lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”.
22
Hal ini menunjukkan bahwa kata saudara juga mencakup pengertian orang seiman atau seagama.
B. Pandangan Umat Katolik tentang Hubungan Persaudaraan
Hubungan persaudaraan dalam pandangan umat Katolik termanifestasikan dalam konsep penghargaan terhadap hidup manusia. Artikulasi dari penjiwaan yang
matang akan konsep ini merupakan tuntutan umat Katolik sepanjang masa khususnya pada zaman yang cenderung memandang hidup manusia hanya bersifat
instrumentalistis, yaitu pandangan terhadap hidup hanya sebagai alat meraih kesuksesan materi. Kecenderungan yang seperti ini selanjutnya akan menjadikan
manusia kurang memaknai arti persaudaraan. Dalam konteks inilah pandangan umat Katolik tentang “saudara kasih” menemukan signifikansinya.
Penghargaan terhadap hidup manusia adalah wujud nyata dalam meningkatkan persaudaraan sejati. Manusia itu hendaknya dihargai sebagai pribadi,
makhluk ciptaan yang mulia dan berharga di mata Allah. Penghargaan terhadap hidup ini berdasarkan kasih sayang Sang Bapa, karena itu orang Kristiani terpanggil untuk
memperbaharui, menghadirkan dan melestarikan kasih sayang Sang Pencipta dalam diri sesamanya. Dengan demikian setiap orang, baik Katolik maupun bukan Katolik
22
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1996, cet. ke-3, h. 25 dan 27.
mengakui dan menyadari dirinya serta sesamanya sebagai hamba Allah, sehingga berani menyapa dan menempatkan sesamanya itu dalam kedudukan “saudara kasih.
Sekarang ini banyak terjadi pelecehan terhadap hidup manusia seperti aborsi, kriminalitas, penindasan, pemerasan, penolakan terhadap norma-norma moral serta
bentuk-bentuk pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia merupakan gejala yang meresahkan semua orang. Manusia kurang menghargai nilai-nilai persahabatan,
persaudaraan dan kerjasama serta nilai-nilai rohani baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat luas. Pelecehan terhadap hidup terjadi karena orang melihat hidup
dari segi kegunaannya bagi diri sendiri. Hidup tidak boleh dilihat dari segi kegunaannya karena begitu banyak keindahan dan kebaikan dalam hidup manusia
yang perlu diwujudkan untuk membangun hidup dalam persaudaraan sejati di masyarakat.
23
Ketertutupan hidup, muncul dari sikap saling kurang percaya, rasa curiga fanatisme sempit dan kesombongan. Ketertutupan hidup tidak hanya akan merusak
persatuan dan persaudaraan sejati, tetapi bertentangan dengan nilai Injil serta cinta kasih. Dalam ketertutupan hidup orang tidak akan mampu melihat yang baik dalam
diri orang lain, karena ketertutupan hidup orang hanya melihat dirinya sendiri sebagai sumber kebaikan dan nilai-nilai, menganggap diri paling hebat dan mengabaikan
23
J. Hadiwikarta, Sikap Gereja terhadap para Pengikut Agama-agama Lain, Jakarta: Obor, 1985, cet. ke-1, h. 93.
orang lain. Ketertutupan hidup akan menghasilkan kepalsuan dan pelecehan disegala bidang, acuh tidak acuh dan sikap tidak perduli.
24
Dalam Alkitab dijelaskan bahwa kasih kepada sesama bukan hanya dibuktikan dalam saling mengampuni, melainkan juga dengan saling menolong,
sebagai saluran belas kasih Allah. Karena inti persaudaraan sejati adalah kasih, maka kasih kepada Allah dan sesama harus murni.
25
Kasih itu tanda pengenal jelas dari para murid Kristus, karena gereja yang didirikan oleh Kristus bukan suatu lembaga
atau organisasi, melainkan suatu paguyuban atau persaudaraan yang dasarnya adalah kasih Kristus. Kasih seperti yang diajarkan oleh Kristus bukan pertama-tama harus
nampak dalam hal yang besar, namun cukup dengan perhatian kecil, yang menunjukkan kerelaan dan keikhlasan seseorang untuk membantu sesamanya.
26
Dinamika hubungan antar manusia hendaknya mendorong orang Kristen untuk mendengar dan mencoba memahami yang dikomunikasikan oleh orang-orang
beriman yang lain, agar supaya dapat mengambil manfaat dari karunia–karunia yang telah diberikan Tuhan secara murah.
