Pandangan Umat Islam tentang Hubungan Persaudaraan

“Mengutamakan orang lain atas diri mereka, walau diri mereka sendiri kekurangan” 51 . Demikianlah al-qur’an memandang bagaimana pokoknya persaudaraan seiman. Diawali dengan rasa ketuhanan yang sama dan dikokohkan dengan cita-cita hidup yang sejalan, al-qur’an menjadikan persaudaraan seiman sebagai tali yang harus selalu dipelihara. Pemupukan semangat persaudaraan ini pada perkembangannya akan dapat menumbuhkan jiwa seorang mukmin yang sejati di mana penghormatan terhadap saudara mukmin menjadi sesuatu yang niscaya.

B. Pandangan Umat Islam tentang Hubungan Persaudaraan

Sebagai lanjutan dari bahasan sebelumnya, bagian ini akan melihat lebih dalam bagaimana seharusnya persaudaraan dalam Islam dipelihara. Dengan menjadikan keluarga sebagai pondasi masyarakat muslim, Islam memandang praktek silaturrahmi sebagai energi yang mampu menjaga keutuhan persaudaraan. Lebih dalam dari itu, faktor “hati” seorang muslim juga sangat berperan. Ketika masyarakat muslim saling bertemu, adalah keniscayaan untuk menjaga niat dan hati mereka. Ketika dua unsur itu baik maka ukhuwah yang dibangun akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi keberlangsungan hidup dan peradaban masyarakat muslim. Quraish Shibab menyebutkan bahwa di antara faktor-faktor penunjang yang akan melahirkan persaudaraan selain bahwa manusia adalah mahluk sosial adalah 51 Departemen Agama RI., op.cit., h. 917 perasaan tenang dan nyaman pada saat berada di antara sesamanya. 52 Ketenangan dan kenyamanan mustahil tercipta jika antara sesama tidak terjalin hubungan yang harmonis. Begitu mendasarnya praktek silaturrahmi dalam Islam, maka dapat dipahami ketika Nabi Muhammad menjadikan silaturahmi sebagai salah satu syarat sempurnanya iman seseorang. Sabda Nabi: Dari Abi Hurayrah r.a. bahwa Rosulullah saw bersabda: “…..Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia menghubungkan tali persahabatan….” Riwayat Bukhori-Muslim 53 Penekanan Islam pada silaturahmi adalah untuk memelihara keutuhan masyarakat dalam berbagai bidang baik materil maupun spiritual. Islam mengokohkan masyarakat muslim dengan cara yang sangat sempurna, yaitu dengan memperbaiki partikel-partikel masyarakat terlebih dahulu. 54 Keharmonisan hubungan antara anggota masyarakat harus dipupuk dari elemen yang paling kecil. Oleh karenanya Islam memerintahkan pemeluknya untuk membiasakan silaturahmi dan mencintai keluarga dan kerabat. Upaya ini harus dimulai dari pengokohan pondasi masyarakat, yaitu keluarga. Karena dengan kokohnya hubungan antara anggota keluarga maka keutuhan masyarakat akan terpelihara. Tetapi silaturahmi tidak semudah kata tersebut diucapkan. Ada prasyarat fundamental yang menjadikan silaturahmi mempunyai nilai positif demi kokohnya tali persaudaraan. Imam Asy-Syahid, seperti yang dikutip oleh Al- Khotib dan Hamid, 55 menjelaskan tingkatan-tingkatan ukhuwah: “Tingkatan ukhuwah yang paling [dasar] adalah salamatush shadr yang artinya bersihnya hati dari buruk sangka, dan yang tertinggi adalah Itsar yang 52 Ibid., h. 491. 53 Nawawiy, Riyadlus Shalihin, Jilid II, Terjemah: Drs. Muslich Shabir, Semarang: Toha Putra, 1981, h.285 54 Nasir Makarim Syirazi, Tafsir al-Amsal, Jakarta: Gerbang Ilmu Press, 1992, Jilid ke-1, h. 123. 