Persaudaraan keagamaan dalam katolik dan islam

(1)

PERSAUDARAAN KEAGAMAAN

DALAM KATOLIK DAN ISLAM

Oleh:

HAYATIN NUFUS NIM: 1983214712

Jurusan Perbandingan Agama

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta


(2)

PERSAUDARAAN KEAGAMAAN DALAM KATOLIK DAN ISLAM

Skripsi

Diajukan kepada Fakults Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Syarat-syarat Mencapai

Gelar Sarjana Ushuluddin

Oleh:

HAYATIN NUFUS NIM: 1983214712

Dibawah Bimbingan

Pembimbing I, Pembimbing II

Prof. Drs. Zaini Muchtarom, M.A Drs. Ismatu Ropi, M.A

NIP. 150 031 099 NIP. 150 275 659

Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul PERSAUDARAAN KEAGAMAAN DALAM

KATOLIK DAN ISLAM telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 03 Agustus

2004. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Program Strata 1 (SI) pada Jurusan Perbandingan Agama.

Jakarta,03 Agustus 2004

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota

Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. Syaiful Azmi,S.Ag.

NIP. 150 240 483 NIP. 150 282 397

Anggota

Dra. Hj. Hermawati Drs. M. Nuh Hasan, M.A

NIP. 150 227 408 NIP. 150 240 090

Prof. Drs. Zaini Muchtarom, M.A Drs. Ismatu Ropi, M.A


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Penulis mengucapkan puji syukur yang mendalam ke-Haribaan Allah SWT

atas segala nikmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan langkah yang tertatih-tatih dan deraian air mata. Walaupun begitu penulis

sangat menyadari skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan sebagai sebuah

karya ilmiah. Shalawat dan salam tidak lupa penulis sanjungkan kepada manusia

yang paling utama, penerang kegelapan dunia baginda Rosulullah Muhammad saw

beserta keluarga dan para sahabatnya.

Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan tanpa dukungan dari berbagai

pihak. Maka dari itu, penulis ingin memberikan penghargaan dan rangkaian kata

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat.

2. Ibu Dra. Hj. Hermawati, selaku Ketua Jurusan Perbandingan Agama, dan

Syaiful Azmi, S.Ag., selaku Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama.

3. Bapak Prof. Drs. Zaini Muchtaram, M.A., selaku pembimbing I, dan Bapak

Drs. Ismatu Ropi, M.A., selaku pembimbing II yang telah banyak meluangkan

waktunya serta memberikan saran dan kritik sehingga penulis pada akhirnya


(5)

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk

Ayahanda tercinta Abah H. Matasan Ali dan Alm. Ibu Hj. Arfiah serta Umi Hj.

Cholilah dan Abi H. Mursyid S.Pd. yang tidak henti-hentinya mendo’akan penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah selalu memberikan

rahmat kepada mereka.

Tidak lupa penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga dan

salam ta’zim penulis untuk suami tercinta pujaan hati, pelipur lara di waktu penulis

hampir kehilangan asa, Nur Kholis, M.A. yang telah memberikan support dan

do’anya sehingga penulis akhirnya dapat berpijak dengan langkah yang tidak gontai.

Penulis ingin menyampaikan salam persahabatan buat rekan-rekan P.A. 1998

yang telah berjuang bersama-sama, khusus buat teman curhat Widad dan rekan-rekan

yang lain (Anis, Empi, Dije, Adit, Lia, Kokom, Nuni, Ita, Sandi, Lulu, Soleh, Anjas,

Ipul dll.) semoga jangan sampai memutuskan tali persaudaraan yang telah dibangun.

Jakarta, 8 Mei 2004


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI ……… iii

DAFTAR SINGKATAN ………. v

TRANSLITERASI ……… vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah ………... 8

C. Metode Pembahasan Dan Teknis Penulisan ……….. 9

D. Sistematika Penulisan …..………... 10

BAB II KONSEP PERSAUDARAAN DALAM KATOLIK A. Persaudaraan Menurut Kitab Suci (Al-Kitab) ……….. 11

B. Pandangan Umat Katolik Tentang Hubungan Persaudaraan ………. 15

C. Pandangan Umat Katolik Tentang Hubungan Persaudaraan Pada Komunitas Lain ………. 19

BAB III KONSEP PERSAUDARAAN DALAM ISLAM A. Persaudaraan Menurut Kitab Suci (Al-Quran) ………. 26

B. Pandangan Umat Islam Tentang Hubungan Persaudaraan ………… 30

C. Pandangan Umat Islam Tentang Hubungan Persaudaraan ………… 36

Pada Komunitas Lain BAB IV ANALISIS KONSEP PERSAUDARAAN KEAGAMAAN KATOLIK DAN ISLAM A. Kebersamaan Sebagai Umat Beriman ……….………. 41


(7)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………...………. 58

B. Saran ……… 60


(8)

DAFTAR SINGKATAN

PERJANJIAN LAMA (PL):

Kej. - Kejadian Pkh. - Pengkhotbah

Kel. - Keluaran Kid. - Kidung Agung

Im. - Imamat Yes. - Yesaya

Bil. - Bilangan Yer. - Yeremia

Ul. - Ulangan Rat. - Ratapan

Yos. - Yosua Yeh. - Yehezkiel

Hak. - Hakim-hakim Dan. - Daniel

Rut. - Rut Hos. - Hosea

1 Sam. - 1 Samuel Yl. - Yoel

2 Sam. - 2 Samuel Am. - Amos

1 Raj. - 1 Raja-raja Ob. - Obaja

2 Raj. - 2 Raja-raja Yun. - Yunus

1 Taw. - 1 Tawarikh Mi. - Mikha

2 Taw. - 2 Tawarikh Nah. - Nahum

Ezr. - Ezra Hab. - Habakuk

Neh. - Nehemia Zef. - Zefanya

Est. - Ester Hag. - Hagai

Ayb. - Ayub Za. - Zakhaeia

Maz. - Mazmur Mal. - Maleakhi

Ams. - Amsal

PERJANJIAN BARU (PB):

Mat. - Matius 1 Tim. - 1 Timotus

Mar. - Markus 2 Tim. - 2 Timotus

Luk. - Lukas Tit. - Titus

Yoh. - Yohanes Flm. - Filemon

Kis. - Kisah para rasul Ibr. - Ibrani

Rom. - Roma Yak. - Yakobus

1 Kor. - 1 Korintus 1 Pet. - 1 Petrus

2 Kor. - 2 Korintus 2 Pet. - 2 Petrus

Gal. - Galitia 1 Yoh. - 1 Yohanes

Ef. - Efesus 2 Yoh. - 2 Yohanes

Flp. - Flipi 3 Yoh. - Yohanes

Kol. - Kolose Yud. - Yudas


(9)

(10)

TRANSLITERASI ARAB-LATIN HURUF ARAB NAMA HURUF LATIN NAMA

ا alif tidak

dilambangkan

tidak dilambangkan

ب ba b be

ت ta t te

ث sa s es (dengan titik di atas)

ج jim j je

ح ha h ha (dengan titik di bawah)

خ kha kh ka dan ha

د dal d de

ذ zal z zet (dengan titik di atas)

ر ra r er

ز zai z zet

س sin s es

ش syin sy es dan ye

ص sad s es (dengan titik di bawah)

ض dad d de (dengan titik di bawah)

ط ta t te (dengan titik di bawah)

ظ za z zet (dengan titik di bawah)

ع ‘ain ‘ koma terbalik (di atas)

غ gain g ge

ف fa f ef

ق qaf q ki

ك kaf k ka

ل lam l el

م mim m em

ن nun n en

و wau w we

ha h ha

ء hamzah ` apostrof


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan antara sesama manusia dimulai dengan persaudaraan sedarah dan

seketurunan dalam keluarga, seiman dalam agama, dan persaudaraan antar umat

beragama dalam masyarakat. Begitu pentingnya arti persaudaraan, di dalam kitab suci

agama manapun dijelaskan bagaimana berhubungan dengan sesama dan apa makna

serta tujuan persaudaraan itu dibangun. Hubungan baik antar sesama manusia

mewajibkan untuk saling memelihara suasana yang baik dan akrab, bukan saling

menghina dan bermusuhan yang mengakibatkan saling menjelekkan dan

persengketaan satu dengan yang lain. Hubungan antar umat beragama perlu dibangun

sejak dini, mengingat sering terjadinya pertikaian dan permusuhan antar umat

beragama. Karena itulah harus memupuk kesatuan dan cinta kasih antar umat

beragama untuk menciptakan persaudaraan sejati, karena perpecahan itu membuat

semua menderita.

Istilah saudara menunjuk saudara kandung: ”Adapun mereka mempunyai

saudara yang telah terjadi.” (Kejadian 24: 29) atau saudara tiri: ”Bukankah dia sudah

berkata kepadaku:Dia itu adikku? Dan Sara sendiripun sudah berkata pula:” Dia

adalah kakakku…” (Kejadian 20: 5) juga dipakai untuk menyebut anggota keluarga,


(12)

dengan sebutan saudara: “Barang siapa melakukan kehendak Allah, dialah

saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-saudara-Ku perempuan, dialah ibu-saudara-Ku.” (Markus 3: 35), kata

Yesus kepadanya:”Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada

Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku… (Yohanes 20: 17), oleh sebab itu,

Ia dipandang sebagai sulung diantara banyak saudara:”…supaya ia itu menjadi anak

sulung diantara beberapa banyak saudara” (Roma 8: 29)1. Yesus mewujudkan

persaudaraan dengan kasih, sebab dalam kasih persaudaraan sungguh dilahirkan

kembali:”…sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas,

hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi di segenap hatimu.” (Petrus

1: 26).2

Di dalam Alkitab dijelaskan, kasih kepada Allah dan kepada sesama manusia

diajarkan Yesus: Tetapi Aku berkata kepadamu:”Setiap orang yang marah terhadap

saudaranya, harus dihukum: Siapa yang berkata kepada saudaranya kafir! harus

dihadapkan kepada mahkamah agama…” (Matius 5: 23–24)3. Berdamai karena Allah

dengan memanifestasikan amal yang baik bukan hanya saling mengampuni, saling

menghormati, saling menolong, tetapi bagaimana membina suatu persaudaraan yang

kokoh dan selalu menjaga tali persaudaraan yang berlandaskan dengan kasih sayang

hati yang tulus dan ikhlas, berdasarkan Alkitab.

1

Herbert Haag, Kamus Alkitab, (Flores: Nusa Indah, 1980), cet. ke-1, h. 406.

2

FX. Hadisumarta, et al., Hidup dalam Persaudaraan Sejati: Sudut Pandang Para Uskup,

(Jakarta: Bunga Rampai III, 2002) h. 30.

3

AL Budyapranata, Kunjungan Membangun Persaudaraan: Bina Keluarga, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), cet. ke-2, h. 25.


(13)

Dalam Islam persaudaraan Islam (Ukhuwah Islamiyah) merupakan sesuatu yang niscaya. Keluhuran ajaran Nabi Muhammad yang sasaran utamanya adalah

optimalisasi budi pekerti tidak lain merupakan syarat utama dalam pembentukan

Ukhuwah Islamiyah. Praktek-praktek ibadah dalam Islam juga selalu memiliki aspek sosial-kemasyarakatan yang menjadi sendi utama pembentukan komunitas yang

bersaudara.

Istilah yang biasa diartikan sebagai “persaudaraan”, adalah bentuk

kata benda (masdar) dari kata kerja (fi’il) yang memiliki arti menjadi saudara

atau sahabat.4

Dalam al-qur’an, kata (saudara) dalam bentuk tunggal ditemukan

sebanyak 52 kali.5 Kata ini dapat berarti saudara kandung atau saudara seketurunan.