27
Dinyatakan oleh F.X. Hadisumarta bahwa: “…Kesederhanaan hidup umat hendaknya diarahkan untuk meningkatkan mutu
pelaksanaan cinta kasih dalam bentuk saling mendukung, saling memperhatikan, saling membantu antar sesama. Orang yang memiliki cukup
jaminan sosial menggunakan apa yang dimilikinya sebagai sarana pelayanan terhadap sesama. Rela berkorban, bukan berarti memberikan sesuatu karena
24
Ibid., h. 94.
25
Alkitab, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1996, cet. ke-3, h. 34.
26
Al. Budyapranata, Kunjungan Membangun Persaudaraan, Yogyakarta: Kanisius, 1994, cet. ke-2, h. 25
27
J. Hadiwikarta, op.cit., h., 22.
sudah berlebihan melainkan apa yang ada, bahkan yang paling disenangi harus mampu diberikan kepada Tuhan dan sesama dalam bentuk harta, waktu, atau
kegiatan lainnya. Keterbukaan hidup dapat diwujudkan melalui sikap rela melayani dan rela berbagi kasih. Bumi yang subur ini dianugerahkan Allah
untuk semua manusia untuk semua manusia, bukan sekelompok orang tertentu saja.
28
Lebih lanjut J.Hadiwikarta menegaskan bahwa “Barang siapa yang mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi,
menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu kasih Allah tidak ada di dalam dirinya.
29
Mewujudkan kesejahteraan bersama harus dalam kerangka persaudaraan dan bukan demi keuntungan pribadi sendiri. Sejak semula Allah memanggil manusia
dalam kebersamaan untuk mengalami penebusan sebagai saudara Yesus. Sikap rela, mendorong sesama yang kekurangan yang tertindas yang disisihkan dan diperlakukan
tidak adil dapat menciptakan dunia baru yang lebih damai penuh semangat hidup dalam persaudaraan sejati. Dalam diri seseorang yang suka melayani dan rela berbagi
kasih akan tumbuh nilai-nilai persaudaraan karena yakin bahwa sesama itu adalah citra Allah.
Kemandirian bukan hanya persoalan yang berhubungan dengan tersedianya harta benda, melainkan kenyataan semakin sempurnanya hidup rohani umat beriman.
Kesempurnaan hidup rohani umat beriman berarti dapat meniru kesucian dan cinta kasih Allah sendiri, sebab kecukupan materi belum berarti apa-apa dalam
28
FX. Hadisumarta, et al., op. cit., h. 90.
29
J. Hadiwikarta, op.cit., h. 91.
kemandirian, jika umat sendiri tidak memiliki kerohanian dan kesucian sesempurna mungkin dan jati dirinya belum menjadi Kristiani yaitu saudara bagi sesama.
30
C. Pandangan Umat Katolik Tentang Hubungan Persaudaraan Pada Komunitas Lain Terhadap komunitas lain, umat Katolik juga membentangkan konsep
persaudaraan kasihnya. Hal demikian dapat dilihat dari pandangan al-Kitab mengenai hubungan dua arah vertikal: dengan Tuhan, dan horisontal: dengan sesama
manusia. Pihak gereja juga melalui Konsilinya menentang pola kehidupan yang tertutup. Hal tersebut meniscayakan umat Katolik untuk memegang sikap
menghormati agama lain. Persaudaraan meliputi keharmonisan hubungan agama dan hidup sebagai
orang beriman. Hal ini mengandung pengertian untuk bersikap baik dengan komunitas lain. Yesus menganjurkan “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri, berbuat baiklah kepada orang yang membenci kamu” Matius 22: 37-38. Pada saat akhir hidup-Nya, yaitu di kayu salib Yesus juga berdoa untuk musuh-
musuh-Nya Lukas 23: 34. Hidup beragama pada hakikatnya menyangkut hubungan manusia dengan Allah, tetapi sekaligus tidak terlepas dari hubungannya dalam sikap
dan perbuatannya terhadap sesama manusia.
31
Perubahan-perubahan yang cepat di dalam dunia dan pemikiran yang lebih mendalam mengenai misteri gereja sebagai “Sakramen keselamatan yang universal”
30
Ibid., h. 92.
31
FX. Hadisumarta, op. cit., h. 36.
