Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Pada Bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan
BAB II TINJAUAN TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN
CRIME AGAINST HUMANITY DALAM BERBAGAI PERATURAN
F. Kejahatan Kemanusiaan Crimes Againts Humanity Dalam Peraturan
Nasional 1. Berdasarkan KUHP
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Pada dasarnya konflik bersenjata dapat terjadi secara internal maupun inetrnasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun 1949 meletakkan dasar Hukum
Humaniter dengan merumuskan bahwa dalam masa konflik bersenjata. Maka, orang- orang yang dilindugi oleh konvensi ini harus in all circumstances be treated
humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth, or wealth, or other similar criteria… padahal sebelum tahun 1949,
perlindungan hukum hanya diberikan pada personel militer.
18
Protokol I dari konvensi Jenewa memberikan perlindungan bagi orang-orang sipil yang jatuh ke tangan musuh, sedangkan Protokol II memuat ketentuan-ketentuan
yang berkenaan dengan korban konflik bersenjata internal bukan international. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa beserta dengan 185 Negara lainnya
menurut data tahun 1977. Konvensi Jenewa ini diterapkan melalui kerjasama a Perangkat internasional yang paling signifikan dalam konteks ini mencakup
tiga golongan besar, yakni : 1. Law of Geneva, yakni Konvensi-konvensi dan protokol-protokol Internasional
yang ditetapkan di bawah lingkup Komite Palang Merah Intersional atau ICRC, di mana perlindungan bagi korban konflik menjadi perhatian utama:
2. Law of the Hague, ketentuan ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan di Ibukota Belanda pada tahun 1899 dan 1907, yang utamanya
menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan; 3. Upaya-upaya PBB untuk memastikan agar dalam situasi konflik bersenjata, HAM
tetap dihormati, dan sejumlah senjata dibatasi pemakaiannya
18
Fadillah Agus ed, Hukum Humaniter suatu Persfektif, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti-ICRC, Jakarta, 1997, HAL. 85-86.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Protecting Power, atau Negara ketiga yang menjadi pihak netral dalam konflik tersebut, di bawah pengawasan ICRC.
Dalam kaitannya dengan kondisi di Indonesia saat ini, yang paling relevan adalah konflik bersenjata internal yang sampai detik ini masih terjadi. Situasi konflik
internal yang tengah terjadi di Aceh misalnya yang sering disebut sebagai perang saudara ini lebih kompleks sifatnya, dan memerlukan penanganan yang arif
Internal disturbances dirumuskan sebagai berikut: …..situations, in which there is no international armed conflict as such, but there exists a confrontation within the
country, characterized by a certain seriousness or duration, and which involves acts of violence from the spontaneous generation of acts of revolt to the struggle between
more or less organized groups the authorities in power call upon extensive police force or even armed forces to restore internal order the high number of victims had
made necessary the applications of minimum of humanitarian rules… Dengan demikian unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam situasi seperti di
atas adalah :
19
19
Harkristuti Harkrisnowo, Kejahatan Berat dan Hukum Humaniter, diakses dari situs : http:www.komisihukum.go.id, tanggal 12 Oktober 2008, hal. 2-3.
a. Intensitas dan lamanya konflik b. Perilaku dengan kekerasan yang terjadi
c. Dilakukan secara spontan ataukah terorganisir d. Kekuatan kepolisian yang besar
e. Kekuatan angkatan bersenjata. Dalam Geneva Convention III, tahun 1949, pasal 3 ayat 1 dicantumkan
bahwa: …Person taking no active part in the hostilities shall in all circum stance be treated humanely without any adverse distinctions…..
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Angkatan bersenjata dan kepolisian dilarang untuk melakukan tindakan- tindakan di bawah ini terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut:
1. Kekerasan terhadap tubuh maupun nyawa. 2. Menyandera orang
3. Melakukan tindakan yang melecehkan martabat, menghina dan merendahkan orang
4. Menjatuhkan dan melaksanakan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin hak-hak seseorang.
Dalam pasal 4 Protocol II to The Geneva Convention, 1977 dirumuskan bahwa: All persons who do not take part or have ceased to take part in hostilities
whether or not their liberty has been restricted, are entitled to respect to their persons, honors, and conviction and religious practices, to be treated humanely
without any adverse distinction. Perilaku yang dilarang terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut
mencakup:
20
f. Melakukan penjarahan a. Melakukan kekerasan terhadap nyawa, kesehatan dan kesejahteraan mental
maupun jasmani orang Collective Punishment. b. Menyandera orang
c. Melakukan terorisme d. Melecehkan harkat dan martabat seseorang terutama perilaku yang merendahkan
dan menghina, perkosaan, pemaksaan prostitusi, dan semua bentuk serangan terhadap kesusilaan.
e. Melakukan perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya
20
Ibid.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
g. Mengancam untuk melakukan perilaku-perilaku di atas. Tindak-tindak pidana yang termasuk dalam pelanggaran berat atau grave
breaches dalam Konvensi Jenewa mencakup :
21
2. Torture or in human treatment, including biological experiment; 1. Willful killing;
Willful Killing merupakan tindakan pembunuhan dengan sengaja yang ekuivalen dengan pasal 340 dan 338 KUHP.
22
21
Ibid.
Penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi memang tidak dijumpai secara eksplisit dalam KUHP, akan tetapi menurut Konvesi Menentang Penyiksaan yang
telah diratifikasi RI tindakan ini mencakup perilaku yang cukup luas, tidak hanya berkenaan dengan penderitaan jasmani belaka, yakni: … Setiap perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh
pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah
dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada bentuk
dikriminasi apapun, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbul-kan oleh, atas hasutan, dengan persetuju-an, atau sepengetahuan pejabat publik…
3. Willfully causing suffering or serious injury to body are health;
22
Romli Atmasasmita, Aplikasi Anti Penyiksaan dalam Undang-Undang Hukum Pidana, makalah disampaikan pada diskusi publik, Mencari Strategi Pencegahan Kejahatan Penyiksaan,
diakses dari situs : http:www.komisihukum.go.id, tanggal 10 September 2008.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Dengan sengaja mengakibatkan penderitaan atau luka yang serius pada kesehatan atau tubuh seseorang.Ketentuan ini dapat memakai pasal 351 dan seterusnya dari
KUHP yang berkenaan dengan penganiayaan. 4. Extensive destruction or appropriation of property
Perusakan atau penghancuran atau perampasan harta benda seseorang. Pasal 406 KUHP merupakan salah satu contoh ketentuan domestik yang dapat digunakan
sehubungan dengan perilaku ini. 5. Compelling a prisoner of war or protected person to serve in the armed force of
hostile power, Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang melindungi oleh hukum
untuk bekerja bagi angkatan bersenjata pihak musuh 6. Willfully depriving a prisoner of war of protected person of the right to a fair and
regular trial. Dengan sengaja menghalang-halangi tawanan perang untuk mempergunakan
haknya untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak memihak. Pertanggungjawaban pidana atas kejahatan berat yang diurai di sini ini dapat
diletakkan pada orang-orang yang :
23
23
Ibid, hal. 4.