Hal ini ditegaskan dalam surat al-Nisa/4: 23 sebagai berikut:

“Diharamkan pada kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki”.6

Faktor penunjang lahirnya persaudaraan adalah persamaan. Kata ukhuwah

atau persaudaraan mencakup persamaan salah satu unsur seperti suku, agama, profesi,

4

Al-Munjid Fil Luqhoh wal-A’lam, (Beirut, Libanon: Dar el Machreq Sarl Publisher, 1994), cet. ke-43, h. 5.

5 M. Quraish Shihab, Wawasan Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 486

6

Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, (Madinah: Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy-Syarif, 1991), h.120


(14)

dan perasaan.7 Mengartikan ukhuwah dalam arti persamaan mengisyaratkan bahwa semakin banyak persamaan dapat memperkokoh persaudaraan. Pengkajian konsep

persamaan ini pada tahap yang paling dalam akan membawa manusia menyadari bahwa mereka semuanya memiliki persamaan yang sifatnya transenden, yaitu berasal

dari satu Pencipta.

Islam mengingatkan orang akan kejadiannya yang berasal dari satu jiwa, lalu

menyadarkannya pada keberadaan Tuhan yang menciptakan mereka, dan kepada-Nya

semua akan dikembalikan.8 Nabi Adam oleh seluruh agama semit dipercayai sebagai

bapak dari umat manusia. Dari-Nya muncul kesadaran bahwa semua manusia pada

hakikatnya adalah bersaudara, dan diciptakan oleh satu Tuhan yang sama. Namun

demikian, persamaan yang menimbulkan persaudaraan ini menjadi lebih kuat dalam ikatan yang lebih sakral yaitu satu iman.

Orang yang benar-benar beriman merasa ikatan persaudaran seiman lebih

penting dari yang lain. Kita belum layak disebut orang beriman, kecuali bila sudah

mau memberikan sesuatu yang paling disukai pada saudaranya. Sesuai dengan sabda

Rasulullah:

ْ ﻋ ْ ﺎ رﺎﺠ ْوا ْ ﻷ ﻰ ْ آﺪ ا ْﺆ ﺎ لﺎﻗ و ْ ﻋﷲاﻰ ا ﻋﻚ ﺎ ْا أ

7

Ibid., h. 487.

8


(15)

Dari Anas bin Malik r.a., Rasulullah bersabda: ”Belum sempurna iman

seseorang, sebelum dia mencintai bagi saudaranya atau bagi tetangganya apa yang

dicintainya untuk dirinya sendiri.9

Ukhuwah Islamiyah juga telah dihayati sebagai hakikat yang inheren dalam

agama Islam. Ukhuwah Islamiyah mula-mula dihayati sebagai simpul persaudaraan

yang berlaku secara intern umat Islam saja. Ternyata dari sejarah perkembangan

Islam, ukhuwah Islamiyah dihayati secara terbuka terhadap orang lain bahkan bersifat

universal.10

Idealnya ketika kita mempunyai cita-cita yang luhur, semua orang

menginginkan cita-cita tercapai sesuai dengan harapan. Tetapi harapan dan realita

terkadang bertentangan. Melihat fenomena yang terjadi antara hubungan Islam dan

Katolik yang sempat kurang harmonis tidak seharusnya memunculkan pandangan

yang keliru. Pertama harus dibedakan antara agama dan orang beragama. Terkadang

dalam memahami agama, kita terjebak pada subyektifitas pribadi, dan ini disebabkan

antara lain adalah karena setiap umat beragama memiliki beban sejarah

masing-masing dan ketika situasi dan kondisi berubah, beban itu mungkin saja masih ada dan

dalam beberapa kasus tertentu mampu melahirkan sikap-sikap ekstrim dan arogansi

agama yang pada ujungnya melahirkan gerakan-gerakan yang mengarah kepada

eksklusivisme. Ini mungkin disebabkan pula pada landasan ideologis agama, dimana

9

Al-Imam Nawawi, Terjemahan Ma’mur Daud, Terjemahan Hadits Shahih Muslim, (Malaysia: Klang Book Centre, 1990), Jilid 1, h. 28.

10

“Persaudaraan Adalah Hakikat Islam”, Hak Kerukunan, 92-93, Th. XVI,(Mei-Juni, 1995), h. 31.


(16)

seperti diungkap oleh Gilbert Lumoindang, seorang pendeta Protestan, bahwa “setiap

agama memandang kalau ada yang benar, pasti ada yang salah.”11

Cara pandang orang terhadap agama sangat menentukan bagaimana orang

menjalani agama itu sendiri. Jadi, agama selalu ada unsur kefanatikannya dan ini bisa

menjadi awal pertikaian agama.12 Tak kenal, maka tak sayang sebuah ungkapan kuno

yang sering kita dengar, yang dikaji secara mendalam ada banyak kebenaran yang

terkandung di dalamnya. Kalau belum mengenal, maka muncul curiga, takut, malu,

atau bisa benci. Namun kalau kita sudah mengenal orang itu, sikap ini bisa berubah.

Hal ini berlaku dalam hubungan antar umat beragama, yang saling diwarnai

kekakuan, ketegangan, sikap curiga, karena tidak pernah bertemu.

Hal inilah yang dapat memicu emosi keagamaan seseorang seperti peristiwa

pembakaran Gereja-gereja Katolik dan Kristen yang terjadi di Situbondo. Keuskupan

Malang pada bulan Oktober 1996 memunculkan kesadaran baru bagi umat Katolik di

Malang dan Surabaya mengenai perlunya membina kerjasama dan persaudaraan yang

lebih erat. Waktu itu, Gus Dur yang baru pulang dari luar negeri berkunjung ke Jawa

Timur untuk menyatakan penyesalannya atas kejadian tersebut dan minta maaf atas

nama umat Islam.

Lain halnya dengan di Ambon umat Islam merupakan masyarakat yang

minoritas. Pada hari selasa, 19 Januari 1999 pukul 11.00 ketika umat Islam selesai

11

“Dai dan Pendeta Sejuta Umat: Bicara Hubungan Islam dan Kristen”, Narwastu, 1, Th. IX, (16 Maret 2002), h. 22.

12


(17)

melaksanakan shalat Idul Fitri 1419 Hijriyah dengan serentak umat Kristen

menyerang dan membunuh umat Islam.

Hari Selasa tanggal 19 Januari 1999 adalah hari dan tanggal yang bersejarah

dalam gerakan Oikumene di Maluku. Tanggal 18 Januari 1950,J.H. Manuhutu dan A.

Wairissal berhasil menandatangani naskah Proklamasi Republik Maluku Selatan

(RMS) yang diumumkan secara resmi di Ambon pada tanggal 25 April 1950 oleh Dr.

Mr. Chr. Soumokil dan kawan-kawan. Maka menyongsong hari ulang tahun

Proklamasi RMS ke-49, tanggal 25 April 1999 dilakukan pembantaian terhadap

komunitas muslim sebagai aksi balas dendam terhadap sikap TNI atau Polri bersama

muslim di Maluku yang telah berhasil menghancurkan kekuatan atau gerombolan

”separatis” RMS dari bumi nusantara (1950-1962).13

Kerusuhan yang puncaknya jatuh pada hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1419

Hijriyah atau 19 Januari 1999 diawali dengan gerakan-gerakan pendahuluan antara

lain: demonstrasi mahasiswa Unpatti dan menuntut mundurnya Kolonel Hikayat dari

jabatan Danrem 174 Pattimura. Selanjutnya untuk mengukur kekuatan umat Kristen

di Maluku, maka dilakukan uji coba dengan menyerang, membakar dan membantai

umat Islam di Wailatte dan Air Bak dilanjutkan dengan penyerangan, penjarahan,

pembakaran dan pembantaian terhadap umat Islam di Dobo dengan isu mengusir

pendatang.14

13

Ibid., h. 27.

14


(18)

Penyerangan dan pembantaian terhadap umat Islam di Ambon yang dimulai

sejak 19 Januari 1999 diakui secara jujur oleh perancang kerusuhan Kristen melalui

tim pengacara gereja dalam suratnya bernomor khusus 28 tanggal 12 Maret 1999,

sehingga pengakuan murni tersebut merupakan bukti nyata bahwa kerusuhan di

Maluku telah dirancang sebelum Idul Fitri oleh intelektual Kristen dan pemimpin

gereja di Maluku. Penyerangan dan pembantaian serta pembumihangusan terhadap

aset muslim Maluku pada tanggal 19 Januari 1999 bertepatan dengan peringatan hari

raya Idul Fitri 1419 Hijriyah merupakan indikasi belum terjalinnya tali persaudaraan

antara dua pemeluk agama ini secara baik.

Fenomena ini merupakan suatu bukti bahwa sebagian masyarakat Indonesia

belum benar-benar memahami apa makna persaudaraan yang sering diungkapkan

dalam ceramah-ceramah maupun dialog, karena belum menyadari bahwa semua

orang bersaudara.15

B.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah seperti diuraikan di atas, maka pembatasan masalah difokuskan pada hubungan persaudaraan keagamaan dalam Katolik dan Islam.

Adapun perumusan masalah dapat dikemukakan dengan bentuk pertanyaan,

yakni: Apa konsep persaudaran keagamaan dalam Katolik dan Islam, dan bagaimana hubungan keagamaan ideal umat Katolik dan Islam?

C. Metode Pembahasan dan Teknik Penulisan.

15


(19)

Studi ini merupakan studi literatur, karena termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research) artinya penelitian yang dilakukan adalah dengan melalui karya-karya ilmiah, baik yang tertuang dalam buku, majalah, jurnal, makalah, artikel maupun data-data kepustakaan lainnya yang berhubungan dengan pembahasan persaudaraan keagamaan antara Katolik dan Islam.

Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan membedakan antara data primer dan data sekunder. Data primer adalah objek kajian utama yang berupa karya dari Abdullah, Merajut Ukhuwah Islamiyah, Al. Budya Pranata, Kunjungan membangun Persaudaraan, J. Hadiwikarta, Sikap Gereja terhadap Penganut Agama Lain. Sedangkan data sekunder berupa tulisan-tulisan lain tentang Konsili Vatikan II, Mustofa, Bingkai Teologi Kerukunan Umat Beragama, dan lain-lain.

Adapun mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan acuan sebagai berikut: Pedoman penulisan yang dikeluarkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai pedoman utama.

D. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab pertama merupakan pendahuluan yang dimaksudkan untuk menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, dan metode pembahasan dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab kedua konsep persaudaraan dalam Katolik yang dimaksudkan untuk menjelaskan persaudaraan menurut Kitab Suci (Alkitab), pandangan umat Katolik tentang hubungan persaudaraan dan pandangan umat Katolik tentang hubungan persaudaraan terhadap komunitas lain.

Bab ketiga konsep persaudaraan dalam Islam yang dimaksudkan untuk menjelaskan persaudaraan menurut Kitab Suci (Al-Qur’an), pandangan umat Islam tentang hubungan persaudaraan dan pandangan umat Islam tentang hubungan persaudaraan terhadap komunitas lain.

Bab keempat analisis konsep keagamaan persaudaraan Katolik dan Islam yang dimaksudkan untuk menjelaskan kebersamaan sebagai umat beriman, hubungan ideal umat Katolik dan Islam.


(20)

BAB II

KONSEP PERSAUDARAAN DALAM KATOLIK

A. Persaudaraan Menurut Kitab Suci (Alkitab)

Di dalam Kitab Suci djelaskan bagaimana persaudaraan itu dibangun, dan dipahami. Untuk lebih memperjelas kita pelajari dahulu istilah saudara dalam Kitab Suci.

