BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan
1. Pengertian perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, “Perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin antara seseorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga, yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang
Maha Esa.” Dari Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan di atas dapat dijelaskan bahwa
ikatan lahir bathin adalah bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau ikatan bathin saja. Akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu
ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama
sebagai suami isteri, dengan kata lain hal itu disebut dengan hubungan formal. Hubungan formal ini nyata baik bagi prihal mengikatkan dirinya maupun pihak
ketiga. Sebaliknya suatu ikatan bathin merupakan hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata yang hanya dirasakan oleh pihak-
pihak yang bersangkutan. Ikatan bathin merupakan dasar ikatan lahir, yang dapat dijadikan fondasi dalam membina keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan
Yang Maha Esa. Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita, maksudnya bahwa hubungan perkawinan selain antara pria dan
wanita tidaklah mungkin terjadi. Misalnya antara seorang pria dengan seorang pria atau seorang wanita dengan seorang wanita. Tujuan membentuk keluarga
rumah tangga yang kekal yaitu untuk memperoleh keturunan yang berbakti kepada orang tuanya, dan keluarga yang bahagia dan kekal selama-lamanya.
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu perkawinan itu sah berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
22
2. Pengertian perkawinan menurut hukum adat
Berikut ini akan dikemukakan definisi perkawinan menurut hukum adat yang dikemukakan oleh para ahli:
a. Datuk Usman
“Perkawinan adalah suatu ikatan untuk membolehkanmenghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang mana
hubungan itu sebelumnya dilarang.”
23
22
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2009, hal. 45.
23
Malem Ginting, Diktat Hukum Adat, Medan : Fakultas Hukum USU, hal. 20.
b. Hilman Hadikusuma
“Perkawinan adalah ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam ikatan tali perkawinan dengan tujuan melanjutkan garis
keturunan.”
24
c. Ter Haar
“Perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi dan begitu pula ia
menyangkut urusan keagamaan.”
25
d. Hazairin
“Perkawinan merupakan rentetan perbuatan-perbuatan magis, yang bertujuan untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan.”
26
e. Djojodegoeno
“Perkawinan merupakan suatu paguyupan atau somah jawa: keluarga, dan bukan merupakan suatu hubungan perikatan atas dasar perjanjian. Hubungan
suami-istri sebegitu eratnya sebagai suatu ketunggalan.”
27
Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan
sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-
24
Hilman Hadikusuma buku 1, Op. Cit, hal. 67.
25
Malem Ginting, Op. Cit, hal. 20.
26
Ibid.
27
Ibid.
hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-
hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut
kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya ibadah maupun hubungan manusia sesama manusia
dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan selamat di akhirat.
28
Perkawinan menurut hukum adat juga berarti salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya
menyangkut kedua mempelai, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara- saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dalam hukum adat
perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja. Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat
berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.
29
Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku pada masyarakat bersangkutan.
Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan rasan sanak hubungan
anak-anak, bujang-gadis dan rasan tuha hubungan antara orang tua keluarga dari
28
Ibid.
29
Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 154.
para calon suami isteri. Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak- hak dan kewajiban-kewajiban orang tua termasuk anggota keluargakerabat
menurut hukum adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan, dan
kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan.
30
Sejauh mana ikatan perkawinan itu membawa akibat hukum dalam perikatan adat, seperti tentang kedudukan suami dan kedudukan isteri, begitu pula
tentang kedudukan anak dan pengangkatan anak, kedudukan anak tertua, anak penerus keturunan, anak adat, anak asuh dan lain-lain, harta perkawinan, yaitu
harta yang timbul akibat terjadinya perkawinan, tergantung pada sistem kekerabatan, bentuk dan sistem perkawinan adat setempat.
31
a. Sistem kekerabatan patrilineal
Dalam struktur masyarakat adat dikenal adanya tiga 3 macam sistem kekerabatan, yaitu :
Sistem kekerabatan patrilineal adalah sistem kekerabatan yang ditarik dari garis keturunan bapaknya. Anak menghubungkan diri dengan bapaknya
berdasarkan garis keturunan laki-laki. Anak dalam sistem kekerabatan ini juga menghubungkan diri dengan kerabat bapak berdasarkan garis keturunan laki-laki
secara unilateral. Di dalam susunan masyarakat patrilineal yang berdasarkan garis keturunan bapak laki-laki, keturunan dari pihak bapak laki-laki dinilai
30
Hilman Hadikusuma, buku 1, Op. Cit, hal. 8-9.