1. memenuhi semua unsur tindak pidana, 2. memerintahkan dilakukannya tindakan tersebut, termasuk dalam bentuk
percobaan, 3. gagal mencegah atau menindak perilaku kejahatan yang dilakukan oleh
bawahannya, sedangkan si atasan mengetahui bahwa bawahannya tengah atau akan melakukan kejahatan tersebut,
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
4. dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan tersebut, baik secara langsung maupun secara substansial, termasuk menye-diakan sarana untuk penyele-saian
kejahatan tersebut, 5. langsung berpartisipasi dalam merencanakan atau menye-pakati keja-hatan
tersebut, dan kejahatan itu dilakukan, 6. secara langsung dan umum menghasut seseorang untuk melakukan kejahatan terse-
but, dan kejahatan itu dilakukan, 7. mencoba melakukan kejahatan itu dengan memulai perbuatan, namun tidak selesai
karena hal-hal yang ada di luar dirinya. Melihat uraian di atas, untuk Indonesia Pasal 55 tentang penyertaan tindak
pidana, Pasal 56 tentang pembantuan tindak pidana, dan Pasal 53 tentang percobaan tindak pidana, sudah jelas akan menjadi acuan apabila kasus-kasus
semacam ini diproses dalam peradilan di Indonesia. Dasar-dasar pemidanaan yang berlaku secara umum juga berlaku dalam
hukum humaniter. Satu hal yang sangat penting adalah penegasan asas legalitas, bahwasanya seseorang tidak dapat dihukum atas sesuatu perbuatan yang belum
dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam Undang-Undang Negara yang bersang- kutan. Hukum Acara Pidana yang dipergunakan dalam proses peradilan bagi kasus-
kasus se-macam ini tentu saja mendapat perhatian yang sangat besar. Pasal 6 Protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa 1949 misalnya,
memberikan rambu-rambu bagi penuntutan dan penghukuman terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan situasi konflik bersenjata. Pidana tidak dapat dijatuhkan dan
dilaksanakan terhadap sese-orang yang dibuktikan bersalah dalam proses peradilan yang menjamin adanya kebebasan dan ketidakberpihakan pengadilan. Secara khusus
ditentuka pula bahwa:
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
1. Prosedur yang diterapkan harus memberikan hak pada terdakwa untuk diberitahu dengan segera mengenai tindak pidana yang dituduhkan padanya, beserta
sejumlah hak dan sarana untuk melakukan pembelaan, baik sebelum maupun selama persidangan.
2. Tak seorangpun dapat dijatuhi pidana atas tindak pida-na yang dilakukannya kecuali berdasarkan pertanggungjawaban pidana secara pribadi.
3. Tak seorangpun dapat di-nyatakan bersalah atas suatu tindak pidana yang pada saat dilakukannya perbuatan tersebut tidak dirumuskan oleh hukum sebagai suatu
tindak pidana; tidak dibenarkan menjatuhkan pidana yang lebih berat daripada sanksi pidana yang dirumuskan dalam hukum yang ada pada saat dilakukannya
perbuatan ter-sebut; apabila setelah terjadinya perbuatan dilakukan perubahan perundang-undangan yang menjatuhkan sanksi yang lebih ringan. Maka, terdakwa
harus dijatuhi pidana yang lebih ringan tersebut; 4. Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana harus dianggap tidak bersalah
sampai dibuktikan kesalahan-nya menurut hukum, 5. Setiap orang yang diadili berhak untuk menghadiri persidangannya,
6. Tak seorangpun dapat dipaksa untuk memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya sendiri atau untuk mengakui kesalahannya.
Bagian selanjutnya dari pasal ini menetukan sejumlah ketentuan lain yakni: 1. Bahwa setiap orang yang dijatuhi pidana harus diberitahukan mengenai upaya-
upaya hukum yang dapat dilakukannya, 2. Pidana mati tidak boleh dijatuhkan pada orang-orang yang berusia di bawah 18
tahun, wanita hamil, dan perempuan yang mempunyai anak kecil 3. Pada akhir masa konflik atau permusuhan, pihak penguasa harus berupaya untuk
mem-berikan amnesti pada orang-orang yang terlibat dalam konflik bersenjata,
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
atau orang-orang yang ditahandipenjara berdasarkan alasan-alasan yang berkenaan dengan konflik bersenjata.
Kewajiban untuk melakukan proses peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan suatu ketentuan internasional yang telah dirumuskan dalam berbagai
konvensi internasional. Hak-hak yang wajib diberikan pada seorang tersangkaterdakwa telah jelas dalam ketentuan Internasional Covenant on Civil and
Political Rights, terutama pasal 9 sampai dengan Pasal 15, yang pada dasarnya berisikan asas-asas antara lain:
1. Praduga tak bersalah pre-sumption of innocence 2. Persamaan di muka hukum equality before the law
3. Asas legalitas principle of legality 4. Ne bis in idem double jeopardy
5. Asas tidak berlaku surut non retroactivity, kecuali apabila ada perubahan UU yang meringankannya.
Apabila yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara. Maka, yang harus diperhatikan adalah Basic Principles for the Treatment of Prisoners, beserta pula
Body of Principles for the Protection of all Persons under any form of Detention or Imprisonment.
2. Berdasarkan RUU KUHP
Perancang RUU KUHPidana membuat langkah yang penting dalam
pembaruan atau reformasi hukum pidana, yakni dengan memasukkan ‘Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia’ dalam RUU KUHPidana yang tertuang dalam Bab IX.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Kreasi atau langkah inovatif para perancang RUU boleh dikatakan langkah yang maju, yang sejalan dengan usaha menata kembali tatanan kehidupan kenegaraan kita
yang demokratis di masa transisi saat ini. Kita menyebut seluruh usaha ini dengan istilah “reformasi”. Salah satunya yang saat ini dengan serius kita tata kembali adalah,
jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. RUU ini, yang merancang kriminalisasi terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang serius, tampak
memanifestasikan keinginan “reformasi” tersebut.