Arti Saudara dalam Alkitab bermacam-macam. Dalam arti sempit saudara

adalah orang sekandung: “Kemudian daripada itu diperanakkannya Habel, adik

Kain…” (Kejadian 4: 2). Di samping hubungan melalui darah daging, istilah saudara

juga digunakan untuk mereka yang berkaitan satu sama lain melalui hubungan

rohani, misalnya persaudaraan berkat iman: “Hai tuan-tuan dan saudara sekalian, beranilah aku menyatakan kepadamu dari hal nenek moyang kita Daud…” (Kisah 2:

29) atau karena kesamaan fungsi: “…sekaliannya orang setiawan adanya akan

membagi-bagi kepada saudaranya dalam segala pangkatnya, baik yang besar dan baik

yang kecil” (2 Tawarikh 31: 15) ; “…suruhlah akan dia bangkit diantara segala

saudaranya dan bawalah akan dia sertamu ke dalam bilik bersekat.” (2 Raja 9: 2),

atau perjanjian bersama:” karena ia itulah akan bulang yang elok pada kepalamu dan kalung rantai yang indah-indah pada lehermu” (Amsal 1: 9); ”maka dikenakannya

kain karung pada pinggangnya dan dibubuhlah tali pada kepalanya…” ( 1 Raja 20:


(21)

perjanjian nenek moyang kita?” (1 Maleakhi 12: 10).16 Di sini kita memahami bahwa

persaudaraan antar manusia tidak hanya tergantung pada hubungan darah saja.

Dalam Perjanjian Lama ditegaskan bahwa umat manusia dijadikan “dari satu

orang saja” (Kisah 17: 26, Lihat Kejadian 1–2). Hubungan sebagai saudara terputus.

Kain membunuh Habel, saudaranya (Kejadian 4: 1–6). Tetapi Allah tetap

menghendaki persaudaraan: “Janganlah engkau membenci saudaramu … melainkan

kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu …” (Imamat 19:17), dan Yusuf

memaafkan saudaranya (Kejadian 45: 1–8). Memang, “Sungguh, alangkah baiknya

dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dan hidup rukun”

(Mazmur 133: 1). Namun ternyata perintah Allah tidak cukup untuk

mengembalikan dan menghadirkan persaudaraan yang dikehendaki-Nya. Berkali-kali

persaudaraan antar manusia tergoncang dan retak bahkan terputus. 17

Dalam Perjanjian Baru disebutkan persaudaraan universal yang

diidam-idamkan dan diperjuangkan oleh para nabi. Persaudaraan sejati yang meliputi semua

orang terwujud dalam Yesus Kristus. Dari Yesus sendiri yang berkata: “Siapa pun

yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga, dialah saudara-Ku laki–laki, dialah

saudara-Ku perempuan, dialah Ibu-Ku” (Matius 12: 50; Lihat Mikha 3: 35; Lukas 8:

21). 18 Maksudnya adalah bila umat ingin membangun persaudaraan sejati maka yang

16

FX. Hadisumarta, et.al., Hidup Dalam Persaudaraan Sejati :Sudut Pandang Para Uskup, (Jakarta: Bunga Rampai III, 2000), h. 27.

17

Ibid., h. 28.

18


(22)

dilakukan adalah mengikuti jalan yang dibenarkan oleh Yesus, karena Dia tidak

pernah membedakan umat-Nya dari jenis kelamin, keturunan, profesi, dan sebagainya

Istilah saudara dalam kata Yunani adelphos tidak hanya berarti “saudara sekandung”. Kata itu dapat berarti kaum sebangsa: ”karena aku sendiri rela terlaknat dijauhkan daripada Kristus, karena saudara-saudaraku, keluargaku yang sedarah dan

sedaging” (Roma 9: 3), atau sesama saudara: “…dan pergilah berdamai dulu dengan saudaramu,lalu kembali untuk mempersembahkan …” (Matius 5 : 23), atau saudara

tiri: ”…Herodes isteri Filipus saudaranya, karena Herodes telah mengambilnya

sebagai isteri” (Markus 6: 17), “Karena Yohanes pernah menegur Herodes, ”tidak

halal engkau mengambil isteri saudaramu!” (Markus 6–18).

Berulangkali dalam Perjanjian Baru disebutkan “Saudara–saudara Yesus”

(Yohanes 2: 12).”Lalu datanglah ibu dan saudara-saudara Yesus…”Lihat, ibu dan

saudara-saudara-Mu ada di luar…”,…siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?

...Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku. (Markus 3: 31–34, Lukas 8: 9–21) ”Maka

mereka itu sekalian bertekun dan sehati berdoa beserta dengan beberapa perempuan

dan Maryam, ibu Yesus, dan dengan saudara-Nya.”(Kisah1: 14), ”Tetapi rasul-rasul

yang lain tidak kujumpa kecuali Yakub saudara Tuhan itu.”(Galatia 1: 19), “…sebab

itu aku pikir perlu meminta saudara-saudara itu pergi kepada kamu dahulu…”

(Korintus 9: 5). Empat saudara Yesus disebutkan namanya: Yakobus, Yoses atau

Yosef, Yudas dan Simon: ”bukankah orang ini tukang kayu, anak Maryam, dan


(23)

ibu-Nya bernama Maryam, dan saudara-saudaranya Yakub dan Yusuf, dan Simon dan

Yudas?” Matius 13: 55).19

Integritas yang terbuka merupakan kata kunci yang dapat menjelaskan

pandangan dan arah Gereja Katolik dalam hubungan antar umat beriman dan umat

beragama. Hubungan antar umat beriman, sebagai masalah aktual di zaman ini

belum diolah pada zaman penulisan Kitab Suci Perjanjian Baru yang memberi

kesaksian mengenai Yesus Kristus, apalagi di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama.20

Kitab Suci Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama memberi inspirasi untuk

mengartikan dan menentukan arah bagaimana hubungan antar umat beriman dan

beragama sekarang ini dikembangkan. Persaudaraan memang universal,

persaudaraan harus merupakan suatu persekutuan bukan hanya dengan Kristus, tetapi

juga sekaligus persekutuan satu sama lain sebagai saudara dalam Kristus.

Hubungan antar mereka harus dijiwai dengan perintah Yesus seperti dalam

Matius 5: 21–26. Ada kewajiban saling menegur, terutama kasih kepada orang-orang

yang paling kecil, sebab dalam diri mereka itu mereka menjumpai Kristus sendiri.21

Di dalam Kitab Suci dikatakan:” Apabila saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia di

bawah empat mata, jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatkannya

kembali” (Matius18: 15) kemudian di dalam Matius 25: 40: “Dan raja itu akan

menjawab mereka:” Aku berkata kepadamu sesungguhnya segala sesuatu yang kamu

19

Ibid., h. 55.

20

Mustoha, Bingkai Teologi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta: Depag, 1997), h. 97.

21


(24)

lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah

melakukannya untuk Aku”.22 Hal ini menunjukkan bahwa kata saudara juga

mencakup pengertian orang seiman atau seagama.

B. Pandangan Umat Katolik tentang Hubungan Persaudaraan

Hubungan persaudaraan dalam pandangan umat Katolik termanifestasikan

dalam konsep penghargaan terhadap hidup manusia. Artikulasi dari penjiwaan yang

matang akan konsep ini merupakan tuntutan umat Katolik sepanjang masa khususnya

pada zaman yang cenderung memandang hidup manusia hanya bersifat

instrumentalistis, yaitu pandangan terhadap hidup hanya sebagai alat meraih

kesuksesan materi. Kecenderungan yang seperti ini selanjutnya akan menjadikan

manusia kurang memaknai arti persaudaraan. Dalam konteks inilah pandangan umat

Katolik tentang “saudara kasih” menemukan signifikansinya.

Penghargaan terhadap hidup manusia adalah wujud nyata dalam

meningkatkan persaudaraan sejati. Manusia itu hendaknya dihargai sebagai pribadi,

makhluk ciptaan yang mulia dan berharga di mata Allah. Penghargaan terhadap hidup

ini berdasarkan kasih sayang Sang Bapa, karena itu orang Kristiani terpanggil untuk

memperbaharui, menghadirkan dan melestarikan kasih sayang Sang Pencipta dalam

diri sesamanya. Dengan demikian setiap orang, baik Katolik maupun bukan Katolik

22


(25)

mengakui dan menyadari dirinya serta sesamanya sebagai hamba Allah, sehingga

berani menyapa dan menempatkan sesamanya itu dalam kedudukan “saudara kasih".

Sekarang ini banyak terjadi pelecehan terhadap hidup manusia seperti aborsi,

kriminalitas, penindasan, pemerasan, penolakan terhadap norma-norma moral serta

bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia merupakan gejala yang

meresahkan semua orang. Manusia kurang menghargai nilai-nilai persahabatan,

persaudaraan dan kerjasama serta nilai-nilai rohani baik dalam keluarga maupun

dalam masyarakat luas. Pelecehan terhadap hidup terjadi karena orang melihat hidup

dari segi kegunaannya bagi diri sendiri. Hidup tidak boleh dilihat dari segi

kegunaannya karena begitu banyak keindahan dan kebaikan dalam hidup manusia

yang perlu diwujudkan untuk membangun hidup dalam persaudaraan sejati di

masyarakat.23

Ketertutupan hidup, muncul dari sikap saling kurang percaya, rasa curiga

fanatisme sempit dan kesombongan. Ketertutupan hidup tidak hanya akan merusak

persatuan dan persaudaraan sejati, tetapi bertentangan dengan nilai Injil serta cinta

kasih. Dalam ketertutupan hidup orang tidak akan mampu melihat yang baik dalam

diri orang lain, karena ketertutupan hidup orang hanya melihat dirinya sendiri sebagai

sumber kebaikan dan nilai-nilai, menganggap diri paling hebat dan mengabaikan

23

J. Hadiwikarta, Sikap Gereja terhadap para Pengikut Agama-agama Lain, (Jakarta: Obor, 1985), cet. ke-1, h. 93.


(26)

orang lain. Ketertutupan hidup akan menghasilkan kepalsuan dan pelecehan disegala

bidang, acuh tidak acuh dan sikap tidak perduli.24

Dalam Alkitab dijelaskan bahwa kasih kepada sesama bukan hanya

dibuktikan dalam saling mengampuni, melainkan juga dengan saling menolong,

sebagai saluran belas kasih Allah. Karena inti persaudaraan sejati adalah kasih, maka

kasih kepada Allah dan sesama harus murni.25 Kasih itu tanda pengenal jelas dari

para murid Kristus, karena gereja yang didirikan oleh Kristus bukan suatu lembaga

atau organisasi, melainkan suatu paguyuban atau persaudaraan yang dasarnya adalah

kasih Kristus. Kasih seperti yang diajarkan oleh Kristus bukan pertama-tama harus

nampak dalam hal yang besar, namun cukup dengan perhatian kecil, yang

menunjukkan kerelaan dan keikhlasan seseorang untuk membantu sesamanya.26

Dinamika hubungan antar manusia hendaknya mendorong orang Kristen untuk

mendengar dan mencoba memahami yang dikomunikasikan oleh orang-orang

beriman yang lain, agar supaya dapat mengambil manfaat dari karunia–karunia yang

telah diberikan Tuhan secara murah.27

Dinyatakan oleh F.X. Hadisumarta bahwa:

“…Kesederhanaan hidup umat hendaknya diarahkan untuk meningkatkan mutu pelaksanaan cinta kasih dalam bentuk saling mendukung, saling memperhatikan, saling membantu antar sesama. Orang yang memiliki cukup jaminan sosial menggunakan apa yang dimilikinya sebagai sarana pelayanan terhadap sesama. Rela berkorban, bukan berarti memberikan sesuatu karena

24

Ibid., h. 94.

