63
Saat ini Ibu Rosdiana hanya tinggal berdua bersama anaknya yang keenam dirumah. Ibu Rosdiana bekerja menjadi pemulung dan beternak. Dari beternak ia
memperolah sekitar Rp 3.000.000 – Rp 5.000.000 dengan jumlah ternak 3 - 5 ekor per enam bulannya. Sedangkan dari hasil memulung ia memperoleh Rp 300.000
sampai Rp 400.000 per minggu. Ia mengatakan bahwa saat ini hidupnya tidak sesusah yang dulu. Dimana ia dulu hidup berdelapan bersama anak - anaknya.
Segala pekerjaan sudah ia geluti bersama suami. Dimulai dari juru parkir, pedagang pakaian keliling, grosir sembako, calo tiket bus ALS, toke botot,
pengrajin dan pedagang keranjang, sampai pada saat ini menjadi pemulung dan peternak. Ia mengatakan bahwa dulu penghasilan sangat pas – pasan. Tak jarang
modal untuk jualan digunakan untuk biaya makan dan pendidikan anak. Sehingga membuatnya berganti - ganti profesi.
Di Jalan Tirtosari Ujung Ibu Rosdiana sudah tinggal dirumah yang dibangunnya sendiri sejak tahun 1991. Namun tanahnya milik PJKA. Ibu
Rosdiana mengatakan bahwa dengan penghasilan yang diperolehnya sendiri sudah cukup untuk biaya makan, air, listrik, dan pendidikan anak terakhirnya. Ia
mengatakan bahwa ia tidak berharap anaknya yang sudah bekerjan membantunya. Sebab ia tidak mau membebani anaknya. Ia lebih bahagia melihat anaknya
sejahtera terlebih bisa membiayai kuliahnya sendiri.
4.3.2 Infoman tambahan Kepala lingkungan 12 Jalan Tirtosari Ujung Kelurahan Bantan
1. Nama
: Wagimin Jenis Kelamin
: Laki - laki
Universitas Sumatera Utara
64
Usia : 46 tahun
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : SMA Pekerjaan
: Kepala Lingkungan 12 Kelurahan Bantan Pegawai Non PNS
Pak Wagimin merupakan warga asli Kelurahan Bantan. Sejak kecil ia tinggal di Jalan Pertiwi Kelurahan Bantan. Saat ini tinggal di Jalan Tirtosari Gang
Sentosa No. 104 bersama keluarganya. Pak Wagimin telah mejabat sebagai Kepala Lingkungan 12 di Kelurahan Bantan sejak tahun 2012.
Pak Wagimin menjelaskan bahwa di Jalan Tirtosari Ujung tepatnya kawasan pinggiran rel kereta api terdapat 100 KK dengan status kependudukan
yang jelas. Pada dasarnya jumlah keluarga di Jalan Tirtosari Ujung lebih dari 100 KK. Namun oleh karena tidak adanya kejelasan administrasi surat menurat terkait
kependudukan mereka. Mereka lantas menjadi tak terdata. Mayoritas pekerjaan mereka adalah menjadi pemulung dan peternak. Namun sebagaian warga yang
rumahnya berdekatan dengan Sekolah Dasar sehingga dilarang untuk beternak. Sebab, bau tidak sedap dari kotoran ternak Babi tersebut sangat menyengat.
Sehingga dianggap akan mengganggu proses belajar dan mengajar siswa di SD tersebut.
Pak Wagimin juga menjelaskan bahwa pemulung yang berada di Jalan Tirtosari Ujung mayoritas pendatang dari desa. Namun karena pendidikannya
rendah yang membutanya sulit pendapatkan pekerjaan layak. Umumnya, mereka bekerja di sektor informal seperti buruh bangunan, pedagang kecil – kecilan,
tukang becak yang muaranya pada pemulung dan peternak. Artinya dasar
Universitas Sumatera Utara
65
pekerjaan mereka adalah pemulung dan peternak. Pekerjaan lainnya adalah pekerjaan tambahan untuk tetap bertahan hidup.
Pak Wagimin menambahkan bahwa masyarakat pemulung tersebut sangat kompak dalam hal kekerabatan. Setiap satu minngu sekali dan satu bulan sekalu
mereka mengadakan pertemuan untuk mempeerat silaturahmi diantara mereka. Selain itu sejak menjadi kepala lingkungan Pak Wagimin tidak pernah
menemukan kasus perselisihan yang fatal diantara mereka.
4.4 Gambaran Kemiskinan Pada Masyarakat Pemulung yang Tinggal di Jalan Tirtosari Ujung Kelurahan Bantan
Kemiskinanan merupakan fenomena global yang terjadi di Indonesia, khususnya wilayah perkotaan seperti Kota Medan. Kemiskinan adalah keadaaan
dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan
http:id.m.wikipedia.org diakses pada tanggal 29 Agustus 2016 Pukul 15.29. Masalah kemiskinan bukan hanya masalah kesejahteraan kaum miskin tetapi
masalah latar belakang mengapa mereka menjadi miskin. Moeljarto 1995: 98 mengemukakan tentang poverty profile sebagaimana
berikut : masalah kemiskinan bukan hanya masalah welfare akan tetapi mengandung enam buah alasan antara lain :
1. Masalah kemiskinan adalah masalah kerentanan
Kerentanan terjadi pada pemulung, dimana pemulung sangat bergantung pada barang bekas yang diperolehnya dari tumpukan sampah kota yang tidak terus
Universitas Sumatera Utara
66
- terusan berisi barang bekas yang bernilai jual. Selain itu kondisi fisiki yang lemah membuatnya rentan terkena penyakit. Kedua hal tersebut membuat
penghasilan pemulung tidak menentu dan rentan untuk tidak memperoleh penghasilan yang memadai.