Pemikiran inovatif para perancang RUU KUHPidana tersebut haruslah kita
apresiasi dengan positif. Maka, dengan semangat inilah saya ingin mengajukan beberapa catatan kritis terhadap RUU ini, khususnya terhadap Bab IX mengenai
tindak pidana hak asasi manusia. Kalau ingin diajukan dalam bentuk pertanyaan, pemasalahan yang saya ajukan adalah, i apakah kriminalisasi terhadap kejahatan hak
asasi manusia harus selalu dituangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana?, dan ii bagaimana dengan status UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM?
Apakah tidak sebaiknya tetap dipertahankan pola tindak pidana khusus di luar KUHP, sehingga UU No. 26 Tahun 2000 berstatus sebagai tindak pidana khusus sesuai
dengan karakternya sebagai extra-ordinary crime?
Yang paling mengedepankan sumbangannya dalam usaha melakukan kriminalisasi terhadap hak asasi manusia adalah hukum pidana internasional. Tonggak
terpentingnya adalah pengadilan Nuremberg setelah Perang Dunia II yang mengkriminalisasi kejahatan perang war crimes, kejahatan terhadap kemanusiaan
crime against humanity, dan genosida crime against genocide, yang kemudian diikuti oleh lahirnya konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia yang
mewajibkan negara-negara untuk mengkriminalisasi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia tertentu, seperti penyiksaan torture, dan penghilangan paksa
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
involuntary disappearance. Boleh dikatakan terjadi hubungan yang sangat dinamis antara hukum pidana internasional dengan hak asasi manusia internasional dalam
usaha untuk memelihara dan menjaga perdamaian dunia. Menurut pakar hukum pidana internasional kenamaan, Prof. M. Cherif
Bassiouni, kejahatan-kejahatan internasional tersebut seperti agresi, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, pembajakan, perbudakan dan
penyiksaan memiliki status sebagai kejahatan ‘jus cogens’, yang menimbulkan kewajiban ‘erga omnes’ bagi setiap negara. Sebagai kejahatan internasional yang
memiliki status jus cogens, berarti menimbulkan pula kewajiban untuk mengadili atau mengekstradisi, tidak berlakunya statuta batasan untuk kejahatan demikian dan
berlakunya yurisdiksi universal terhadap kejahatan tersebut dimanapun terjadinya, oleh siapa termasuk kepala negara, apapun kategori korban dan tanpa memandang
konteks terjadinya damai atau perang. Sebagian karena alasan ini, saat ini banyak negara yang telah memasukkan kejahatankejahatan internasional tersebut ke dalam
hukum pidana nasionalnya, antara lain seperti Belgia, Denmark, Kanada, dan seterusnya. Kita dengan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia sebenarnya telah melakukan kriminalisasi terhadap kejahatan yang dalam hukum pidana internasional dikenal sebagai kejahatan ‘jus cogens’ itu yang sekaligus
merupakan bentuk perlindungan terhadap hak asasi manusia. Sekarang melalui RUU KUHPidana, kita mengukuhkan kembali kriminalisasi terhadap kejahatan-kejahatan
tersebut, yang dimasukkan ke dalam Bab IX tentang Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia.
24
24
Zainal Abidin dan Supriyadi Widodo Edyono, Kejahatan Perang dalam RUU KUHP, diakses dari situs :
http:kuhpreform.wordpress.com20080117kejahatan-perang-dalam-ruu-kuhp tanggal 20 September 2008.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kriminalisasi terhadap hak asasi manusia atau kejahatan internasional merupakan sesuatu yang niscaya; kita tidak bisa
menolak kecenderungan universal ini. Tetapi masalahnya adalah, apakah harus dibuat dalam sebuah kitab kodifikasi KUHPidana atau diatur tersendiri sebagai tindak
pidana khusus? Kita tidak ingin menjawabnya dengan ya atau tidak, tetapi dengan mengajukan beberapa problematiknya dengan mengacu pada pengalaman penerapan
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu apa yang diatur dalam Bab IX KUHPidana itu. Secara ringkas, bab
dengan judul Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia itu mengatur tentang kriminalisasi terhadap : i genosida; ii tindak pidana kemanusiaan; iii tindak
pidana perang dan konflik bersenjata; dan v penyiksaan. Dibanding dengan UU No. 26 Tahun 2000, RUU ini jauh lebih lengkap karena memasukkan dua kejahatan hak
asasi manusia atau kejahatan internasional lagi ke dalamnya. Tetapi bila ditinjau dari standard internasional, RUU ini masih kurang karena belum memasukkan ke
dalamnya kejahatan penghilangan orang secara paksa, dan perbudakan. Padahal kedua kejahatan internasional tersebut juga merupakan kejahatan yang oleh Prof. Bassiouni
dikategorikan ke dalam kejahatan ‘jus cogens’. Dari segi perumusan delik, selain dua kejahatan “baru” yang dimasukkan dalam RUU, tidak ada perbedaan substantif
dengan UU No. 26 Tahun 2000. Baik itu menyangkut rumusan delik genosida maupun rumusan delik tindak pidana kemanusiaan, hanya ada penambahan kecil-
kecilan saja dalam RUU KUHPidana. Perbedaan yang besar terjadi pada besarnya ganjaran hukuman. Kalau RUU mengatur ancaman hukumannya mulai dari 3 tahun
hingga 15 tahun paling lama, maka UU No. 26 Tahun 2000 mengancam hukuman mulai dari 10 tahun hingga paling berat hukuman mati. Melihat besarnya perbedaan
ini, maka mana yang akan digunakan. Atau memang UU No. 26 Tahun 2000 akan
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
dicabut, apalagi kalau melihat RUU KUHPidana jauh lebih lengkap dalam memasukkan kejahatan hak asasi manusia. Berkaitan dengan rumusan delik tersebut,
RUU ini bersama dengan UU No. 26 Tahun 2000 tidak memuat dengan gamblang berkaitan dengan unsur-unsur delik element of crimes dari kejahatan-kejahatan yang
dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap hak asasi manusia. Padahal inilah yang menjadi masalah dalam penerapan UU No. 26 Tahun 2000. Ia membuka ruang
interpretasi, yang kalau tidak dilandasi penguasaan literatur dan jurisprudensi internasional yang memadai, akan berakibat fatal sebagaimana yang ditujukkan oleh
DPR dalam kasus Trisaksi dan Semanggi I-II, yang menyimpulkan tidak terjadi pelanggaran berat HAM di sana. Padahal unsu-unsur deliknya, yakni meluas
widespread atau sistematik systematic dan unsur diketahuinya intention tidak dibahas dengan memadai di dalam kasus itu. Apa yang dimaksud dalam unsur-unsur
itu, bila tidak diberikan pedoman yang jelas, akan menjadi celah yang menyulitkan penerapannya.