Lumen Gentium;48 telah mendorong sikap ini terhadap agama-agama bukan Katolik
32
Perkembangan umat manusia yang hari demi hari bertambah erat dipersatukan dan hubungan antara berbagai bangsa ditingkatkan, membuat Gereja
Katolik meninjau dengan lebih cermat, apa sikapnya terhadap agama-agama bukan Kristen? Dalam tugasnya memupuk kesatuan dan cinta kasih antara manusia, bahkan
antara bangsa-bangsa, gereja memandang banyak hal yang perlu dikembangkan terutama persamaan-persamaan yang ada pada manusia dan yang membawa kepada
kebersamaan hidup. Di antara hal-hal yang mendasari pemahaman tersebut adalah pandangan bahwa semua bangsa merupakan satu masyarakat, mempunyai satu asal,
sebab Allah menempatkan seluruh umat manusia di seluruh muka bumi. Semua mempunyai juga tujuan akhir yang satu, Allah. Penyelenggaran-Nya, bukti kebaikan-
Nya, dan rencana keselamatan-Nya mencakup semua orang. Dengan argumentasi yang humanis, Riberu seorang tokoh Katolik berusaha
mengembangkan pandangan Katolik tentang persaudaraan terhadap komunitas lain. Untuk sampai pada pernyataan bahwa “Gereja Katolik tidak menolak apapun
yang benar dan yang suci dalam agama-agama lain”, Riberu mengulas asal muasal usaha manusia menemukan misteri kehidupannya.
“…Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang tersembunyi sekitar keadaan hidup. Manusia, sama seperti
dahulu, sekarang pun rahasia tersebut menggelisahkan hati manusia secara mendalam, apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu kebaikan, apa itu dosa,
apa asal mula dan tujuan derita, mana kiranya jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa itu pengadilan dan ganjaran sesudah
maut? Akhirnya misteri terakhir yang tidak terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita: dari-Nya manusia berasal dan kepada-Nya manusia menuju.
…Sejak zaman purba sampai ke zaman ini dalam berbagai bahasa terdapat sejenis tanggapan tentang kekuasaan gaib itu, yang hadir dalam
perjalanan dan kejadian hidup manusia, kadang-kadang terdapat pengakuan
32
J. Hadiwikarta, op. cit., h. 13.
pada Yang Maha Tinggi atau Bapa. Tanggapan dan pengakuan ini meresap ke dalam hidup mereka perasaan keagamaan yang mendalam. Agama-agama
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mendalam. Agama-agama yang berhubungan dengan kemajuan kebudayaan berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan dengan pengertian yang lebih rumit dan dengan bahasa yang lebih diolah. Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan yang
suci dalam agama-agama ini. Gereja memandang dengan cara yang jujur cara hidup, peraturan dan ajaran yang dalam banyak hal berbeda dengan apa yang
dipahami dan yang dianjurkannya, tidak jarang memantulkan cahaya kebenaran, yang menerangkan semua manusia…”
33
Para teolog Katolik Roma juga mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap agama-agama. Sejak Konsili Vatikan II 1962-1965, Gereja Katolik Roma
mengakui adanya unsur-unsur kebenaran dalam agama-agama, dan mereka berusaha giat untuk mendalami agama-agama secara teologis.
34
Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci dalam agama manapun, bahkan mengupayakan dialog
dan kerjasama dengan penganut agama-agama lain dan memajukan hal-hal dibidang rohani, serta moral.
Mengingat bahwa dalam perbedaan zaman telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak sedikit antara orang Katolik dan Islam, maka Konsili Suci
mengajak semua pihak untuk melupakan yang sudah-sudah, dan mengusahakan dengan jujur dan saling pengertian dan melindungi lagi memajukan bersama-sama
33
J. Riberu, Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor, 1989, cet. ke-2, h. 287. Ibid.,
h. 287-8.
34
A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001, cet. ke-1, h. 78.
keadilan sosial, nilai-nilai moral serta perdamaian dan kebebasan untuk semua orang.
35
Sejalan dengan hal tersebut juga merujuk konsep universalitas di atas, ketegangan-ketegangan yang sempat terjadi antara umat Kristiani dengan komunitas
lain layaknya disikapi dengan mengedepankan semangat intropeksi diri dan mema’afkan. Sering kali hubungan yang retak menjadi semakin hancur, karena orang
menolak untuk memaafkan orang lain, kemarahan, kebencian, kepahitan, semakin menebal yang nampaknya seperti tidak dapat ditebus lagi.
36
Pemahaman yang demikian melahirkan sikap antisipatif untuk mengembangkan pola kehidupan yang terbuka agar saling mengenal guna
mengeliminir kemungkinan terjadinya kesalahpahaman yang sering berujung kepada konflik antar sesama. Dalam konteks ini sangat tepat ketika seorang muslim mencoba
menggali semangat kerukunan umat beragama. Mustoha menyebutkan,
“Semenjak Konsili Vatikan II Gereja Katolik dengan jelas menolak cara hidup menggereja yang tertutup. Gereja memahami jati dirinya sebagai umat yang terbuka. Gereja Katolik mau terbuka baik terhadap saudara-saudaranya sesama di dalam
Tuhan Yesus Kristus, maupun terhadap mereka yang tidak beragama Katolik. Memang benar di sepanjang zaman cukup sering timbul pertikaian dan permusuhan umat Kristen dan umat Islam. Konsili Suci mendorong mereka semua, supaya
melupakan yang sudah-sudah dan dengan tulus hati melatih diri untuk saling memahami, supaya bersama-sama
membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan Nostra Aetate 2; 3.