2. Kemiskinan berarti tertutupnya akses kepada berbagai peluang kerja
karena hubungan produksi dalam masyarakat tidak memberi peluang kepada mereka untuk berpartisipasi dalam program produksi.
Pendidikan yang rendah, keterampilan terbatas, akses informasi yang terbatas serta modal materi yang terbatas adalah empat hal yang mengakibatkan
kaum migran tidak berhasil memperoleh pekerjaan layak di Kota Medan. Sehingga menjadi pemulung adalah alternatif untuk mengupayakan diri tetap
bertahan hidup di kota. Seperti yang utarakan oleh salah satu infoman dalam penelitian ini, Bapak Manulang Lk, 63 tahun bahwa :
“Dulu ke Medan ini nekat - nekatannya. Di kampung sakit kali, tanah ga punya. Di sewa ladang orang gagal terus. Ke Medan modal “hosa” la, ga ada
apa - apa. Modal nekat, disini kan bisa jadi tukang botot, narik becak dapat uang.” Wawancara 14 Agustus 2016
3. Masalah ketidakpercayaan, perasaan impotensi, emosional dan sosial
dalam menghadapi elit kelurahan dan para birokrat yang menentukan keputusan menyangkut dirinya tanpa memberi kesempatan untuk mengaktualisasikan diri,
sehingga membuatnya tidak berdaya. Warga masyarakat di Jalan Tirtosari Ujung Kelurahan Bantan ada
beberapa yang tidak memiliki Kartu Keluarga KK. Hal ini disebabkan karena sering melakukan migrasi ke berbagai kota sebelumnya. Sehingga ketika berupaya
menetap tinggal di sini mereka tidak berdaya untuk mengurus KK yang baru
Universitas Sumatera Utara
67
dikarenakan lupa membawa surat pindah dari domisili sebelumnya. Hal senada ini diperkuat oleh salah satu informan dalam penelitian ini, Ibu Dewi Aritonang Pr,
38 tahun yang mengatakan : “Payahnya jadi orang susah ya gini la, tamatan rendah. Suami mau
masuk kerja diminta KTP sama KK. KK kami ga ada dek. Udah coba di urus ke kantor lurah, harus ada surat pindah katanya. Dulu kami sempat tinggal di
Jakarta sama mertua, katanya mau urus itu harus kesana kami lagi, ongkos kesana pun ga ada. Bisa makan aja disini syukur. Ha gitu la” Wawancara 04
Agustus 2016
4. Kemiskinan juga berarti menghabiskan sebagian besar penghasilannya
untuk konsumsi pangan dan kualitas dan kuantitas terbatas. Artinya setiap hari masyarakat miskin bekerja namun semua penghasilan yang diperolehnya terkuras
habis untuk mencukupi konsumsinya bersama keluarga. Sehingga dapat diprediksi kualitas produktivitasnya rendah sebab asupan gizi dan daya beli mereka pun
terbatas. Seperti data yang ditemukan peneliti dari hasil wawancara dengan informan bahwa mayoritas warga masyarakat di Jalan Tirtosari Ujung bekerja
sebagai pemulung. Dari hasil pulungan yang dilakukan mulai pukul 06.00 WIB sampai siang hari pukul 12.00 WIB kemudian dilanjut lagi pukul 15.00 WIB
sampai 17.00 WIB, rata – rata diperoleh penghasilan sekitar Rp 20.000 - Rp 50.000 tergantung pada jumlah barang bekas yang diperoleh dan jam kerja yang
dilakukan. Penghasilan tersebut dialokasikan untuk biaya makan, biaya listrik, air bersih dan biaya sewa rumah. Penghasilan tambahan adalah beternak. Dengan
beternak sekali 4 sampai 6 bulan masyarakat Jalan Tirtosari Ujung memperoleh uang senilai 2 sampai 5 juta, tergantung pada jumlah dan ukuran berat ternak yang
dijualnya. Penghasilan tersebut cukup pas - pasan dan tak jarang memaksa untuk berhutang. Hal senada diutarakan oleh salah satu informan dalam penelitian ini,
Ibu Sirait Pr, 52 tahun yang mengatakan :
Universitas Sumatera Utara
68
“Penghasilan kan ga nentu, ya pas pasan buat makan kami aja. Kami dirumah 5 orang yang makan. Belum lagi bayar lampu, air kan beli 4000
satu galon nang. Kalo biaya sekolah adek mu ada tulangnya yang bantu, kalo engga ya mana bisa ku kuliahkan dia” Wawancara 27 Juli 2016
Ibu Rosmina Br. Siringo - ringo Pr, 43 tahun juga menambahkan dengan mengatakan :
“Sebenarnya enggak cukup, mau kekmana la 20 ribunya dapat sehari kalo di perkirakan. Makanya pelihara B2 la kami, itu la tambahan sekalian simpanan.