Aspek lain yang perlu juga kita perhatikan dalam konteks kriminalisasi atas pelanggaran hak asasi manusia yang serius atau kejahatan internasional ini adalah,
masalah pertanggungjawaban pidana criminal responsibility. Dalam sistem yang dianut RUU KUHPidana, masalah ini diatut dalam Buku I. Membaca ketentuan yang
dirumuskan dalam Buku I tersebut kita tidak menemukan dengan gamblang aturan mengenai pertanggungjawaban komando command responsibility
dan pertanggungjawaban atasan superior order sebagaimana diatur dalam UU No. 26
Tahun 2000. Yang diatur dalam RUU adalah pertanggungjawaban pidana secara umum. Dalam konteks ini kita perlu mempertanyakan ketentuan yang diatur dalam
Pasal 31 RUU, yang menyatakan : “tidak dipidana, setiap orang yang melakukan
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
tindak pidana karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang”. Apa arti pasal ini bila dikaitkan dengan perintah atasan?
Masalah pertanggungjawaban pidana sebagaimana dipaparkan di atas sangat penting, justru karena dikriminalisasinya dalam RUU ini tindak pidana perang dan
konflik bersenjata. Buku I harus mencakup pula mengatur tentang aspek-aspek pertanggungjawaban pidana dalam konteks kejahatan tersebut. Makanya perlu
pengaturan yang lebih jelas mengenai aspek-aspek ini, apalagi mengingat pengalaman selama ini dalam menerapkan UU No. 26 Tahun 2000 yang meskipun sudah
mengatur soal ini, tetapi masih gamang dalam mengimplementasikannya. Mahkamah Pidana Internasional misalnya, dalam mengimplementasikan Roma Statute,
mengeluarkan aturan mengenai elemen-elemen kejahatan element of crimes dan hukum acara serta pembuktiannya rule of procedure and evidence.
RUU KUHP telah memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bagian yang akan diatur dalam KUHP. Dimasukkannya jenis
kejahatan ini merupakan hasrat besar dari penyusun RUU KUHP untuk memasukkan semua jenis tindakan yang masuk dalam kategorisasi pidana dan maksud atas upaya
kodifikasi hukum pidana. Namun muncul kekhawatiran dimasukkannya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP akan melemahkan
bobot kejahatan gravity of the crimes dikarenakan jenis-jenis kejahatan tersebut telah dikenal sebagai kejahatan luar biasa extra-ordinary crimes dan merupakan
kejahatan internasional. Kejahatan-kejahatan ini merupakan kejahatan yang mengejutkan hati nurani umat manusia shocking conciousness of human kind.
Sebagai konsekuensinya, terhadap kejahatan-kejahatan yang tergolong serius ini, asas dan doktrin hukum menunjukkan adanya pemberlakukan asas-asas umum yang
berbeda untuk menjamin adanya penghukuman yang efektif. Dengan demikian,
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Rancangan KUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan
yang efektif karena adanya ketentuan dan asas-asas umum dalam hukum pidana yang justru tidak sejalan dengan karakteristik kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan gross
violation of human rights yang dikategorikan sebagai musuh seluruh umat manusia hostis humanis generis. Literatur hukum menyatakan bahwa kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan jus cogens, yakni hukum yang memaksa dan berada dalam posisi hierarkis yang tertinggi dibandingkan dengan semua norma
dan prinsip lainnya. Norma jus cogens dianggap mutlak peremtory dan tidak dapat diabaikan. Terhadap kejahatan ini, setiap umat manusia mempunyai tanggung jawab
obligatio erga omnes untuk melakukan penghukuman secara adil. Dalam sejarahnya, penghukuman atas kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi pasca
Perang Dunia Kedua. Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo pada tahun 1948 menjadi awal atas proses penghukuman bagi para pelaku gross violation of human
rights. Selanjutnya, pada tahun 1993 digelar Pengadilan Pidana Internasional ad hoc untuk mengadili pelaku berbagai pelanggaran serius terhadap hukum humaniter
internasional di negara bekas Yugoslavia. Pada tahun 1994 juga dibentuk Pengadilan Pidana Internasional ad hoc untuk mengadili kejahatan Genosida.
Pelanggaran Konvensi Jenewa dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994. Berdasarkan statuta dalam dua pengadilan di atas,
muncul juga perumusan dan pendefinisian tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada tahun 1998 dengan disahkannya dokumen dasar pembentukan Mahkamah
Pidana Internasional International Criminal Court, yaitu Statuta Roma 1998,
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
menandai adanya perumusan tentang maksud kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma juga menyatakan bahwa
kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida adalah kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan. Statuta Roma
1998 menempatkan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida sebagai kejahatan dengan karakteristik khusus, yang dalam hal-hal tertentu, prinsip-prinsip
hukum pidana dan acaranya berbeda dengan kejahatan pidana biasa. Statuta ini juga dilengkapi dengan perumusan tentang unsur-unsur kejahatan dan prosedur beracara
dan pembuktian tersendiri. Statuta Roma juga menegaskan bahwa alasan atas adanya perintah atasan atau komandan tidak membebaskan tanggung jawab pidananya karena
ketidaktahuan bahwa perintah tersebut melanggar hukum atau tidak nyata-nyata melanggar hukum. Perintah untuk melakukan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan jelas-jelas melanggar hukum. Sehingga dalih bahwa perbuatan itu dilakukan karena perintah jabatan atau ketidaktahuan bahwa tindakan yang dilakukan
bukan merupakan pelanggaran hukum tidak melepaskan tanggung jawab pidana pelakunya.
Indonesia pada tahun 2000 telah mengeluarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang mempunyai yurisdiksi untuk memeriksa dan
mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam UU tersebut, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida diklasifikasikan
sebagai pelanggaran HAM yang berat. UU ini secara tegas juga menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan adalah kejahatan luar biasa extra-ordinary crimes dan dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan
tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Berdasarkan karakteristik kejahatannya yang sangat khusus dan berbeda dengan kejahatan “biasa” lainnya, maka Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus.
Terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat diperlukan langkah- langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan yang bersifat khusus.