55 Muhammad Abdullah al Khotib dan Muhammad Abdul Halim Hamid, Konsep Pemikiran Gerakan Ikhwan, Bandung: Asy Syaamil Press, 2001, h. 196. artinya mengutamakan orang lain. Maka berusahalah untuk membersihkan hati dari berbagai prasangka buruk dan perasaan tidak enak terhadap saudara, dan berjihadlah terhadap jiwa untuk mencapai tingkatan itsar.” Silaturahmi yang dimulai antara anggota keluarga harus didasari dengan kebersihan hati. Ketika hal tersebut tidak ada, maka silaturahmi meski secara bahasa mengandung pengertian yang positif memiliki potensi merusak persaudaraan. Unsur-unsur yang menyebabkan terputusnya dan robohnya ukhuwah, digambarkan tidak ubahnya seperti rayap yang merusak batang kayu. Orang harus mengetahui “serangga” penghancur tersebut dan mengetahui bagaimana daya rusaknya sehingga dapat dijauhi. “Serangga” yang dapat merobohkan bangunan persaudaraan itu adalah hati yang tidak bersih yang memunculkan virus-virus perusak seperti dengki, benci, ghibah, adu domba dan penyakit hati lainnya. Nabi mendorong orang mukmin untuk tidak saling membenci, jangan saling mengiri, jangan pula bertengkar. Nabi melukiskan keimanan mereka itu seperti hubungan cinta yang begitu kuat, sehingga orang tidak bisa membedakan lagi antara dirinya dengan saudara seiman. Nabi juga melarang sebuah perselisihan sampai tiga malam berturut-turut. Yang berselisih sudah harus mampu menguasai marahnya selama itu dan mereka sesudahnya kembali bersahabat. 56 Seperti yang dikutip oleh Abdullah, Ibnu Qayyim memperingatkan akan efek negatif dari pertemuan-pertemuan kurang bermanfaat: “Berkumpul dengan saudara-saudara itu ada dua macam: Pertama, berkumpul untuk menghabiskan waktu. Perkumpulan semacam ini mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya karena hal ini dapat merusak hati dan menyia- nyiakan waktu. Kedua, berkumpul dengan sesama atas dasar tolong menolong agar dapat meraih kesuksesan dan saling menasehati supaya menjalankan kebenaran dan bersabar. Hal ini adalah ghanimah yang terbesar, tetapi di dalamnya ada tiga penyakit: yang pertama, satu sama lain saling menunjukkan kebaikannya. Kedua, berbicara dan berbaur lebih dari kebutuhan. Ketiga, perkumpulan tersebut dapat menjadi sekedar syahwat dan kebiasaan yang dapat memutuskan tujuan semula”. 57 Jika perkumpulan macam pertama menjadi kebiasaan masyarakat muslim, maka hal itu dapat merusak ikatan persaudaraan. Maka dari itu, perkumpulan sesama muslim harus berdasarkan semangat tolong menolong untuk meraih kesuksesan 56 Sayyid Quthub, Jalan Menuju Kedamaian, Jakarta: Cahaya Press, 1979, h. 117. 57 Abdullah, Merajut Ukhuwah Islamiyah, Jakarta: Darul Haq, 2002, cet. ke-1, h. 48. dan saling nasehat menasehati untuk mengerjakan kebenaran dan kesabaran. 58 Apabila bertemu dengan sesama muslim harus menampakkan wajah yang berseri- seri dan memberi senyuman karena yang demikian dapat menguatkan ukhuwah dan menopangnya. 59 Semangat yang baik ini harus didasari keinginan mendapatkan ridho Allah. Upaya membiasakan diri memiliki hal itu memang tidak mudah tetapi harus diperjuangkan melalui ketaatan diri menjadi hamba Allah. Sesungguhnya penyebab perpecahan adalah meninggalkan perintah Allah dan sikap aniaya, dan penyebab persatuan dan keterikatan adalah kesatuan agama dan mengamalkannya secara keseluruhan, yaitu beribadah kepada Allah. 60 Betapa besar manfaatnya menjalin hubungan antara mukmin karena mengharap ridha Allah SWT. Hubungan antara mukmin menjadi kering dari manisnya nilai iman manakala tidak diikuti dengan saling membantu baik dari segi materi, pemikiran, dan bahkan doa. Meringankan penderitaan dan kesempitan sesama mukmin menjadi ukuran dalam Islam tentang pertolongan Allah kepada mukmin yang menolong saudaranya. Oleh karenanya, sifat kikir sangat dilarang dalam Islam. Nabi Muhammad pernah bersabda: Dari Jabir r.a. bahwa Rosulullah saw bersabda: ….. dan takutlah kamu sekalian akan kikir karena sesungguhnya kekikiran itu telah