Kadang dapat 3 juta per ekor sekali menjual.” Wawancara 11 Agustus 2016 5.
Tingginya rasio ketergantungan, karena jumlah keluarga yang besar. Jumlah keluarga yang besar sangat mempengaruhi daya beli, khususnya
kebutuhan pangan. Dengan penghasilan yang rendah, masyarakat miskin cenderung memiliki daya beli yang rendah pula terhadap bahan pangan. Hal ini
tentunya akan mempengaruhi tingkat konsumsi makanan yang akan mengganggu kecerdasan dan kekuatan tubuh anggota keluarga. Sehingga dalam kompetensi
dalam merebut peluang dan kesempatan, masyarakat miskin beserta anak - anaknya berada pihak yang lemah. Hal demikian seperti yang diutarakan oleh Ibu
Sirait Pr, 52 tahun yang mengatakan : “Makan kami ya biasa - biasa aja. Apalagi kami banyak kalo mewah -
mewah jarang la nang. Daging sekali sebulan belum tentu. Tempe sambal sama kangkung paling sering, udah enak murah lagi kan.” Wawancara 27 Juli 2016
Ibu Rani Butar - butar Pr, 49 tahun juga menambahkan dengan mengatakan bahwa :
“Kalo penghasilan segitu cukupnya buat makan. Tapi ya makanan kami yang biasa - biasa aja, yang penting makan. Belanja pun dari kedenya, jarang ke
pajak. Apa yang ada di kede itu lah dibeli.” Wawancara 11 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
69
Selain itu, Ibu Sitio Pr, 44 tahun juga mempertegas dengan mengatakan bahwa :
“Kalo disini yang penghasilan di bawah 50 ribu masih banyak. Ada yang pas pasan untuk kebutuhan, tapi lebih banyak yang minim - minim gitu.
Sebenarnya ya perlu uluran tangan juga.” Wawancara 14 Agustus 2016
Ibu Rani Butar - butar menyampaikan bahwa ia lebih dominan belanja di warung dekat rumahnya. Sebab kesehariannya ia sibuk mencari barang bekas. Ia
menyadari bahwa apa yang dibelinya dari warung tidak sesegar jika dibeli di pasar langsung.
6. Adanya kemiskinan yang diwariskan secara terus menerus. Hal ini seperti
budaya kemiskinan yang diwariskan antar generasi. Dimana budaya tersebut cenderung menghambat motivasi untuk melakukan mobilitas ke atas, yaitu
menghambat kemajuan dan harapan - harapan mereka di masa depan. Oleh karena rendahnya penghasilan yang diperoleh pemulung sehari - harinya, berdasarkan
hasil wawancara bahwa rata - rata pendidikan terakhir anak mereka adalah SMASMK. Mereka menganggap bahwa mengenyam perguruan tinggi hanya
untuk orang - orang kaya. Selain itu, ketika ada salah satu dari anak mereka yang malas – malasan dalam belajar, pemulung langsung memberhentikan anaknya
sekolah. Ia mengganggap bahwa sekolah itu sangat mahal biayanya. Kalau tidak berminat sekolah lebih baik berhenti saja. Hal ini senada dengan yang
disampaikan oleh informan bernama Bapak Manulang Lk, 63 tahun, yang mengatakan :
“Pendidikan anak paling tinggi SMASMK, Cuma yang nomor 3 tamat SMP. Malas dulu dia sekolah, ga bisa dibilangi. Yaudalah berhenti aja.
Dari pada sayang uang itu nanti. Cari uang susah. Cari botot la sekarang kerjanya.” Wawancara 14 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
70
Dari sini terlihat bahwa adanya budaya kemiskinan yang diwariskan. Sebagai orang tua Bapak Manulang tidak mau berusaha bagaimana agar anaknya
tetap bersekolah. Ia menyadari bahwa sekolah adalah salah satu jalan untuk keluar dari kemiskinan. Namun ternyata upayanya untuk mengatasi hal tersebut masih
rendah.
4.4.1 Analisis Kemiskinan Masyarakat Pemulung di Jalan Tirtosari Ujung Kelurahan Bantan menggunakan analisa Narayan, dkk.
Kemiskinan merupakan fenomena yang masih begitu mudah dijumpai dimana - mana termasuk di daerah perkotaan. Di balik kemewahan gedung -
gedung pencakar langit di Kota, terdapat permukiman kumuh yang terasingkan. Permukiman yang berderet di bantaran sungai maupun jalur perlintasan kereta api.
Menurut Chambers dalam Nasikun, mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu :
1. Kemiskinan proper
2. Ketidakberdayaan powerless
3. Kerentanan menghadapi situasi darurat state of emergency
4. Ketergantungan dependence
5. Keterasingan isolation baik secara geografis maupun sosiologis.
Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain yang menjadi indikatornya,
seperti : tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi
kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
71
Deepa Narayan dalam karyanya Voices Of The Poor, Deepa Narayan,dkk memberikan empat dimensi utama dari defenisi kemiskinan yang dirumuskan oleh
masyarakat miskin sendiri, yaitu sebagai berikut : a.
