commit to user 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Dasar Penyelenggaraan Pengadilan Agama Sebelum UU Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Pada hakikatnya cita-cita untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri merupakan cita-cita universal. Hal
ini bisa dilihat dalam Basic Principles On Independence of The Judiciary, yang diajukan oleh Majelis Umum PBB Resolusi 4032
tanggal 29 Nopember 1985 dan resolusi 40146 tanggal 13 Desember 1985. Juga bisa dilihat pada Beijing Statement Of Principles Of The
Independence The Law Asia Region Of The Judiciary di Manila tanggal 28 Agustus 1997, dimana didalamnya ditegaskan bahwa:
a. Kehakiman merupakan institusi nilai yang tertinggi pada setiap
masyarakat; b.
Kemerdekaan hakim mempersyaratkan bahwa hukum memutuskan sebuah perkara sepenuhnya atas dasar pemahaman
undang-undang dan terbebas dari pengaruh dari manapun, baik langsung maupun tidak langsung, hakim memiliki yurisdiksi
atas segala isu yang memerlukan keadilan. Moravcsik, Andrew. 2000 :114
Di Indonesia kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang ada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan TUN, peradilan militer, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Demikian
ketentuan yang terdapat dalam pasal 24 ayat 2 UUD 1945. Perluasan kekuasaan kehakiman di negara demokrasi baru sebagian
besar merupakan fungsi dari kelihaian pengadilan secara bertahap memperluas legitimasi dan lingkup pengaruh, tanpa adanya kekuasaan
commit to user 14
yang bertentangan pada lingkungan politik di mana mereka beroperasi. Tom Ginsburg, 2003 : 17.
Pada masa lalu independensi kekuasaan kehakiman dapat dikategorikan menjadi 2 dua hal, yaitu independen normatif dan
independen empiris. Dari dua macam ini dalam prakteknya saling berkaitan satu sama lain, sehingga dilapangan muncul beberapa bentuk
independensi sebagai berikut: a.
Secara normatif independen dan realitanya juga independen. Disini antara ketentuan yang ada dalam perundang-undangan
dengan kenyataan yang ada di lapangan kekuasaan kehakiman sama-sama independen. Bentuk ini merupakan bentuk ideal yang
seharusnya terjadi pada sebuah negara hukum. b.
Secara normatif tidak independen dan realitanya juga tidak independen. Di Indonesia, model ini pernah terjadi pada tahun
1964 ketika UU No 19 Tahun 1964 disahkan, dimana pada pasal 19 nya disebutkan bahwa presiden dapat turut atau campur tangan dalam
masalah pengadilan dan realitanya dilapangan hal itu terjadi. Model ini merupakan terburuk dari model kekuasaan kehakiman
karena kekuasaan kehakiman tidak merdeka dan tidak independen. c.
Secara normatif independen, akan tetapi realitanya tidak independen. Di Indonesia, model ini pernah terjadi pada masa orde
baru dimana dalam peraturan perundang-undangan secara tegas dinyatakan kekuasaan kehakiman itu merdeka dan independen akan
tetapi pada kenyataan dilapangan para hakim dan pelaku kekuasaan kehakiman sering mendapat intervensi dari eksekutif dan ekstra
yudisial lainnya. IKlug, Heinz. 2000 : 54
Di Indonesia terdapat Peradilan Agama tersendiri, di samping peradilan biasa umum, Peradilan Agama itu merupakan pengecualian,
yang kekuasaannya dinyatakan dalam peraturan tersebdiri pula. Untuk perkara-perkara yang tidak termasuk ke dalam kekuasaan Peradilan
commit to user 15
Agama dengan sendirinya masuk pada kekuasaan peradilan biasa, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung sebagai
lembaga pelaksanaan kekuasaan kehakiman tertinggi di Indonesia. Noto Susanto, 1963 : 11.
Yang dimaksud dengan Pengadilan Agama di Indonesia adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam yang berwenang untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata tertentu yang terjadi diantara mereka. Dalam pengertian ini, maka Pengadilan
Agama tidak mencakup makna peradilan bagi agam lain selain Islam seperti Kristen, Hindu, Budha dan yang lainnya.
Hal ini dapat diidentifikasi dengan mengemukakan beberapa landasan yang menunjukkan bahwa Peradilan Agama adalah peradilan
Islam. Pertama, landasan teologis yang mengacu pada kekuasaan dan kehendak Allah berkenaan dengan penegakan hukum dan keadilan.