25

Alkitab, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1996), cet. ke-3, h. 34.

26

Al. Budyapranata, Kunjungan Membangun Persaudaraan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), cet. ke-2, h. 25

27


(27)

sudah berlebihan melainkan apa yang ada, bahkan yang paling disenangi harus mampu diberikan kepada Tuhan dan sesama dalam bentuk harta, waktu, atau kegiatan lainnya. Keterbukaan hidup dapat diwujudkan melalui sikap rela melayani dan rela berbagi kasih. Bumi yang subur ini dianugerahkan Allah untuk semua manusia untuk semua manusia, bukan sekelompok orang tertentu saja. 28

Lebih lanjut J.Hadiwikarta menegaskan bahwa “Barang siapa yang

mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi,

menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu kasih Allah tidak ada di dalam

dirinya.29 Mewujudkan kesejahteraan bersama harus dalam kerangka persaudaraan

dan bukan demi keuntungan pribadi sendiri. Sejak semula Allah memanggil manusia

dalam kebersamaan untuk mengalami penebusan sebagai saudara Yesus. Sikap rela,

mendorong sesama yang kekurangan yang tertindas yang disisihkan dan diperlakukan

tidak adil dapat menciptakan dunia baru yang lebih damai penuh semangat hidup

dalam persaudaraan sejati. Dalam diri seseorang yang suka melayani dan rela berbagi

kasih akan tumbuh nilai-nilai persaudaraan karena yakin bahwa sesama itu adalah

citra Allah.

Kemandirian bukan hanya persoalan yang berhubungan dengan tersedianya

harta benda, melainkan kenyataan semakin sempurnanya hidup rohani umat beriman.

Kesempurnaan hidup rohani umat beriman berarti dapat meniru kesucian dan cinta

kasih Allah sendiri, sebab kecukupan materi belum berarti apa-apa dalam

28

FX. Hadisumarta, et al., op. cit., h. 90.

29


(28)

kemandirian, jika umat sendiri tidak memiliki kerohanian dan kesucian sesempurna

mungkin dan jati dirinya belum menjadi Kristiani yaitu saudara bagi sesama.30

C. Pandangan Umat Katolik Tentang Hubungan Persaudaraan Pada Komunitas Lain

Terhadap komunitas lain, umat Katolik juga membentangkan konsep

persaudaraan kasihnya. Hal demikian dapat dilihat dari pandangan al-Kitab mengenai

hubungan dua arah (vertikal: dengan Tuhan, dan horisontal: dengan sesama

manusia). Pihak gereja juga melalui Konsilinya menentang pola kehidupan yang

tertutup. Hal tersebut meniscayakan umat Katolik untuk memegang sikap

menghormati agama lain.

Persaudaraan meliputi keharmonisan hubungan agama dan hidup sebagai

orang beriman. Hal ini mengandung pengertian untuk bersikap baik dengan

komunitas lain. Yesus menganjurkan “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu

sendiri, berbuat baiklah kepada orang yang membenci kamu” (Matius 22: 37-38).

Pada saat akhir hidup-Nya, yaitu di kayu salib Yesus juga berdoa untuk

musuh-musuh-Nya (Lukas 23: 34). Hidup beragama pada hakikatnya menyangkut hubungan

manusia dengan Allah, tetapi sekaligus tidak terlepas dari hubungannya dalam sikap

dan perbuatannya terhadap sesama manusia.31

Perubahan-perubahan yang cepat di dalam dunia dan pemikiran yang lebih

mendalam mengenai misteri gereja sebagai “Sakramen keselamatan yang universal”

30

Ibid., h. 92.

31


(29)

(Lumen Gentium;48) telah mendorong sikap ini terhadap agama-agama bukan

Katolik32 Perkembangan umat manusia yang hari demi hari bertambah erat

dipersatukan dan hubungan antara berbagai bangsa ditingkatkan, membuat Gereja

Katolik meninjau dengan lebih cermat, apa sikapnya terhadap agama-agama bukan

Kristen? Dalam tugasnya memupuk kesatuan dan cinta kasih antara manusia, bahkan

antara bangsa-bangsa, gereja memandang banyak hal yang perlu dikembangkan

terutama persamaan-persamaan yang ada pada manusia dan yang membawa kepada

kebersamaan hidup. Di antara hal-hal yang mendasari pemahaman tersebut adalah

pandangan bahwa semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal,

sebab Allah menempatkan seluruh umat manusia di seluruh muka bumi. Semua

mempunyai juga tujuan akhir yang satu, Allah. Penyelenggaran-Nya, bukti

kebaikan-Nya, dan rencana keselamatan-Nya mencakup semua orang.

Dengan argumentasi yang humanis, Riberu seorang tokoh Katolik berusaha mengembangkan pandangan Katolik tentang persaudaraan terhadap komunitas lain. Untuk sampai pada pernyataan bahwa “Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan yang suci dalam agama-agama lain”, Riberu mengulas asal muasal usaha manusia menemukan misteri kehidupannya.

“…Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang tersembunyi sekitar keadaan hidup. Manusia, sama seperti dahulu, sekarang pun rahasia tersebut menggelisahkan hati manusia secara mendalam, apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu kebaikan, apa itu dosa, apa asal mula dan tujuan derita, mana kiranya jalan untuk mencapai

kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa itu pengadilan dan ganjaran sesudah maut? Akhirnya misteri terakhir yang tidak terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita: dari-Nya manusia berasal dan kepada-Nya manusia menuju.

…Sejak zaman purba sampai ke zaman ini dalam berbagai bahasa terdapat sejenis tanggapan tentang kekuasaan gaib itu, yang hadir dalam perjalanan dan kejadian hidup manusia, kadang-kadang terdapat pengakuan

32


(30)

pada Yang Maha Tinggi atau Bapa. Tanggapan dan pengakuan ini meresap ke dalam hidup mereka perasaan keagamaan yang mendalam. Agama-agama berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mendalam. Agama-agama yang berhubungan dengan kemajuan kebudayaan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan pengertian yang lebih rumit dan dengan bahasa yang lebih diolah. Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan yang suci dalam agama-agama ini. Gereja memandang dengan cara yang jujur cara hidup, peraturan dan ajaran yang dalam banyak hal berbeda dengan apa yang dipahami dan yang dianjurkannya, tidak jarang memantulkan cahaya

kebenaran, yang menerangkan semua manusia…”33

Para teolog Katolik Roma juga mempunyai perhatian yang cukup besar

terhadap agama-agama. Sejak Konsili Vatikan II (1962-1965), Gereja Katolik Roma

mengakui adanya unsur-unsur kebenaran dalam agama-agama, dan mereka berusaha

giat untuk mendalami agama-agama secara teologis.34 Gereja Katolik tidak menolak

apapun yang benar dan suci dalam agama manapun, bahkan mengupayakan dialog

dan kerjasama dengan penganut agama-agama lain dan memajukan hal-hal dibidang

rohani, serta moral.

Mengingat bahwa dalam perbedaan zaman telah timbul pertikaian dan

permusuhan yang tidak sedikit antara orang Katolik dan Islam, maka Konsili Suci

mengajak semua pihak untuk melupakan yang sudah-sudah, dan mengusahakan

dengan jujur dan saling pengertian dan melindungi lagi memajukan bersama-sama

33

J. Riberu, Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Obor, 1989), cet. ke-2, h. 287.

Ibid., h. 287-8.

34

A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), cet. ke-1, h. 78.


(31)

keadilan sosial, nilai-nilai moral serta perdamaian dan kebebasan untuk semua

orang.35

Sejalan dengan hal tersebut juga merujuk konsep universalitas di atas,

ketegangan-ketegangan yang sempat terjadi antara umat Kristiani dengan komunitas

lain layaknya disikapi dengan mengedepankan semangat intropeksi diri dan

mema’afkan. Sering kali hubungan yang retak menjadi semakin hancur, karena orang

menolak untuk memaafkan orang lain, kemarahan, kebencian, kepahitan, semakin

menebal yang nampaknya seperti tidak dapat ditebus lagi.36

Pemahaman yang demikian melahirkan sikap antisipatif untuk

mengembangkan pola kehidupan yang terbuka agar saling mengenal guna

mengeliminir kemungkinan terjadinya kesalahpahaman yang sering berujung kepada

konflik antar sesama. Dalam konteks ini sangat tepat ketika seorang muslim mencoba

menggali semangat kerukunan umat beragama. Mustoha menyebutkan,

“Semenjak Konsili Vatikan II Gereja Katolik dengan jelas menolak cara hidup menggereja yang tertutup. Gereja memahami jati dirinya sebagai umat yang terbuka. Gereja Katolik mau terbuka baik terhadap saudara-saudaranya sesama di dalam Tuhan Yesus Kristus, maupun terhadap mereka yang tidak beragama Katolik. Memang benar di sepanjang zaman cukup sering timbul pertikaian dan permusuhan umat Kristen dan umat Islam. Konsili Suci mendorong mereka semua, supaya melupakan yang sudah-sudah dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, supaya bersama-sama

membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan (Nostra Aetate 2; 3). 37

35

Riberu, loc.cit.

36

William H. Duke, Memuaskan Jiwa yang Lapar, (Bandung: Yayasan Baptis Indonesia, 1995), cet.ke-1, h. 15.

37


(32)

Pesan Konsili suci tersebut ditangkap dengan arif oleh umat Katolik. J.

Hadiwikarta menegaskan:

“Gereja merasa terpanggil untuk berdialog terutama karena iman. Di dalam misteri Allah Tri Tunggal, perwahyuan kristiani memungkinkan kita untuk melihat sekilas di dalam Tuhan suatu kehidupan yang penuh dengan persatuan dan hubungan. Di dalam Allah Bapa kita melihat suatu cinta yang

membentang luas, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Alam semesta dan sejarah dipenuhi oleh anugerah-anugerah-Nya.”38

Lebih jauh lagi Hadiwikarta39 mengisyaratkan agar umat Katolik

menghormati ritual-ritual keagamaan yang dipraktekkan oleh umat Islam. Ia mencoba

memahami dengan arif ibadah shalat yang memiliki esensi pengulangan janji dan

pemasrahan diri terhadap kehendak Allah, ibadah puasa ramadhan dan perayaan Idul

Fitri sebagai pembaharuan pribadi dan pemantapan persaudaraan dan silaturahmi,

serta zakat sebagai tanda perhatian terhadap sesamanya. Hal ini telah disinyalir di atas

oleh Riberu bahwa ajaran lain tidak jarang memantulkan cahaya kebenaran. Di

tempat lain Riberu menambahkan, “…meskipun tidak mengakui Yesus sebagai

Allah, Islam menghormati-Nya sebagai nabi. …oleh sebab itu mereka menghargai

kehidupan moral dan menyembah Allah terutama dalam shalat, puasa dan sedekah.”40

Hal ini juga ditekankan oleh Mustoha, bahwa “…gereja juga menghargai

umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh

38

J. Hadiwikarta, op. cit., h. 23.

39

Ibid., h. 20

40


(33)

belas kasihan dan Maha Kuasa, pencipta langit dan bumi, yang telah berfirman

kepada umat manusia.”41 Secara khusus, Katolik memandang Islam sebagai sepupu.42

Semangat persaudaraan ini juga ditekankan oleh Paulus ketika menyinggung

nilai kasih yang disebarkan oleh Yesus. Dalam Efesus 5: 1-2 Paulus menulis, “Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang terkasih dan hiduplah di

dalam kasih, sebagaimana Kristus, Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah

menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi

Allah”. Pesan ini dalam perspektif Katolik merupakan manifestasi dari sifat Allah

dengan mengampuni dan mengasihi orang lain. Mengapa harus mengampuni dan

mengasihi orang lain? Karena Allah telah menyatakan kasih-Nya di dalam Kristus

yang telah mati di atas kayu salib. Riberu juga menyatakan,

“Kita tidak dapat berseru kepada Allah sebagai Bapa, apabila kita menolak memperlakukan beberapa orang, yang diciptakan menurut citra Allah, sebagai saudara. Hubungan manusia dengan Allah sebagai Bapa dan hubungan manusia dengan manusia sebagai saudara terjalin sedemikian rupa, sehingga Alkitab dalam firmannya: “Yang tidak mengasihi, tidak mengenal Allah” (1 Yohanes 4:8).43

Cara pandang seperti ini dapat membangun iklim yang kondusif untuk menyikapi hubungan umat Katolik dengan komunitas lain khususnya Islam yang terkadang umat dari kedua agama ini terjebak dalam kesalahpahaman. Bahasan di atas juga memberikan gambaran bahwa umat Katolik memiliki pandangan yang kooperatif dalam pemaknaan konsep persaudaraan kasih mereka. Umat lain pun menjadi sasaran dari kasih yang sudah dipelopori oleh Yesus. Di sisi lain, pertentangan antara umat Katolik dan komunitas lain juga mendapat respon yang mengedepankan semangat “memaafkan” dan membangun kembali “tali persaudaraan”.