Aset Fisik Physical Capital Pada dasarnya masyarakat miskin memang praktis tidak memiliki benda -
benda fisik yang diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti tanah yang memadai, rumahtempat tinggal yang layak, perabotan rumah tangga,
kendaraan, peralatan kerja dan benda - benda fisik lainnya. Masyarakat pemulung yang tinggal di Jalan Tirtosari Ujung tidak memiliki tanah. Tanah
yang mereka tempati merupakan tanah milik PJKA. Sedangkan rumah ada yang milik pribadi ada yang menyewa. Hal ini senada dengan penuturan salah
satu informan Ibu Sitio Pr, 44 tahun, yang mengatakan : “Rumah udah milik sendiri sih tapi tanahnya punya PJK. Semua yang di
pinggir rel ini tanahnya punya PJKA. Kami nompang aja, kalo di gusur ya udah siap kan gitu.” Wawancara 14 Agustus 2016
Penjelasan yang sama juga diutarakan oleh informan lain bernama Ibu Dewi Aritonang Pr, 38 tahun yang mengatakan :
“Tv gak ada, rusak pas mau tahun baru itu. Belum ada uangnya untuk betulkan, ya gini la gak nonton duduk - duduk di depan pintu” Wawancara
04 Agustus 2016 b.
Aset Kemanusiaan Human Capital Pada dasarnya masyarakat miskin juga tidak memiliki kualitas sumber
daya manusia yang cukup baik yang dapat menjamin keberhasilan hidup mereka, mencakup tingkat kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, dsb. Belum
lagi kualitas manusia yang lain seperti etos kerja yang ulet, jiwa
Universitas Sumatera Utara
72
kewirausahaan, kepemimpinan, dsb. Pemulung di Kota Medan khususnya yang berada di Jalan Tirtosari Ujung mayoritas adalah kaum migran. Mereka
datang ke Kota Medan dengan pendidikan dan skill yang rendah. Mereka hanya berharap bahwa di Medan akan banyak hal yang bisa dilakukan untuk
memperoleh uang. Tidak seperti di kampung yang kehidupan hanya menjadi petani dan buruh tani.. Hal ini sama seperti yang dijelaskan oleh salah satu
informan, Ibu Rani Butar - butar Pr, 49 tahun yang mengatakan : “Dulu kan kakakku di Medan kian, pas tamat aku sekolah SMP ayok la ke
Medan katanya. Ku pikir iya lah biar ga bertani lagi kan ga pegang tanah. Nyatanya gini juga di pegang lebih parah pun kotornya.” Wawancara 11
Agustus 2016
Ibu Rosminda, Pr, 43 tahun, juga menjelaskan dengan mengatakan : “Orang kan berlomba ke Kota. Tapi karena ga ada sekolah ya kek gini la
kerja. Melihara Babi, Cari parnap, nasi busuk, botot. Semua dikerjakan asal bisa makan.” Wawancara 11 Agustus 2016
Hal ini sepadan dengan teori yang dikemukakan Gavin Jones dalam Jurnal Ketut Sudhana Astika bahwa bagaimana pun orang desa bermigrasi
membandingkan bahwa ada peluang atau kesempatan kerja yang lebih besar dan lebih panjang dikota, walau harus tinggal diperkampungan seperti pinggiran Kota.
Tepatnya di daerah pinggiran jalur perlintasan kereta api di Jalan Tirtosari Ujung Kelurahan Bantan.
Dari aspek sumber daya manusia terkait kualitas kesehatan, Ibu Rosminda Pr, 43 tahun juga menambahkan dengan mengatakan :
“Ya kalo bicara sehat ya sehat ajanya kami semua disini, karena kan udah kebal la dibilang. Cuma kalo berobat, konsultasi kesehatan aku pribadi sama
keluarga ke puskesmas. Karena kan kebetulan kami gratis karena lengkap KK kami.” Wawancara 11 Agutus 2016
Universitas Sumatera Utara
73
Hal sama juga terjadi pada salah satu informan Ibu Simarmata yang bekerja sebagai pedagang yang dulunya adalah pemulung. Beliau mengatakan
bahwa pada beberapa bulan yang lalu ia mendapat paket pos yang isinya berupa Kartu Indonesia Sehat yang ditujukan untuk dia dan 9 warga lainnya. Ia
menjelaskan dengan mengatakan : “Dulu kan masih muda ya kuat aja, kebal. Sekarang karena udah sakit ga
kuat lagi jalan cari botot ya gini la jualan jualan di rumah. Syukur ada kartus kis ku. Datang waktu itu tukang pos yang ngantar. Sepuluh kartunya di dalamnya
untuk ku satu.” Wawancara 14 Agustus 20016
c. Aset Sosial Social Capital
Masyarakat memang selalu bersisi dari pranata sosial yang ada termasuk sistem asuransi sehingga mereka harus membangun sendiri institusi mereka agar
mendapakan jaminan sosial Social Security yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup mereka survival melalui kekerabatan antar mereka,
asosiasi penghuni, yang sering kali menjadi sangat kuat oleh sebab rasa senasib sepenanggungan. Berdasarkan observasi, kekerabatan di Jalan Tirtosari Ujung
sangat Erat. Terlihat dari adanya Serikat Tolong Menolong dan Kegiatan Ibadah bersama yang rutin diadakan setiap hari Rabu malam bergiliran di rumah warga.