Kedua, landasan historis yang menghubungkan mata rantai peradilan agama dengan peradilan Islam yang tumbuh dan berkembang sejak
Rasullah SAW. Ketiga, landasan yuridis yang mengacu secara konsisten kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Republik
Indonesia. Keempat, landasan sosiologis yang menunjukkan bahwa peradilan agama adalah produk interaksi antara elit Islam the strategic
elite dengan elit penguasa the ruliing elite. Cik Hasan Bisri, 1997 : 41. Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia meliputi beberapa
aspek, yakni pertama, berkenaan dengan kedududkan peradilan dalam tata hukum dan peradilan nasional. Kedua, berkenaan dengan susunan badan
peradilan, yang mencakup hirarki dan struktur organisasi pengadilan. Ketiga, berkenaan dengan kekuasaan oengadilan, baik kekuasaan mutlak
maupun kekuasaan relatif. Keempat, berkenaan dengan hukum acara yang dijadikan landasan dalam penerimaan, pemeriksaan, pemutusan dan
penyelesaian perkara. Cik Hasan Bisri, 1997 : 123.
14
commit to user 16
Pada tanggal 29 Desember 1989 terjadi peristiwa yang berkenaan dengan berlakunya sebagian hukum Islam dan penyelenggaraan peradilan
Islam di Indonesia. Peristiwa itu adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang tersebut
merupakan salah satu peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, dalam upaya mewujudkan suatu tatanan hukum nasional yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945,
yang berangkai dengan peraturan perundangan lainnya yaitu Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dari peristiwa penting ini, penulis akan uraikan gambaran tentang dasar hukum penyelenggaraan peradilan agama, hukum materiil dan
hukum formil Peradilan Agama, baik sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut.
Dasar hukum penyelenggaraan peradilan agama sebelum Undang- Undang nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
Tentang Peradilan Agama ini beraneka ragam. Sebagian merupakan produk pemerintahan kolonial Hindia Belanda, dan sebagian lainyya
produk pemerintahan Republik Indonesia, khusunya pada awal kemerdekaan. Dasar hukum itu berupa peraturan perundang-undangan
yang terdiri atas : a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura Staatsblad
1882 Nomor 152 yang dihubungkan dengan Staatsblad tahun 1937 Nomor 116 dan 610. Peraturan ini memuat 7 pasal.
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan kerapatan Qadi Besar untuk sebagian bekas residensi Kalimantan Selatan dan Timur Staatsblad
tahun 1937 Nomor 638 dan 639. Peraturan ini memuat 19 pasal. Peraturan-peraturan yang ditetapkan pada waktu pemerintahan
Belanda ini hingga saat disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
commit to user 17
1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 masih berlaku berdasarkan peraturan-peraturan peralihan yang diadakan berturut-turut waktu
pemerintahan Republik Indonesia. Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-
tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil melangsungkan peradilan Islam
yang sudah ada, akan tetapi dalam penjelasannya, menyatakan bahwa ada niat dari pemerintah untuk membicarakan dengan DPR apakah tidak
seharusnya Peradilan Agama itu dijadikan satu saja dengan peradilan biasa, ternyata bahwa Peradilan Agama dengan Peradilan Biasa itu tidak
diadakan, bahkan didaerah luar Jawa dan Madura Peradilan Agama itu diperluas. Ini dapat dilihat dengan ditetapkannya : Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 45 tentang Pembentukkan Pengadilan AgamaMahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura dan sebagian
Kalimantan Selatan-Timur sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan staatsblad 1937 Nomor 638 tersebut di muka. Noto Susanto, 1963 : 11-
12.
2. Dasar Penyelenggaraan Pengadilan Agama Sesudah UU Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, penyelenggaraan Pengadilan
Agama didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sama kesatuan hukum. Dengan kata lain, penyelenggaraan peradilan itu
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang seragam. Hal ini dilakukan dalam rangka upaya menerapkan konsep wawasan nusantara
dalam bidang hukum, dan sebagai pelaksanaan politik hukum nasional. Di samping itu, perubahan undang-undang itu dilakukan untuk mewujudkan
penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Ia merupakan
commit to user 18
salah satu asas yang berlaku bagi seluruh pengadilan dalam keempat lingkungan peradilan. Cik Hasan Bisri, 1997 : 127.
Menurut penjelasaan undang-undang tersebut, perubahan itu disebut sebagai ”perubahan mendasar” terutama yang berkenaan dengan
dasar hukum, kedudukan, susunan, kekuasaan dan hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalm lingkungan Peradilan Agama.