41

Mustoha, op. cit., h. 98 & 101.

42

“Dai dan Pendeta sejuta umat: Bicara Hubungan Muslim Kristen”, Narwastu 1, Th. IX, (16 Maret 2002), h. 27.

43


(34)

BAB III

KONSEP PERSAUDARAAN DALAM ISLAM

A. Persaudaraan Menurut Kitab Suci (Al-Qur’an)

Al-Quran memberikan perhatian besar terhadap konsep persaudaraan. Dengan

merujuk pada kata (bahasa Arab yang berarti saudara) dan derivasinya,

akan dibahas pandangan al-qur’an tentang persaudaraan yang memiliki beberapa

pengertian. Al-Qur’an menyatakan bahwa hubungan persaudaraan antara manusia

dapat terjadi tidak hanya disebabkan oleh hubungan keturunan. Lebih luas dari itu,

hubungan keimanan juga dapat melahirkan tali persaudaraan, bahkan Islam sangat

serius memerintahkan orang-orang mukmin untuk memelihara persaudaraan mereka.

yang artinya persaudaraan pada mulanya berarti “persamaan dan

keserasian” dalam banyak hal. Persamaan dalam keturunan mengakibatkan

persaudaraan, dan persamaan dalam sifat-sifat juga mengakibatkan persaudaraan.

Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata digunakan dalam

arti teman akrab atau sahabat. Dalam al-qur’an, kata dalam bentuk tunggal

ditemukan sebanyak 52 kali, sebagian dalam arti saudara kandung seperti pada

ayat-ayat yang berbicara tentang kewarisan dan sebagian lainnya dalam arti saudara


(35)

”Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka, Hud”.44

Bentuk jamak dari kata di dalam al-quran ada dua macam. Pertama,

……. yang biasanya digunakan untuk persaudaraan dalam arti tidak sekandung.

Kata ini ditemukan sebanyak 22 kali, sebagian digabung dengan kata al-Din, seperti

dalam surah al-Taubah ayat 9: 11:

“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka

itu) adalah saudara-saudara kamu seagama”45

Dan sebagian lainnya tanpa kata al-Din seperti dalam surah al-Baqarah ayat 220.

Kedua, adalah yang terdapat di dalam al-qur’an sebanyak 7 kali.46

Keseluruhannya digunakan untuk makna persaudaraan kecuali satu ayat surah

al-Hujurat/49: 10.

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”47

44

Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, (Madinah: Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy-Syarif, 1991), h.232

45

Ibid., h.279

46


(36)

Pentingnya persaudaraan seiman dalam Islam sangat jelas terlihat dalam ayat

ini. Menurut al-Hujurat ayat 10 ini, bahwa orang-orang mukmin adalah bersaudara,

tidak perlu ada permusuhan dan perpecahan di dalamnya karena mempunyai

persamaan di dalam iman. Sehingga potensi-potensi yang mengarah kepada

perselisihan harus dihindari, dan jika terjadi perselisihan maka mukmin lainnya wajib

mendamaikannya.

Ayat tersebut menjadikan islah antar sesama saudara sebagai konsekuensi dari persamaan iman.48 Ketika terjadi perselisihan di antara mereka sesungguhnya di

dalam keduanya ada kebenaran, tetapi kebenaran itu telah robek terbelah dua. Maka

harus ada golongan ketiga yang harus “mendamaikan diantara keduanya”. Lalu

ditunjukkan juga bagaimana usaha perdamaian agar berhasil, bertakwalah kepada

Allah. Maksud perkataan tersebut di dalam segala usaha mendamaikan itu tidak ada

maksud lain melainkan karena mengharap ridha Allah, karena kasih sayang yang

bersemi diantara mukmin dengan mukmin yang berselisih serta ada mukmin yang

mendamaikannya diantara orang yang berselisih dalam akhir ayat 10 ini dikatakan

bahwa akan mendapatkan rahmat.49

Demikian penting tali persaudaraan seiman dalam Islam sehingga al-quran

memandang perlu untuk membahas mengenai perselisihan yang dapat terjadi antara

47

Departemen Agama RI, op.cit., h. 846

48

Quraish Shibab,, op. cit ,h 360.

49


(37)

sesama mukmin. Dalamnya tali persaudaraan seiman dalam Islam ini juga terlihat

dari perhatian Nabi untuk menyelamatkan saudara seiman meskipun dia zalim.

Dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:

ﺎً ْﻮ ْ

ْوا

ﺎً ﺎ

كﺎ ا

ْﺮ ْا

“Belalah saudaramu, baik ia berlaku aniaya maupun teraniaya”

Dalam riwayat yang lain nabi ditanya bagaimana cara membantu orang yang

menganiaya. Beliau menjawab:

ذنﺎ ْ ا مﺰْﺠ ﺮْ ﻚ

)

ا ﻋيﺎ ا اور

(

“Engkau halangi dia agar tidak berbuat aniaya, yang demikian itulah pembelaan baginya” (HR Bukhori melalui Anas bin Malik).50

Faktor penunjang lahirnya persaudaraan dalam arti luas atau sempit adalah

persamaan. Semakin banyak persamaan akan semakin kokoh pula persaudaraan.

Persamaan rasa dan cita-cita merupakan faktor dominan yang mendahului lahirnya

persaudaraan hakiki, dan pada akhirnya menjadikan seseorang merasakan derita

saudaranya, mengulurkan tangan sebelum diminta, serta memperlakukan saudaranya

bukan atas dasar take and give tetapi seperti terungkap dalam qur’an, surat al-Hasyr 59: 9:

50


(38)

“Mengutamakan orang lain atas diri mereka, walau diri mereka sendiri kekurangan”51 .

Demikianlah al-qur’an memandang bagaimana pokoknya persaudaraan seiman.

Diawali dengan rasa ketuhanan yang sama dan dikokohkan dengan cita-cita hidup

yang sejalan, al-qur’an menjadikan persaudaraan seiman sebagai tali yang harus

selalu dipelihara. Pemupukan semangat persaudaraan ini pada perkembangannya

akan dapat menumbuhkan jiwa seorang mukmin yang sejati di mana penghormatan

terhadap saudara mukmin menjadi sesuatu yang niscaya.

B. Pandangan Umat Islam tentang Hubungan Persaudaraan

Sebagai lanjutan dari bahasan sebelumnya, bagian ini akan melihat lebih

dalam bagaimana seharusnya persaudaraan dalam Islam dipelihara. Dengan

menjadikan keluarga sebagai pondasi masyarakat muslim, Islam memandang praktek

silaturrahmi sebagai energi yang mampu menjaga keutuhan persaudaraan. Lebih dalam dari itu, faktor “hati” seorang muslim juga sangat berperan. Ketika masyarakat

muslim saling bertemu, adalah keniscayaan untuk menjaga niat dan hati mereka.

Ketika dua unsur itu baik maka ukhuwah yang dibangun akan memberikan manfaat

yang sangat besar bagi keberlangsungan hidup dan peradaban masyarakat muslim.

Quraish Shibab menyebutkan bahwa di antara faktor-faktor penunjang yang

akan melahirkan persaudaraan selain bahwa manusia adalah mahluk sosial adalah

51


(39)

perasaan tenang dan nyaman pada saat berada di antara sesamanya.52 Ketenangan dan

kenyamanan mustahil tercipta jika antara sesama tidak terjalin hubungan yang

harmonis. Begitu mendasarnya praktek silaturrahmi dalam Islam, maka dapat

dipahami ketika Nabi Muhammad menjadikan silaturahmi sebagai salah satu syarat sempurnanya iman seseorang. Sabda Nabi:

Dari Abi Hurayrah r.a. bahwa Rosulullah saw bersabda: “…..Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia

menghubungkan tali persahabatan….” (Riwayat Bukhori-Muslim)53

Penekanan Islam pada silaturahmi adalah untuk memelihara keutuhan masyarakat dalam berbagai bidang baik materil maupun spiritual. Islam mengokohkan

masyarakat muslim dengan cara yang sangat sempurna, yaitu dengan memperbaiki partikel-partikel masyarakat terlebih dahulu.54 Keharmonisan hubungan antara anggota masyarakat harus dipupuk dari elemen yang paling kecil. Oleh karenanya Islam memerintahkan pemeluknya untuk membiasakan silaturahmi dan mencintai keluarga dan kerabat. Upaya ini harus dimulai dari pengokohan pondasi

masyarakat, yaitu keluarga. Karena dengan kokohnya hubungan antara anggota keluarga maka keutuhan masyarakat akan terpelihara. Tetapi silaturahmi tidak semudah kata tersebut diucapkan.

Ada prasyarat fundamental yang menjadikan silaturahmi mempunyai nilai positif demi kokohnya tali persaudaraan. Imam Asy-Syahid, seperti yang dikutip oleh Al-Khotib dan Hamid,55 menjelaskan tingkatan-tingkatan ukhuwah:

“Tingkatan ukhuwah yang paling [dasar] adalah salamatush shadr yang artinya bersihnya hati dari buruk sangka, dan yang tertinggi adalah Itsar yang

52

Ibid., h. 491.

53

Nawawiy, Riyadlus Shalihin, Jilid II, Terjemah: Drs. Muslich Shabir, (Semarang: Toha Putra, 1981), h.285

54

Nasir Makarim Syirazi, Tafsir al-Amsal, (Jakarta: Gerbang Ilmu Press, 1992), Jilid ke-1, h. 123.

55

Muhammad Abdullah al Khotib dan Muhammad Abdul Halim Hamid, Konsep Pemikiran Gerakan Ikhwan, (Bandung: Asy Syaamil Press, 2001), h. 196.


(40)

artinya mengutamakan orang lain. Maka berusahalah untuk membersihkan hati dari berbagai prasangka buruk dan perasaan tidak enak terhadap saudara, dan berjihadlah terhadap jiwa untuk mencapai tingkatan itsar.”

Silaturahmi yang dimulai antara anggota keluarga harus didasari dengan kebersihan hati. Ketika hal tersebut tidak ada, maka silaturahmi (meski secara bahasa mengandung pengertian yang positif) memiliki potensi merusak persaudaraan.

