Aspek Hukum Materiil Pengadilan Agama

commit to user 30 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Landasan Keputusan Pengadilan Agama terhadap hukum materiil dan

hukum formil pengadilan agama sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

1. Aspek Hukum Materiil Pengadilan Agama

Sebagaimana telah diterangkan di muka, bahwa sebelum dlberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang- undang Nomor 3 Tahun 2006 Peradilan Agama di Indonesia memiliki dasar hukum dan kewenangan yang terluang dalam 3 peraturan perundang-undangan, yaitu Staatsblad 1882 Nomor 152 jo. Staatsolad 1937 Nomor 116, 610 dan Staatsblad 1937 638, 639, serta Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957. Pembicaraan mengenai hukum materiil yang berlaku di pengadilan agama sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, tak bisa lepas dari kewenangan yang diberikan oleh ketiga peraturan perundangan tersebut di atas kepada semua Pengadilan Agama di Indonesia. Dari ketentuan Staatsblad 1882 Nomor 152 Pasal 2 ayat 1 dijabarkan bahwa kewenangan Pengadialn Agama meliputi: a. Memeriksa dan memutus perkara perselisihan antara suami dan istri yang beragama Islam. b. Memeriksa dan memutus apakah suatu pernikahan dan rujuk sah atau tidak. c. Memeriksa dan memutus perkara cerai talak dan cerai gugatan serta menyatakan talak yang digantungkan talik talak sudah adamemenuhi syarat. d. Memeriksa dan memutus gugatan nafkah dan maskawin yang belum dibayar serta hak-hak bekas istri yang ditalak, seperti nafkah masaiddah dan uang mutah. 30 commit to user 31 Penjabaran sebagaimana tersebut di atas, bila disimpulkan lagi, maka kewenangan Pengadilan agama itu adalah meliputi perkara-perkara nikah, talak dan rujuk dari suami istri yang beragama Islam, serta yang berhubungan dengan gugatan nafkah, mahar dan mutah. Kesemua yang dikemukakan itu adalah berdasarkan ketentuan Staatsblad 1882 Nomor 152 jo. Staatsblad 197 No. 116 dan 610. Adapun untuk wilayah Kerapatan Qadi di Kalimantan Selatan dan Timur, pada dasarnya sama dengan kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di Jawa dan Madura. Kewenangan Pengadilan Agama ini dirumuskan dalam Staatsblad 1937 Nomor 638 Pasal 3. Dan kewenangan Mahkamah Syariah Pengadilan Agama untuk di luar Jawa dan Madura, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 Pasal 4 ayat 1. Dari rumusan Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa kewenangan Mahkamah Syariah Pengadilan Agama ini adalah: a. Mengadili perkara dari suami istri yang beragama Islam. b. Dalam bidang perkara talak, nikah, rujuk, lermasuk perkara fasakh dan syiqaq. c. Menetapkan gugatan nafkah, mahar yang belum dibayar. d. Mengadili perkara hadlanah, waris mewaris, wakaf, hibah, sadaqah, baitulmal dan lain-lain. Yang penulis maksud adalah, perbedaan lapangan kewenangan absolut, otomatis akan mempengaruhi hukum materiil yang akan diterapkan oleh hakim yang mengadili suatu perkara. Sehingga dapat dipastikan bahwa hasil keputusan Pengadilan Agama dalam mengadili satu perkara tertentu. Dalam ketiga peraturan perundang-undangan di atas, memang tidak disebut secara kongkrit tentang hukum materiil apa yang digunakan dalam mengadili perkara yang diajukan kepada PengadilanAgama. Pasal 2 ayat 1 Staatsblad Nomor 152 dan Pasal 3 Staatsblad 1937 nomor 638 lebih menekankan pada pcrsonalitas kcislaman para pihak yang berperkara, commit to user 32 bukn pada hukum materiil yang akan diterapkan di Pengadilan Agama. Lain halnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957 untuk wilayah luar Jawa dan Madura, Kalimantan Selatan dan Timur. Pada Peraturan Pemerintah ini nampaknya menyatakan sedikit lebih tegas tentang hukum materiil yang diberlakukan di Pengadilan Agama, walaupun masih terdapat perbedaan pendapat dalam menafsirkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah tersebut. Dalam Pasal 4 ayal 1 peraturan tersebut dinyatakan : Pengadilan AgamaMahkamah Syariah memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan segala perkara menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafaqah, maskawin mahar, tempat kediaman maskan, mutah, dan sebagainya, hadlanah, perkara waris-mewaris, wakaf hibah, sadaqah, baitulmal, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan bahwa syarat taklik sudah berlaku. Selanjutnya dalam memori penjelasan atas Peraturan ini, pada paragraf 16 dinyatakan : “ . . . begitu pula urusan penetapan bahagian pusaka untuk ahli waris, soal- soal wakaf, hibah, sadqah dan baitul