Beberapa prinsip dalam hukum pidana diatur secara berbeda dalam UU No. 26 Tahun 2000, yakni adanya penegasan tentang dapat diberlakukan asas non-retroaktif dan
tidak adanya masa daluarsa terhadap kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
25
Penempatan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP menurut beberap ahli mempunyai kelemahan mendasar yang akan
menimbulkan kesulitan dalam melakukan penuntutan yang efektif terhadap kejahatan- kejahatan ini. Akibatnya adalah, kelemahan dalam memberikan usaha untuk
memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Setidaknya ada tiga alasan mengapa menempatkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
dalam kodifikasi RUU KUHP dianggap tidak tepat :
26
Perumusan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP tidak mempunyai perbedaan dengan perumusan pelanggaran HAM yang
berat sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Perbedaannya hanyalah pada nama tindak pidananya, yakni tindak pidana
genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan. Perumusan ketentuan dalam 1. Perumusan yang tidak sesuai dengan hukum internasional dan implikasi atas
efektivitas penerapannya.
25
Andrey Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 35.
26
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, USAID, Kejahatan Kemanusiaan dan Kejahatan Genoside, Tepatkah diatur di dalam KUHP, diakses dari situs : http:usaid.or.id., tanggal 20
November 2008, hal. 2.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
RUU KUHP tentang tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan yang sesuai dengan UU No. 26 Tahun 2000 inilah yang
menimbulkan permasalah karena justru mengulangi kesalahan perumusan sebagaimana dalam UU No. 26 Tahun 2000. Para penyusun juga tidak melengkapi
perumusan kedua tindak pidana dengan adanya element of crimes sebagai bagian yang sangat penting untuk memberikan kejelasan dalam menafsirkan maksud
tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan. Dengan demikian, rumusan yang tidak lengkap dan salah dari ketentuan aslinya sesuai
dengan Statuta Roma 1998 telah melemahkan tingkat kejahatan-kejahatan tersebut. Padahal dalam hukum pidana, asas kardinal yang dianut adalah asas
legalitas yang menuntut adanya pengaturan yang jelas dan rinci lex certa. Dalam penerapannya, perumusan dalam undang-undang menjadi pijakan untuk
menentukan tindak pidana yang dilakukan dan tingkat kesalahan pelakunya. Tidak dibenarkan adanya penafsiran yang meluas atas tindak pidana yang diatur.
Akibatnya, jika rumusan tentang tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan dalam RUU KUHP ini dipertahankan dengan rumusan
yang demikian, maka akan melemahkan efektivitas penuntutan terhadap kejahatan-kejahatan ini. Kondisi ini berbeda dengan pengaturan tentang kejahatan
genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Meskipun dengan perumusan yang tidak lengkap, tetapi
ada klausul bahwa apa yang dimaksud dengan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam UU tersebut sesuai dengan Statuta Roma 1998. Hal
ini mempunyai konsekuensi bahwa hakim masih mempunyai peluang untuk menafsirkan perumusan tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan sesuai dengan maksud aslinya dalam Statuta Roma 1998.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Tindak pidana genosida dan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan dengan tindak pidana umum
ordinary crimes, yang oleh karena itu asas-asasnya menyimpangi asas-asas umum hukum pidana. Kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida
tidak mengenal asas “daluarsa” dan alasan penghapusan pidana karena perintah jabatan atau perintan tersebut melanggar hukum.
2. Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan internasional yang berdasarkan hukum internasional, terhadap kejahatan ini
dilarang untuk diberikan amnesti. Berdasarkan Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Gross Violations of International
Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law; General Comment 31, Update Set of Principles to Combat Impunity dalam Prinsip
1, 19, 22 dan 24, diatur bahwa ketika terjadi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan maka setiap negara memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
menuntut dan menghukum secara setimpal para pelakunya serta tidak memberikan amnesti kepada para pejabat atau aparat negara sampai mereka dituntut di depan
pengadilan. Jadi, ada kewajiban negara untuk menghukum pelaku dan memberi kompensasi terhadap korban.
Rumusan dalam Buku I RUU KUHP kembali lagi menentukan adanya gugurnya kewenangan penuntutan karena adanya pemberian amnesty dari Presiden Pasal
145 huruf g. Klausul ini memberikan peluang terhadap tindak pidana genosida dan tindak pidana terhadap kemanusiaan tidak dilakukan penuntutan karena
adanya amnesti. Hal ini sangat bertentangan dengan hukum internasional yang mewajibkan setiap negara untuk melakukan penuntutan terhadap para pelaku
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki status yang sangat khusus dalam Hukum Internasional. Kejahatan ini adalah the most serious
crimes of international concern as a whole atau kejahatan paling berat bagi masyarakat internasional secara keseluruhan. Kejahatan ini termasuk pelanggaran
terhadap Jus cogens dan Erga Omnes, yakni norma tertinggi dalam hukum internasional yang mengalahkan norma-norma lain overriding norms dan
merupakan suatu kewajiban seluruh negara untuk melakukan penuntutan.
27
27
Ibid, hal. 3.
Oleh karena itu, menempatkan jenis-jenis kejahatan tersebut dengan perumusan saat ini di RUU KUHP dan memaksakannya masuk dalam KUHP di masa
depan akan menimbulkan kelemahan-kelemahan baik dari sisi perumusan kejahatan maupun ketidakcukupan asas-asas umum yang dianutnya. Bahkan, berpotensi
menimbulkan pertentangan dengan asasasas umum hukum pidana dalam Buku I RUU KUHP. Oleh karena itu, jenis kejahatan ini sebaiknya tetap dikeluarkan dalam RUU
KUHP. Sedangkan revisi menyeluruh tentang perumusan dan akomodasi asas-asas khusus yang akan mewadahi efektivitas penuntutan atas kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalah dengan melakukan amandemen UU No. 26 Tahun 2000.
Yang juga akan menjadi masalah bila kejahatan ini diatur dalam satu kodifikasi adalah, masalah hukum acaranya. Berdasarkan UU No. 262000,
penyelidikan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat berada dalam kewenangan Komnas HAM. Yang jadi pertanyaan dengan RUU KUHPidana ini
adalah, apakah kewenangan ini masih berada di bawah Komnas HAM atau berada di bawah kepolisian?
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Seperti kita ketahui, UU No. 262000 mengatur secara sumir mengenai hukum acara ini. Hanya terbatas mengatur soal kewenangan Kejaksaan Agung, Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM, dan Hakim. Jaksa Agung diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka, dan
juga diberi kewenangan untuk meneruskan atau tidak suatu penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Selain diberikan kewenangan mengangkat penyidik ad
hoc. Sedangkan kepada Komnas HAM diberikan kewenangan penyelidikan. Mengenai hakim, Undang-undang memberi kewenangan kepadanya untuk melakukan
pemeriksaan dalam suatu majelis terdiri dari lima hakim dalam jangka waktu 180 hari sudah harus memutuskan perkara yang diajukan kepadanya terhitung sejak
perkara dilimpahkan. Tentang alat bukti dan cara bagaimana mendapatkannya dengan demikian aturannya mengacu kepada KUHAP. Itu artinya sangat tidak
mungkin alat-alat bukti yang berupa rekaman video, kaset atau fotokopi dan pernyataan-pernyataan statements dipergunakan di dalam proses persidangan.