Unsur-unsur yang menyebabkan terputusnya dan robohnya ukhuwah, digambarkan tidak ubahnya seperti rayap yang merusak batang kayu. Orang harus mengetahui “serangga” penghancur tersebut dan mengetahui bagaimana daya rusaknya sehingga dapat dijauhi. “Serangga” yang dapat merobohkan bangunan

persaudaraan itu adalah hati yang tidak bersih yang memunculkan virus-virus

perusak seperti dengki, benci, ghibah, adu domba dan penyakit hati lainnya. Nabi mendorong orang mukmin untuk tidak saling membenci, jangan saling mengiri, jangan pula bertengkar. Nabi melukiskan keimanan mereka itu seperti hubungan cinta yang begitu kuat, sehingga orang tidak bisa membedakan lagi antara dirinya dengan saudara seiman. Nabi juga melarang sebuah perselisihan sampai tiga malam berturut-turut. Yang berselisih sudah harus mampu menguasai marahnya selama itu dan mereka sesudahnya kembali bersahabat.56

Seperti yang dikutip oleh Abdullah, Ibnu Qayyim memperingatkan akan efek negatif dari pertemuan-pertemuan kurang bermanfaat:

“Berkumpul dengan saudara-saudara itu ada dua macam: Pertama, berkumpul untuk menghabiskan waktu. Perkumpulan semacam ini mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya karena hal ini dapat merusak hati dan menyia-nyiakan waktu. Kedua, berkumpul dengan sesama atas dasar tolong menolong agar dapat meraih kesuksesan dan saling menasehati supaya menjalankan kebenaran dan bersabar. Hal ini adalah ghanimah yang terbesar, tetapi di dalamnya ada tiga penyakit: yang pertama, satu sama lain saling menunjukkan kebaikannya. Kedua, berbicara dan berbaur lebih dari kebutuhan. Ketiga, perkumpulan tersebut dapat menjadi sekedar syahwat dan kebiasaan yang dapat memutuskan tujuan semula”.57

Jika perkumpulan macam pertama menjadi kebiasaan masyarakat muslim, maka hal itu dapat merusak ikatan persaudaraan. Maka dari itu, perkumpulan sesama muslim harus berdasarkan semangat tolong menolong untuk meraih kesuksesan

56

Sayyid Quthub, Jalan Menuju Kedamaian, (Jakarta: Cahaya Press, 1979), h. 117.

57


(41)

dan saling nasehat menasehati untuk mengerjakan kebenaran dan kesabaran.58 Apabila bertemu dengan sesama muslim harus menampakkan wajah yang berseri-seri dan memberi senyuman karena yang demikian dapat menguatkan ukhuwah dan menopangnya.59 Semangat yang baik ini harus didasari keinginan

mendapatkan ridho Allah. Upaya membiasakan diri memiliki hal itu memang tidak mudah tetapi harus diperjuangkan melalui ketaatan diri menjadi hamba Allah. Sesungguhnya penyebab perpecahan adalah meninggalkan perintah Allah dan sikap aniaya, dan penyebab persatuan dan keterikatan adalah kesatuan agama dan mengamalkannya secara keseluruhan, yaitu beribadah kepada Allah.60

Betapa besar manfaatnya menjalin hubungan antara mukmin karena mengharap ridha Allah SWT. Hubungan antara mukmin menjadi kering dari manisnya nilai iman manakala tidak diikuti dengan saling membantu baik dari segi materi, pemikiran, dan bahkan doa. Meringankan penderitaan dan kesempitan sesama mukmin menjadi ukuran dalam Islam tentang pertolongan Allah kepada mukmin yang menolong saudaranya. Oleh karenanya, sifat kikir sangat dilarang dalam Islam. Nabi Muhammad pernah bersabda:

Dari Jabir r.a. bahwa Rosulullah saw bersabda: ….. dan takutlah kamu sekalian akan kikir karena sesungguhnya kekikiran itu telah membinasakan

orang-orang yang sebelum kamu… (Riwayat Muslim)61

Ketika tali persaudaraan semakin kuat, banyak sekali manfaat yang akan didapatkan oleh anggota masyarakat. Energi cinta akan menyebar dalam hati setiap mukmin yang akan menumbuhkan antara sesama semangat saling tolong menolong, saling memuliakan kehormatan, saling memelihara harga diri dan harta, saling menasehati untuk mentaati kebenaran dan kesabaran, serta menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan meninggalkan kedengkian pada saudara, kebencian, serta mencari-cari kesalahan.62

Islam memberikan gambaran yang sangat sempurna mengenai bagaimana seharusnya persaudaraan sesama mukmin, Nabi berkata:

58

Ibid., h. 49.

59

Ibid., h. 37.

60

Ibid.,h. 67.

61

Nawawiy, op.cit., h.470

62


(42)

Dari Nu’man bin Basyir berkata: Rosulullah saw bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin saling bersaudara, saling mengasihi ibarat satu tubuh. Jika ada anggota badannya ada yang sakit maka seluruh badan akan merasakannya, membuatnya tidak bisa tidur atau demam” (Riwayat Muslim)63

Ketika merasa bahwa seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka seorang muslim tidak akan menzaliminya, tidak membiarkannya dan tidak mencelakannya. Oleh karenanya, seorang muslim tidak dianggap beriman

sehingga mencintai saudaranya sebagaimana muslim itu mencintai dirinya sendiri; seorang muslim tidak dianggap beriman, apabila tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan, padahal orang itu tahu keadaannya. Pada diri seorang muslim akan tumbuh kesadaran bahwa dengan ukhuwah tersebut orang yang beriman seperti satu tubuh dalam derita dan harapan. Setiap muslim ketika merasakan dalam jiwanya dan dalam nuraninya yang paling dalam, segala makna ukhuwah yang murni tersebut, maka semua itu akan mendorongnya untuk

merealisasikan saling tolong menolong, solidaritas, saling kasih sayang, dan lebih mementingkan saudaranya terutama terhadap semua orang yang diikat oleh persaudaraan Islam dan seluruh orang yang dihimpun oleh ikatan iman. Terutama jika mereka membutuhkan pihak yang dapat membebaskan kesedihan mereka, membebaskan penderitaan mereka, meringankan musibah yang menimpa mereka, dan menjamin mereka pada saat mereka lemah dan pada saat membutuhkan.64

Ukhuwah adalah kekuatan iman yang menumbuhkan perasaan simpati, hati yang tulus, kecintaan, kasih sayang, penghargaan, penghormatan, dan saling percaya antara orang-orang yang terikat dengan akidah tauhid dan Islam yang abadi. Perasaan itu dapat menumbuhkan sikap saling tolong menolong, saling

mengutamakan orang lain, saling mengasihi, saling memaafkan, saling toleransi. Semua itu merupakan konsekuensi logis dari keimanan, sebab tiada ukhuwah tanpa keimanan dan tiada keimanan yang sempurna tanpa ukhuwah, sebagaimana tiada persahabatan sejati tanpa ketaqwaan dan tiada taqwa tanpa persahabatan.65 Ikatan ukhuwah yang dibangun berdasarkan petunjuk al-quran dan al-sunah merupakan faktor utama majunya ilmu dan peradaban. Jika di sana tidak ada ikatan maka bagaimana mungkin terkumpul berbagai penemuan dan berkembang

63

Shahih Muslim, Jilid II, (Mesir: Matba’ah Isa Al-Baby al-Halaby, tth.), h.431

64

Abdullah, Merajut Ukhuwah Islamiyah, op. cit., h 45.

65

Muhammad Abdullah al Khotib dan Muhammad Abdul Halim Hamid, Konsep Pemikiran Gerakan Ikhwan, (Bandung: Asy Syaamil Press, 2001), h. 194.


(43)

pemikiran untuk mengarah ke arah yang lebih baik untuk merealisasikan problem yang ada dalam realitas.66

C. Pandangan Umat Islam tentang Hubungan Persaudaraan pada Komunitas Lain

Bahwa Nabi Muhammad diutus oleh Allah sebagai rahmat untuk seluruh alam mengindikasikan keuniversalan agama Islam. Sesuatu yang mustahil bahwa seluruh manusia di muka bumi ini akan memeluk agam Islam. Oleh karena itu, Islam menghormati dan menghargai pemeluk agama lain. Karena itu juga Islam tidak memaksakan pemeluk agama lain untuk menjadi muslim. Memang harus diakui bahwa antara agama-agama pasti terdapat perbedaan. Tetapi perbedaan itu tidak menghilangkan persamaan-persamaan yang ada. Bertolak dari itu Islam sangat menyadari dan menghormati adanya kemajemukan.

Islam adalah agama universal, menyandang dakwah bagi semua orang. 67

Dalam penyampaiannya tidak boleh ada unsur paksaan, sebab dikatakan dalam

al-qur’an, surat al-Nahl/16: 125.

“Serulah manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan bantahan yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”68

Pengakuan Islam akan keberadaan agama-agama lain mengimplikasikan penghormatan terhadap agama-agama tersebut. Islam melarang pemeluknya mengejek atau mengolok-olok kaum yang lain, memanggil dengan gelar yang buruk. Al-Qur’an memerintahkan untuk saling berbuat baik dan berlaku adil dalam hidup bersama antara penganut yang berbeda.

66

Abdullah, Merajut Ukhuwah Islamiyah, op. cit.,h. 46.

67

“Persaudaraan Adalah Hakikat Islam”, Hak Kerukunan, 92-93,Th. XVI, (Mei-Juni, 1995), h. 35.

68


(44)

Dalam al-qur’an surat al-Baqarah ayat 256 disebutkan bahwa “tidak ada paksaan dalam agama.” Kebebasan beragama yang diungkapkan dalam al-qur’an ini berkaitan dengan kebebasan memilih agama Islam atau selainnya. Seseorang yang dengan sukarela serta penuh kesadaran telah memilih satu agama maka yang bersangkutan telah berkewajiban untuk melaksanakan ajaran agama tersebut secara sempurna. Manusia diberikan kebebasan oleh Allah untuk memilih dan menetapkan jalan hidupnya, serta agama yang dianutnya, tetapi kebebasan ini bukan berarti kebebasan memilih ajaran agamanya itu, mana yang dianut dan mana yang ditolak, karena Tuhan tidak menurunkan satu agama untuk dibahas oleh manusia dalam rangka memilih yang dianggapnya sesuai dan menolak yang tidak sesuai.69 Tetapi Tuhan menurunkan agama untuk dipelajari oleh manusia sebagai pedoman dengan menganut satu paham yang dibenarkan oleh prinsip-prinsip agama.

Agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah agama samawi, yang masing-masing mempunyai kitab suci dan nabi. Perbedaannya dengan Islam dan Yahudi bisa dianggap perbedaan perkembangan bukan perbedaaan akar, karena itu pula harus dianggap lebih dekat untuk diserukan kepada Islam.70 Apabila umat Katolik maupun umat beragama yang lain sudah diserukan Islam tetapi mereka tetap tidak ingin menganutnya maka biarkanlah mereka dengan agamanya masing-masing. Allah tetap menyukai orang Islam berbaikan dengan mereka kecuali jika mereka mengusir orang Islam dari Indonesia.71

Allah melarang umat Islam memaksa orang lain untuk menganut agama Islam. Umat Islam dari awal menerima hidup dalam masyarakat dengan kemajemukan agama yang ada. Sikap dasar tidak boleh berprasangka atau mengolok-olok orang lain berlaku bagi sesama umat Islam dan juga bagi umat lain. Al-qur’an melarang sikap prasangka terhadap orang lain, dan kita dilarang untuk mencari-cari

kesalahan orang lain dan menggunjing.

Banyak usaha untuk mencari titik temu antara agama-agama. Memang benar bahwa terdapat kesamaan-kesamaan antara satu agama dengan agama lain. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa keimanan yang diajarkan oleh satu agama berbeda dengan yang diajarkan oleh agama lain. Ketika usaha itu diarahkan untuk hal-hal mendasar yang menyangkut keimanan maka yang muncul adalah kebenaran subyektif, yaitu orang yang beragama Islam akan merasa bahwa agama Islam yang paling benar dan mengganggap orang non Islam adalah kafir, dan sebaliknya.72 Maka dari itu sering terjadi usaha untuk mencari persamaan, tetapi sulit untuk

69

Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, op. cit., h. 368.