Penjelasan ini didukung oleh penuturan salah satu informan, Ibu Sitio Pr, 44 tahun, yang mengatakan :
“Kami disini ada kumpulan, kami bikin pertemuan sekali seminggu sama sekali sebulan. STM sekali sebulan pas hari minggu. Yang sekali seminggu
dari gereja partamiangan namanya” Wawancara 14 Agustus 2016
Universitas Sumatera Utara
74
Ibu R. Sirait Pr, 52 tahun juga menambahkan dengan mengatakan : “Kalo disini nang soal kekerabatan kompaknya, kalo ada pesta di bantu, yang
susah kalo bisa di tolong ya di tolong. Cuma ga kompaknya disinin kan air bersih belum masuk, mau pemerintah kami serentak mintaknya. Tapi ada yang
ga mau, katanya bersih kok sumur kami. Itu ajanya nang, kalo soal soal persaudaraan ya kompak kali disini apalagi sesama orang batak.”
Wawancara 27 Juli 2016
Masyarakat yang hidup bersama dalam sebuah pranata sosial dan memiliki pekerjaan, agama dan suku yang sama cenderung memiliki kekerabatan yang erat.
Adanya perasaan senasib juga membuatnya merasa bersaudara. d.
Aset Lingkungan Environmental Asset Dikutip dari sebuah tulisan di internet
https:id.m.wikipedia.orgwikiPNPM_Mandiri_Perkotaan di akses pada tanggal 01 sepetember 2016 Pukul 12.59 WIB bahwa gejala kemiskinan yang sering
muncul dari dimensi lingkungan adalah dalam bentuk sikap, perilaku, dan cara pandang yang tidak berorientasi pada pembangunan berkelanjutan sehingga
cenderung memutuskan dan melaksanakan kegiatan - kegiatan yang kurang menjaga kelestarian dan perlindungan lingkungan serta permukiman. Sedangkan
menurut Narayan, pada umumnya masyarakat miskin diperkotaan memang kurang atau malah tidak memiliki sumber - sumber lingkungan seperti modal
hidup mereka seperti air baku, udara bersih, tanaman, lapangan hijau, pohon - pohon, dsb. Di Jalan Tirtosari Ujung tidak semua masyarakatnya memiliki air
baku yang layak konsumsi. Terlihat dari 9 informan dalam penelitian ini, hanya 2 informan yang memiliki air air baku layak minum yang diperoleh dari air sumur
yang jernih. Selebihnya masyarakat Jalan Tirtosari Ujung memperoleh air baku dengan membeli air bersih layak konsumsi seharga Rp 4.000,- per galon. Sebab
Universitas Sumatera Utara
75
PDAM belum memberikan aliran air bersihnya masuk kewilayah ini, selain itu air sumur yang terdapat dirumah mereka airnya sangat keruh. Sehingga tidak bisa
digunakan untuk kebutuhan konsumsi. Penjelasan ini di dukung oleh penuturan salah satu informan, Ibu Rosdiana Br. Damanik Pr, 55 tahun yang mengatakan :
“Sejak disini aku ga ada air bersih dari pet, pake sumurnya orang semua disini. Dulu mau dimasukkan kian mau dipasang pipanya besar disini, tapi ga
kompak semuanya ya ga bisa lah kan. Beli - beli air galon la kami sekarang, untung ada itu. Dulu lebih ngeri lagi, air galon belum ada kek sekarang. Yang
kotor itu la diendap endapkan, itu pun masih keruh.” Wawancara 27 Juli 2016
Ibu Rani Butar - butar Pr, 49 tahun juga menambahkan dengan mengatakan : “Disini kan ga ada air PAM, ya untuk minum kan ada air isi ulang. Itula dibeli
4000 tiap 2 hari sekali, terasa juga memang. Kalo buat mandi kalo rajin orangnya disaring, diendapkan, kan turun nanti yang kotornya itu. Tapi kalo
malas ya dimandikan la yang jorok itu”Wawancara 11 Agustus 2016
Dengan demikian untuk melihat apakah masyarakat pemulung yang berada di Jalan Tirtosari Ujung termasuk dalam kategori miskin atau tidak,
Soeharto 2006 : 148 - 149 mengatakan bahwa ada tiga kategori kemiskinan yang menjadi pusat perhatian pekerjaan sosial, yaitu :
1. Kelompok yang paling miskin destitute atau yang sering didefenisikan
sebagai fakir miskin. Kelompok ini secara absolut memiliki pendapatan di bawah garis kemiskinan umumnya tidak memiliki sumber pendapatan
sama sekali serta tidak memiliki akses terhadap berbagai pelayanan sosial
2. Kelompok miskin poor. Kelompok ini memiliki pendapatan di bawah
garis kemiskinan namun secara relatif memiliki akses terhadap sosial dasar.
