Aspek Hukum Formil Pengadilan Agama

commit to user 37 lingkungan Pengadilan Agama, dan guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di lingkungan Pengadilan Agama, serta sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang lebih seragam dalam lalu lintas pergaulan masyarakat Islam Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa hukum materiil sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun, 2006 bersumber dari hukum Islam dan secara prinsip, sesuai dengan hukum Islam, walaupun terbatas dan masih dianggap sebagai hukum yang tidak tertulis di Indonesia. Sedangkan hukum materiil setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 juga berdasarkan hukum Islam dan sesuai dengan hukum Islam khususnya dengan lahirnya KHI, sebagai wujud bahwa hukum Islam dalam perkembangan hukum di Indonesia meningkat menjadi hukum tertulis yang secara sah diterapkan di pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan masyarakat Indonesia. Lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan KHI tentunya semakin mendekatkan Pengadilan Agama yang ada di Indonesia selama ini kepada hukum Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah beliau.

2. Aspek Hukum Formil Pengadilan Agama

Peradilan Agama adalah peradilan negara yang sah. Di samping sebagai peradilan khusus, yakni sebagai peradilan Islam di Indonesia, yang diberi peraturan perundang-undangan negara, untuk mewujudkan hukum materiil Islam dalam batas-batas kewenangannya. Untuk melaksanakan tugas pokoknya menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara dan fungsinya menegakkan hukum dan keadilan maka sebelum lahirnya Undang-undang Nomor. 3 tahun 2006, ia menggunakan hukum formulir yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga hukum formil Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan di commit to user 38 Indonesia. Raihan A. Rasyid, 1995 : 20. Sumber hukum acara yang dimaksud di alas antara lain adalah peraturan perundang-undangan yang menjadi inti hukum acara Peradilan Umum, yaitu : a. HIP atau disebut juga RIB b. R.Bg atau disebut juga Reglemen untuk daerah luar Jawa dan Madura. c. Rsv. yang zaman Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie. d. BW atau disebut juga Kitab Undang-undang Hukum Perdata Eropa. e. Undang-undang Nomor 2 tahun 1986, tentang Peradilan Umum. Di samping itu, adalah hukum acara yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang sama-sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama yaitu : a. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. b. Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. c. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut. Ibid, 21. d. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Secara umum prinsip-prinsip yang terkandung dalam 8 sumber- sumber hukum acara tersebut di atas tidaklah bertentangan dengan asas- asas hukum formil dalam Peradilan Islam. Sebagai ilustrasi, berikut penulis kemukakan beberapa asas hukum acara yang dimaksud tersebut: a. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 b. Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membedakan orang. Pasal 5 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Hal ini sesuai dengan maksud ayat Al-Quran surag An Nisa ayat 105 yang berbunyi : Artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antar manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah commit to user 39 kamu menjadi penantang orang yang tidak bersalah karena membela orang-orang yang khianat. Depag RI, 1990 : 189. c. Peradilan dilakukan berbeda dari pengaruh dan campur tangan dari luar, semata-mata demi terwujudnya kebenaran dan keadilan melalui penegakan hukum Pasal 4 3 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Asas ini juga sejalan dengan ayat Al-Quran di atas. d. Persidangan terbuka untuk umum Pasal 19 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Hal ini sesuai dengan ayat Al-Quran surah An Nur ayat 2 : Artinya : Dan hendaklah pelaksanaan hukum mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. Depag RI, 1990 : 543. e. Hakim mendengarkan kedua belah pihak Pasal 121 HIR142 R.Bg. Kedua belak pihak diperlakukan sama di muka sidang. Asas ini cocok sekali dengan Hadits Rasulullah : Sunan At Tirmidzi, 1978 : 395. Artinya : Apabila dua orang mengajukan perkara kepada engkau, maka kanganlah engkau putuskan untuk si penggugat hingga engkau mendengarkan pembicaraan dan