Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
diselesaikan, publik cenderung menjadi lelah untuk berfokus pada masa lampau dan kemauan politisnya berkurang untuk mendukung tuntutan yang diajukan.
Atas dasar semua alasan ini, dapat disimpulkan sementara bahwa penuntutan- persidangan-penghukuman penting demi keadilan, untuk membangun supremasi
hukum dan konsolidasi transisi demokratik, sementara pada waktu yang bersamaan, harus disadari bahwa terdapat batasan-batasan dimana dapat menyebabkan sangat
sedikit sukses yang dapat diraih melalui pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu, seperti pengalaman di sebagian besar negara-negara di dunia.
G. Kejahatan Kemanusiaan Crimes Againts Humanity dalam Konvensi
Internasional
Di dalam Hukum Humaniter khususnya Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 kejahatan-kejahatan internasional terutama kejahatan terhadap
kemanusiaan Crimes Againts Humanity terjadi apabila tindakan tertentu yang
dilarang dilakukan sebagai bagian dari serangan skala luas atau sistematik terhadap penduduk sipil. Penduduk sipil yang dimaksud adalah kelompok sipil apapun.
Kelompok ini termasuk, misalnya, kelompok yang mempunyai kaitan ideologi, politik atau budaya dan jenis kelamin, termasuk kelompok sipil yang menyuarakan
kebebasan atau mendukung resistensi terhadap pendudukan. Tindakan yang dilarang termasuk: pembunuhan, pembinasaan termasuk dengan tidak memberikan makanan,
perbudakan; deportasi atau pemindahan paksa penduduk, kerja paksa, pemenjaraan, penyiksaan; perkosaan, memberikan hukuman karena alasan politik, ras, atau
agama;penghilangan paksa; dan tindakan tidak manusiawi lainnya “yang memiliki sifat yang sama yangsecara sengaja menimbulkan penderitaan yang mendalam, atau
luka berat baik fisik maupunmental atau kesehatan fisik”. Tindakan yang dilarang ini
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
dilakukan sebagai bagian dari seranganskala luas atau sistematis terhadap penduduk sipil. “Skala luas” artinya skala besar baikserangannyamaupun jumlah penduduk yang
menjadi sasaran, sementara kata“sistematis”artinya tindakan yang sifatnya terorganisir dan tidak mungkin terjadi secara acak
29
Kategori pertama adalah “pelanggaran berat” Konvensi Jenewa, adalah : Suatu “pelanggaran berat” terjadi apabila tindakan kejahatan tertentu dilakukan
terhadap orang yang lemah, misalnya orang yang terluka, orang yang sakit, tawanan perang dan penduduk sipil.
.
Selanjutnya di dalam Konvensi Jenewa 1949 dikenal juga istilah kejahatan perang. Dua kategori kejahatan perang berlaku dalam konteks konflik bersenjata
internasional, seperti konflik antara pasukan bersenjata Indonesia dan gerakan pembebasan nasional Timor-Lesteantara tahun 1975 dan 1999.
30
29
http:www.sekitarkita.com
30
Kunarac Appeal Judgement, paragraf 94
Menurut International Criminal Court sebuah serangan dianggap “berskala luas” apabila serangan itu berupa tindakan yang sering dilakukan dan
berskala besar, yang dilakukan secara kolektif secara sungguh-sungguh dan ditujukan kepada korban dalam jumlah banyak. International Criminal Court mendefinisikan
kata “sistematik” sebagai “tindakan terorganisir, yang mengikuti pola tetap, yang berasal dari kebijakan umum dan melibatkan sumber daya umum dan swasta yang
besar harus ada unsur rencana atau kebijakan yang sudah ditetapkan. Rencana atau kebijakan tersebut tidak harus dinyatakan secara formal; Rencana atau kebijakan
tersebut bisa dirunut dari kenyataan di lapangan, termasuk “skala tindakan kekerasan yang dilakukan.” Baik Indonesia dan Portugal meratifikasi Konvensi Jenewa tahun
1949 dan Protokol Tambahan I, tentang :
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
a. Pembunuhan, disengaja, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, secara
sengaja menyebabkan penderitaan yang mendalam atau luka parah baik fisik maupun
kesehatan b.
