Sahnya Perkawinan TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN

dalam kekerabatan istri dan melepas kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan orang tuanya. 59 Apabila keluarga bersifat patrilineal tidak mempunyai anak lelaki, maka anak perempuan dijadikan berkedudukan seperti anak lelaki. Apabila tidak mempunyai anak sama sekali maka berlakulah adat pengangkatan anak. Begitu pula sebaliknya pada keluarga yang bersifat matrilineal. Tujuan perkawinan untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan dimaksud masih berlaku hingga sekarang, kecuali pada masyarakat yang bersifat parental, di mana ikatan kekerabatanya sudah lemah seperti berlaku di kalangan orang Jawa, dan juga bagi keluarga-keluarga yang melakukan perkawinan antara suku bangsa yang berbeda. 60

C. Sahnya Perkawinan

Kata sah berarti menurut hukum yang berlaku, kalau perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata-tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. 61 59 Ibid. 60 Ibid. 61 Ibid, hal. 25. 1. Sahnya Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diatur bahwa : a. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya Sahnya perkawinan menurut perundangan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut aturan tata tertib hukum yang berlaku dalam agama Islam, KristenKatolik, HinduBudha. Kata “hukum masing-masing agamanya” berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing, bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya. 62 b. Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa tiap- tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal di atas menjelaskan bahwa perkawinan itu harus dicatatkan, apabila tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut tidak sah menurut undang-undang. Jadi 62 Ibid. nikah sirri tidak sah menurut undang-undang karena perkawinan yang dilakukan tidak dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Sahnya Perkawinan menurut hukum adat Perkawinan dinyatakan sah apabila perkawinan tersebut diselenggarakan secara upacara adat dengan memenuhi semua prosedur untuk masuk ke dalam suatu sistem kekerabatan adat yang dimaksud. 63 Contohnya : Pada masyarakat Minangkabau di Nagari Koto Tangah perkawinan dinyatakan sah apabila telah melaksanakan semua prosedur adat yang telah ditentukan. Mulai dari meresek dari pihak perempuan, penjajakan yang dilakukan orang tua pihak pria, peminangan yang dilakukan oleh mamak dari pihak pria, duduak niniak mamak untuk menentukan tanggal akad nikah dan pesta adat baralek. Pada malam hari pesta adat baralek tersebut pihak kerabat wanita telah siap untuk manjapui mempelai pria marapulai yang ditemani oleh dua orang anak. Mempelai wanita anak daro tidak menyambutnya, ia tetap saja di dalam kamar mempelai. Para undangan dan kerabat yang hadir dipersilakan menikmati hidangan dan diakhiri dengan pembacaan doa, kemudian para petua adat mengumumkan gelar yang diberikan kepada mempelai pria. Besok harinya setelah sarapan pagi mempelai pria pulang ke rumah orang tuanya. Kemudian tengah hari ia kembali lagi ke tempat isterinya. Setelah itu pihak isteri melakukan acara manampuah, yaitu mengantarkan isteri untuk pertama kalinya menempuh 63 http:jurnalmaman.blogspot.com201207sahnya-perkawinan.html diakses pada Tanggal 13 Mei 2015. rumah suami, dan begitu juga dari pihak kerabat mempelai pria akan melakukan acara menyilau kandang yang dilakukan kerabat pria ke tempat pihak wanita untuk melihat keadaan kemenakannya. 64 D. Akibat Perkawinan Setelah memenuhi persyaratan yang diatur tersebut, maka perkawinan tersebut sah menurut hukum adat. 1. Akibat perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami isteri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan. a. Akibat perkawinan terhadap suami isteri Akibat perkawinan terhadap hubungan suami isteri, apabila dilaksanakan dengan sah, maka timbullah hubungan hukum antara suami isteri. Hubungan hukum ini akan melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak. Hak bersama suami isteri yaitu : 1 Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat Pasal 31 ayat 1 . 2 Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum Pasal 31 ayat 2 . 64 Hilman Hadikusuma buku 2, Op. Cit, hal. 110-111. 3 Suami adalah kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah tangga Pasal 31 ayat 3 . Kewajiban bersama suami isteri yaitu : 1 Suami dan isteri menentukan tempat kediaman mereka Pasal 32 ayat 1 . 2 Suami dan isteri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain Pasal 33. Kewajiban suami yaitu : 1 Suami wajib memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Pasal 30. 2 Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya Pasal 34. Kewajiban isteri yaitu : 1 Isteri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakkan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Pasal 30. 2 Isteri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain Pasal 33. b. Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan Harta perkawinan adalah harta yang dimiliki, dihimpun, dicari, diciptakan, diperoleh suami isteri baik sebelum maupun sesudah selama perkawinan berlangsung. Harta perkawinan terdiri atas dua 2 macam : 1 Harta asal bawaan, yaitu harta yang dimiliki sendiri oleh suami atau isteri baik sebelum maupun sesudah perkawinan berlangsung, meliputi : a Harta pribadi, yaitu harta yang dihasilkan melalui keringatjerih payah suami atau isteri sebelum perkawinan berlangsung. b Hibah, yaitu suatu pemberian yang diberikandilimpahkan kepada seorang sewaktu si penghibah masih hidup. c Warisan, yaitu harta yang diwarisi oleh ahli waris karena kematian. d Hibah-wasiat, yaitu ucapan janji seseorang pewaris semasa ia hidup untuk memberikan harta kepada seseorang, akan tetapi janji tersebut baru dilaksanakan setelah si penghibah wasiat meninggal dunia. e Hadiah khusus, yaitu pemberian seseorang secara tegas kepada salah satu pihak suami atau isteri. 