31
Ibid, hal. 9.
mempunyai kedudukan lebih tinggi serta hak-haknya juga akan mendapatkan lebih banyak. Susunan sistem kekerabatan patrilineal berlaku pada masyarakat
Batak dan Bali.
32
b. Sistem kekerabatan matrilineal
Sistem kekerabatan matrilineal adalah sistem kekerabatan yang ditarik dari garis keturunan ibunya. Anak menghubungkan diri dengan ibunya
berdasarkan garis keturunan perempuan. Anak dalam sistem kekerabatan ini juga menghubungkan diri dengan kerabat ibu berdasarkan garis keturunan
perempuan secara unilateral. Dalam masyarakat yang susunannya matrilineal, keturunan menurut garis ibu dipandang sangat penting, sehingga menimbulkan
hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih rapat dan meresap di antara para warganya yang seketurunan menurut garis ibu, hal mana yang menyebabkan
tumbuhnya konsekuensi misalkan, dalam masalah warisan yang jauh lebih banyak dan lebih penting daripada keturunan menurut garis bapak. Susunan
sistem kekerabatan matrilineal berlaku pada masyarakat Minangkabau.
33
c. Sistem kekerabatan parental
Sistem kekerabatan parental adalah sistem kekerabatan yang ditarik dari garis keturunan bapak dan ibu. Anak menghubungkan diri dengan kedua
orangtuanya. Anak juga menghubungkan diri dengan kerabat ayah-ibunya secara bilateral. Dalam sistem kekerabatan parental kedua orang tua maupun kerabat dari
32
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 2003, hal. 51.
33
Ibid, hal. 32.
bapak-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik tentang perkawinan, kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan.
34
Dikarenakan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat di Indonesia berbeda-beda, maka terdapat bentuk perkawinan yang berbeda-beda. Di
kalangan masyarakat adat yang susunannya patrilineal dikenal dengan bentuk perkawinan jujur, dan pada masyarakat adat matrilineal dikenal dengan bentuk
perkawinan semenda, sedangkan di lingkungan masyarakat adat parental dikenal dengan bentuk perkawinan mentas.
35
a. Perkawinan jujur
Dari ketiga macam bentuk perkawinan itu masih terdapat berbagai variasi yang bermacam-macam menurut kepentingan
kekerabatan bersangkutan.
Bentuk perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran jujur dari pihak pria kepada pihak wanita, sebagaimana terdapat di
daerah Batak, Nias, Lampung, Bali, Sumba dan lain-lain. Dengan diterimanya uang atau barang jujur oleh pihak wanita, maka berarti setelah perkawinan si
wanita akan mengalihkan kedudukannya kepada keanggotaan kerabat suami untuk selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu.
36
Dengan diterimanya uang atau barang jujur, berarti si wanita mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut pihak suami, baik pribadi maupun harta benda yang
34
Ibid.
35
Hilman Hadikusuma buku 1, Op. Cit, hal. 72.
36
Ibid, hal. 73.
dibawa akan tunduk pada hukum adat suami, kecuali ada ketentuan lain yang menyangkut barang-barang isteri tertentu. Setelah perkawinan, maka isteri dalam
segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami, atau atas nama suami atau atas persetujuan kerabat suami. Isteri tidak boleh bertindak sendiri,
oleh karena ia adalah pembantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan.
37
b. Perkawinan semenda
Perkawinan semenda adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran jujur dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah perkawinan si pria harus menetap di
pihak kekerabatan isteri. Adakalanya walaupun tidak ada pembayaran jujur, namun pihak pria harus memenuhi permintaan uang atau barang dari pihak
wanita. Perkawinan semenda dalam arti sebenarnya ialah perkawinan di mana suami setelah perkawinan menetap dan berkedudukan di pihak isteri tetapi tidak
melepaskan hak dan kedudukannya di pihak kerabatnya sendiri.
38
Bentuk perkawinan semenda terdapat di daerah Minagkabau yang susunan kekeratannya matrilineal, di daerah Renjang-Lebong Bengkulu yang susunan
kekerabatannya alternerend atau beralih-alih menurut perkawinan orangtua, di daerah Sumatera Selatan, Lampung pesisir atau tempat-tempat lain seperti
perkawinan ambil piara di Ambon.
39
37
Ibid.
