BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Belanja merupakan salah satu kegiatan membeli barang atau jasa yang sering dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selama
hidup, manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.Seiring berkembangnya zaman,
kegiatan belanja bukan lagi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pokok melainkan sebagai suatu gaya hidup guna memenuhi kepuasan semata Rasimin,
2008. Pesatnya perkembangan dan perubahan trend atau mode suatu barang,
membuat kegiatan belanja sering digunakan sebagai alat untuk memuaskan keinginan, tidak jarang seseorang akhirnya membeli barang yang sebenarnya tidak
dibutuhkan Sipunga, 2014. Semakin banyaknya pusat perbelanjaan, sarana berbelanja serta barang dan jasa yang ditawarkan membuat semakin meningkat
pula minat seseorang untuk membeli barang dan jasa Perwitasari, 2013. Selain itu banyaknya metode berbelanja dan cara promosi yang menarik membuat barang
atau jasa yang ditawarkan menjadi lebih menarik perhatian pembeli. Maraknya online shoppingturut menyebabkan meningkatnya perilaku konsumtif. Hal ini
dikarenakan online shoppingmerupakan metode berbelanja terbaru yang tidak memerlukan komunikasi tatap muka
secara langsung melainkan dapat dilakukan secara terpisah antar kota maupun antar Negara.
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya setiap orang akan melakukan kegiatan belanja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi perilaku berbelanja tiap orang akan
berbeda-beda. Ada orang yang memiliki perilaku belanja wajar dan ada pula orang yang memiliki perilaku belanja yang tidak wajar atau berlebihan
Shohibullana, 2014. Perilaku belanja yang berlebihan tanpa pertimbangan terlebih dahulu dan dilakukan demi kesenangan sering juga disebut dengan
perilaku konsumtif. Menurut Sumartono 2002 perilaku konsumtif merupakan perilaku yang
tidak lagi berdasarkan pada pertimbangan yang rasional, melainkan karena adanya keinginan yang sudah mencapai taraf yang tidak rasional lagi. Sedangkan menurut
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dalam Lina Rosyid, 1997 perilaku konsumtif merupakan kecenderungan untuk melakukan konsumsi tiada batas,
yang lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan. Hal tersebut mengandung arti adanya unsur sifat pemborosan dalam perilaku konsumtif.
Perilaku konsumtif merupakan keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan
maksimal Tambunan, 2001:1. Lubis dalam Lina Rosyid, 1997 mengemukan bahwa perilaku
konsumtif melekat pada individu bila membeli dan mengkonsumsi barang dan jasa yang didasari pada keinginan want dan bukan pada kebutuhan need.
Selain itu menurut Subandy dalam Ramadhan, 2012 gaya hidup konsumtif merupakan pola hidup untuk mengkonsumsi secara berlebihan barang-barang
yang sebenarnya kurang diperlukan untuk mencapai kepuasan yang maksimal.
Universitas Sumatera Utara
Seseorang dapat dikatakan konsumtif jika ia memiliki barang lebih disebabkan oleh pertimbangan status, dimana barang tersebut bertujuan untuk menunjukkan
status pemiliknya bukan untuk memenuhi kebutuhan yang sebenarnya Fromm dalam Surya, 2013.
Mahasiswi merupakan salah satu kelompok yang rentan mengalami perilaku konsumtif. Hal ini dikarenakan pola konsumsi seseorang terbentuk pada
usia mahasiswi, disamping itu mahasiswi biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uang
Jumiati, 2009. Tidak sedikit mahasiswi cenderung lebih mendahulukan keinginan yang ada dalam dirinyadaripada kebutuhan dan kepentingan kampus.
Pada umumnya mahasiswi membelanjakan uang mereka untuk fashion, seperti membeli baju-baju keluaranterbaru, sepatu, aksesoris, parfum, make-up dan lain-
lain.Hal ini dilakukan mahasiswi hanya untuk mengikuti tren agar terlihat keren dan modis.
Menurut penelitian sebelumnya perilaku konsumtif yang sering dilakukan mahasiswi ini terjadi karena konsumen perempuan cenderung lebih emosional
dalam berbelanja dalam Lina dan Rosyid, 1997. Dalam menggunakan uang belanja, Kefgen dan Specht dalam Lina dan Rosyid, 1997 mengamati bahwa
perempuan cenderung membelanjakan uangnya hampir dua kali lipat lebih banyak daripada laki-laki. Selain menggunakan emosi dalam berbelanja, perempuan
ternyata memperoleh respon yang menyenangkan dan menggembirakan disetiap pengalaman berbelanja yang mereka lakukan Schiffman dan Kanuk, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Untuk itu mahasiswi harus lebih bisa mengendalikan dirinya dalam berbelanja untuk menghidari tingginya perilaku konsumtif.
Salah satu faktor yang berperan penting dalam mengendalikan perilaku konsumtif adalah kontrol diri. Kecenderungan mahasiswi yang lebih emosional
saat berbelanja akan dapat berkurang jika mereka memiliki kontrol diri yang tinggi. Hal ini dikarenakan kontrol diri berkaitan dengan bagaimana individu
mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya Hurlock, dalam Ghufron 2010. Oleh karena itu seseorang harus memiliki kontrol diri yang
baik agar mampu mengatur perilaku belanja yang berlebihan. Menurut Hurlock 1994 kontrol diri adalah kemampuan yang dimiliki
seseorang untuk membimbing, mengatur dan mengarahkan bentuk- bentuk perilaku melalui pertimbangan kognitif sehingga dapat membawa ke arah
konsekuensi positif. Goldfried dan Merbaum dalam Rachdianti 2011 mengatakan kontrol diri adalah proses dimana individu menjadi pihak utama
membentuk, mengarahkan dan mengatur perilaku yang akhirnya diarahkan pada konsekuensi positif. Individu dengan kontrol diri tinggi pada umumnya sangat
memperhatikan cara-cara yang tepatuntuk berperilaku dalam situasi yang bervariasi. Kontrol diri yang tinggi akan membuat individu melakukan banyak
pertimbangan sebelum memutuskan sesuatu, salah satunya dalam hal berbelanja. Seseorang yang memiliki kontrol diri yang tinggi, akan mampu membuat
pertimbangan prioritas dalam membeli, memilih antara yang penting dan tidak penting sebelum membuatkeputusan untuk membeli. Sebaliknya, mahasiswi
Universitas Sumatera Utara
mempunyai kontrol diri yang rendah maka akan membeli suatu barang tanpa mempertimbangkan prioritasnya Anggraeni, 2014.
Heni 2013 juga mengatakan ada hubungan yang signifikan antara kontrol diri dengan perilaku konsumtif. Semakin tinggi kontrol diri seseorang, maka
perilaku konsumtif akan semakin rendah. Dapat dikatakan bahwa seseorang yang mampu mengontrol perilaku diharapkan akan mampu mengendalikan perilakunya
dalam segala hal, melalui aktivitas atau kegiatan-kegiatan tertentu agar tidak mengarah pada perilaku yang sia-sia dan hanya membuang-buang waktu, dalam
hal ini kecenderungan berperilaku konsumtif. Peningkatan terhadap kontrol diri maka akan disertai pula dengan penurunan perilaku konsumtif.
Banyaknya universitas yang tersebar diseluruh Indonesia menyebabkan anak yang telah selesai menempuh pendidikan SMA dan ingin melanjutkan
kejenjang yang lebih tinggi kuliah mempunyai banyak pilihan dan kesempatan untuk memutuskan tempat dimana anak ingin mengembangkan dan meningkatkan
ilmu yang mereka miliki. Keinginan anak untuk mengembangkan dan meningkatkan ilmu tersebut membuat anak harus tinggal di tempat yang jauh dari
orangtua dan akhirnya mengharuskan anak menjadi mahasiswi kost. Banyak masalah yang sering dialami oleh mahasiswi kost. Salah satunya
adalah masalah keuangan. Seperti kesulitan dalam mengatur keuangannya sendiri, dimana uang saku yang mereka peroleh dari orangtua sering kali habis sebelum
waktunya Arifin, 2009. Belanja dan nongkrong merupakan hal yang sering membuat uang saku mahasiswi habis sebelum waktunya.
Universitas Sumatera Utara
Berubahnya lingkungan keluarga menjadi lingkungan kost menyebabkan perubahan mahasiswi dalam mengelolah keuangannya. Hanuning 2011 yang
mengatakan bahwa mahasiswi yang kost cenderung menjadi lebih konsumtif dikarenakan mahasiswa kost mengalami perubahan lingkungan, dari lingkungan
keluarga menjadi lingkungan kost. Selain tinggal di kost ada juga mahasiswa yang tinggal dengan orangtua.
Pada mahasiswa yang tinggal di rumah bersama orangtua pada umumnya tidak mengalami perubahan lingkungan. Selain itu, adanya kontrol langsung dari
orangtua terhadap uang saku menyebabkan mahasiswi tidak bisa secara sembarangan membeli barang yang mereka inginkan Rahayu, 2013.