Penghancuran besar-besaran dan perampasan harta benda yang tidak terkait dengan
keperluan militer dan dilakukan secara tidak sah dan semena-mena c.
Memaksa tawanan perang atau penduduk sipil untuk bertugas di pasukan musuh d.
Secara sengaja menolak memberikan hak atas pengadilan yang tidak berat sebelah kepada tawanan perang atau penduduk sipil
e. Deportasi atau pemindahan yang tidak sah atau pembatasan kebebasan penduduk
sipil secara tidak sah; dan memperlakukan penduduk sipil sebagai sandera. Kategori kedua terdiri dari pelanggaran hukum dan kebiasaan perang. Hal
initermasuk misalnya, pembunuhan, penyiksaan, perlakuan buruk atau deportasi penduduk sipil; pembunuhan atau perlakuan buruk terhadap tawanan perang;
perampokan harta benda milik pribadi maupun milik negara; dan penghancuran semena-mena kota atau desa atau perusakan yang tidak terkait dengan keperluan
militer. Dalam sebuah konflik bersenjata internal, seperti antara pengikut Fretilin pada tahun 1975, kejahatan perang terdiri dari pelanggaran yang paling berat seperti
yang tertuang dalam Penjelasan Umum Pasal 3 Konvensi Jenewa atau dalam hukum dan kebiasaan perang
31
Selanjutnya di dalam Pasal Umum 3 termasuk tindak kejahatan terhadap orang yang tidak ikut terlibat dalam perseteruan, seperti anggota pasukan bersenjata
.
31
ICRC International Committee of The Red Cross, Protocol Additional to the Geneva Convention, 1949, Geneva, 1977, hal. 30.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
yang elah meletakkan senjata atau yang sakit, terluka atau dalam tahanan. Tindak kejahatan demikian meliputi pembunuhan, kekerasan terhadap orang, mutilasi,
perlakuan kejam dan penyiksaan; melakukan tindakan terkait dengan martabat orang, khususnya perlakuan yang mempermalukan atau merendahkan; menjadikan sandera;
dan memutuskan hukuman dan melaksanakan eksekusi tanpa proses hukum yang layak.
Selanjutnya mengenai masalah Pembunuhan yang sah dan penahanan. Pembunuhan dan penahanan penempur oleh anggota pasukan musuh tidak dianggap
melanggar hukum humaniter internasional apabila pembunuhan tersebut dilakukan dalam batas-batas cara perang yang bisa diterima. Tindakan semacam ini karena itu
dimasukkan dalam definisi pelanggaran hak asasi manusia yang dipakai Komisi. Tindakan tersebut tidak dicakup dalam Laporan ini, dan tidak dimasukkan dalam
tindakan-tindakan yang didefinisikan sebagai pelanggaran untuk maksud analisa statistik. Untuk negera Indonesia, sebagai instrumen internasional, Pemerintah
Indonesia telah meratifikasi dan menjadi peserta pihak Konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang Perlindungan Korban Perang International Conventions for the
Protection of Victims of War dengan cara aksesi berdasar UU Nomor 59 Tahun 1958 mengenai keikutsertaan RI dalam keempat konvensi tersebut.
Dalam konvensi tersebut Pasal 49 dan 50 juga dimasukkan beberapa pengaturan mengenai tindakan terhadap penyalahgunaan dan pelanggaran. Dalam
Pasal 49 dinyatakan peserta agung berjanji menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberikan sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang
melakukan salah satu di antara pelanggaran berat grave breaches dalam konvensi. Dengan kewajiban, mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
memerintahkan pelanggaran berat atau segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan konvensi.
Dalam Pasal 50 dinyatakan pelanggaran tersebut meliputi perbuatan apabila dilakukan terhadap orang atau milik yang dilindungi konvensi, pembunuhan
disengaja, penganiayaan atau perlakuan tak berperikemanusiaan, termasuk percobaan biologis, menyebabkan dengan sengaja penderitaan besar atau luka berat atas badan
atau kesehatan, serta penghancuran yang luas dan tindakan perampasan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan dilaksanakan dengan
melawan hukum dan semena-mena.