37
35
Riberu, loc.cit.
36
William H. Duke, Memuaskan Jiwa yang Lapar, Bandung: Yayasan Baptis Indonesia, 1995, cet.ke-1, h. 15.
37
Mustoha, loc.cit., h. 101-2.
Pesan Konsili suci tersebut ditangkap dengan arif oleh umat Katolik. J. Hadiwikarta menegaskan:
“Gereja merasa terpanggil untuk berdialog terutama karena iman. Di dalam misteri Allah Tri Tunggal, perwahyuan kristiani memungkinkan kita untuk
melihat sekilas di dalam Tuhan suatu kehidupan yang penuh dengan persatuan dan hubungan. Di dalam Allah Bapa kita melihat suatu cinta yang
membentang luas, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Alam semesta dan sejarah dipenuhi oleh anugerah-anugerah-Nya.”
38
Lebih jauh lagi Hadiwikarta
39
mengisyaratkan agar umat Katolik menghormati ritual-ritual keagamaan yang dipraktekkan oleh umat Islam. Ia mencoba
memahami dengan arif ibadah shalat yang memiliki esensi pengulangan janji dan pemasrahan diri terhadap kehendak Allah, ibadah puasa ramadhan dan perayaan Idul
Fitri sebagai pembaharuan pribadi dan pemantapan persaudaraan dan silaturahmi, serta zakat sebagai tanda perhatian terhadap sesamanya. Hal ini telah disinyalir di atas
oleh Riberu bahwa ajaran lain tidak jarang memantulkan cahaya kebenaran. Di tempat lain Riberu menambahkan, “…meskipun tidak mengakui Yesus sebagai
Allah, Islam menghormati-Nya sebagai nabi. …oleh sebab itu mereka menghargai kehidupan moral dan menyembah Allah terutama dalam shalat, puasa dan sedekah.”
40
Hal ini juga ditekankan oleh Mustoha, bahwa “…gereja juga menghargai umat Islam yang menyembah Allah satu-satunya, yang hidup dan berdaulat, penuh
38
J. Hadiwikarta, op. cit., h. 23.
39
Ibid., h. 20
40
J. Riberu, op .cit, h. 288.
belas kasihan dan Maha Kuasa, pencipta langit dan bumi, yang telah berfirman kepada umat manusia.”
41
Secara khusus, Katolik memandang Islam sebagai sepupu.
42
Semangat persaudaraan ini juga ditekankan oleh Paulus ketika menyinggung nilai kasih yang disebarkan oleh Yesus. Dalam Efesus 5: 1-2 Paulus menulis, “Sebab
itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang terkasih dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus, Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah
menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah”. Pesan ini dalam perspektif Katolik merupakan manifestasi dari sifat Allah
dengan mengampuni dan mengasihi orang lain. Mengapa harus mengampuni dan mengasihi orang lain? Karena Allah telah menyatakan kasih-Nya di dalam Kristus
yang telah mati di atas kayu salib. Riberu juga menyatakan, “Kita tidak dapat berseru kepada Allah sebagai Bapa, apabila kita menolak
memperlakukan beberapa orang, yang diciptakan menurut citra Allah, sebagai saudara. Hubungan manusia dengan Allah sebagai Bapa dan hubungan
manusia dengan manusia sebagai saudara terjalin sedemikian rupa, sehingga Alkitab dalam firmannya: “Yang tidak mengasihi, tidak mengenal Allah” 1
Yohanes 4:8.
43 Cara pandang seperti ini dapat membangun iklim yang kondusif untuk menyikapi hubungan umat Katolik dengan
komunitas lain khususnya Islam yang terkadang umat dari kedua agama ini terjebak dalam kesalahpahaman. Bahasan di atas juga memberikan gambaran bahwa umat Katolik memiliki pandangan yang kooperatif dalam pemaknaan konsep persaudaraan
kasih mereka. Umat lain pun menjadi sasaran dari kasih yang sudah dipelopori oleh Yesus. Di sisi lain, pertentangan antara umat Katolik dan komunitas lain juga mendapat respon yang mengedepankan semangat “memaafkan” dan membangun kembali “tali
persaudaraan”.
41
Mustoha, op. cit., h. 98 101.
42
“Dai dan Pendeta sejuta umat: Bicara Hubungan Muslim Kristen”, Narwastu 1, Th. IX, 16 Maret 2002, h. 27.
43
Riberu, op.cit., h. 289.
BAB III KONSEP PERSAUDARAAN DALAM ISLAM