Berdasarkan wawancara personal yang dilakukan, hal ini juga dialami sendiri oleh seorang mahasiswi berinisial AW 20 tahun yang tinggal bersama orang tuanya
“Aku sebenarnya pengen beli ini itu kak, terutama kayak pakaian- pakaian gitu. Secara kan tiap saat berubah kak modelnya, lucu-lucu lagi.
Cuma ga bisa, karena mama ku ngasih uang jelas-jelas untuk kebutuhan apa aja, ya misalnya untuk ongkos berapa, makan berapa, itu semua jelas. Ya
paling kalau mau jalan sama teman baru minta agak banyak. ”
Komunikasi Personal, 18 November 2014
Tidak demikian dengan mahasiswi yang tinggal di kost. Minimnya peran dan kontrol orangtua menyebabkan tingginya perilaku konsumtif pada mahasiswi
kost dibandingkan dengan mahasiswi yang tinggal dengan orangtua, hal ini dikarenakan peran orang tua masih cukup banyak untuk mengawasi dan
mengontrol apa saja mereka beli Hanuning, 2011.Hal ini juga dibenarkan oleh
Universitas Sumatera Utara
seorang mahasiswi kost yang kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.
“Kalau aku sih dikasih uang bulanan kak sama orang tua. Biasanya mereka ngirim diawal bulan dan itu udah mulai krisis di tanggal-tanggal
15 keatas lah kak. Banyak sih yang dilakukan diawal bulan kak, belanja- belanja, nongkrong, dll lah. Kalau belanja paling umum ya belanja
kebutuhan bulananlah kak, itu sih ga nya banyak kali paling mahal aku belanja kebutuhan bulanan Rp. 300.000 kak. Yang banyak habis itu kalau
beli baju-baju kak, ikh tau lah kakak baju sekarang bahan nya setengah aja buat masuk angin harga nya Rp. 200.000. Sebenarnya ga mau beli kak,
tapi gimana lah kak, namanya pengen, lagi trend juga, ya terpaksa lah kak
dibeli daripada ketinggalan jaman.” Komunikasi Personal, 20 November 2014
Namun nyatanya ada juga mahasiswi yang kost mampu mengontrol perilakunya dalam berbelanja. Tidak adanya peran orangtua yang dapat
mengawasi dan mengontrol apa saja yang dibeli oleh mahasiswi tidak serta merta menjadikan mahasiswi kost tersebut menjadi konsumtif. Mereka justru menjadi
lebih teliti dalam mengatur dan mengontrol semua pengeluaran mereka, karena kondisi mereka yang tinggal jauh dari orang tua tidak selalu menjadikan mereka
dapat dengan mudah meminta uang untuk memenuhi semua kebutuhan mereka. Keown dalam Margaretha 2015 mengatkan bahwa mahasiswi yang tinggal
sendiri memiliki kemampuan untuk mengatur keuangan dengan lebih baik dibandingkan dengan mahasiswi yang tinggal dengan orangtuanya. Hal ini
dibenarkan oleh RA 21 Tahun yang tinggal di kost, seperti yang terlihat pada kutipan wawancara personal berikut:
“Kalau menurut ku, aku ga konsumtif. Aku ga gitu suka ke mall atau belanja-belanja. Lagian aku takut aja kalau kehabisan uang sebelum
kiriman ku bulan depan datang, aku mau makan apa secara aku tinggal sendiri dan orangtua jauh. Selain itu aku dikasih jatah bulanan, jadi aku
Universitas Sumatera Utara
harus pandai-pandai ngatur uang kiriman ku agar cukup sampai kiriman selanjutnya datang.
”
Komunikasi Personal, 10 Desember 2014
Kondis diatas terjadi karena kontrol diri seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal Gufron dalam Shohibullana,
2014. Faktor internal merupakan faktor dalam diri individu yang mempengaruhi kontrol diri seperti usia, jenis kelamin dan kepribadian. Semakin bertambah usia
seseorang maka, semakin baik kemampuan mengontrol dirinya. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor dari luar diri seseorang yang mempengaruhi kontrol
diri yaitu lingkungan sekitarnya, baik itu lingkungan keluarga, teman sebaya dan lingkungan tempat individu berinteraksi sosial.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai perbedaan perilaku konsumtif pada mahasiswi yang kost dan
yang tinggal dengan orangtua ditinjau dari kontrol diri.
B. RUMUSAN MASALAH