7. Di Pancuran ini, orang dapat berdoa kepada Debata Mula Jadi Na Bolon
Tuhan Yang Maha Esa memohon kesembuhan, memohon agar murah rejeki dan memohon bermacam keinginan lainnya, dan ternyata sudah
banyak orang yang telah berhasil memperolehnya.
4.1.2 Gambaran Masyarakat Batak Toba dengan Aek Sipitu Dai
Gambaran masyarakat yang tertuang dalam cerita Aek Sipitu Dai berdasarkan cerita, hanya masyarakat Batak Toba saja yang mempunyai ciri
tersendiri. Di mana dalam cerita disebutkan bahwa ada tujuh buah pancur yang satu sama lain berbeda rasanya dan tidak satu pun diantaranya mempunyai rasa seperti
air biasa yang sering kita pakai. Ada beberapa makna yang bisa dikutip dari ketujuh buah pancur tersebut.
Pancur tujuh rasa melambangkan angka sakti, karena bilangan tujuh itu adalah bilangan sakti dalam kehidupan ritual bagi suku Batak Toba, dan juga
melambangkan beberapa macam keadaan suku Batak. Adapun berbagai macam keadaan yang dilambangkan Pancur Tujuh Rasa ini ialah :
1. Pansur Sipitu Dai juga melambangkan bahwa penguasa Alam Semesta,
bersemayam pada tingkatan langit yang ketujuh, dan pada lapisan awan yang ketujuh. Hal ini dapat kita lihat dalam Tonggo-tonggo si Raja Batak
Doa Siraja Batak sewaktu si Raja Batak mengadakan upacara persembahan menyembah Debata Mulajadi Na Bolon di Puncak Dolok
Pusuk Buhit. 2.
Pansur Sipitu Dai juga melambangkan bahwa ramuan obat-obatan tradisionil Batak, banyak yang harus bersyarat tujuh misalnya: harus tujuh
Universitas Sumatera Utara
macam, harus tujuh kali, harus tujuh buah, harus tujuh lembar, atau harus tujuh potong.
3. Pansur Sipitu Dai juga melambangkan tata tertib acara margondang Acara
Gendang Batak. Pada acara margondang, acara harus dimulai dengan Gondang Sipitu Ombas tujuh buah irama lagu Gendang dimainkan secara
nonstop tanpa diikuti dengan tarian. Setelah Gendang Sipitu Ombas selesai, maka dimulailah acara menari, tetapi acara ini harus dimulai dengan
“Pitu Hali Mangaliat” arak-arakan tujuh kali keliling lapangan menari dan
untuk menutup acara margondang ini, harus dimulai dengan acara Pitu Hali mangaliat.
4. Pansur Sipitu Dai juga melambangkan “partuturan” panggilan dalam
struktur atau susunan tarombo silsilah karena hanya tujuh generasi yang mempunyai pertutuan panggilan dalam satu garis keturunan yaitu:
a. Ompu : nenek moyang yaitu semua generasi mulai dari tiga generasi di
atas kita. b.
Ompung : kakek, yaitu orang dua generasi di atas kita. c.
Amang : ayah, yaitu yang satu generasi di atas kita. d.
Haha anggi : abang adik yaitu orang yang segenerasi dengan kita. e.
Anak : anak yaitu orang yang satu generasi di bawah kita. f.
Pahompu : cucu, yaitu orang yang dua generasi di bawah kita. g.
Nini : cicit yaitu orang yang mulai tiga generasi di bawah kita. 5.
Pansur Sipitu Dai juga melambangkan bahwa dari sepuluh orang keturunan Guru Tatea Bulan, hanya tujuh orang yang mempunyai keturunan langsung
Universitas Sumatera Utara
karena tiga orang dari mereka menjadi orang sakti. Adapun orang yang menjadi sakti ialah :
1. Raja Uti Sakti dan tinggal di udara, di darat dan di laut,
2. Boru Biding Laut boru Tunghau, sakti dan tinggal di hutan atau darat,
3. Nan Tinjo sakti dan tinggal di Danau Toba atau laut.
Adapun yang mempunyai keturunan langsung sebanyak tujuh orang yaitu: 1.
Saribu Raja 2.
Limbong Mulana 3.
Sagala Raja 4.
Silau Raja 5.
Boru Pareme 6.
Bunga Haomasan 7.
Anting Haomasan. Nama yang tujuh ini digabung menjadi satu ikatan yang dinamakan “Sipitu
Tali” tujuh satu ikatan, dan nama yang tujuh ini jugalah yang menjadi pedoman untuk pembagian negeri limbong menjadi Pitu Turpuk tujuh daerah
perkampungan, kemudian sipitu tali atau sipitu turpuk ini juga yang menjadi dasar tata pelaksanaan hukum adat di negeri limbong, baik secara pribadi, maupun secara
kelompok. Gambaran cerita Aek Sipitu Dai dapat dilihat hubungannya yang erat
dengan masyarakat Batak Toba dengan alasan: 1.
Pansur Sipitu Dai ini mempunyai arti yang sangat erat dengan kehidupan masyarakat Batak Toba, dan juga mempunyai kisah tersendiri boru
Universitas Sumatera Utara
Pareme karena dari sinilah awal keturunan Lottung yang menikah dengan boru Pareme dan Simatupang, Aritonang, dan Siregar.
2. Cerita tersebut diungkapkan dalam bahasa Batak Toba. Cerita ini tidak
mempunyai kesamaan dengan cerita masyarakat lain seperti, Karo, Simalungun, Mandailing dan Pakpak Dairi.
4.1.3 Fungsi Cerita Aek Sipitu Dai dalam masyarakat Batak Toba