Di samping lembaga “pledge” pawan, gadai terhadap barang bergerak dalam sistem hukum Anglo-Saxon juga mengenal bentuk lain yang disebut
“chattel mortgage”. Berbeda dengan pledge, dalam chattel mortgage bukan hanya kekuasaan tetapi jika kepemilikan atas benda bergerak yang berpindah dari
pemberi gadai kepada pemegang gadai. Konsekuensi hukumnya terlihat dengan jelas dalam eksekusi jaminan gadai, yaitu ketika utang yang dijamin ddengan
gadai tersebut tidak terbayarkan pada waktunya. Dalam pledge pawn, yang sama dengan gadai menurut hukum di Indonesia, jika utang tidak terbayar maka
eksekusinya pada prinsipnya harus melewati penjualan umum. Sedangkan dalam chattel mortgage, jika utang tidak terbayar maka pemegang chattel mortgage
dapat langsung “mendaku” dapat langsung memiliki benda tersebut, karena kepemilikan atas benda pada proses pengikatan chattel mortgage sudah langsung
berpindah kepada pemegang gadai.
IV. Gadai Syariah
Gadai Syariah sering diidentikkan dengan Rahn yang secara bahasa diartikan al-tsubut wa al-dawam tetap dan kekal sebagian Ulama Luhgat
memberi arti al-hab tertahan.
49
Sedangkan definisi al-rahn menurut istilah yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syar’a
untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.
50
49
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jus III, Beirut: Dar al-Fikr, tt, hal. 187
50
Ibid
Istilah rahn menurut Imam Ibnu Mandur diartikan apa-apa yang diberikan sebagai jaminan atas suatu manfaat barang yang diagunkan.
51
Dari kalangan Ulama Mazhab Maliki mendefinisikan rahn sebagai “harta yang dijadikan
pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat“, ulama Mazhab Hanafi mendefinisikannya dengan “menjadikan suatu barang sebagai jaminan
terhadap hak piutang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut, baik seluruhnya maupun sebagiannya“. Ulama Syafii dan Hambali dalam
mengartikan rahn dalam arti akad yakni menjadikan materi barang sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang
berhutang tidak bisa membayar hutangnya.
52
Dalam bukunya: Pegadaian Syariah, Muhammad Sholikul Hadi mengutip pendapat Imam Abu Zakariya al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahhab yang
mendefenisikan rahn sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari harga benda itu bila
utang tidak dibayar.” Sedangkan menurut Ahmad Baraja, rahn adalah jaminan bukan produk dan semata untuk kepentingan sosial, bukan kepentingan bisnis,
jual beli mitra.
53
Adapun pengertian rahn menurut Imam Ibnu Qudhamah dalam kitab Al- Mughni adalah sesuatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu hutang untuk
dipenuhi dari harganya, apabila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari
51
Imam al’ama Ibn Mandur, Lisan al-Arab, Muassah Tarikh al-Arabi:Bairut, 1999, hal. 347.
52
Van Hope, Ensiklopedi Hukum Islam, Ikhtiar Baru, Jakarta, 1996, hal.1480.
53
Muhammad Sholikul Hadi. Pegadaian Syariah, Salemba Diniyah, Jakarta, 2003, hal 7
yang berpiutang.
54
Dari ketiga defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa rahn merupakan suatu akad utang piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai
nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.
54
Muhammad Firdaus NH, dkk. Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah, Renaisan Anggota IKAPI, Jakarta, 2005, hal 87
57
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KREDITPEMBIAYAAN MACET