Universitas Sumatera Utara
76
3. Kelompok rentan vunerable group. Kelompok ini dapat dikategorikan
bebas dari kemiskinan, karena memiliki kehidupan yang relatif lebih baik ketimbang kelompok destitute maupun kelompok miskin. Namun
sebenarnya kelompok yang sering disebut “near poor” agak miskin ini masih rentan terhadap berbagai perubahan sosial disekitarnya. Mereka
sering kali berpindah status “rentan” menjadi “miskin” dan bahkan “destitute” bila terjadi krisis ekonomi dan tidak mendapat pertolongan
sosial. Jika dilihat dari standar keriteria miskin menurut BPS, terdpaat 14 kriteria
untuk menganalisinya, yaitu sebagai berikut : 1.
Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m² per orang. 2.
Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanahbambukayu murahan 3.
Jenis dinding tempat tinggal dari bamburumbiakayu berkualitas rendahtembok tanpa diplester
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besarbersama - sama dengan rumah
tangga lain 5.
Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik 6.
Sumber air minum berasal dari sumurmata air terlindungsungaiair hujan 7.
Bahan bakar untuk memasak sehari - hari adalah kayu bakararangminyak tanah
8. Hanya mengkonsumsi dagingsusuayam satu kali seminggu
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10. Hanya sanggup makan sebanyak satudua kali dalam sehari
11. Tidak sanggup bayar membayar biaya pengobatan di puskesmanpoliklinik
Universitas Sumatera Utara
77
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan
500 m², buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 60.000,- per bulan
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tanggatidak tamat SDtamat SD
14. Tidak memiliki tabunganbarang yang mudah dijual dengan minimal Rp
500.000,- seperti sepeda motor kreditnon kredit, emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya. Jika minimal 9 variabel terpenuhi
makan suatu rumah tangga miskin. Sumber : www.bps.go.id diakses pada tanggal 03 september 2016 Pukul 13.28WIB
Dengan demikian, jika mengacu pada indikator BPS maka masyarakat pemulunng yang berada di Jalan Tirtosari Ujung tidak termasuk kriteria miskin.
Namun jika berdasarkan indikator - indikator yang dikemukakan oleh para ahli diatas yang diikuti dengan hasil observasi dan wawancara lapangan maka secara
sosiologis masyarakat pemulung yang berada di Jalan Tirtosari Ujung termasuk terhadap kategori kelompok rentan vunerable group. Sebab, penghasilan yang di
peroleh dari hasil memulung, beternak dan membuat keranjang hanya Rp 50.000 - Rp 70.000 per hari. Dimana penghasilan tersebut terkuras habis untuk biaya
kehidupan sehari - hari diantaranya biaya konsumsi pangan, air listrik dan biaya pendidikan anak. Selain itu tidak adanya fasilitas air bersih yang memadai,
pendidikan yang rendah, luas bangunan yang hanya berukuran 15 x 5 m dengan rumah semi permanen.
Universitas Sumatera Utara
78
4.5 Gambaran Tindakan Kolektif Colective Action Masyarakat Pemulung yang Tinggal di Kampung Pemulung Kelurahan Bantan Kecamatan
Medan Tembung Kota Medan
Michael Useem mendefenisikan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif yang terorganisasi, yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan sosial. Gerakan
sosial ditandai dengan adanya tujuan jangka panjang, yaitu untuk mengubah ataupun mempertahankan masyarakat atau institusi yang ada didalamnya.
Gerakan sosial memiliki keanekaragaman, maka ahli sosiologi mencoba mengklasifikasikannya dengan menggunakan kriteria tertentu. David Aberle,
misalnya menggunakan kriteria tipe perubahan yang dikehendaki perubahan perseorangan atau perubahan sosial dan besarnya perubahan yang diinginkan
perubahan untuk sebagian atau perubahan menyeluruh. Adapun tipologi gerakan sosial menurut Aberle adalah sebagai berikut :
1. Alternative Movement ialah gerakan yang bertujuan mengubah sebagian
perilaku perseorangan. Dalam kategori ini dapat kita masukkan berbagai kampanye untuk mengubah perilaku tertentu. Seperti misalnya kampanye
agar orang tidak meroko, tidak minum minuman keras, dan tidak menyalahgunakan zat.
2. Redemptive Movement ialah perubahan menyeluruh pada perilaku
perseorangan. Gerakan ini kebanyakan terdapat dibidang agama, misalnya perseorangan diharap bertobat dan mengubah cara hidupnya sesuai dengan
ajaran agama.
Universitas Sumatera Utara
79
3. Reformative Movement ialah yang hendak diubah bukan perseorangan
melainkan masyarakat namun ruang lingkup yang hendak diubah hanya segi - segi tertentu masyarakat. Misalnya gerakan perempuan untuk
memperjuangkan persamaan hak dengan laki - laki. Menurut Sztompka gerakan sosial juga dianggap sebagai salah satu
fenomena di era modernitas karena beberapa alasan sebagai berikut : 1.
Kepadatan penduduk yang menyebabkan peluang mobilisasi meningkat. 2.
Rasa keterasingan yang memunculkan kerinduan terhadap sebuah komunitas dengan solidaritas dan kebersamaan.