2 Harta bersama, yaitu harta yang dimiliki, dihimpun, dicari, diciptakan, diperoleh suami isteri yang dihasilkan melalui usahakeringat sendiri dari suami atau isteri atau suami isteri secara bersama-sama, selama perkawinan berlangsung. Harta bersama terdiri dari : a Harta yang dihasilkan melalui usahakeringat dari suami atau isteri dan suami isteri selama adanya perkawinan selama perkawinan berlangsung. b Hadiah khusus untuk suami isteri. Suami atau isteri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun. Suami atau isteri harus ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama. 65 c. Akibat perkawinan terhadap anak 1 Kedudukan anak a Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah Pasal 42. b Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja Pasal 43 ayat 1 . 2 Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak a Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri Pasal 45. b Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik Pasal 46 ayat 1 . c Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya Pasal 46 ayat 2. 2. Akibat perkawinan menurut hukum adat 65 Malem Ginting, Op. Cit, hal. 62-64. Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban. Ikatan hak dan kewajiban antara para pribadi kodrati, menimbulkan hubungan hukum di antara mereka. Dengan demikian perkawinan yang telah dilangsungkan antara kedua belah pihak itu membawa akibat-akibat tertentu, baik terhadap pihak kerabat maupun terhadap para pihak yang merupakan pribadi kodrati. 66 a. Akibat terhadap kerabat Konsekuensi yang muncul sebagai akibat perkawinan terhadap kerabat sangat bertalian erat dengan prinsip garis keturunan yang ada dan dianut atau berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat hukum adat itu terdiri dari prinsip garis keturunan patrilineal, matrilineal dan parental. 67 1 Perkawinan pada masyarakat patrilineal Masyarakat patrilineal didasarkan atas pertalian darah menurut garis keturunan bapak. Oleh karena itu perkawinan dalam sistem ini mengakibatkan si isteri tersebut akan menjadi warga masyarakat dari pihak suaminya karena disebabkan adanya pembayaran jujur. 68 2 Perkawinan pada masyarakat matrilineal Masyarakat matrilineal didasarkan atas pertalian darah menurut garis keturunan ibu. Oleh karena itu dalam perkawinan si isteri tetap tinggal dalam keluarganya 66 Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 239. 67 Ibid, hal. 239-240. 68 Ibid, hal. 241. dan si suami tidak masuk dalam golongan isteri tetapi tetap tinggal di keluarganya sendiri. Si suami dalam kerabat si isteri hanya sebagai urang sumando ipar. 69 3 Perkawinan pada masyarakat parental Masyarakat parental didasarkan atas pertalian darah menurut garis keturunan bapak dan ibu. Artinya bahwa setelah perkawinan, si suami menjadi keluarga isterinya dan si isteri menjadi anggota keluarga si suaminya. Demikian juga halnya terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. 70 b. Akibat terhadap pihak yang merupakan pribadi kodrati yang melangsungkan perkawinan 1 Kedudukan suami isteri Suami pada umumnya berkedudukan sebagai kepala rumah tangga dan bertanggung jawab serta berkewajiban untuk menjaga kelangsungan hidup rumah tangganya, dengan cara memenuhi keperluan hidup rumah tangga baik materiil maupun non materiil. Isteri berkewajiban serta bertanggung jawab terhadap fasilitas untuk kelangsungan hidup keluarga itu. Ia wajib mengatur dan menata penggunaan kekayaan materiil, berkewajiban mengurus anak-anak. 71 2 Harta kekayaan keluarga Harta kekayaan dari keluarga yang baru terbentuk diperoleh dari : 69 Ibid, hal. 242. 70 Ibid, hal. 243. 71 Ibid, hal. 243-244. a Harta kekayaan suami atau isteri yang merupakan warisan atau hibah dari para kerabat. b Harta kekayaan yang diperoleh sebelum dan selama perkawinan. c Harta kekayaan yang berasal dari hadiah pada waktu perkawinan. d Harta kekayaan sebagai usaha bersama antara suami isteri. 72 3 Keturunan Tujuan perkawinan yang dilakukan, pada dasarnya untuk memperoleh keturunan yaitu anak. Anak yang lahir di dalam hubungan perkawinan disebut anak kandung. Selain anak kandung di dalam masyarakat dikenal pula anak angkat, anak tiri dan anak piara. Anak angkat, anak tiri dan anak piara tersebut dimasukan dalam kategori bukan anak kandung, yaitu anak yang diperoleh bukan karena hubungan biologis dari suami isteri yang bersangkutan. Khusus mengenai anak tiri, maka anak itu adalah anak dari salah seorang suami atau isteri yang dibawa di dalam hubungan perkawinan. Di dalam masyarakat juga dijumpai anak yang lahir di luar perkawinan, yaitu anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak kawin. 73 Hubungan antara anak dengan orang tuanya yaitu anak kandung, anak angkat, anak tiri, anak piara, serta anak di luar kawin semuanya mempunyai hak untuk dipelihara orang tuanya. Anak angkat dan anak piara itu mendapat hak untuk dipelihara oleh orang tua angkat dan orang tua piara, hal ini sekaligus 72 Ibid, hal. 244. 73 Ibid, hal. 250-251. mengenyampingkan hak dan kewajiban dari orang tua kandung mereka, tetapi kewajiban itu tetap ada, misalnya wewenang mengawinkan, bagi anak piara hubungan dengan orang tuanya dalam hukum waris. Sedangkan bagi anak di luar kawin, maka ia memperoleh hak untuk dipelihara oleh ibunya apabilanya ibunya tidak kawin, akan tetapi apabila ibunya melakukan perkawinan kawin darurat atau kawin paksa, maka ia berhak untuk dipelihara oleh kedua orang tuanya itu. 74 74 Ibid, hal. 253-254.