3. Keputusan Pengadilan Agama Sebelum dan Sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama. a. Hukum Materiil Pengadilan Agama
1 Sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 pasal 4 dinyatakan :
1 Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan perselisihan antara suami istri yang beragama Islam, dan segala perkara yang
menurut Islam yang berkenaan dengan nikah, thalak, ruju’, fasakh, nafaqah, mas kawin mahar, tempat kediaman, hadlanah, perkara
waris, waqaf, hibah sadaqah, baitul mal dan lain-lain yang berhubungan dengan itu, demikian juga memutus perkara
perceraian dan mengesahkan bahwa syarat ta’lik sudah berlaku. 2 Pengadilan Agama tidak berhak memeriksa perkara-perkara
yang tersebut dalam ayat 1 kalau untuk perkara-perkara itu berlaku lain daripaada hukum Islam.
Sebagai ilustrasi aplikatif dari ketentuan-ketentuan ini dapat dilihat dalam buku yurisprudensi Indonesia melalui putusan-
commit to user 19
putusan Pengadilan Agama, yang untuk pertama kalinya diterbitkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 1985.
2 Sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
Sebelum menuju pembicaraan tentang hukum materiil pengadilan agama pasca Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, penulis perlu mengemukakan penjelasan Bustanul Arifin, sebagai
berikut : “Walaupun dalam Undang-Undang tentang Pokok-pokok
Ketentuan Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 hanya disebut Peradilan Agama, tetapi yang dimaksud adalah Peradilan
Agama Islam. Hal ini didasarkan pada sejarah Peradilan Agama di Indonesia yang telah berjalan selama lebih dari seratus tahun, dan
dengan dasar pemikiran bahwa agam Islam yang membawa pula hukum dalam arti yang murni Aqidah wa syari’ah Bustanul
Arifin, 1996:52.
Oleh karena itu, kaum muslimin memerlukan satu peradilan tempat mereka mencari keadilan secara hukum. Jadi,
keberadaan Peradilan Agama Islam di Indonesia bukanlah karena kaum muslimin merupakan mayoritas di Indonesia,
melainkan karena pengadilan Agama itu merupakan keperluan hukum kaum muslimin. Oleh karena itu, hukum yang
diberlakukan pada Peradilan Agama adalah hukum Islam. Dengan perkataan lain, hukum Islam sepanjang mengenai bidang-bidang
nasional di Negara Indonesia. Hukum nasional Indonesia adalah kumpulan norma-norma hukum yang hidup dalam masyarakat
yang berasal dari unsure-unsur hukum Islam, hukum Adat dan Hukum Barat.” Bustanul Arifin, 1996 : 52.
commit to user 20
Sedangkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 butir 2 dinyatakan sebagai berikut :
“Pengadilan Agama merupakan pengadilab tingkat pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan saqadah berdasarkan hukum
Islam” Dalam perkembangan hukum materiil pasca Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 ada satu peristiwa yang tak boleh dilupakan yakni dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam KHI yang terdiri dari
buku I tentang Hukum Perkawinan. Buku II tentang Kewarisan, dan buku III tentang Perwakafan.
Kompilasi Hukum Islam KHI merupakan salah satu usaha yang sangat positif dalam membina hukum Islam sebagai
sumber pembentukan hukum nasional, yang ditangani bersama oleh ulama Departemen Agama dan umara Mahkamah Agung.
Dengan KHI ini, para hakim agama mempunyai pegangan tentang hukum yang harus diterapkan dalam masyarakat dengan mantap.
Abdurrahman, 1992 : 51. Adapun mengenai tujuan KHI menurut M.Yahya Harahap
1989: 91, adalah : 1 Untuk merumuskan secara sistematis hukum Islam di
Indonesia secara kongkrit. 2 Guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di
lingkungan Pengadilan Agama. 3 Dan
sifat kompilasi
berwawasan nasional
bersifat suprakultural aliran atau mazhab yang akan diberlakukan
commit to user 21
bagi seluruh masyarakat Islam Indonesia, apabila timbul sengketa di depan siding Pengadilan Agama kalau diluar
proses peradilan, tentu bebas melakukan pilihan dari sumber kitab fiqih yang ada.