38
Ibid, hal. 82.
39
Ibid.
c. Perkawinan mentas
Perkawinan mentas adalah bentuk perkawinan di mana kedudukan suami isteri dilepaskan dari tanggung jawab orang tua keluarga kedua pihak, untuk
dapat berdiri sendiri membangun keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal. Perkawinan mentas ini hanya bersifat membantu, memberikan bekal hidup dengan
pemberian harta kekayaan secara lintiran pewarisan sebelum orang tua wafat berupa rumah atau tanah pertanian sebagai barang gawan pembawaan ke dalam
perkawinan mereka. Hal mana dapat dilakukan oleh kedua pihak orang tua keluarga, baik dari pihak suami maupun pihak isteri.
40
a. Sistem endogami
Menurut hukum adat, sistem perkawinan ada 3 macam yaitu :
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia.
Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang, di daerah ini
pun sistem ini akan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan daerah itu dengan daerah lainnya akan menjadi lebih mudah, erat dan meluas. Sebab sistem tersebut
di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja; lagi pula endogami sebetulnya
40
Ibid, hal. 89.
tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu, yaitu parental.
41
b. Sistem exogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah dengan suku sendiri merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya
waktu, dan berputarnya zaman lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian rupa, sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada
lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Sistem ini dapat dijumpai di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram.
42
c. Sistem eleutherogami
Sistem eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas, yang memiliki larangan-larangan dan keharusan-keharusan. Eleutherogami tidak mengenal
larangan-larangan maupun keharusan-keharusan tersebut. Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan ikatan
kekeluargaan yang menyangkut nasab keturunan, seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau
ibu. Atau larangan kawin dengan musyaharah per-iparan, seperti kawin dengan ibu tiri, mertua, menantu, anak tiri. Sistem ini dapat dijumpai hampir di seluruh
masyarakat Indonesia.
43
41
Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 131. Selanjutnya disebut buku 3
42
Ibid, hal. 132.
43
Ibid.
3. Perkawinan campuran
Istilah perkawinan campuran mempunyai beberapa perbedaan pengertian, baik yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan dan yang sering
digunakan oleh anggota masyarakat hukum adat.
a. Gemengde Huwelijken op de Regeling Staatsblad 1898 Nomor 158
tentang Kawin Campur Di dalam Staatsblad 1898 Nomor 158 pada Pasal 1 dijelaskan bahwa
perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan.
b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Menurut Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia. c.
Hukum adat Istilah perkawinan campuran yang sering dinyatakan anggota masyarakat
sehari-hari, ialah perkawinan campuran karena perbedaan adatsuku bangsa yang
bhineka.
44
Perkawinan campuran menurut pengertian hukum adat, yang sering menjadi bahan perbincangan masyarakat adat, ialah perkawinan antara adat yaitu
perkawinan yang terjadi antara suami dan isteri yang adat istiadatnya berlainan, baik dalam kesatuan masyarakat hukum adat dari suatu daerah, maupun di antara
anggota masyarakat adat yang daerah asalsuku bangsanya berlainan.
45
Perkawinan campuran dalam satu kesatuan suku bangsa dengan adat yang berlainan, misalnya antara pria Minangkabau yang beradat Bodi-Caniago dengan
wanita Minangkabau yang beradat Koto-Piliang, dan sebagainya. Perkawinan campuran dalam satu kesatuan bangsa Indonesia dengan adatsuku yang berbeda,
misalnya antara pria Batak dengan wanita Minangkabau, antara pria Bali dengan wanita Lampung, dan lain-lain.
46
Penyelesaian perkawinan campuran antara adat ini, seringkali menimbulkan perselisihan yang sulit, yang berakibat mengganggu kerukunan
hidup antara keluargakerabat besan, walaupun kedua suami isteri yang terikat perkawinan mungkin dapat rukun karena saling cinta mencintai, namun di antara
para pihak orang tua tidak terjalin hubungan yang akrab. Hal yang menyebabkan timbulnya perselisihan ialah antara lain tentang kedudukan suami isteri setelah
perkawinan, misalnya perkawinan antara adat Batak dengan adat minangkabau, si
44
Ibid, hal. 13.
45
Ibid, hal. 15.
46
Ibid, hal. 16.
calon suami yang menganut adat perkawinan jujur, sedangkan calon isteri yang menganut adat perkawinan semenda.
47
B. Asas-asas dan Tujuan Perkawinan