Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Asasi Manusia………………………………………………………
36
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………………………………………………………….
76 B.
Saran……………………………………………………………… …
81
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………..
83
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam keadaan perang atau situasi darurat umum istilah yang juga dikenal dalam berbagai konvensi international, dimungkinkan adanya pembatasan
penikmatan HAM. Kondisi yang dimaksudkan adalah in time of public emergency with threatens the life of a nation, to the extent strictly required by the exigencies of
the situation…. Konflik bersenjata, di manapun di dunia ini, selalu membawa korban; mulai dari tingkat individu, komunitas, sampai ke tingkat nasional. Sebut saja
beberapa peristiwa, misal ; konflik bersenjata di Aceh, perselisihan antar warga di Ambon, di Poso, dan konflik bersenjata pasca tragedi Gedung WTC World Trade
Centre dan Pentagon. Ironisnya, dari berbagai peristiwa tersebut, selain mengorbankan jutaan jiwa, korbannya bukan hanya militerpasukan atau angkatan
bersenjata yang terlibat langsung dalam konflik. Akan tetapi, rakyat atau masyarakat sipil yang tidak berdosa yang justru menerima akibat lebih tragis. Berdasarkan
pengalaman yang dialami banyak negara di berbagai kurun waktu dan belahan dunia. Maka, tercetuslah dasar-dasar hukum humaniter yang bertujuan melindungi dan
membatasi akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa tersebut.
1
Hukum humaniter merupakan sejumlah prinsip dasar dan aturan mengenai pembatasan penggunaan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata. Tidak seperti
perangkat hukum lainnya, hukum humaniter mempunyai sejarah yang belum cukup
1
Harkristuti Harkrisnowo,
Pemidanaan Kejahatan Berat, diakses dari situs : http:www.komisihukum.go.id, tanggal 18 September 2008.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
panjang namun sangat signifikan. Tujuan Hukum Humaniter yang dirumuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebagai berikut :
2
Kelahiran hukum humaniter dapat dikatakan dimulai dengan kepedulian dan keprihatinan Henry Dunant. Ia adalah satu dari ribuan prajurit Prancis dan Austria
yang terluka setelah perang di Solferino Italia Utara pada tahun 1859. Dalam buku yang ditulisnya, Un Souvenir de Solferino, Dunant menghimbau dua hal, pertama,
agar dicipatkan suatu lembaga international yang khusus menangani orang-orang sakit dan terluka, apapun kebangsaan, agama maupun rasnya. Kedua, negara-negara di
dunia dihimbau untuk membuat kesepakatan yang mengakui keberadaan lembaga 1.
untuk melindungi orang yang tidak terlibat atau tidak lagi terlibat dalam suatu permusuhan hostilities, seperti orang-orang yang terluka, yang terdampar dari
kapal, tawanan perang, dan orang-orang sipil; 2.
untuk membatasi akibat kekerasan dalam peperangan dalam rangka mencapai tujuan terjadinya konflik tersebut.
Pada dasarnya, masyarakat international mengakui bahwa peperangan antar Negara atau dalam suatu Negara dalam banyak kasus tidak dapat dihindari.
Kemudian, sudah pasti dalam situasi perang atau konflik bersenjata tersebut akan jatuh korban, bukan hanya dari pihak-pihak yang bermusuhan. Akan tetapi, orang-
orang yang tidak terlibat secara langsung dengan situasi tersebut juga ikut menjadi korban. Dengan demikian semua orang harus tetap dilindungi HAM-nya, baik dalam
keadaan damai maupun perang.
2
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1980, hal. 5
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
semacam ini, termasuk memberi jaminan agar orang-orang sakit dan luka lebih diperhatikan.
3
Tidak dapat diingkari bahwasanya konvensi ini menjadi simbol peletakkan batu pertama dari Hukum Humaniter Internasional, dengan mengutamakan prinsip-
prinsip universalitas dan toleransi dalam hal ras, kebangsaan dan agama. Tragedi kemanusiaan yang ditimbulkan oleh perang Saudara di Spanyol 1936-1939 dan
Perang Dunia Kedua 1939-1945, menggugah Liga Bangsa-Bangsa untuk melanjutkan penetapan sejumlah konvensi berikutnya. Konvensi Kedua, berkenaan
dengan anggota tentara yang terluka, sakit, terdampar di lautan; Konvensi Ketiga tentang Tawanan Perang, dan Konvensi Keempat, tentang korban-korban masyarakat
sipil. Kesemua konvensi ini mempunyai kesamaan, yakni adanya penetapan mengenai aturan minimum yang harus dipatuhi pada saat terjadinya konflik bersenjata secara
internal. Hal yang paling menyenangkan adalah bahwa Dunant bukan sekedar
menghimbau belaka, ia bersama beberapa orang temannya juga beraksi dengan mendirikan Inter-national Committee for Aid to the Wounded - yang kemudian diberi
nama International Committee of the Red Cross. Komite ini pada akhirnya mendapat tanggapan positif dari sejumlah Negara dan selanjutnya menghasilkan konvensi
Jenewa yang pertama, yang diadopsi oleh 16 Negara Eropa pada tahun 1864, dan Konvensi ini dinamakan Convention for the Amelioration of Condition of the
Wounded in Armies in the Field.