70

Hasbullah Baqry, Pandangan Islam Tentang Kristen di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2000), cet. ke-2, h. 45.

71

Ibid., h. 46.

72

“Dai dan Pendeta Sejuta umat: Bicara Hubungan Muslim dan Kristen”,Narwastu 1, Th.IX, (16 Maret 2002), h. 22.


(45)

mencari semangat kebersamaan. Mencari kebenaran bersama-sama seharusnya diarahkan kepada hal-hal yang mendorong keakraban antara pemeluk agama, seperti ajaran menghormati orang lain.

Bahasan dalam bab ini menggambarkan bagaimana sesungguhnya memandang persaudaraan tidak hanya terbatas pada hubungan keturunan, tetapi lebih dari itu hubungan seiman mendapat perhatian yang besar. Dengan didasari oleh kebersihan hati persaudaraan seiman yang lebih dikenal dengan ukhuwah Islamiyah ini

diharapkan mampu memberikan manfaat yang besar kepada semua masyarakat muslim. Bahkan, Islam juga membentangkan konsep ini kepada komunitas lain. Hal ini terlihat dari penghormatan Islam terhadap kemajemukan agama yang dianut manusia.


(46)

BAB IV

ANALISIS KONSEP PERSAUDARAAN KATOLIK DAN ISLAM

Kebersamaan Sebagai Umat Beriman

Seperti yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya, pada dasarnya Islam dan

Katolik sama-sama memiliki pandangan yang menghargai kemajemukan umat

beragama. Semangat toleransi juga dijadikan oleh kedua agama sebagai acuan

untuk menjalin hubungan dengan agama lain. Namun demikian, kenyataan

berbicara lain ketika konflik-konflik bernuansa agama menimpa sebagian pemeluk

kedua agama ini. Ketika peristiwa-peristiwa tersebut ternyata juga menemukan

legalitasnya dari ajaran masing-masing, hal ini mengindikasikan adanya

penyelewengan penafsiran ajaran agama oleh kelompok-kelompok tertentu dalam

agama-agama tersebut.

Islam, bahkan seperti yang dipahami oleh tokoh Katolik A.A. Yewangoe,

merupakan agama yang sangat menjunjung semangat persaudaraan. Dia

menyebutkan bahwa “Nabi Muhammad sendiri selalu menganjurkan pengikutnya

untuk hidup berdampingan dengan saling menerima dan menghormati untuk dapat

meningkatkan toleransi”.73 Pada masa Nabi Muhammad unsur-unsur persaudaraan

begitu mencolok, tetapi pada perkembangan selanjutnya semangat itu sedikit demi

73

Fx. Hadisumarta, et.al., Hidup dalam Persaudaraan Sejati: Sudut Pandang Para Uskup, (Jakarta: Bunga Rampai III, 2000), h.109


(47)

sedikit mengalami erosi. Apa yang dialami kedua pemeluk agama ini sepanjang

sejarah pada sebagian tempat adalah hubungan yang semakin memburuk dari

waktu ke waktu.

Dalam perjalanan sejarah usaha-usaha untuk mengakhiri hubungan yang

kurang harmonis itu sudah dilakukan. Konsili Vatikan II memulai pernyataannya

tentang Islam dengan mengatakan bahwa: “Orang Kristen sudah semestinya menaruh

hormat terhadap Muslim”. Dengan pesan suci ini terbuka peluang bagi kedua

komunitas ini untuk mengusahakan suatu persaudaraan antar iman agar

masing-masing pemeluk kedua agama ini dapat hidup toleran dan saling memahami

eksistensi pemeluk lain apa adanya sebagai komunitas berbeda.74

Menyebarkan pandangan untuk menghormati dan menghargai agama Islam.

Hal ini adalah salah satu tujuan dari konsili Vatikan II. Tetapi usaha tersebut sampai

saat ini belum dihayati secara mendalam pada tingkat masyarakat awam. Oleh sebab

itu, usaha-usaha yang lebih keras untuk memberikan penjelasan dan pemahaman yang

lebih mendalam tentang hasil dari konsili Vatikan II terhadap masyarakat awam

merupakan hal yang krusial.75 Hal ini diperlukan agar ketika terjadi benih-benih

konflik dalam interaksi antara kedua pemeluk agama ini dapat didahulukan semangat

berdialog yang didasarkan atas rasa saling menghargai dan menghormati.

74

Ibid., h.333

75


(48)

Hal yang sama juga terdapat dalam Islam. Ketika dihadapkan pada situasi

yang menuntut adanya komunikasi atau dialog yang mendukung semangat menjaga

keharmonisan, Islam dalam al-qur’an (al-Nahl ayat 125) memberikan acuan kepada

pemeluknya:

“Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang

baik, dan bantahlah mereka dengan bantahan yang baik. Sesungguhnya

Tuhanmu, Dialah yang mengetahui orang-orang yang sesat dari jalan-Nya dan

Dialah yang mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Dalam ayat ini Allah SWT memberikan pedoman kepada Rasulullah tentang

cara mengajak manusia ke jalan yang benar. Di mana jalan itu tidak mengusik orang

lain dan tidak mengganggu ajaran agama lain. Menyeru dengan hikmah di mana

hikmah yang berupa pengetahuan itu dapat diyakini. Perkataan yang tepat dan benar

menjadi argumen untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang bukan. Apabila

mengalami suatu pertentangan dalam berargumen maka bantahlah dengan bantahan

yang baik pula dengan menghargai segala kemajemukan yang memang sudah ada.

Tidak baik memancing lawan dalam berdebat dengan kata yang tajam karena kondisi

yang demikian dapat menimbulkan suasana yang panas. Dalam menyampaikan pesan


(49)

Dalam ajaran Katolik, Yesus tidak menginginkan adanya perpecahan antara umat

manusia. Sebagai seorang juru selamat, dia adalah suri tauladan bagi pengikutnya

sebagai manusia yang menebarkan kasih terhadap sesamanya. Yesus selalu

memberikan perhatian yang besar terhadap umat manusia karena jalan yang ia

tunjukkan untuk menuju keselamatan adalah dengan menghindari permusuhan.

Dalam Alkitab Yesus menganjurkan: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu

sendiri “(Mat. 22: 37-38). Dalam ayat ini Yesus menghimbau kepada umatnya

agar tidak pernah menciptakan suatu permusuhan dan konflik walaupun umat lain

mencoba memicu suatu permusuhan dengan memulai suatu kebencian, tetapi

Yesus melarang umatnya untuk membalasnya dengan kebencian juga. Yesus

menganjurkan kepada umatnya untuk meredam kebencian umat lain dengan rasa

kasih, dan bersikap baik kepada orang lain yang memusuhinya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai dua agama yang berbeda, antara Islam dan

Katolik memiliki perbedaan-perbedaan. Namun demikian, perbedaan-perbedaan

tersebut jika disikapi dengan bijaksana justru akan menumbuhkan semangat saling

menghargai dan menghormati antara kedua pemeluk agama, seperti bagaimana

kedua agama ini memandang Maryam dan puteranya Isa.

Dalam Dokumen Konsili Vatikan II pada bagian Deklarasi Sikap Gereja

Terhadap Agama-Agama Bukan Kristen dapat ditemukan bagaimana perbedaan

sebaiknya disikapi dengan arif; “Meskipun tidak mengakui Yesus sebagai Allah,


(50)

Maria mereka hormati dan kadang-kadang bantuannya mereka mohonkan dengan

khusuk.”76

Oleh karenanya tepat sekali ketika pastor-pastor mahasiswa

menyelenggarakan Pekan Studi Islam memiliki catatan akhir yang salah satunya

adalah :”Pertentangan antar penganut agama lebih banyak terjadi bukan karena ajaran

agama tetapi karena kekuatan di luar agama, khususnya kekuatan ekonomi dan politik

yang menggunakan agama demi kepentingannya.”77

Dari uraian di atas dapat ditarik titik temu antara Katolik dan Islam.

Bagaimanapun tidak ada agama yang menginginkan permusuhan dan perpecahan.

Semua agama menginginkan persaudaraan dan kedamaian. Walaupun dengan

cara-cara yang berbeda. Ayat-ayat dalam kitab suci menjelaskan secara-cara berbeda tentang

persaudaraan tetapi mempunyai makna dan tujuan yang sama.

Tetapi nilai yang dijunjung tinggi oleh agama Islam dan Katolik itu tidak

secara baik dijalankan oleh sebagian pemeluknya. Pada beberapa tempat, semangat

persaudaraan itu kurang terrealisir, malah banyak bermunculan sikap saling menolak,

ekslusivisme, dan perseteruan.78 Rasa cinta kasih, persaudaraan antara kedua umat

beragama berubah menjadi aksi dan reaksi yang keras, banyak pemeluk agama

mengabaikan makna keimanan mereka yang sesungguhnya.79 Timbullah

76

J. Riberu, Dokumen Konsili Vatikan II, (Jakarta: Obor, 1989), cet. ke-2, h.289.

77

“Pekan Studi Islam”, Hak Kerukunan, No. 96-97, Tahun XVII, (Jakarta: Januari-Februari-Maret 1996), h. 41-49.

78

Mahmud Mustofa Ayoub, Mengurai Konflik Muslim-Kristen: dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001), cet. I, h.216

79


(51)

peristiwa kerusuhan bernuansa agama yang berturut-turut di negeri kita. Dimulai dari

penghancuran gereja di Surabaya (Juni 1996), kemudian menyusul peristiwa

Situbondo di mana seorang pendeta bersama keluarganya ikut terbakar (Oktober

1996), Rengasdengklok (Januari 1997) dan beberapa tempat lainnya. Menurut

catatan Forum Komunikasi Kristen Surabaya (FKKS ), jumlah gedung gereja-gereja

yang mengalami kerusakan telah mencapai lima ratus buah.80

Di samping peristiwa-peristiwa tersebut masih ada sejumlah kerusuhan lain

yang tidak kalah besarnya. Pada tanggal 22 November 1998, terjadi kerusuhan

Ketapang di Jakarta yang sebenarnya adalah perkelahian antar warga, namun

dampaknya mengakibatkan gedung gereja terbakar. Pada tanggal 30 November

sampai dengan 1 Desember 1998 meledak aksi masa di Kupang yang membakar

masjid-masjid dan kios-kios orang Bugis yang beragama Islam.81 Sebelum

permasalahan Kupang diselesaikan secara tuntas, muncul peristiwa Ambon yang jauh

lebih dahsyat. Saat itu orang-orang Islam berhadapan dengan orang-orang Nasrani

dalam sejumlah pertempuran yang memakan banyak korban. Kejadian ini

berlangsung berbulan-bulan.

Meskipun banyak yang menjelaskan bahwa peristiwa-peristiwa itu bukan

konflik agama namun kenyataannya tidak dapat disangkal bahwa ada nuansa-nuansa

80

Ibid., h. 218

81 81

A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), cet. ke-1, h. 101


(52)

keagamaan di dalamnya.82 Ternyata umat beragama sendiri menyelewengkan

ajaran-ajaran agama demi tujuan kelompok dan golongan, kemudian menafsirkan keadilan

dan perdamaian menurut penafsiran masing-masing. Agama diselewengkan oleh

pihak-pihak tertentu untuk tujuan yang tidak luhur, ajaran-ajaran tentang

persaudaraan, perdamaian dan keadilan dimanipulasi sedemikian rupa sehingga

menjadi sempit dan picik.83 Keadaan ini tentu saja membahayakan upaya realisasi

persaudaraan antara umat beragama.