Padahal dalam kasus persidangan Rwanda dan bekas- Yugoslavia, alat-alat bukti seperti itu dibenarkan. Termasuk mendengarkan kesaksian dari para saksi di hadapan
televisi pengamat terbatas closed circuit television. KUHAP masih sangat konvensional dalam mengatur tentang alat bukti dan pembuktian, yang karena itu
sangat tidak memadai untuk diterapkan pada perkara-perakara yang diperiksa di pengadilan HAM yang memiliki kerumitan tersendiri.
Pembatasan waktu hanya dalam jangka 180 hari bagi pemeriksaan di pengadilan jelas sangat kaku. Begitu juga jangka waktu yang ditetapkan bagi proses
penyelidikan dan penyidikan, yang sangat terbatas. Pembatasan waktu itu jelas perlu agar ada ancangan waktu, tetapi tidak bisa ditetapkan sebagai suatu kewajiban.
Perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia bukan perkara yang sederhana, tetapi
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
seringkali merupakan perkara yang bersifat rumit dan peka. Dalam praktiknya, sebagaimana yang tampak pada kasus Rwanda dan bekas Yugoslavia, sidang
pengadilan memakan waktu cukup lama lebih dari satu tahun. Pemaparan di atas menunjukkan, bahwa RUU KUHPidana ini menuntut juga perubahan terhadap hukum
acara pidananya KUHAP. Perubahan terhadap KUHAP, tentu harus pula disepadankan dengan perkembangan dalam hukum acara pidana secara global.
3. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM
Pada tanggal 23 September 1999, telah disahkan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai bentuk realisasi
dari Tap MPR No. XVII tahun 1998. Undang-undang ini memuat sebuah daftar panjang hak-hak asasi manusia yang diakui dan wajib dipenuhi dan dilindungi oleh
negara Indonesia. UU ini mengakui hak untuk hidup Pasal 9, hak untuk berkeluarga dan
melanjutkan keturunan Pasal 10, hak untuk mengembangkan diri Pasal 11-16, hak untuk memperoleh keadilan Pasal 17-19, hak atas kebebasan pribadi Pasal 20-27,
hak atas rasa aman Pasal 28-35, hak atas kesejahteraan Pasal 36-42, hak untuk turut serta dalam pemerintahan Pasal 43-44, hak-hak perempuan Pasal 45-51, dan
hak-hak anak Pasal 52-66. Selain menjamin hak-hak tersebut, UU ini juga menegaskan adanya tugas, kewajiban dan tanggungjawab yang mendasar dari
pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak-hak asasi manusia tersebut.
Patut dicatat bahwa termasuk dalam “hak untuk memperoleh keadilan” sebuah aturan yang melarang seseorang diproses pengadilan dan dijatuhi hukuman pidana
berdasarkan peraturan perundangan yang belum dibuat saat tindak pidana dilakukan
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
lihat pasal 18 ayat 2 dan juga pasal 4. Ini berarti seseorang tidak dapat dihukum atas dasar hukum yang berlaku surut. Namun, dalam Penjelasan atas pasal 4 UU tersebut,
dinyatakan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat hak asasi manusia yang digolongkan
ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan”. Selain itu, UU ini juga menegaskan bahwa “ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia
yang menyangkut hak asasi manusia menjadi bagian hukum nasional” Pasal 7 ayat 2.
Bagian lain dari UU No.39 Tahun 1999 ini mengatur tentang pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM sebagai sebuah lembaga
independen yang mempunyai fungsi, tugas, otoritas dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan penyelidikan, kampanye, pamantauan, dan mediasi kasus-kasus
atau isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia. UU ini juga memungkinkan masyarakat untuk membuat dan mengajukan komplain atau pengaduan serta
penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia; serta menyumbang rekomendasi mengenai kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM.
UU No.39 Tahun 1999 ini sekaligus juga memperkuat kewenangan Komnas HAM yang sebelumnya diatur melalui Keppres No.50 Tahun 1993. Penguatan ini
terutama terletak pada kewenangan untuk memantau dan melaporkan kepada publik adanya pelanggaran hak asasi manusia. Yang paling penting, dalam fungsi
penyelidikannya, Komnas HAM dibekali dengan kewenangan subpoena dalam menangani kasus-kasus hak asasi manusia. Ini berarti berdasarkan UU No.39 Tahun
1999 Komnas HAM mempunyai kekuasaan secara hukum untuk memanggil secara paksa para saksi, baik dari pihak pengadu maupun pihak yang diadukan Lihat Pasal
89 ayat 3c dan d, serta Pasal 95. Kewenangan inilah yang kemudian digunakan
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
untuk memanggil para perwira tinggi militer untuk memberikan keterangan berkaitan dengan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur kepada KPP HAM.
Undang-undang ini juga memberi Komnas HAM wewenang untuk merujukkan kasus kepada lembaga pengadilan. Meskipun dalam undang-undang ini mediasi
ditetapkan sebagai metode penyelesaian kasus atau pengaduan yang harus diutamakan, paling tidak ada aturan yang membolehkan satu pihak yang bertikai
mengajukan kasus ke pengadilan jika pihak lainnya tidak melaksanakan perjanjian mediasi sebagaimana mestinya.
Komnas HAM diberi waktu dua tahun sejak disahkannya undang-undang ini pada September 1999 untuk melakukan perubahan-perubahan sebagaimana
dimandatkan oleh UU No.39 Tahun 1999, termasuk terhadap struktur organisasi, keanggotaan, penugasan, tanggung jawab, dan kebijakan internalnya.
Jika dilihat dari sudut pandang yang optimistik, disahkannya Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM merupakan sebuah
langkah positif. Selain mengandung beberapa wewenang penting dalam penerapan hukum yang paling tidak diharapkan akan dapat mendongkrak kredibilitas Komnas
HAM di mata publik, Undang-undang ini juga memberikan Komnas HAM anggaran yang terpisah dari anggaran Sekretariat Negara seperti yang diatur sebelumnya, yang
secara teoritik akan memberikan independensi yang lebih kepada Komnas HAM, meskipun dalam prakteknya masih ada beberapa “perjanjian idiosinkratis” yang tidak
beranjak dari tempatnya.