3. Meningkatnya ketimpangan sosial dan adanya transformasi demokratis
sistem politik yang membuka peluang bagi tindakan kolektif 4.
Adanya keyakinan bahwa perubahan sosial dan kemajuan tergantung pada tindakan manusia.
5. Meningkatnya pendidikan
6. Kemunculan dan menguatnya media massa yang sebagai instrumen yang
sangat kuat mengartikulasikan, membentuk, menyatukan keyakinan, merumuskan dan menyebarkan pesan ideologis, serta membentuk
pendapat umum. Masalah kemiskinan yang paling mendasar dari segi sarana di Jalan
Tirtosari Ujung adalah masalah tidak adanya air bersih layak konsumsi dari PDAM Tirtanadi Kota Medan. Sampai saat ini masyarakat masih menggunakan
air sumur untuk aktifitas kesehariannya. Seperti yang di jelaskan oleh salah satu informan bernama Ibu Simarmata Pr, 44 tahun yang mengatakan :
Universitas Sumatera Utara
80
“Disini ga masuk air, itu ajanya masalahnya. Jadi beli la kami kalo buat minum sama masak. Pokoknya dari tahun 84 awak disini pake air sumur la.”
Wawancara 14 Agustus 2016 Untuk memecahkan masalah tersebut, masyarakat Jalan Tirtosari Ujung
pernah berembuk untuk meminta kepada pemerintah agar dimasukkan air bersih. Namun oleh pemerintah setempat mendapat penolakan dengan alasan tanah
tersebut adalah milik PJKA. Hal ini diperjelas oleh salah satu informan bernama Bapak Haloho Lk, 55 tahun yang mengatakan :
“Dulu pernah kami minta ke lurah kan, ke kepling juga. Tapi ga ada tanggapan yang enak gitu. Alasannya ga bisa pasang pipa disitu, karena
kan status tanah punya PJKA sewaktu - waktu mau digunakan.” Wawancara 11 Agustus 2016
Bapak Haloho Lk, 63 tahun juga menambahkan dengan mengatakan : “Memang kalo lurah sini dulu katanya ga bisa di pasang karena tanah
PJKA. Tapi dengar - dengar orang PDAM mau masukkan asalkan seluruh warga setuju di pasangkan pipa besar disini. Tapi memang harus bayar.” Wawancara
14 Agustus 2016
Oleh karena adanya isu harus bayar dengan ketentuan tertentu, banyak masyarakat yang tidak mau. Mereka lebih memilih untuk menikmati air sumur
dari pada harus membayar. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Ibu Rosdiana Br. Damanik Pr, 55 tahun yaitu :
“Dulu pernah kan dak disini mau dipasang pipa besar buat air masuk. Tapi ga kompak ada yang ga mau. Katanya ga ada uang buat bayar – bayarnya.
Sementara kata par air itu harus kompak semua. Ya ga jadi la ujung – ujungnya.” Wawancara 28 Juli 2016
Ibu R. Sirait Pr, 52 tahun juga menambahkan dengan mengatakan : “Cuma ga kompaknya disini kan air bersih belum masuk, mau pemerintah
kami serentak mintaknya. Tapi ada yang ga mau, katanya bersih kok sumur kami. Itu ajanya nang, kalo soal soal persaudaraan ya kompak kali disini
apalagi sesama orang batak.” Wawancara 27 Juli 2016
Universitas Sumatera Utara
81
Menurut Anthony Giddens dalam Fadhilla Putra, dkk menyatakan gerakan sosial sebagai upaya kolektif untuk mengejar kepentingan bersama atau gerakan
mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif collective action diluar ruang lingkup lembaga - lembaga yang mapan. Sehingga dari berdasarkan hasil
observasi dan wawancara gerakan sosial masyarakat pemulung di Jalan Tirtosari Ujung tergolong rendah. Dimana terlihat dari upaya bersama untuk mengejar
kepentingan bersama terkait keberadaan air bersih tidak ada kekompakan. Masyarakat masih perhitungan soal biaya pemasangan yang dianggap mahal dan
egois terhadap diri karena telah memiliki air sumur yang jernih. Namun, jika mengacu pada tindakan kolektif yang dilihat dari rasa
kebersamaan masyarakat dalam keseharian saja, tindakan kolektif masyarakat pemulung Jalan Tirtosari Ujung cukup baik. Dimana hubungan kekerabatan antar
warga berjalan dengan baik. Hal tersebut tercipta melalui kegiatan – kegiatan kemasyarakatan. Kegiatan tersebut berupa kegiatan STM Serikat Tolong
Menolong yang diadakan sebulan sekali di gereja dan kegiatan ibadah dirumah bersama yang diadakan bergiliran dirumah warga satu minggu sekali. Masyarakat
biasa menyebutnya “partamiangan”. Hal senada juga dijelaskan oleh salah satu informan, Ibu R. Sirait Pr, 52 tahun yang mengatakan :
“Ya kegiatan kami disini STM sebulan sekali, ibadah mingguan seminggu sekali di rumah - rumah. Partamiangan namanya, ini lah kami mau pigi.”
