commit to user 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Alur kehidupan manusia di dunia ini ibarat sebuah pelayaran di samudra luas. Sehingga untuk mengarunginya manusia perlu waspada, ada
tata aturan dan tata nilai yang harus dipegangi sebagai petunjuk. Tanpa aturan dan tata nilai, maka manusia akan terombang-ambing dan tersesat tanpa
tujuan. Dalam kondisi seperti itulah manusia sesungguhnya membutuhkan
satu buku petunjuk tentang kebenaran atas segala sesuatu di bumi ini, yang akan memberi arah yang benar hingga mencapai tujuan yang hendak
dicapainya. Buku petunjuki ini tidak lain adalah Al-Qur’an sebuah kitab suci yang diturunkan Allah SWT untuk segenap manusia rasul-Nya Muhammad
SAW hingga akhir jaman nanti. Hal ini adalah logis, sebab Al-Qur’an diturunkan oleh Tuhan semesta alam, pencipta semua isi langit dan bumi,
yang mengetahui segala sesuatu, hingga tak satu helai daun pun yang jatuh ke permukaan bumi yang terlepas dari pengetahuan-Nya.
Sebagai cahaya utama bagi umat Islam, Al-Qur’an menyinari jalan bagi siapa saja yang berpegang teguh kepada-Nya. Al-Qur’an tidak hanya
mengatur soal peribadatan, tetapi juga mengatur semua masalah yang ada hubungannya antar manusia yang meliputi aspek-aspek antara lain ; ilmu
pengetahuan, politik, sosial, budaya, ekonomi dan hukum yang mengatur lalu lintas kehidupan manusia. Demikianlah Allah telah memberikan rahmat-Nya
pada umat manusia seluruhnya, dan kepada umat Islam khususnya. Namun aturan-aturan atau hukum-hukum Tuhan tersebut tidak
mungkin bisa dilaksanakan tanpa adanya suatu kekuatan atau lembaga yang diberi wewenang dan kekuasaan untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut.
Lembaga inilah yang dikenal sebagai lembaga peradilan atau pengadilan. Sedangkan orang yang diberi wewenang untuk melaksanakan tugas peradilan
disebut sebagai hakim. 1
commit to user 2
Dalam bukunya “Peradilan Dalam Hukum Acara Islam”, Hasbi Ash Shiddiqi mengatakan :
“Peradilan telah dikenal dari zaman purba dan dia merupakan suatu kebutuhan hidup bermasyarakat. Tidak dapat suatu pemerintahan tanpa
adanya peradilan.” Hasbi Ash Shiddiqi, 1964 : 7. Menyusun berbagai undang-undang lanjut beliau tidaklah cukup untuk
mewujudkan keselamatan hidup berbagai masyarakat, apabila di samping undang-undang itu tidak ada peradilan yang berwenang menjalankan undang-
undang tersebut. Adanya dalil yang menunjukkan kepada keharusan adanya lembaga
peradilan adalah firman Allah Al-Quran surah Shad : 26 : Artinya
: Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu kholifah penguasa di muka bumi, maka berilah keputusan perkara di
antara manusia dengan adil. Depag RI. 1980 : 736. Di Indonesia, lembaga peradilan Islam sebagaimana dimaksud di atas,
dikenal dengan istilah Pengadilan Agama, yang sejak tahun 1970 secara yuridis telah sejajar kedudukannya dengan tiga badan peradilan yang lainnya,
yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini terlihat dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam perkembangannya, Peradilan Agama di Indonesia menyentuh
setidaknya empat aspek : pertama, berkenaan dengan kedudukan peradilan dalam tata hukum nasional ; kedua, berkenaan dengan susunan dengan badan
peradilan ; ketiga, berkenaan dengan kekuasaan pengadilan ; dan keempat, berkenaan dengan hukum acara yang dijadikan landasan penerimaan,
pemeriksaan, pemutusan, dan pemyeleseain sengketa perkara. Upaya pengembangan empat aspek tersebut telah dimulai sejak awal
kemerdekaan. Hal itu dilakukan berkenaan dengan pembentukkan tata hukum nasioanl untuk menggantikan tata hukum yang diwariskan oleh kolonial
commit to user 3
Hindia-Belanda karena itu dapat disaksikan bahwa kedudukan, susunan dan kekuasaan badan peradilan mengalami variasi.
Adapun dasar yang dijadikan rujukan dalam perubahan itu adalah Pasal 24 dan 25 UUD 1945. Mengacu kepada ketentuan ini, dilakukan
perubahan susunan dan kekuasaan badan peradilan dalm Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948, kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1964, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 dan terakhir Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dinyatakan
bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya
berdasarkan ketentuan undang-undang. Kemudian pada tanggal 29 Desember 1989 terjadi peristiwa yang
berkenaan dengan berlakunya sebagian hukum Islam dan penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia. Peristiwa itu adalah pengesahan Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang tersebut merupakan salah satu peraturan perundang-undangan untuk
melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam upaya mewujudkan suatu tatanan hukum
nasional yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945, yang berangkai dengan peraturan perundangan lainnya yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sebagai pengganti peraturan
perundangan lainnya, memuat beberapa perubahan penting dalam penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia. Perubahan-perubahan itu
berkenaan dengan ; 1 dasar hukum penyelenggaraan peradilan, 2 kedudukan peradilan, 3 susunan pengadilan, 4 kedudukan, pengangkatan dan
pemberhentian hakim, 5 kekuasaan pengadilan, 6 hukum acara peradilan, 7 penyelenggaraan administrasi peradilan, dan 8 perlindungan terhadap wanita.
Cik Hasan Bisri, 1997:126.
commit to user 4
Ada hal yang menarik untuk dicermati sehubungan dengan perkembangan peradilan Islam di Indonesia, yakni bagaimanakah pandangan
hukum islam terhadap keputusan Pengadilan Agama di Indonesia baik sebelum maupun sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama diberlakukan. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penulisan hukum ini penulis
ingin mengangkat permasalahan tentang pandangan hukum Islam terhadap keputusan pengadilan agama sebelum dan sesudah Undang-Undang nomor 7
Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Untuk itu dalam penulisan hukum ini mengambil judul
“LANDASAN KEPUTUSAN PENGADILAN AGAMA SEBELUM DAN SESUDAH UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 jo UNDANG-
UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA”.
B. Rumusan Masalah