28
Jika diperhatikan lebih mendalam, sebetulnya masih ada lagi beberapa “kelemahan” yang perlu untuk di amandemen. Misalnya saja, UU ini tidak memberi
28
Andrey Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 30.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Komnas HAM wewenang untuk bekerja di bidang hak orang-orang cacat. Mandat Komnas HAM hanya tercantum pada bab khusus mengenai Komnas HAM dan tidak
terkonsentrasi pada pasal-pasal tentang hak-hak dasar. Kekurangan-kekurangan lain adalah yang berkaitan dengan klasifikasi hak-hak asasi manusia yang kurang sesuai
atau tidak mengikuti standar internasional, seperti misalnya yang tersusun dalam Human Rights Documentation System HURIDOCS.
Selain berisi daftar tentang hak-hak asasi manusia dan mengatur mengenai Komnas HAM, UU No.39 Tahun 1999 juga memandatkan pembentukan sebuah
pengadilan hak asasi manusia dalam jangka waktu paling lama empat tahun sejak disahkannya undang-undang tersebut untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan
pelanggaran berat hak asasi manusia Pasal 104. Yang dimaksud dengan “pelanggaran berat hak asasi manusia oleh undang-undang ini meliputi pembunuhan
masal genocide, pembunuhan yang sewenang-wenang dan eksekusi di luar pengadilan arbitrary or extra-judicial killing, penyiksaan, penghilangan paksa,
perbudakan, dan diskriminasi yang sistematik Lihat Penjelasan UU No.39 Tahun 1999 Pasal 104.
Mandat tersebut di atas direalisasikan dengan dikeluarkannya UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh DPR pada tanggal 6 Nopember 2000, yang di
dalamnya mencantumkan ketentuan untuk penerapan hukum secara retrospektif. UU Pengadilan HAM menyediakan dasar teknis dalam mendirikan pengadilan HAM,
sedangkan UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM mengemukakan prinsip-prinsip dan bentuk HAM yang diakui oleh hukum Indonesia
UU No.26 Tahun 2000 ini memuat ketentuan tentang pembentukan pengadilan HAM khusus ad hoc untuk mengadili pelanggaran HAM di masa lalu yang terjadi
sebelum undang-undang berlaku sedangkan pengadilan HAM permanen hanya
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
menangani kejahatan yang terjadi terjadi setelah pengesahan UU tersebut. Namun, pengadilan ad hoc seperti itu hanya didirikan untuk mengadili kasus khusus dan
dibentuk melalui prosedur yang khusus pula. Presiden hanya dapat mendirikan pengadilan ad hoc seperti ini jika ada rekomendasi eksplisit dari DPR ayat 43.
Sayangnya tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai teknis “pemberian rekomendasi” ini, yang menyebabkan proses pembentukan pengadilan menjadi
sebuah proses politiuk ketimbang sebuah proses hukum. Masalah yang kemudian muncul adalah sampai sejauh mana pengadilan HAM
dapat memenuhi tuntutan dan harapan dari aktivis pembela HAM dan korban pelanggaran HAM di rezim Soeharto. Hal menjadi pertanyaan besar, apalagi jika
melihat adanya tarik ulur politik yang terjadi selama penyusunan UU ini. Ketika UU Pengadilan HAM diajukan ke DPR pada bulan Juni 2000, praktek retroaktif dikritik
khususnya oleh militer dan wakil-wakil Golkar yang sebagian besar berhubungan dengan rezim orde baru Soeharto. DPR juga telah beberapa kali menunda perdebatan
tentang rancangan UU tersebut. Selain itu, ada tiga masalah utama yang muncul bersamaan dengan UU
tersebut selain masalah retroaktivitas: cakupan kejahatan yang dapat diproses oleh pengadilan ini, jaminan ketidakberpihakan guarantee of impartiality, dan jaminan
kemandirian guarantee of independence. Pelanggaran HAM Berat dalam UU ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 7
hanya meliputi dua macam kejahatan yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Implikasinya, Para pelanggar HAM yang bisa diadili menjadi semakin
sedikit karena kejahatan yang dapat diadili oleh Pengadilan ini hanya meliputi dua jenis kejahatan itu saja, padahal diluar dua jenis kejahatan tersebut yang merupakan
kejahatan terhadap masyarakat Internasional delicta juris gentium tidak ter-cover di
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
dalam UU ini. Oleh karena itu Pengadilan HAM ini tidak akan dapat melaksanakan efective remedy bagi korban pelanggaran HAM. Sementara itu, pengertian “kejahatan
terhadap kemanusiaan” dalam Pasal 9 UU ini juga sumir karena tidak ada parameter yang tegas untuk mendefinisikan unsur “meluas”, “sistematik” dan “intensi” yang
menjadi unsur utama bentuk kejahatan ini. Ketidak jelasan defenisi menyangkut ketiga elemen tersebut mengakibatkan pembuktian pemidanaan terhadap kejahatan-
kejahatan yang dimaksud akan menjadi sulit. Persyaratan pengangkatan para hakim dan jaksa ad hoc untuk keperluan
pengadilan HAM juga mempunyai implikasi yang serius berkaitan dengan jaminan ketidakberpihakan guarantee of impartiality dan jaminan kemandirian guarantee of
independence. Hal ini terjadi karena Kemungkinan masuknya penuntut umum non karier di luar kejaksaan dan oditur militer, sangat kecil kecuali bagi para
pensiunannya Karena dibatasi oleh syarat bahwa calon Jaksa ad hoc harus berpengalaman sebagai penuntut umum di pengadilan. Bahasa yang digunakan dalam
Pasal 23 yang mengatur mengenai hal ini juga berimplikasi bahwa penuntut ad hoc yang berasal dari unsur pemerintah dan atau masyarakat bersifat pelengkap bukan
suatu hal yang wajib. Masalah umur juga akan menhambat masuknya calon PU yang berkompeten karena dibatasi oleh umur sekurang-kurangnya 40 Tahun. Kemungkinan
orang berkompeten yang ingin menjadi hakim ad hoc menjadi semakin kecil karena masa jabatan hakim yang lama 5 tahun, dan kemudian terikat dengan Keppres
Nomor 13 Tahun 1993 yang mensyaratkan bahwa seorang hakim diperbolehkan untuk merangkap pekerjaanya hanya sebagai tenaga pengajar. Ini berarti hanya kalangan
akademis dan pensiunan saja yang bisa mendaftarkan diri untuk menjadi hakim ad hoc.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Penempatan pengadilan HAM didalam lingkungan peradilan umum menjadikannya sangat bergantung pada mekanisme birokrasi dan administrasi
peradilan umum yang ditempatinya. Ini juga berarti posisi politik pengadilan HAM akan dipengaruhi oleh Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman dan HAM.