mal, yang harus diputus menurut hukum syariat Islam tidak mendapat pelayanan semestinya. Dan pada paragraf 18 dinyatakan : ... secara integral memberikan keseragaman penyelesaian perselisihan perkara perdata dari orang Islam diputus menurut hukum syariat Islam. Jadi menurut penjelasan Peraturan Pemerintah tersebut jelaslah bahwa hukum materiil yang diberlakukan di Pengadilan Agama sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 adalah hukum Islam, karena hukum Islam dianggap hukum yang hidup di masyarakat saat itu. Menurut hukum Islam khususnya dalam kajian peradilan Islam, bahwa hukum materiil yang wajib diterapkan oleh hakim Islam di pengadilan adalah hukum Islam itu sendiri. Hukum Islam yang dimaksud commit to user 33 di sini adalah hukum yang bersumber dari Al-Quran dan As Sunnah. Landasan keputusan pengadilan agama terhadap materiil Pengadilan Agama sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama pada dasarnya menerangkan bahwa hukum materiil peradilan agama terkait dengan tindakan-tindakan hukum yang terkait dengan kegiatan memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dan segala perkara menurut hukum yang hidup diputus menurut hukum agama Islam yang berkenaan dengan nikah, talak, rujuk, fasakh, nafaqah, maskawin mahar, tempat kediaman maskan, mutah, dan sebagainya, hadlanah, perkara waris-mevvaris, wakaf hibah, sadaqah, baitulmal, dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutuskan bahwa syarat taklik sudah berlaku. Selain itu dalam landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum materiil sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa terkait dengan penetapan bahagian pusaka untuk ahli waris, soal-soal wakaf, hibah, sadqah dan baitul mal, yang harus diputus menurut hukum syariat Islam tidak mendapat pelayanan semestinya. Landasan keputusan pengadilan agama sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama menerangkan bahwa secara integral memberikan keseragaman penyelesaian perselisihan perkara perdata dari orang Islam diputus menurut hukum syariat Islam. Dan pada dasarnya pandangan hukum Islam terhadap hukum materiil yang diberlakukan di Pengadilan Agama sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah hukum Islam, karena hukum Islam dianggap hukum yang hidup di masyarakat saat itu. Untuk itu pada saat itu hukum materiil yang wajib diterapkan oleh hakim Islam di pengadilan adalah hukum Islam. Sedangkan hukum Islam yang dimaksud di sini adalah hukum yang bersumber dari Al-Quran dan As Sunnah dan Ar Rayu dari orang commit to user 34 yang memenuhi syarat untuk berijtihad dengan metode ijma, qiyas, istihsan, istidal, maslahah mursalah dan lain-lain. Namun landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum materiil setelah pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Adapun mengenai hukum materiil sesuai dengan penjelasan umum undang-undang tersebut menerangkan bahwa Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama yang mempunyai tugas memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antar orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah berdasarkan hukum Islam. Adapun mengenai hukum materiil pasca lahirnya Undang-undang Nomor.7 Tahun 1989, perlu penulis kutip kembali bunyi penjelasan umum undang-undang tersebut sebagai berikut: ….. Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama utuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antar orang- orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah berdasarkan hukum Islam. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan hukum di Indonesia, maka penjelasan umum undang-undang di atas mempertegas lagi bahwa hukum yang hidup sebagaimana terdapat dalam memori penjelasan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957, adalah hukum Islam. Sedangkan hukum yang hidup yang mencerminkan teori resepsi yang dikumandangkan oleh Prof Snouck Nurgronye telah tamat riwayatnya. Cik Hasan Bisri, 1997: 132. Menurut penjelasan M. Yahya Harahap, ketentuan Pasal 2 dan penjelasan umum angka 2 alinea ketiga, serta pasal 49 ayat 1 Undang- undang Nomor 7 Tahun 1989, khususnya menyangkut asas personalitas keislaman, dijumpai beberapa penegasan, yaitu : a. Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam. b. Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara commit to user 35 di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wakaf dan shadaqah. c. Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. M. Yahya Harahap, 1989 : 38 Seperti yang penulis jelaskan di muka, bahwa pembicaraan mengenai perkembangan hukum materiil di lingkungan Peradilan Agama di Indonesia pasca diberlakukannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tak bisa leepas dari lahirnya Kompilasi Hukum Islam KHI di Indonesia melalui Instruksi Presiden Inpres Nomor 1 tahun 1991 ada masa lebih kurang 1 tahun 6 bulan setelah lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Sebagaimana diketahui bahwa KHI terdiri dari tiga buku : buku 1 tentang Perkawinan, buku 11 tentang Kewarisan, dan buku 111 tentang Perwakafan. KHI bertujuan antara lain untuk merumuskan secara sistematis hukum Islam di lingkungan Pengadilan Agama, dan guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di lingkungan Pengadilan Agama, serta sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang lebih seragam dalam lalu lintas pergaulan masyarakat Islam Indonesia. Dari penjelasan-penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa hukum materiil sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun, 2006 bersumber dari hukum Islam dan secara prinsip, sesuai dengan hukum Islam, walaupun terbatas dan masih dianggap sebagai hukum yang tidak tertulis di Indonesia. Sedangkan hukum materiil setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 juga berdasarkan hukum Islam dan sesuai dengan hukum Islam khususnya dengan lahirnya KHI, sebagai wujud bahwa hukum Islam dalam perkembangan hukum di Indonesia meningkat menjadi hukum tertulis yang secara sah diterapkan di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan masyarakat Indonesia. commit to user 36 Dan usaha ulama dan umara dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 serta KHI, merupakan cerminan dari usaha mempersiapkan bangsa Indonesia khususnya yang beragama Islam untuk tetap memegang teguh ajaran agama dalam kehidupan bernegara, terutama dalam perkara perdata tertentu seperti yang tertuang dalam Undang-undang tersebut. Lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan KHI tentunya semakin mendekatkan Pengadilan Agama yang ada di Indonesia selama ini kepada hukum Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah beliau. Landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum materiil setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 dijelaskan dalam Pasal 2 dan penjelasan umum angka 2 alinea ketiga, serta Pasal 49 ayat 1 Udang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa dalam asas personalitas keislaman dalam keputusan peradilan agama terkait masalah 1 Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam; 2 Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wakaf dan shadaqah; dan 4 Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam. M. Yahya Harahap, 1989 : 38. Perkembangan hukum materiil di lingkungan Peradilan Agama di Indonesia pasca diberlakukannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tak bisa leepas dari lahirnya Kompilasi Hukum Islam KHI di Indonesia melalui Instruksi Presiden Inpres Nomor 1 tahun 1991 ada masa lebih kurang 1 tahun 6 bulan setelah lahirnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. KHI terdiri dari tiga buku : buku 1 tentang Perkawinan, buku 11 tentang Kewarisan, dan buku 111 tentang Perwakafan. KHI bertujuan antara lain untuk merumuskan secara sistematis hukum Islam di commit to user 37 lingkungan Pengadilan Agama, dan guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di lingkungan Pengadilan Agama, serta sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang lebih seragam dalam lalu lintas pergaulan masyarakat Islam Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa hukum materiil sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun, 2006 bersumber dari hukum Islam dan secara prinsip, sesuai dengan hukum Islam, walaupun terbatas dan masih dianggap sebagai hukum yang tidak tertulis di Indonesia. Sedangkan hukum materiil setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 juga berdasarkan hukum Islam dan sesuai dengan hukum Islam khususnya dengan lahirnya KHI, sebagai wujud bahwa hukum Islam dalam perkembangan hukum di Indonesia meningkat menjadi hukum tertulis yang secara sah diterapkan di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan masyarakat Indonesia. Lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan KHI tentunya semakin mendekatkan Pengadilan Agama yang ada di Indonesia selama ini kepada hukum Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah beliau.

2. Aspek Hukum Formil Pengadilan Agama