4
3
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung, 1979, hal. 12.
4
Geiffrey Ribertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan : Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002, hal. 120.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Dari uraian di atas, nampak bahwasanya konflik bersenjata yang dimaksudkan dapat terjadi secara internal maupun inetrnasional. Pasal 3 Konvensi Jenewa tahun
1949 meletakkan dasar Hukum Humaniter dengan merumuskan bahwa dalam masa konflik bersenjata. Maka, orang-orang yang dilindugi oleh konvensi ini harus in all
circumstances be treated humanely, without any adverse distinction founded on race, color, religion or faith, sex, birth, or wealth, or other similar criteria… padahal
sebelum tahun 1949, perlindungan hukum hanya diberikan pada personel militer. Perangkat internasional yang paling signifikan dalam konteks ini mencakup tiga
golongan besar, yakni :
5
Protokol I dari konvensi Jenewa memberikan perlindungan bagi orang-orang sipil yang jatuh ke tangan musuh, sedangkan Protokol II memuat ketentuan-ketentuan
yang berkenaan dengan korban konflik bersenjata internal bukan inter-national. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa beserta dengan 185 Negara lainnya
menurut data tahun 1977. Konvensi Jenewa ini diterapkan melalui kerjasama a Protecting Power, atau Negara ketiga yang menjadi pihak netral dalam konflik
tersebut, di bawah pengawasan ICRC. 1.
Law of Geneva, yakni Konvensi-konvensi dan protokol-protokol Internasional yang ditetapkan di bawah lingkup Komite Palang Merah Intersional atau ICRC,
di mana perlindungan bagi korban konflik menjadi perhatian utama: 2.
Law of the Hague, ketentuan ini dilandasi oleh hasil Konferensi Perdamaian yang diselenggarakan di Ibukota Belanda pada tahun 1899 dan 1907, yang
utamanya menyangkut sarana dan metode perang yang diperkenankan; 3.
Upaya-upaya PBB untuk memastikan agar dalam situasi konflik bersenjata, HAM tetap dihormati, dan sejumlah senjata dibatasi pemakaiannya
5
ICRC, Pengantar Hukum Humaniter,ICRC, Jakarta, 1999, hal. 10.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Dalam kaitannya dengan kondisi di Indonesia saat ini, yang paling relevan adalah konflik bersenjata internal yang sampai detik ini masih terjadi. Situasi konflik
internal yang tengah terjadi di Aceh yang sering disebut sebagai perang saudara ini lebih kompleks sifatnya, dan memerlukan penanganan yang arif.
Dengan demikian unsur-unsur yang terdapat dalam Protokol Tambahan II Tahun 1977 berkaitan dengan kasus Aceh, yang harus diperhatikan dalam situasi
seperti di atas, adalah :