Wawancara 27 Juli 2016 Ibu Sitio Pr, 44 tahun juga menambahkan dengan mengatakan :
“Kami kan disini sama semua, sama – sama orang batak. Sama – sama peternak, sama - sama tukang botot. Jadi merasa sama, merasa keluarga. Kalo
ada yang susah ya ditolong, sakit di lihat, kek ini tadi partamiangan semalam itu
Universitas Sumatera Utara
82
dirumahnya. Ya awak bantu la masak – masaknya kan gitu.”Wawancara 14 Agustus 2016
Berdasarkan observasi dan wawancara, tindakan kolektif diatas mengacu pada perspektif Ferdinand Tonnies tentang kelompok sosial. Masyarakat
pemulung yang berada di Jalan Tirtosari Ujung Kelurahan Bantan merupakan sebuah kelompok sosial yang disebutnya gemeinschaft paguyuban. Dimana
bentuk kehidupannya diikat oleh hubungan batin yang murni bersifat nyata dan organis. Seperti ciri - ciri paguyuban yang dikemukakan Ferdinand Tonnies
sebagai berikut : 1.
Intimate, artinya hubungan menyeluruh yang mesra sekali. Masyarakat pemulung yang berada di Jalan Tirtosari Ujung memiliki
pekerjaan, agama dan suku yang sama. Sehingga mereka seluruhnya merasa satu keluarga dan bersaudara.
2. Private, artinya hubungan pribadi yang terkhusus untuk beberapa orang
saja 3.
Exclusive, artinya hubungan tersebut hanya untuk mereka dan bukan untuk orang - orang diluar mereka.
Hal ini diperjelas oleh salah satu informan bernama Ibu Rosdiana Br Damanik Pr, 55 tahun yang mengatakan :
“Kalo orang - orang disini saling bersaudaranya, apalagi sama - sama orang batak parnap sampek ke mandala sebrang rel ini apanya, relasinya.
Makanya kami lebih sering kesana ngapa - ngapain karena sama itu rasanya.” Wawancara 28 Juli 2016
Universitas Sumatera Utara
83
Ibu Dewi Aritonang, Pr, 38 tahun juga menambahkan dengan mengatakan :
“Anak kakak yang besar ini sekolahnya disana, mandala. Iya, lebih kesananya kami semua orang sini. Ya karena kan disana banyak batak,
sama – sama parnap jadi kek merasa bersaudara la gitu kan.”Wawancara 04 Agustus 2016
Ferdinand Tonnies juga mengemukakan bahwa di dalam masyarakat selalu ditemui tiga tipe paguyuban,diantaranya :
1. Gemeinschaft by blood, merupakan gemeinschaft yang berupa ikatan yang
didasarkan pada ikatan darah atau keturunan. Seperti yang terjadi di jalan Tirtosari Ujung bahwa ada masyarakat yang pada dasarnya merupakan
keluarga yang memilih untuk tinggal disitu. Selain itu adanya sebuah warisan budaya batak tentang paham bahwa semua manusia bersuku batak
toba yang terdiri dari marga - marga jika di telaah lebih lanjut merupakan masyarakat yang memiliki satu nenek moyang yang sama. Sehingga
diantara mereka tercipta paguyuban. 2.
Gemeinschaft of place, merupakan gemeinschaft yang terdiri atas orang- orang yang berdekatan tempat tinggalnya sehingga dapat saling menolong,
misalnya RT dan RW. Selain merasa satu keluarga, masyarakat pemulung yang menjadi objek kajian dalan penelitian ini tinggal bersama di Jalan
Tirtosari Ujung Lingkungan 14 Kelurahan Bantan. Sehingga berdasarkan observasi dan wawancara paguyuban atau kekerabatan diantara mereka
sangat erat. 3.
Gemeinschaft of mind, merupakan gemeinschaft yang terdiri atas orang- orang yang walaupun tidak memiliki hubungan darah ataupun tempat
Universitas Sumatera Utara
84
tinggalnya tidak berdekatan, tetapi mereka memiliki jiwa dan pikiran yang sama karena ideologi yang dianut sama. Misalnya: kelompok pengajian,
partai politik, dan pergerakan mahasiswa. Masyarakat pemulung yang berada di Jalan Tirtosari Ujung merupakan masyarakat yang memiliki
pekerjaan yang sama, suku yang sama, dan beragama yang sama yaitu kristen protestan. Sehingga lebih mudah bagi mereka membentuk
kelompok ibadah dan serikat tolong menolong. Hal senada ini seperti yang diutarakan oleh salah satu informan bernama Ibu Sitio Pr, 44 tahun yang
mengatakan : “Kami disini kan udah satu suku kian, satu agama juga jadi ya enak lah
ngajak kumpulnya. Biar akur, biar kompak kami buat la STM, Perkumpulan gereja seminggu sekali.”Wawancara 14 Agustus 2016
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan - penjelasan diatas terlihat bahwa kekerabatan diantara masyarakat pemulung yang berada di Jalan Tirtosari
Ujung cukup erat. Adanya pertemuan satu wadah yang cukup signifikan untuk tetap menjaga kohesi sosial diantara sesama warga masyarakat pemulung di Jalan
Tirtosari Ujung.
Universitas Sumatera Utara
85
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan