1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menipisnya sumber energi fosil menyebabkan terjadinya krisis bahan bakar seperti yang terjadi saat ini. Pada tahun 2013 Badan Pusat Statistik mencatat
bahwa produksi minyak mentah Indonesia sebanyak 279.412,10 ribu barel, namun dari tahun 2008-2012 jumlah produksinya selalu mengalami penurunan [1]. Hal
ini menyebabkan dilakukannya pengembangan bahan bakar terbarukan dari tumbuhan khususnya kelapa sawit, dimana bahan bakar ini ramah lingkungan dan
bebas dari sulfur ataupun nitrogen [2-3]. Palm olein adalah salah satu alternatif bahan baku yang dapat digunakan untuk bahan bakar terbarukan. Palm olein
merupakan fraksi cair dari minyak kelapa sawit yang telah di fraksinasi [4]. Jumlah palm olein di Indonesia sangat berlimpah sehingga pengembangan dari
pemanfaatan palm olein ini dapat dilakukan, dimana pada tahun 2013 Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia dengan produksi
mencapai 27,8 juta ton [5]. Catalytic cracking
merupakan proses kimia yang dapat diaplikasikan dalam pembuatan biofuel dari palm olein. Palm olein bisa direngkah menjadi biofuel
karena memiliki rantai karbon yang panjang. Proses ini dapat menghasilkan sejumlah produk bahan bakar hidrokarbon cair seperti biogasolin [6], biodiesel [7]
dan kerosen [8]. Proses ini telah dibuktikan dapat menghasilkan biofuel dari berbagai bahan baku seperti minyak sawit, minyak biji karet, minyak kedelai dan
lain-lain. Proses catalytic cracking menggunakan katalis heterogen padatan yang digunakan untuk mempercepat reaksi. Beberapa katalis yang umum digunakan
dalam perengkahan berkatalis ini adalah Al-SBA-15 [10], zeolit alam [6], silika alumina [11], ZSM-5 [12] dan beberapa katalis lainnya. Chew dan Bhatia juga
melakukan penelitian menggunakan bahan baku CPO dan minyak jelantah dengan katalis HZSM-5 dan REY, dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa
HZSM-5 memberikan nilai yield liquid produk yang lebih besar, selain itu juga dilaporkan bahwa HZSM-5 menghasilkan fraksi produk gasolin yang lebih
Universitas Sumatera Utara
2 banyak dibandingkan dengan beta zeolit yang cenderung untuk menghasilkan
produk kerosin dan biodiesel dalam OLP [2]. Zeolit merupakan katalis yang biasa digunakan dalam proses catalytic cracking. Zeolit memiliki kelebihan
diantaranya memiliki stabilitas termal, memiliki selekfitas [13] dan strukturnya yang sangat teratur [12], selain itu zeolit merupakan katalis yang efektif dalam
merengkah trigliserida [44]. Melimpahnya jumlah palm olein di Indonesia memungkinkan pengembangan
pemanfaatannya sebagai biofuel dengan menggunakan proses catalytic cracking. Penelitian tentang produksi biofuel dengan menggunakan proses catalytic
cracking untuk sampel minyak tumbuhan sudah pernah dilakukan. Berikut
beberapa penelitian tentang proses catalytic cracking minyak tumbuhan: -
Li, dkk 2014 melakukan penelitian proses catalytic cracking dengan menggunakan minyak biji karet sebagai bahan baku dan katalis USY. Mereka
melakukan variasi untuk suhu, rasio katalis dan waktu reaksi. Diperoleh kondisi terbaik katalisbahan baku pada rasio 150 dan suhu 420
o
C dengan waktu 90 menit. Dihasilkan liquid produk mencapai 75,6 [14].
- Li, dkk 2013 melakukan penelitian proses catalytic cracking menggunakan
minyak jelantah sebagai bahan baku dan katalis K
2
OBa-MCM-41. Melakukan variasi untuk suhu, rasio katalis dan waktu reaksi. Diperoleh yield bio-oil
tertinggi pada suhu 430
o
C, rasio katalisbahan baku 130 dan waktu reaksi 110 menit dengan nilai 67,7 [15].
- Sirajudin, dkk 2013 melakukan penelitian proses catalytic cracking
menggunakan fix bed micro reactor dan katalis HZSM-5 dengan bahan minyak sawit. Mereka melakukan variasi terhadap temperatur dan laju alir dari
N
2
. Diperoleh yield tertinggi pada 450
o
C dan laju alir N
2
100 mlmin, dimana dihasilkan bensin 28,87, kerosen 16,70, diesel 12,2 [8].
1.2 Perumusan Masalah