membinasakan orang-orang yang sebelum kamu… Riwayat Muslim 61 Ketika tali persaudaraan semakin kuat, banyak sekali manfaat yang akan didapatkan oleh anggota masyarakat. Energi cinta akan menyebar dalam hati setiap mukmin yang akan menumbuhkan antara sesama semangat saling tolong menolong, saling memuliakan kehormatan, saling memelihara harga diri dan harta, saling menasehati untuk mentaati kebenaran dan kesabaran, serta menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang munkar dan meninggalkan kedengkian pada saudara, kebencian, serta mencari-cari kesalahan. 62 Islam memberikan gambaran yang sangat sempurna mengenai bagaimana seharusnya persaudaraan sesama mukmin, Nabi berkata: 58 Ibid., h. 49. 59 Ibid., h. 37. 60 Ibid.,h. 67. 61 Nawawiy, op.cit., h.470 62 Abdullah, Merajut Ukhuwah Islamiyah, Jakarta: Darul Haq, 2002, cet. ke-1, h. 32. Dari Nu’man bin Basyir berkata: Rosulullah saw bersabda: “Perumpamaan orang- orang mukmin saling bersaudara, saling mengasihi ibarat satu tubuh. Jika ada anggota badannya ada yang sakit maka seluruh badan akan merasakannya, membuatnya tidak bisa tidur atau demam” Riwayat Muslim 63 Ketika merasa bahwa seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka seorang muslim tidak akan menzaliminya, tidak membiarkannya dan tidak mencelakannya. Oleh karenanya, seorang muslim tidak dianggap beriman sehingga mencintai saudaranya sebagaimana muslim itu mencintai dirinya sendiri; seorang muslim tidak dianggap beriman, apabila tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan, padahal orang itu tahu keadaannya. Pada diri seorang muslim akan tumbuh kesadaran bahwa dengan ukhuwah tersebut orang yang beriman seperti satu tubuh dalam derita dan harapan. Setiap muslim ketika merasakan dalam jiwanya dan dalam nuraninya yang paling dalam, segala makna ukhuwah yang murni tersebut, maka semua itu akan mendorongnya untuk merealisasikan saling tolong menolong, solidaritas, saling kasih sayang, dan lebih mementingkan saudaranya terutama terhadap semua orang yang diikat oleh persaudaraan Islam dan seluruh orang yang dihimpun oleh ikatan iman. Terutama jika mereka membutuhkan pihak yang dapat membebaskan kesedihan mereka, membebaskan penderitaan mereka, meringankan musibah yang menimpa mereka, dan menjamin mereka pada saat mereka lemah dan pada saat membutuhkan. 64 Ukhuwah adalah kekuatan iman yang menumbuhkan perasaan simpati, hati yang tulus, kecintaan, kasih sayang, penghargaan, penghormatan, dan saling percaya antara orang-orang yang terikat dengan akidah tauhid dan Islam yang abadi. Perasaan itu dapat menumbuhkan sikap saling tolong menolong, saling mengutamakan orang lain, saling mengasihi, saling memaafkan, saling toleransi. Semua itu merupakan konsekuensi logis dari keimanan, sebab tiada ukhuwah tanpa keimanan dan tiada keimanan yang sempurna tanpa ukhuwah, sebagaimana tiada persahabatan sejati tanpa ketaqwaan dan tiada taqwa tanpa persahabatan. 65 Ikatan ukhuwah yang dibangun berdasarkan petunjuk al-quran dan al-sunah merupakan faktor utama majunya ilmu dan peradaban. Jika di sana tidak ada ikatan maka bagaimana mungkin terkumpul berbagai penemuan dan berkembang 63 Shahih Muslim, Jilid II, Mesir: Matba’ah Isa Al-Baby al-Halaby, tth., h.431 64 Abdullah, Merajut Ukhuwah Islamiyah, op. cit., h 45. 65 Muhammad Abdullah al Khotib dan Muhammad Abdul Halim Hamid, Konsep Pemikiran Gerakan Ikhwan, Bandung: Asy Syaamil Press, 2001, h. 194. pemikiran untuk mengarah ke arah yang lebih baik untuk merealisasikan problem yang ada dalam realitas. 66

C. Pandangan Umat Islam tentang Hubungan Persaudaraan pada Komunitas Lain