BAB III
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
PENGADILAN HAM SEBAGAI WADAH PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KONTEKS NASIONAL DAN INTERNASIONAL
A. Hak Asasi Manusia dalam Konteks Internasional dan Nasional 1. Hak Asasi Manusia dalam Konteks Internasional
Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta hak-hak yang bersifat kodrati. Oleh karenanya tidak ada
kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab apabila seseorang
melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, ialah hak persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah
lahir hak-hak asasi lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan ditegakkan. Mengingat begitu pentingnya proses internalisasi pemahaman
Hak Asasi Manusia bagi setiap orang yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu pendekatan historis mulai dari dikenalnya Hak Asasi Manusia sampai
dengan perkembangan saat ini perlu diketahui oleh setiap orang untuk lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya dengan hak asasi orang lain.
32
Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain
mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum, menjadi dibatasi
kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari
32
Fadillah Agus ed, Hukum Humaniter suatu Persfektif, Pusat Studi Hukum Humaniter Universitas Trisakti, ICRC, Jakarta, 1997, hal. 21.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan
harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab
kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai
embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang
lebih konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum
equality before the law. Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM
dahulu sudah berketatapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada
hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseau tentang contract socialperjanjian masyarakat, Motesquieu dengan Trias Politikanya yang
mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang
dicanangkannya.
33
33
Andrey Sudjatmoko, Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional, Kumpulan Tulisan, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas
Hukum, Universitas Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 11.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu. Jadi,
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia
adalah merdeka sejak di dalam oerut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
Selanjutnya pada tahun 1789 lahir lah The French Declaration, dimana hak- hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakah
tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat
yang sah. Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai
ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression bebas mengelaurkan
pendapat, freedom of religion bebas menganut keyakinanagama yang dikehendaki, the right of property perlindungan terhadap hak milik dan hak-hak dasar lainnya.
Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnyademokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah
dicanangkan sebelumnya. Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang
dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di bawah ini : The first is freedom of speech and expression
everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third is freedom from want which, translated
into world terms, means economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is
freedom from fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical agression against any neighbor-anywhere in the
world. Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II sesudah Hitler memusnahkan
berjuta-juta manusia dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of
Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948. Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal
10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang
dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makana ganda, baik ke luar antar negara-negara
maupun ke dalam antar negara-bangsa, berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa
komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam
malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM sedunia
itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu
negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan
negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan
menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan. Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal
yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun
serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
2. Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional
Pada tanggal 23 September 1999, telah disahkan UU No.391999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai bentuk realisasi dari
Tap MPR no. XVII tahun 1998. Undang-undang ini memuat sebuah daftar panjang hak-hak asasi manusia yang diakui dan wajib dipenuhi dan dilindungi oleh negara
Indonesia. UU ini mengakui hak untuk hidup Pasal 9, hak untuk berkeluarga dan
melanjutkan keturunan Pasal 10, hak untuk mengembangkan diri Pasal 11-16, hak untuk memperoleh keadilan Pasal 17-19, hak atas kebebasan pribadi Pasal 20-27,
hak atas rasa aman Pasal 28-35, hak atas kesejahteraan Pasal 36-42, hak untuk turut serta dalam pemerintahan Pasal 43-44, hak-hak perempuan Pasal 45-51, dan
hak-hak anak Pasal 52-66. Selain menjamin hak-hak tersebut, UU ini juga menegaskan adanya tugas, kewajiban dan tanggungjawab yang mendasar dari
pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak-hak asasi manusia tersebut.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Patut dicatat bahwa termasuk dalam “hak untuk memperoleh keadilan” sebuah aturan yang melarang seseorang diproses pengadilan dan dijatuhi hukuman pidana
berdasarkan peraturan perundangan yang belum dibuat saat tindak pidana dilakukan Pasal 18 ayat 2 dan juga pasal 4. Ini berarti seseorang tidak dapat dihukum atas
dasar hukum yang berlaku surut. Namun, dalam Penjelasan atas Pasal 4 UU tersebut, dinyatakan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran berat hak asasi manusia yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan”. Selain itu, UU ini juga menegaskan
bahwa “ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi bagian hukum nasional” Pasal 7 ayat
2.