BAB III PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ADAT

Dokumen yang terkait

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK TANAMAN MANGGA (Mangifera indica L) DI KENAGARIAN KOTO TANGAH KECAMATAN TANJUNG EMAS KABUPATEN TANAH DATAR.

0 1 7

“KEHIDUPAN ANAK DARI HASIL PERKAWINAN CAMPURAN” (Studi Kasus: Status dan Hak Waris Anak Dari Perkawinan Laki-Laki Minangkabau dengan wanita Batak di Jorong Pasar Rao Pasaman).

0 0 14

FOLKLORE DESA BALAI JANGGO DAN DESA KAMPUNG TENGAH, NAGARI PAGARUYUNG KECAMATAN TANJUNG EMAS KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT.

0 0 12

PERBANDINGAN BEBERAPA SIFAT FISIKA TANAH PADA TIGA HAMPARAN SAWAH BERIRIGASI TEKNIS DI KENAGARIAN KOTO TANGAH KECAMATAN TANJUNG EMAS KABUPATEN TANAH DATAR.

0 0 9

Makna anak perempuan bagi ayah pada keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki di Suku Batak Toba.

0 2 192

Status Dan Hak Mewarisi Anak Dari Hasil Perkawinan Laki-Laki Batak Dengan Perempuan Minangkabau Di Nagari Koto Tangah, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat

0 1 11

Status Dan Hak Mewarisi Anak Dari Hasil Perkawinan Laki-Laki Batak Dengan Perempuan Minangkabau Di Nagari Koto Tangah, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat

0 1 1

Status Dan Hak Mewarisi Anak Dari Hasil Perkawinan Laki-Laki Batak Dengan Perempuan Minangkabau Di Nagari Koto Tangah, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat

0 0 16

Status Dan Hak Mewarisi Anak Dari Hasil Perkawinan Laki-Laki Batak Dengan Perempuan Minangkabau Di Nagari Koto Tangah, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat

2 3 27

Status Dan Hak Mewarisi Anak Dari Hasil Perkawinan Laki-Laki Batak Dengan Perempuan Minangkabau Di Nagari Koto Tangah, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat

0 0 2