Secara teoretis, hal ini akan berpengaruh pada independensi pengadilan HAM. Selain itu, UU No.26 Tahun 2000 ini tidak dilengkapi dengan hukum acara yang memadai
untuk menyidangkan kasus-kasus pelanggaran berat hak asasi manusia sebagai extra ordinary crime kejahatan luar biasa, serta tidak dilengkapi dengan aturan
perundangan mengenai perlindungan saksi dan mengenai kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang dapat dioperasionalisasikan dengan efektif.
Mekanisme pengadilan seringkali dianggap sebagai salah satu cara terbaik untuk menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran HAM di dalamnya.
Jika sebuah sistem pengadilan dapat berjalan dengan adil, independen dan kompeten. Selain itu vonis dan hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan diharapkan dapat
menimbulkan efek jera detterent effect yang dapat mencegah terulangnya kembali kejadian serupa di masa mendatang, paling tidak oleh pelaku yang sama.
Kemampuan untuk menjatuhkan suatu vonis bersalah serta menetapkan hukuman membuat pengadilan dapat melaksanakan tiga fungsi publik. Pertama,
adalah untuk menjamin retributive justice. Walaupun retributive justice hanya satu dari berbagai aspek keadilan, namun tak urung banyak orang merasa bahwa hukuman
bagi pihak yang bersalah –yang tidak berpengaruh langsung kepada korban-- sudah merupakan bagian dari keadilan. Kedua, hukuman-hukuman dan vonis pidana dapat
membantu mengatasi impunity serta menghentikan suatu pola yang terjadi di rezim- rezim otoriter dimana aparat negara, anggota-anggota militer dan polisi dapat
melakukan tindakan yang bersifat kriminal dan mereka tidak akan pernah dituntut
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
atau dihukum. Ketiga, dengan menghancurkan “mitos” dan persepsi impunity, pengadilan pidana dapat membantu membangun supremasi hukum karena
menegaskan bahwa tidak seorangpun, walaupun dia berkuasa sebagai pemimpin negara, berada di atas hukum dan tidak dapat dihukum.
Pada waktu yang bersamaan haruslah disadari bahwa ada beberapa batasan- batasan penting dalam penerapan pengadilan pidana dan konsekuensinya. Terdapat
beberapa alasan untuk itu. Pengadilan pidana pelanggaran HAM di masa lalu cenderung merupakan sesuatu yang harus membutuhkan biaya yang sangat mahal
karena membutuhkan penyelidik, penuntut dan hakim yang profesional. Hal ini penting mengingat bahwa dalam sebuah diktator atau pemerintahan yang represif,
pengadilan sering dibiarkan dengan tidak efektif: hakim-hakim secara politis diajak bekerjasama atau korup, sementara hakim-hakim yang baru ditunjuk serta jaksa-jaksa
kekurangan tenaga ahli dan sumber daya. Sejarah di berbagai negara telah menujukkan bahwa pada umumnya relatif
hanya sejumlah kecil kasus dapat diajukan ke pengadilan. Contohnya, diperkirakan terdapat lebih dari 14.000 kasus penghilangan paksa di Indonesia. Tidak akan cukup
baik secara finansial, fisik dan sumber daya manusia untuk menyidangkan 14.000 kasus dalam waktu yang relatif singkat, belum lagi memperhitungkan proses
rehabilitasi danatau kompensasi bagi korban. Ini belum termasuk pelanggaran HAM jenis lainnya, seperti eksekusi tanpa proses peradilan, penyiksaan, kejahatan terhadap
kemanusiaan, pemerkosaan sistematis, dan sebagainya. Terkadang kejahatan-kejahatan yang diajukan telah terjadi bertahun-tahun
yang lalu dan ini menjadi lebih sulit untuk dibuktikan, karena bukti telah hilang, ingatan para saksi sudah tidak lengkap atau segar, dan banyak dari para saksi serta
pelaku-pelakunya telah meninggal dunia. Selain itu, para pelaku kejahatan HAM
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
seringkali menutupi bukti dari kejahatan-kejahatan tersebut, menghancurkan dokumen-dokumen, atau memberikan perintah secara tidak tertulis, serta hanya
melakukan apa yang diperintahkan secara lisan, atau mengintimidasi atau membunuh saksi-saksi agar timbul masalah dalam proses pembuktian selama persidangan. Ini
merupakan suatu usaha mencapai keadilan yang sulit dicapai, terlebih di Indonesia, dimana barang bukti yang bersifat hard-evidence dan saksi langsung lebih dari satu
orang disyaratkan oleh hukum Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, KUHAP terhadap kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan.
Persidangan juga cenderung menjadi mahal dan memakan waktu lama karena guna mencapai tujuannya yakni salah satunya mendemonstrasikan pentingnya
supremasi hukum, maka persidangan itu harus mengikuti proses hukum due process of law yang sesuai dengan standar internasional, khususnya ketika menyidangkan
orang-orang sebelumnya termasuk dalam “kelas” penguasa. Dalam konteks Indonesia, harus disadari bahwa sumber daya yang diperlukan tidak hanya dalam hal ada atau
tidaknya dana yang cukup, melainkan juga dalam hal kemauan politis political will serta kebutuhan akan penuntut dan penyelidik yang terlatih, cekatan dan
berpengalaman untuk membuktikan kasus-kasus ini. Ini juga berarti lebih banyak dana harus dialokasikan dari anggaran negara bagi tujuan reformasi hukum.
Terakhir, terdapat sebuah realita politis yang nampaknya juga terdapat pada pengalaman sebagian besar negara yang melalui transisi demokratis, yaitu bahwa
hanya terdapat kesempatan yang secara relatif sangat singkat untuk mengajukan tuntutan akan kejahatan-kejahatan yang telah lalu. Terlebih lagi, terdapat
konsekuensi-konsekuensi sebagai akibat dari persidangan atau pengadilan pidana yang berakhir dengan salah satu diantara pilihan berikut: Jika terlalu lama waktu yang
lewat dan belum ada sebuah tuntutan pun yang diajukan ke pengadilan atau
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
diselesaikan, publik cenderung menjadi lelah untuk berfokus pada masa lampau dan kemauan politisnya berkurang untuk mendukung tuntutan yang diajukan.
Atas dasar semua alasan ini, dapat disimpulkan sementara bahwa penuntutan- persidangan-penghukuman penting demi keadilan, untuk membangun supremasi
hukum dan konsolidasi transisi demokratik, sementara pada waktu yang bersamaan, harus disadari bahwa terdapat batasan-batasan dimana dapat menyebabkan sangat
sedikit sukses yang dapat diraih melalui pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, seperti pengalaman di sebagian besar negara-negara di dunia.
G. Kejahatan Kemanusiaan Crimes Againts Humanity dalam Konvensi