Hubungan Ideal Katolik dan Islam

Pada bagian ini akan dibahas bagaimana idealnya hubungan persaudaraan antara

Katolik dan Islam. Untuk melengkapinya, bagian ini akan mencoba membahas

pola sikap dalam kehidupan antara pemeluk dua agama ini. Secara garis besar

bagian ini akan mendiskusikan tiga hal: pertama, bagaimana kemungkinan pola

hubungan antara dua agama ini dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, apa yang

semestinya menjadi agenda untuk dikembangkan oleh masing-masing agama, dan

terakhir, manfaat dan bentuk nyata dari hubungan baik antara dua agama ini.

Walaupun mempunyai keyakinan agama yang berbeda-beda, tetapi dipandang

dari asal muasalnya manusia adalah makhluk Tuhan yang berarti seluruhnya

adalah bersaudara. Rasa persaudaraan yang demikian bisa menjadi landasan bagi

tumbuhnya toleransi.84 Sejak semula, baik agama Katolik maupun Islam saling

82

Ibid., h. 100

83

Ibid., h. 102

84

Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995), cet. ke-1, h. 629.


(53)

mengklaim untuk membawa sebuah pesan yang universal, memberitakan

kebahagiaan yang diperuntukkan bagi seluruh umat manusia.85 Namun demikian,

apa yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat kurang mencerminkan semangat

persaudaraan tersebut. Yang sering terjadi di kalangan penganut agama adalah dua

bentuk sikap.

Pertama, saling menghargai dan menghormati yang lebih didasari oleh

kepentingan-kepentingan tertentu, seperti keinginan untuk mendapatkan keuntungan

politik dan ekonomi. Kedua, penghormatan terhadap penganut agama lain yang

muncul karena adanya kesadaran bahwa agama-agama yang dianut manusia di bumi

ini memiliki titik temu yang sangat mendasar. 86 Bentuk sikap pertama -meskipun

seringkali dibina secara dialogis dan mengusahakan saling tenggang rasa- rentan

dengan konflik terutama ketika emosi keagamaan lebih didahulukan dari pada usaha

dialog. Karena sikap semacam ini lebih memungkinkan untuk tidak jujur dalam

hubungan politik dan ekonomi. Sedangkan bentuk sikap kedua dilatarbelakangi oleh

kesadaran akan adanya titik temu yang mendasar di antara agama-agama. Sikap ini

dikembangkan dengan mempelajari secara mendalam usaha mencari titik temu

agama-agama tersebut. Sikap seperti ini biasanya mengedepankan kejujuran dan tidak

mengorbankan kerukunan dan kebersamaan antar umat beragama.87

85

Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta: Gramedia Pustaka dan Yayasan Wakaf Paramadina, 1999), cet. ke-2, h. 319.

86

Syahrim Harahap, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia,( Yogyakarta: Tiara Wacana,1997), h.266.

87


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Sesuai dengan batasan dan rumusan masalah yang telah ditentukan pada bab I, bab penutup ini akan mencoba memberikan kesimpulan yang sekaligus menjadi

jawaban dari permasalahan yang menjadi fokus dari skripsi ini.

Persaudaraan dalam Katolik dapat dipahami dari konsep persaudaraan sejati yang bersumber dari ajaran Yesus. Persaudaraan sejati meliputi semua orang yang melakukan kehendak tuhan Bapa di surga. Dengan melakukan hal tersebut, mereka adalah saudara Yesus Kristus. Inti persaudaraan sejati adalah kasih yang murni. Kasih yang bersumber dari Allah harus disebarkan kepada sesama, dan ini dimulai dengan perhatian kecil, yang menunjukkan kerelaan dan keikhlasan seseorang untuk membantu sesamanya. Dengan konsep ini, persaudaraan dalam Katolik sesungguhnya memiliki semangat menghormati dan menghargai pemeluk agama lain.

Sedangkan persaudaraan dalam Islam pertama-tama harus didasarkan pada

persaudaraan seiman. Al-Qur’an menjadikan persaudaraan seiman sebagai tali yang harus selalu dipelihara, karena kokohnya kebersamaan dalam ukhuwah Islamiyah akan menciptakan energi yang dapat menolong seorang muslim untuk mentaati ajaran agamanya. Ketaatan ini lah yang selanjutnya akan menjadikan seorang muslim

menyadari dan dapat mengamalkan pesan universal Islam sebagai agama pembawa rahmat kepada seluruh alam. Seorang muslim sejati yang menyadari bahwa dirinya adalah pembawa rahmat kepada sesamanya dan bahwa kemajemukan agama


(2)

merupakan suatu keniscayaan alam, akan mampu menjunjung tinggi penghargaan dan toleransi terhadap agama lain.

Merujuk kepada dua alenia di atas maka hubungan ideal Katolik dan Islam akan dapat terwujud melalui beberapa hal, yaitu: pertama, pemahaman yang benar dari kedua pemeluk agama tentang kerukunan yang sesungguhnya. Yaitu kerukunan yang keluar dari hati yang tulus mengenai penghormatan dan penghargaan terhadap pemeluk agama lain, bahkan yang memunculkan semangat menolong terhadap umat lain agama. Kedua, usaha untuk memahami secara umum ajaran agama lain. Hal ini menjadi penting karena dengan memahami amalan pemeluk agama lain, maka peluang untuk menemukan titik kesamaan dalam cita-cita yang ingin dicapai oleh masing-masing agama akan terbuka.

Oleh karenanya, maka yang ketiga, studi tentang persaudaraan Katolik dan Islam ini memandang krusial usaha-usaha dialogis untuk mencari lebih banyak persamaan yang dapat ditemukan antara kedua agama ini. Hal ini juga dilakukan untuk memperkecil perbedaan yang ada demi memupuk rasa persaudaraan antara pemeluk kedua agama ini. Usaha-usaha ini pada kelanjutannya diharapkan mampu menumbuhkan lebih banyak lagi bentuk-bentuk kerjasama untuk saling membantu di antara umat Katolik dan Islam.

B. Saran

Melengkapi kesimpulan yang telah disebutkan di atas, penulis ingin memberikan saran sebagai pertimbangan kepada beberapa pihak. Pertama, kepada


(3)

Departemen Agama dalam hal ini UIN Jakarta untuk lebih menciptakan peluang-peluang demi terwujudnya kerukunan antara pemeluk Katolik dan Islam. Beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan ialah mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat ilmiah ataupun sosial yang melibatkan kedua pemeluk agama, seperti seminar mencari titik temu agama-agama, internalisasi program pemupukan persaudaraan dengan umat Katolik dalam Kuliah Kerja Nyata, dan lain-lain. UIN juga harus lebih memperbanyak literatur pada perpustakaan kampus yang membantu upaya menciptakan hubungan yang harmonis antara Katolik dan Islam.

Saran kedua penulis tujukan kepada para pemimpin dari kedua agama ini untuk lebih mengembangkan cara-cara yang dapat mendukung tumbuhnya semangat menghormati pemeluk agama lain. Ceramah-ceramah agama sudah seharusnya lebih menekankan pemahaman ajaran agama sendiri secara arif, dan tidak menyinggung hal-hal sensitif yang dapat memicu emosi keagamaan pemeluk agama lain. Kegiatan-kegiatan yang mengarah pada upaya internalisasi nilai-nilai kasih sayang (rahmah) ke dalam diri seorang muslim mendesak untuk ditumbuhkembangkan. Dan kepada umat Katolik lebih membangun sikap saling bekerja sama dan tidak menutup diri sebagai umat minoritas. Ajaran-ajaran Katolik yang mendorong tumbuhnya semangat saling mengasihi antara sesama umat manusia harus lebih ditampakkan terhadap saudara-saudara muslim, sehingga kedua pemeluk agama ini dapat lebih menyadari bahwa agama mereka sesungguhnya menginginkan mereka hidup bersaudara saling hormat menghormati dan kasih mengasihi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1996, Cet. Ke-3.

Al-Munjid Fil Lughoh Wal A’lam, Beirut, Libanon: Dar el Machreq Sarl Publisher, 1994.

Abdullah, Merajut Ukhuwah Islamiyah, Jakarta: Darul Haq, 2002, Cet. Ke-1.

Ayoub, Mustafa Mahmoud, Mengurai Konflik Muslim-Kristen dalam Perspektif Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001, Cet. Ke-1.

Anwar, Syafi’i, Sebuah Kajian Politik tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995, Cet. Ke-1.

Budypranata, Al., Kunjungan Membangun Persaudaraan, Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Bakry, Hasbullah, Pandangan Islam tentang Kristen di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2002, Cet. Ke-2.

Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahannya, Madinah: Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy-Syarif, 1991.

Duke, William H., Memuaskan Jiwa yang Lapar, Bandung: Yayasan Baptis Indonesia, 1995, Cet. Ke-1.

“Dai dan Pendeta Sejuta Umat: Bicara Hubungan Muslim dan Kristen”, Narwastu, 1, Th. IX, 16 Maret 2001.

Groenen C., Mariologi: Teologi dan Devosi, Yogyakarta: Kanisius, 1998.

Hadisumarta, FX., et.al., Hidup dalam Persaudaraan Sejati: Sudut Pandang Para Uskup, Jakarta: Bunga Rampai III, 2000.

Haag, Herbert, Kamus Alkitab, Flores: Nusa Indah, 1980, Cet. Ke-1. Hayon, Niko, Cinta yang Mengabdi, Flores: Nusa Indah, 1989, Cet. Ke-1. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz. XXV-XXVI, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982.


(5)

Harahap, Syahrin, Islam Dinamis: Menegakkan Nilai-nilai Ajaran Al-Qur’an dalam Kehidupan Modern di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.

Hidayat, Komaruddin, dan Ahmad Gaus AF., Passing Over: Melintasi Batas-batas Agama, Jakarta: Gramedia, dan Yayasan Wakaf Paramadina, 1999, Cet. Ke-2. Hadiwikarta, J., Sikap Gereja Terhadap Para Pengikut Agama-agama Lain, Jakarta:

Obor, 1985, Cet. Ke-1.

Imam, Nawawi Al-, Terjemahan Ma’mur Daud, Terjemahan Hadits Shahih Muslim, Malaysia: Klang Book Centre, 1990, Jilid 1.

Jaelani, Abdul Kadir, Agama dan Separatisme Menjadi Landasan Konflik Maluku dan Poso, Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah al-Munawarah, 2001, Cet. Ke-1.

Khalid, Muhammad Khalid, Memperbaiki Kembali Hubungan dengan Sesama Makhluk: Menurut Bimbingan Rasulullah, Jakarta: Pustaka Arafah, 2002, cet. Ke-1.

Khotib, Abdullah Muhammad Al-, dan Muhammad Abdul Halim Hamid, Konsep Pemikiran Gerakan Ikhwan, Bandung: asy-Syaamil Press, 2001.

Mustofa, Bingkai Teologi Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Jakarta: Depag, 1997.

Nasution, Harun, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan, 1995, Cet. Ke-1.

Nawawiy, Riyadlus Shalihin, Jilid I, Terjemah: Drs. Muslich Shabir, (Semarang: Toha Putra, 1981)

Nouwen, J.M. Henry, Cakrawala Hidup Baru, Yogyakarta: Kanisius, 1986.

Pekan Doa untuk Kesatuan Umat, Hak Kerukunan, 63, Th. XI, Januari-Februari, 1990.

“Persaudaraan adalah Hakikat Islam”, Hak Kerukunan, 92-93, Th. XVI, Mei-Juni, 1995.


(6)

Riberu, J., Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1989, Cet. Ke-2. Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994, Cet. Ke-1.

, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996

, Kerukunan Beragama: dari Perspektif Negara, HAM, dan Agama-agama, Jakarta MUI, 1996.