34
UU No.39 Tahun 1999 ini sekaligus juga memperkuat kewenangan Komnas HAM yang sebelumnya diatur melalui Keppres no.50 tahun 1993. Penguatan ini
terutama terletak pada kewenangan untuk memantau dan melaporkan kepada publik Bagian lain dari UU No.39 Tahun 1999 ini mengatur tentang pembentukan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM sebagai sebuah lembaga independen yang mempunyai fungsi, tugas, otoritas dan tanggung jawab untuk
menyelenggarakan penyelidikan, kampanye, pamantauan, dan mediasi kasus-kasus atau isu-isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia. UU ini juga memungkinkan
masyarakat untuk membuat dan mengajukan komplain atau pengaduan serta penuntutan atas pelanggaran hak asasi manusia; serta menyumbang rekomendasi
mengenai kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada Komnas HAM.
34
Agung Yudhawiranata, Pengadilan HAM di Indoesia, dalam Teori dan Praktek, diakses dari situs : http:www.elsam.co.id, tanggal 10 November 2008.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
adanya pelanggaran hak asasi manusia. Yang paling penting, dalam fungsi penyelidikannya, Komnas HAM dibekali dengan kewenangan subpoena dalam
menangani kasus-kasus hak asasi manusia. Ini berarti berdasarkan UU No.39 Tahun 1999 Komnas HAM mempunyai kekuasaan secara hukum untuk memanggil secara
paksa para saksi, baik dari pihak pengadu maupun pihak yang diadukan Lihat Pasal 89 ayat 3c dan d, serta Pasal 95. Kewenangan inilah yang kemudian digunakan
untuk memanggil para perwira tinggi militer untuk memberikan keterangan berkaitan dengan kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur kepada KPP HAM.
35
Komnas HAM diberi waktu dua tahun sejak disahkannya undang-undang ini pada September 1999 untuk melakukan perubahan-perubahan sebagaimana
dimandatkan oleh UU No.39 tahun 1999, termasuk terhadap struktur organisasi, keanggotaan, penugasan, tanggung jawab, dan kebijakan internalnya. Jika dilihat dari
sudut pandang yang optimistik, disahkannya Undang-undang No.3 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM merupakan sebuah langkah positif.
Selain mengandung beberapa wewenang penting dalam penerapan hukum yang paling tidak diharapkan akan dapat mendongkrak kredibilitas Komnas HAM di mata publik,
Undang-undang ini juga memberikan Komnas HAM anggaran yang terpisah dari Undang-undang ini juga memberi Komnas HAM wewenang untuk
merujukkan kasus kepada lembaga pengadilan. Meskipun dalam undang-undang ini mediasi ditetapkan sebagai metode penyelesaian kasus atau pengaduan yang harus
diutamakan, paling tidak ada aturan yang membolehkan satu pihak yang bertikai mengajukan kasus ke pengadilan jika pihak lainnya tidak melaksanakan perjanjian
mediasi sebagaimana mestinya.
35
Ibid, hal. 10.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
anggaran Sekretariat Negara seperti yang diatur sebelumnya, yang secara teoritik akan memberikan independensi yang lebih kepada Komnas HAM, meskipun dalam
prakteknya masih ada beberapa “perjanjian idiosinkratis” yang tidak beranjak dari tempatnya.
Jika diperhatikan lebih mendalam, sebetulnya masih ada lagi beberapa “kelemahan” yang perlu untuk di amandemen. Misalnya saja, UU ini tidak memberi
Komnas HAM wewenang untuk bekerja di bidang hak orang-orang cacat. Mandat Komnas HAM hanya tercantum pada bab khusus mengenai Komnas HAM dan tidak
terkonsentrasi pada pasal-pasal tentang hak-hak dasar. Kekurangan-kekurangan lain adalah yang berkaitan dengan klasifikasi hak-hak asasi manusia yang kurang sesuai
atau tidak mengikuti standar internasional, seperti misalnya yang tersusun dalam Human Rights Documentation System HURIDOCS.
B. Pengadilan HAM Indonesia UU No. 26 Tahun 2000 sebagai Lembaga Penegakan Hak Asasi Manusia