Menurut Undang – Undang Perkawinan
23
Nikah merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Suatu yang haram bagi seseorang, kemudian berubah menjadi
halal dengan sarana pernikahan. Implikasi pernikahan sangat besar, luas dan beragam. Pernikahan juga merupakan suatu saran awal untuk
mewujudkan sebuah tatanan masyarakat, yang dimana jika unit – unit
keluarga baik dan berkualitas maka bisa dipastikan masyarakat yang diwujudkan akan kokoh dan baik.
Apabila dilihat dari sifatnya yang menjangkau sangat luas, pernikahan memiliki makna sangat strategis dalam kehidupan sebuah
bangsa. Dalam konteks ini pemerintah menjadi berkepentingan dalam mengatur institusi pernikahan, agar tatanan masyarakat yang teratur dan
tentram bisa diwujudkan. Hal ini tercermin dalam Undang - Undang No. 1 tahun 1974 yang merupakan bentuk konkret pengaturan pemerintah
tentang perkawinan kepada warga negaranya. Demikian pula bahwa setiap perkawinan diharapkan dapat
membentuk keluarga yang kekal, artinya tidak mengalami perceraian.
13
Untuk mencapai tujuan yang luhur dari setiap perkawinan tersebut maka di dalam Undang
– undang Perkawinan ditetapkan adanya prinsip – prinsip atau asas
– asas mengenai perkawinan yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
14
13
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, Jakarta: Departemen Agama RI, 2001, h. 1.
14
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, Jakarta: Departemen Agama RI, 2001, h. 2.
24
Asas – asas atau prinsip – prinsip yang terkandung di dalam
Undang – undang Perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
masing – masing dapat mengembangkan kepribadiannya untuk
mencapai kesejahteraan spiritual dan material. b.
Sahnya perkawinan berdasarkan hukum agama. Dalam undang
– undang ini dinyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing
– masing agama dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap
– tiap perkawinan sah menurut perundang
– undangan yang berlaku. c.
Monogami Undang
– undang ini menganut asas monogami. Namun apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari
yang bersangkutan mengizinkan seorang suami untuk beristri lebih dari satu orang maka harus mengikuti peraturan
– peraturan yang berlaku mengenai hal itu dan syaratnya terpenuhi dan diputuskan oleh
pengadilan. d.
Pendewasaan usia perkawinan Undang
– undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri harus telah mencapai jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan, agar
supaya dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
25
perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu perundang
– undangan mengatur lebih rinci tentang batasan umur untuk calon mempelai pasangan perkawinan yaitu 19 tahun untuk pria
dan 16 tahun untuk wanita. e.
Mempersukar perceraian Karena tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal serta sejahtera, maka perundang – undangan mengatur
pelaksanaannya yang harus dilakukan dihadapan sidang pengadilan. f.
Kedudukan suami istri seimbang Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan secara bersama oleh suami istri.
15
g. Asas pencatatan perkawinan
Pencatatan perkawinan mempermudah dalam mengetahui setiap manusia yang sudah menikah atau melakukan ikatan perkawinan dan
untuk tujuan ketertiban administrasi suatu bangsa.
16
Beberapa pasal yang menjelaskan mengenai kedudukan suami istri dalam Undang
– Undang Perkawinan tidak berbeda jauh dari hukum Islam. Pasal 30 Undang
– Undang Perkawinan menjelaskan bahwa suami
15
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, Jakarta: Departemen Agama RI, 2001, h.1-4.
16
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. Ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 8.
26
istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan berumah tangga maupun dalam
pergaulan masyarakat. Masing – masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga pasal 31 ayat 1-3 UU No.11974. Suami istri harus
mempunyai kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami istri bersama pasal 32. Suami wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia
memberikan bantuan lahir batin pada satu sama lain pasal 33. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik
– baiknya. Tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh
keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan kehidupan rumah tangga yang damai dan tentram.
17
Selain itu ada pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan dala Islam selain untuk memenuhi
kebutuhan jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus unntuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalankan
hidupnya di dunia ini, juga untuk mencegah perzinahan agar tercipta
17
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1979, h. 1.
27
ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.
18
Perkawinan merupakan pranata sosial yang telah ada sejak manusia diciptakan Allah SWT. Dari hal ini dapat dipahami bahwa sudah menjadi
fitrah manusia untuk berpasang – pasangan sehingga Allah menetapkan
jalan yang sah untuk itu, yaitu melalui pranata yang dinamakan perkawinan.
19