus menghormati apa yang telah menjadi kesepakatan para pihak ini. Lingkup pengertian kesepakatan ini adalah sebagai berikut
Huala Adolf, 2003. a. Bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya melakukan
tindakan yang mengarah kepada penipuan, menekan atau berupaya menyesatkan pihak lainnya.
b. Bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan para pihak, artinya pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan
kesepakatan harus pula didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak. Prinsip diatas termuat dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatife Penyelesaian Sengketa yaitu: ” Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan
diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan
kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka”. Dari Pasal tersebut menjelaskan bahwa dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase
merupakan hasil kesepakatan para pihak sehinngga para pihak harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan.
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa Prinsip ini mengandung makna di mana para pihak memiliki kebebasan
penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan Principle of free choice of means. Prinsip ini
termuat dalam Pasal 7 The UNCITRAL Model Law on International commercial Arbitration, Pasal ini memuat mengenai definisi perjanjian
arbitrase, yaitu perjanjian menyerahkan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak, artinya penyerahan suatu sengketa ke
badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya. Bahwasanya para pihak dalam hal terjadinya sengketa antara
mereka mempunyai kebebasan penuh untuk memilih cara-cara apa yang
commit to user
mereka gunakan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi tersebut Huala Adolf, 2003:74.
Kebebasan memilih cara penyelesaian sengketa di Indonesia juga diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dalam Pasal 18 ayat 4 yang berbunyi: ”Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga
penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang
dibuatnya”. Isi Pasal tersebut menjelaskan bahwa para pihak dalam transaksi e-commerce apabila terjadi sengketa diantara mereka mempunyai kebebasan
memilih cara penyelesaian sengketa. 3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Prinsip kebebasan memilih hukum ini juga merupakan salah satu prinsip penting dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang
menggunakan e-commerce. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk juga kebebasan untuk memilih kepatutan atau kelayakan
exaequo etbono. Prinsip ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutuskan sengketa
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan atas suatu penyelesaian sengketa, contoh kebebasan memilih ini yang harus dihormati
oleh badan peradilan adalah Pasal 28 ayat 1 UNCTTRAL Model Law on International Commercial Arbitration adalah sebagai berikut :
“The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to the substance of
the dispute, Any designation of the law or legal system of a given state shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to
the substantive law of that state and not to its conflict of law rules” Kebebasan dalam memilih hukum ini Lex Cause sudah barang tentu
ada batas-batasnya, hal yang paling umum dikenal balk dalam sistem hukum Common Law maupun Civil Law adalah bahwa kebebasan memilih hukum
tersebut harus Huala Adolf, 2003:76: a. Tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau ketertiban umum;
b. Kebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik;
commit to user
c. Hanya berlaku untuk hubungan bisnis kontrak; d. Hanya berlaku dalam bidang hukum bisnis dagang;
e. Tidak berlaku untuk menyelesaikan sengketa tanah; dan f. Tidak untuk menyeludupkan hukum.
Hukum Indonesia sendiri mengatur prinsip kebebasan memilih hukum yang digunakan dalam penyelesaian e-commerce juga diatur dalam Undang-
Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Traksaksi Informasi Elektronik dalam Pasal 18 ayat 2 yaitu: ”Para pihak memiliki kewenangan
untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuaatnya”, dan diatur juga dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 56 ayat 2 yaitu: “Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku
terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak”, hal tersebut tentunya tidak bertentantangan dengan peraturan Undang-
Undangan yang berlaku dan ketertiban umum. 4. Prinsip itikad baik Good Faith
Prinsip itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini mensyaratkan dan
mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya. Prinsip penyelesaian sengketa ini tercermin dalam dua tahap.
Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan baik di antara negara. Kedua, prinsip ini
disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketa yang dikenal dalam hukum bisnis internasional, yaitu: negosiasi, mediasi, konsiliasi,
arbitrase, pengadilan atau cara-cara pilihan para pihak lainnya. Itikad baik ini menjadi salah satu prinsip penting dalam penyelesaian
sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce, namun prinsip itikad baik ini masih menimbulkan permasalahan berkaitan
dengan keabstrakkan makna dari itikad baik tersebut, sehingga timbul pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat,
dan orangnya. Selain tidak ada makna tunggal dari itikad baik ini, dalam
commit to user
praktek timbul pula permasalahan mengenai tolak ukur, dan fungsi itikad baik tersebut, akibatnya makna dan tolak ukur serta fungsi itikad baik lebih banyak
disandarkan pada sikap atau pandangan hakim yang ditentukan secara kasuistis, sehingga hal ini akan mengakibatkan di mana prinsip itikad baik ini
diterima maka di situ pula akan terjadi perbedaan pendapat dalam mengartikan itikad baik tersebut, memang dalam kenyataannya sangat sulit
untuk mendefinisikan itikad baik ini, bahkan E. Allan Farnsworth dalam buku Ridwan Khairandy, mencatat bahwa di Inggris doktrin itikad baik masih
merupakan sesuatu yang kontroversial, karena pengadilan belum mampu menemukan makna itikad baik yang kongkrit dalam konteks hukum kontrak,
tanpa makna itikad baik yang jelas, doktrin itikad baik dapat menjadi suatu ancaman bagi kesucian prinsip kepastian dan prediktabilitas hukum. E. Allan
Farnsworth juga menyatakan bahwa di Amerika Serikat banyak sekali pandangan yang mencoba memberikan pengertian itikad baik. Akibat
ketidakjelasan tersebut, penerapan itikad baik seringkali lebih banyak didasarkan pada institusi pengadilan yang mana hasilnya seringkali tidak
dapat diprediksi dan tidak konsisten Ridwan Khairandy, 2007:31. Frase itikad baik ini biasanya dipasangkan dengan fair dealing, itikad
baik tersebut juga seringkali dihubungkan dengan makna fairness, reasonable standard of fair dealing, decency, reason ableness, a common ethical sense, a
spirit of solidarity, and community standards. Mengingat itikad baik dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-
commerce merupakan suatu prinsip atau asas yang berasal dari hukum romawi, maka untuk mendapat pemahaman yang lebih baik harus dilacak
kedalam doktrin itikad baik yang berkembang dalam hukum romawi tersebut, doktrin tersebut bermula dari doktrin ex bona fides, perkembangan itikad baik
dalam hukum kontrak romawi tidak lepas dari evolusi hukum kontrak itu sendiri, pada mulanya hukum kontrak romawi hanya mengenai iudicia strcti
iuris, yakni suatu kontrak yang lahir dari perbuatan menurut hukum negotium yang secara ketat dan formal mengacu kepada lus civile. Apabila
hakim menghadapi hukum kontrak yang semacam itu, maka hakim harus
commit to user
memutusnya sesuai hukum, hakim terikat apa yang secara tegas telah dinyatakan dalam kontrak express term, berikutnya berkembang pula
iudicia bonae fidie, perbuatan hukum yang didasarkan iudicia bonae fidie disebut negotia bonae fidie, negotia berasal dari ius gentium yang
mensyaratkan pihak untuk membuat dan melaksanakan kontrak sesuai dengan itikad baik, dengan demikian hukum kontrak Romawi mengenai dua macam
kontrak, yakni iudicia strictiuris dan iudicia bonae fidie Huala Adolf, 2003:78.
Doktrin itikad baik di atas berkembang seiring dengan mulai diakuinya kontrak konsensual informal yang pada mulanya hanya meliputi kontrak jual-
beli, sewa-menyewa, persekutuan perdata, dan mandat. Doktrin itikad baik berakar pada etika sosial romawi mengenai kewajiban yang komprehensif
akan ketaatan dan keimanan yang berlaku bagi warga negara maupun bukan. Itikad baik dalam kontrak romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku
dalam kontrak, sebagaimana yang dikemukakan oleh dalam buku Ridwan Khairandy. Itikad baik dalam trak, yaitu Ridwan Khairandy, 2007:44 :
a. Para pihak harus memegang teguh janji atau perkataan yang telah diucapkannya,
b. Para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak,
c. Para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas
diperjanjikan. Prinsip itikad baik diatas juga tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3
KUHPerdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Dalam hukum perjanjian itikad baik memiliki tiga fungsi, itikad baik
dalam fungsinya yang pertama, mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus ditafsirkan dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah, fungsi
ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan.
commit to user
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies Prinsip exhaustion of local remedies ini sebenarnya semula lahir dari
prinsip hukum kebiasaan internasional, dalam upayanya merumuskan pengaturan mengenai prinsip ini, Komisi Hukum Internasional PBB
International Law Commission memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam Pasal 22 dinyatakan sebagai berikut :
“When the conduct of state as created a situation not in conformity with the result of it by an international obligation concerning the treatment
too be accorded to aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be
achtived by subsequent conduct of the state, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local
remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment”
Prinsip ini menjelaskan bahwa hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke
pengadilan internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh nasional suatu negara harus terlebih dahulu
ditempuh. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik Pasal 2 menyebutkan ”Undang ‐Undang ini berlaku untuk setiap
Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimanadiatur dalam
Undang ‐Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun
di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia danatau di luarwilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia”. Pasal tersebut bertujuan untuk mengakomodir segala bentuk sengketa supaya dapat diselesaikan menggunakan hukum Nasional
Negara Indonesia sebelum menempuh jalur pengadilan internasional.
commit to user
B. Pilihan Hukum yang Berlaku dalam Penyelesaian Sengketa