calon suami yang menganut adat perkawinan jujur, sedangkan calon isteri yang menganut adat perkawinan semenda.
47
B. Asas-asas dan Tujuan Perkawinan
1. Asas-asas perkawinan
Asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan adalah: a.
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil Pasal 1.
48
b. Perkawinan adalah sah, bilamana dilakukan menurut hukum masing
agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan undang-undang yang berlaku Pasal 2.
49
c. Asas monogami, asas ini ada kekecualian, apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan
lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang
47
Ibid.
48
Martiman Prodjo Hamidjojo, Op. Cit, hal. 2.
49
Ibid, hal. 3.
bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan Pasal 3.
50
d. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
Pasal 6 ayat 1.
51
e. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun Pasal 7.
52
f. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan prinsip
mempersukar perceraian Pasal 39.
53
g. Hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang dalam kehidupan
rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatunya dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan oleh suami
isteri Pasal 31.
54
Selanjutnya sehubungan dengan asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan, maka asas-asas perkawinan menurut hukum adat yaitu :
a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal. b.
Perkawinan tidak hanya harus sah dilaksanakan menurut hukum agama atau kepercayaan tetapi harus juga mendapat pengakuan dari anggota kerabat.
c. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota keluarga dan
anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.
50
Ibid.
51
Hilman Hadikusuma buku 1, Op. Cit, hal. 19.
52
Ibid.
53
Ibid.
54
Martiman ProdjoHamidjojo, Op. Cit, hal. 3.
d. Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seorang pria dengan beberapa wanita
sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
e. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur
atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tuakeluarga dan kerabat.
f. Perceraian ada yang dibolehkan dilakukan dan ada yang tidak
diperbolehkan. Perceraian antara suami isteri dapat berakibat pecahnya kekerabatan antara kedua belah pihak.
g. Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri-isteri berdasarkan
ketentuan hukum adat yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada isteri yang bukan ibu rumah tangga.
55
2. Tujuan perkawinan
a. Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan
melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
56
Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, di mana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang
tua. Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagian suami isteri, untuk mendapatkan keturunan dan
55
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat , Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990, hal. 71. selanjutnya disebut buku 2.
56
Hilman Hadikusuma buku 1, Op. Cit, hal. 21.
menegakkan keagaman, dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental ke- orangtua-an.
57
b. Tujuan perkawinan menurut hukum adat
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau
keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluargakerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk
mempertahankan kewarisan. Oleh karena itu sistem keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa yang satu dan lain berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat
bagi masyarakat adat berbeda-berbeda di antara suku bangsa yang satu dan suku bangsa yang berlainan, daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda, serta
akibat hukum dan upacara perkawinannya berbeda-beda.
58
Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilineal, perkawinan bertujuan mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak lelaki tertua harus
melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri dengan pembayaran uang jujur, di mana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut ke dalam kekerabatan suami dan
melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya. Sebaliknya pada masyarakat matrilineal, perkawinan bertujuan untuk mempertahankan garis
keturunan ibu, sehingga anak wanita tertua harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil suami semenda di mana setelah terjadi perkawinan suami ikut
57
Ibid.
58
Ibid, hal. 22.
dalam kekerabatan istri dan melepas kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan orang tuanya.
59
Apabila keluarga bersifat patrilineal tidak mempunyai anak lelaki, maka anak perempuan dijadikan berkedudukan seperti anak lelaki. Apabila tidak mempunyai
anak sama sekali maka berlakulah adat pengangkatan anak. Begitu pula sebaliknya pada keluarga yang bersifat matrilineal. Tujuan perkawinan untuk
mempertahankan dan meneruskan keturunan dimaksud masih berlaku hingga sekarang, kecuali pada masyarakat yang bersifat parental, di mana ikatan
kekerabatanya sudah lemah seperti berlaku di kalangan orang Jawa, dan juga bagi keluarga-keluarga yang melakukan perkawinan antara suku bangsa yang
berbeda.
60
C. Sahnya Perkawinan