4 Serta sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang lebih seragam dalam pergaulan lalu lintas
masyarakat Islam. Dari uraian tentang KHI, tampaklah bahwa pasca
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 hukum materiil yang diberlakuakn di Pengadilan Agama mengalami dua
fase. Fase pertama, hukum materiil hukum Islam sebelum adanya KHI, kurang lebih selama satu tahun enam bulan. Fase
kedua, sejak dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1991 hingga sekarang dan seterusnya sampai ada peraturan perundang-
undangan yang mengubahnya.
b. Hukum Formil Pengadilan Agama 1 Sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Sebelum diberlakukannya Undang-Undnag Nomor 7 Tahun
1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, hukum formil Peradilan Agama masih belum terbentuk
dalam suatu perundang-undangan tersendiri. Memang peraturan perundang-undang yang mengatur tata cara berpekara di
Pengadilan Agama telah ada sejak lama, seumur dengan terbentuknya berbagai Pengadilan Agama itu. Hanya saja hukum
acaranya baru sebagian kecil dan hanya sebagai sisipan saja pada perundang-undangan yang mengaturmenjadi dasar hukum
pembentukan hukum Pengadilan Agama itu.
commit to user 22
Kenyataan ini dapat dilihat pada Staatsblad 1882 Nomor 152 untuk Pengadilan Agama di Jawa dan Madura, pada Staatsblad
1937 Nomor 638 dan 639 bagi Kerapatan Qadi di Kalimantan Selatan dan pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957
untuk mahkamah Syari’ah Pengadilan Agama di luar kedua wilayah tersebut di atas.
Pada Staatsblad 1882 Nomor 152 memuat hanya 7 pasal dan ketujuh pasal itu pulalah yang mengatur dasar pembentukkan,
kewenangan maupun yang mengatur hukum acara, dan lain-lain dari peradilan tersebut. Demikianlah halnya pengaturan hukum
acara bagi Pengadilan Agama di Kalimantan dan wilayah Indonesia lainnya. Anwar Sitompul, 1984 : 51.
Mungkin menyadari hal demikian dan keperluan semakin mendesak, sebelum terbentuknya hukum
tersendiri bagi Pengadilan Agama, pembuat Undang-Undang Perkawinan Nomor
1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang tersebut.
Anwar Sitompul, 1984 : 52.
2 Sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Setelah berlakunya Undang-Undang Nornor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama, pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama membuat terobosan baru sehubungan dengan kekecualian dan kekhususan
hukum formilnya. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 54 Undang-undang tersebut, yang berbunyi : ”Hukum acara yang
berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
commit to user 23
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.”
Prosedur cerai talak diatur dalam paragraf 2, yaitu Pasal 66 sampai dengan Pasal 72. Menurut ketentuan pasal-pasal tersebut
dapat disimpulkan bahwa cerai talak menjadi hak suami, karena itu ia menjadi pihak pemohon.
Mengenai prosedur cerai gugat diatur dalam paragraf 3, yaitu Pasal 73 sampai dengan Pasal 86. Cerai gugat menjadi hak
istri, yang diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat istri, kecuali apabila
penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa seizin tergugat.
Prosedur cerai dengan alasan zina diatur pada paragraf 4, yaitu Pasal 87 dan Pasal 88. Alasan zina merupakan salah satu
alasan yang dapat diajukan dalam perkara perceraian, sebagaimana diatur dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 jo, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.
Dalam perkara ini permohonan dan gugatan diajukan oleh suami atau istri. Menurut ketentuan Pasal 87 ayat 1 berbunyi :
Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau
penggugat tidak dapat melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan tersebut, dan hakim
berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak
mungkin lagi diperoleh, baik dari pemohon atau penggugat maupun dari termohon ataupun tergugat, maka hakim karena
jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.”
commit to user 24
c. Produk Keputusan Pengadilan Agama 1 Sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Sebelum diberlakukannya Undang-undang nomor 7 tahun
1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, produk keputusan Pengadilan Agama terdiri dari tiga
macam, yaitu putusan, penetapan, dan surat keterangan tentang terjadinya talak SKT3.
Putusan disebut vonni Belanda, atau al qadau Arab, adalah produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang
berlawanan dalam perkara, yaitu penggugat dan tergugat. Produk Pengadilan semacam ini bisa diistilahkan dengan Produk peradilan
yang sesungguhnya atau Jurisdictio contentiosa. Sedangkan penetapan disebut beschiking Belanda, atau al
isbat Arab, yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan sesungguhnya, yang diistilahkan dengan jurisdictio voluntaria.
Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena disana hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan atas sesuatu,
sedangkan ia tidak berperkara dengan lawan. Adapun mengenai surat keterangan tentang terjadinya talak
yang disingkat SKT3, sangat populer di lingkungan Peradilan Agama dan instansi-instansi Departemen Agama, sekalipun SKT3
tersebut sebetulnya bukanlah produk keputusan Pengadilan Agama dalam artian yudikatif tetapi hanyalah produknya di bidang
administrasi Peradilan atau dalam tugas pengaturan. SKT3 ini dimasukkan ke dalam kategori produk Pengadilan
Agama karena memang ia dikeluarkan oleh Pengadilan Agama setelah didahului oleh suatu Penetapan Pengadilan Agama yang
memberikan izin kepada suami pemohon untuk menceraikan istrinya dengan cerai talak. Setelah penetapan dimaksud in kracht,
commit to user 25
dilanjutkan dengan sidang Pengadilan Agama untuk menyaksikan ikrar talak yang dilakukan. Oleh Pengadilan Agama dibuatkan
SKT3 yang dimaksudkan. Tugasnya, Penetapan Pengadilan Agama yang memberi izin kepada suami pemohon untuk bercerai dengan
sidang penyaksian ikrar talak dan SKT3 adalah suatu kesatuan rangkaian proses kronologis, sekalipun mungkin akan memakan
waktu panjang ataupun singkat. Perlu diketahui bahwa SKT3 termasuk segala macam putusan
dan penetapan Pengadilan Agama tentang cerai dan lain-lainnya, sekalipun sudah in kracht, mempunyai kekuatan mengikat dan
kekuatan bukti, tetapi kekuatan mengikat dan kekuatan bukti disini hanyalah dari aspek hukumnya, bukan dari aspek pencatatannya. la
baru mempunyai kekuatan tanda cerai resmi setelah dicatatkan dan ditukarkan pada Pegawai Pencatat Nikah Cerai Rujuk c.q. pada
kantor urusan agama kecamatan yang bersangkutan. Hal ini dirasakan oleh para pencari keadilan sebagai suatu yang
menyulitkan, mahal, berbelit,dan birokratis. Raihan A. Rasyid, 1989 : 12-15.
Selanjutnya, segala macam bentuk produk keputusan Pengadilan Agama tidak bisa dijalankan dieksekusi sebelum
dikukuhkan oleh Pengadilan Umum, Sebenarnya istilah executoir verklaring fiat eksekusi atas putusan Peradilan Agama oleh
Landraad, sudah dikenal sejak zaman penjajahan sampai permulaan zaman kemerdekaan. Belum lagi hilang di benak
praktisi hukum dan masyarakat Indonesia, disusul lagi dengan istilah pengukuhan dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ketentuan tentang prosedur executoir verklaring tersebut
diatur dalam Pasal 2a ayat 3, 4, dan 5 Staatsblad 1882 No. 125 bagi Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Dengan maksud
yang sama bagi Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan diatur
commit to user 26
dalam Pasal 3 ayat 3, 4 dan 5 Staatsblad 1937 Nomor 638 dan Nomor 639 serta untuk daerah Indonesia lainnya diatur pada Pasal
4 ayat 3, 4 dan 5 Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1957. Anwar Sitompul, 1984 : 84.
Mahkamah Agung
berpendapat, bahwa
Lembaga Pengukuhan yang terdapat dalam pasal 63 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 pasal 36,
bukanlah merupakan hal yang baru, akan tetapi merupakan lembaga yang telah dikenal sejak berlakunya Staatsblad 1882
Nomor 152. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Agung berpendapat bahwa Lembaga Pengukuhan
adalah sama dengan Lembaga Executoir Verklaring. Pendapat Mahkamah Agung demikian tersimpul dari Surat Edaran
Mahkamah Agung, yaitu S.E.No.MA.01561977 tanggal 23 Februari 1977.
Namun menurut pengamatan Anwar Sitompul dan Raihan A. Rasyid, kalau diperhatikan lebih mendalam, Pengukuhan tidak
sama dengan Executoir Verklaring, walaupun persamaannya tetap ada. Raihan A. Rasyid, 1987: 117-120.
2 Sesudah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang- Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Keputusannnya sendiri pada Pengadilan Agama Pengadilan Agama sudah ada Juru Sita Deurwarder. Berdasarkan ketentuan
Undang-undang tersebut, kedudukan Pengadilan Agama adalah sejajar dengan Pengadilan Negeri pengadilan tingkat pertama
dalam lingkungan
Peradilan Umum
dalam arti
yang sesungguhnya. Berkenaan dengan hal itu, pengukuhan keputusan
Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
commit to user 27
tetap oleh Pengadilan Negeri dinyatakan tidak berlaku, sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 107 ayat 1 butir
d : “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat 2
Undang - undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Lembaran Negara tahun 1974 Nomor l. Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3019, dinyatakan tidak berlaku.”
Dengan demikian
Pengadilan Agama
memiliki kemandirian
untuk melaksanakan
putusannya executoir
verklaring sendiri, yang dilaksanakan oleh jurusita. Kejurusitaan ini merupakan pranata baru dalam struktur organisasi Pengadilan
Agama. Cik Hasan Bisri. 1997 : 127–128.
commit to user 28
B. Kerangka Pemikiran.