tergugat. Maka kelak engkau mengetahui bagaimana engkau memutuskannya. f. Pihak termohon atau tergugat wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dengan kekuatan hukum yang tetap Pasal 8 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. Asas ini juga sejalan dengan kaidah fiqh : Muslih Usman, 1996 : 202. Artinya : Pada dasarnya seseorang itu bebas dari tanggungan. g. Putusan harus disertai alasan Pasal 25 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Pasal 178 1 H1R. Asas ini sejalan maksudnya dengan kaidah flqih : Penetapan sesuatu hukum diperlukan adanya dalil.Muslih Usman, 1996 : 202. Sebab para ulama sepakat bahwa penetapan hukum harus didasarkan atas suatu dalil, baik dari nash maupun dalil ijtihad. commit to user 40 a. Pelaksanaan putusan wajib menjaga terpeliharanya perikemanusiaan dan perikeadilan Pasal 36 4 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004. b. Hakim wajib mendamaikan para pihak Pasal 130 HIR, yasal 39 2 Undang-undang nomor 1 tahun 1974. Sedangkan hukum formil Pengadilan Agama setelah berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, secara kongkrit terkandung dalam Pasal 54 Undang-undang tersebut, yaitu : Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Hal itu menunjukkan bahwa hukum formil yang berlaku adalah hukurn tertulis sebagaimana yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, di samping adanya kekecualian dan kekhususan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Kekhususan tersebut meliputi prosedur cerai talak, cerai gugat, cerai dengan alasan zina dan biaya perkara. Cik Hasan Bisri, 1997 : 133. Dalam undang-undang tersebut prosedur cerai talak diatur dalam paragraf 2, yaitu Pasal 66 sampai dengan Pasal 72. Di sini cerai talak menjadi hak suami, karena itu ia menjadi pihak pemohon. Suami yang akn menceraikan istnnya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak. Permohonan itu diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, yaitu pihak istri. Sedangkan prosedur cerai gugat diatur dalam paragraf 3 yaitu Pasal 73 sampai dengan Pasal 86. Cerai gugat menjadi hak istri yang diajukan kepada pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat istri, kecuali jika penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman tapa seizin tergugat suami. Memang mengenai perceraian ini sebelumnya telah diatur dalam Bab VII Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dilengkapi pula commit to user 41 dengan aturan pelaksanaannya dalam Bab V Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.Namun di situ terasa agak memberatkan pihak istri dalam mengajukan gugat cerai. Sebagai gantunya, dituangkan dalam Pasal 73 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang berjudul Tata Cara Perceraian. Menurut M. Yahya Harahap, pergaulan itu dimaksudkan untuk menyesuaikan dinamika tata cara pemeriksaan perkara perkawina ke arah menjembatani tuntutan praktek dan kesadaran masyarakat, terutama untuk melindungi pihak istri dalam mengajukan penjelasan Pasal 73 ayat 1 undang-undang tersebut. Pengkhususan perlindungan terhadap wanita, dalam hal ini pihak istri, baik sebagai termohon maupun sebagai penggugat, menunjukkan bahwa dalam kehidupan keluarga, istri berada dalam posisi yang lemah dibanding laki-laki baik dilihat dari segi fisik, mental, kejiwaan dan lain- lain. Hal ini sebenarnya telah diisyaratkan oleh ketentuan Al Quran surat An Nisa ayat 34 Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Depag. RI. 1990:123. Selain itu, telah dimaklumi bersama bahwa otoritas suami sebagai kepala keluarga, pada umumnya lebih besar daripada istri. Pengambilan keputusan lebih dominan ditentukan oleh sumai daripada istri. Dengan demikian pengkhususan dalam bentuk perlindungan terhadap wanita ini tidaklah bertentangan dengan ayat al-Quran di atas. Selanjutnya, yang menyangkut pengkhususan hukum acara setelah berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah masalah cerai dengan alasan zina. Dalam undang-undang tersebut prosedur cerai dengan alasan zina diatur dalam paragraf 4, yaitu Pasal 87 ayat 1 dinyatakan: Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat menyanggah commit to user 42 alasan tersebut, dan hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti itu tidak mungkin lagi diperoleh, baik dari pemohon atau penggugat maupun termohon atau tergugat, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah. Apabila sumpah itu dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya hanya dapat dilakukan dengan cara lian. Dan apabila sumpah itu dilakukan istri, penyelesaiannya dilakukan dengan hukum acara yang berlaku. Tata cara perceraian .dengan alasan zina, kemudian diselesaikan dengan cara lian ini jika suami yang bersumpah adalah wujud nyata pelaksanaan ketentuan Al Quran surat An Nur ayat 6 sampai dengan 9, yaitu: Artiuya: Dan orang-orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak ada saksi-aksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar 6. Dan sumpah yang kelima: bahwa lanat Allah atasnya, jika ia termasuk orang-orang yang berdusta 7. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta 8. Dan sumpah yang kelima; bahwa lanat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar 9. Depag. RI. 1990:544 Adapun tentang biaya perkara diatur dalam bagian ketiga, yaitu dalam Pasal 89, 90 dan 91. Menurut ketentuan Pasal 89 ayat 1, dinyatakan: Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat atau pemohon. Dalam ketentuan itu biaya perkara dibebankan kepada pihak yang mengajukan, bukan kepada pihak yang kalah, karena dalam perkawinan tidak dikenal yang kalah dan pihak yang menang. Hal ini merupakan suatu commit to user 43 kekhususan hukum acara pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, pengadilan yang berfungsi sebagai pemutus dan penyelesai keretakan keluarga, baik antara suami dan istri, maupun antara orang tua dengan orang tua dengan anak. la merupakan suatu peradilan keluarga family court, yang mempertimbangkan aspek-aspek sosial dan psikologis dalam lingkungan keluarga. Cik Hasan Bisn, 1997:133-134. Dan semua penjelasan penulis tentang hukum formil di Pengadilan Agama di atas, dapatlah disimpulkan bahwa hukum formil baik sebelum maupun sesudah lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 secara prinsip tidaklah bertentangan dengan hukum Islam. Hanya saja kekhususan hukum formil pasea Undang-undang tersebut yang meliputi prosedur cerai talak, cerai gugat, cerai dengan alasan zina dan biaya perkara, tampak lebih tegas dan jelas daripada peraturan perundang- undangan yang berlaku sebelumnya serta lebih mendekati kapada jiwa hukum Islam. Landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum formil Peradilan Agama sebelum dan sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menerangkan bahwa dalam peradilan agama yang ada di Indonesia didasarkan pada sumber hukum acara peradilan umum seperti 1 HIP atau disebut juga RIB; 2 R.Bg atau disebut juga Reglemen untuk daerah luar Jawa dan Madura; 3 Rsv. yang zaman Belanda dahulu berlaku untuk Raad van Justitie; 4 BW atau disebut juga Kitab Undang-undang Hukum Perdata Eropa; 5 Undang-undang Nomor 2 tahun 1986, tentang Peradilan Umum. Dan juga didasarkan pada sumber peraturan perundang-undangan yng ada di ligkungan peradilan agama seperti : 1 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; 2 Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; 3 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan undang- undang tersebut 4 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang commit to user 44 Kekuasaan Kehakiman. Sumber-sumber hukum tersebut digunakan karena tidak bertentangan dengan asas formil dalam Peradilan Islam. Selain itu dalam keputusan peradilan agama, para ulama sepakat bahwa penetapan hukum harus didasarkan atas suatu dalil, baik dari nash maupun dalil ijtihad. Hal ini dikarenakan bahwa pelaksanaan putusan wajib menjaga terpeliharanya perikemanusiaan dan perikeadilan Pasal 36 4 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, dan hakim wajib mendamaikan para pihak Pasal 130 HIR, yasal 39 2 Undang-undang nomor 1 tahun 1974. Sedangkan landasan keputusan pengadilan agama terhadap hukum formil sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama pada dasarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 54 yang menerangkan bahwa hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang- undang ini. Hal itu menunjukkan bahwa hukum formil yang berlaku adalah hukurn tertulis sebagaimana yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, di samping adanya kekecualian dan kekhususan yang diatur dalam undang-undang lersebut. Kekhususan tersebut meliputi prosedur cerai talak, cerai gugat, cerai dengan alasan zina dan biaya perkara. Cik Hasan Bisri, 1997 : 133. commit to user 45

B. Landasan keputusan pengadilan agama