6
4. Menjatuhkan dan melaksanakan pidana tanpa proses peradilan yang menjamin hak-hak seseorang.
a. Intensitas dan lamanya konflik b. Perilaku dengan kekerasan yang terjadi
c. Dilakukan secara spontan ataukah terorganisir d. Kekuatan kepolisian yang besar
e. Kekuatan angkatan bersenjata. Dalam Geneva Convention III, tahun 1949, pasal 3 ayat 1 dicantumkan
bahwa: …Person taking no active part in the hostilities shall in all circum stance be treated
humanely without any adverse distinctions….. Angkatan bersenjata dan kepolisian dilarang untuk melakukan tindakan-
tindakan di bawah ini terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut: 1. Kekerasan terhadap tubuh maupun nyawa
2. Menyandera orang 3. Melakukan tindakan yang melecehkan martabat, menghina dan merendahkan
orang
6
Ibid, hal. 15.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Dalam pasal 4 Protocol II to The Geneva Convention, 1977 dirumuskan bahwa: “All persons who do not take part or have ceased to take part in hostilities
whether or not their liberty has been restricted, are entitled to respect to their persons, honors, and conviction and religious practices, to be treated humanely
without any adverse distinction. Perilaku yang dilarang terhadap orang-orang dalam kelompok tersebut
mencakup :
7
Penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi memang tidak dijumpai secara eksplisit dalam KUHP, akan tetapi menurut Konvesi Menentang Penyiksaan yang
a. Melakukan kekerasan terhadap nyawa, kesehatan dan kesejahteraan mental maupun jasmani orang Collective Punishment
b. Menyandera orang c. Melakukan terorisme
d. Melecehkan harkat dan martabat seseorang terutama perilaku yang merendahkan dan menghina, perkosaan, pemaksaan prostitusi, dan semua bentuk serangan
terhadap kesusilaan. e. Melakukan perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya
f. Melakukan penjarahan g. Mengancam untuk melakukan perilaku-perilaku di atas.
Bentuk-Bentuk Kejahatan Berat Tindak-tindak pidana yang termasuk dalam pelanggaran berat atau grave breaches dalam Konvensi Jenewa mencakup:
1. Willful killing, merupakan tindakan pembunuhan dengan sengaja yang ekuivalen dengan pasal 340 dan 338 KUHP.
2. Torture or in human treatment, including biological experiment;
7
Ibid, hal. 20.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
telah diratifikasi RI tindakan ini mencakup perilaku yang cukup luas, tidak hanya berkenaan dengan penderitaan jasmani belaka, yakni :
… Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada sese-orang
untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau
diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau me- maksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada
bentuk dikriminasi apapun, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbul- kan oleh, atas hasutan, dengan persetuju-an, atau sepengetahuan pejabat publik…
3. Willfully causing suffering or serious injury to body are health; Dengan sengaja mengakibatkan penderitaan atau luka yang serius pada kesehatan
atau tubuh seseorang.Ketentuan ini dapat memakai pasal 351 dst dari KUHP yang berkenaan dengan penganiayaan.
4. Extensive destruction or appropriation of property Perusakan atau penghancuran atau perampasan harta benda seseorang. Pasal 406
KUHP merupakan salah satu contoh ketentuan domestik yang dapat digunakan sehubungan dengan perilaku ini, dan sebagainya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis merasa sangat tertarik untuk membahas bagaimana pertanggungjawaban korporasi khususnya yang berkaitan
dengan Tinjauan Yuridis Mengenai Tanggung Jawab Pidana Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan RUU KUHP Indonesia”
B. Perumusan Permasalahan
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan yang akan saya bahas di dalam skripsi ini adalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana Kajian Hukum Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Crimes Againts Humanity menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 2000 dan Konvensi
Internasional.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana Eksistensi Pengadilan HAM sebagai wadah
Penegakan HAM menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM.
Selanjutnya pembahasan skripsi ini diharapkan juga dapat bermanfaat : 1. Manfaat secara teoretis.
Penulis berharap kiranya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan
literature dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan Kajian Hukum Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Crimes Againts
Humanity menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional.
2. Manfaat secara praktis Secara praktis penulis berharap agar penulisan skripsi ini dapat memberi
pengetahuan tentang penerapan pertanggungjawaban korporasi khususnya yang berkaitan dengan Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan Crimes Againts
Humanity menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
D. Keaslian Penelitian
Pembahasan skripsi ini dengan judul : “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI
KEJAHATAN KEMANUSIAAN CRIME AGAINST HUMANITY DALAM KUHP
DAN DI LUAR KUHP”, adalah masalah yang sebenarnya sudah sering kita dengar.
Namun yang dibahas dalam skripsi ini adalah khususnya yang berkaitan dengan Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan Crimes Againts Humanity menurut
KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional.
Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun dengan
doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
Departemen Hukum Pidana. Apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya
terhadap skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan a. Pengertian Kejahatan HAM Berat
UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia di dalam Pasal 1 ayat 6 memberikan definisi pelanggaran HAM, adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja ataupun tidak disengaja, atau kelalaian secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi atau
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun Non Derogable Rights meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan
hak untuk tidak diatuntut atas dasar hukum yang berlaku. Menurut Theo Van Boven kata “berat” menerangkan kata “pelanggaran” yaitu
menunjukkan betapa parahnya akibat pelanggaran yang dilakukan. Kata “berat” juga berhubungan dengan jenis hak asasi manusia yang dilanggar. Pelanggaran HAM yang
berat yang merupakan yurisdiksi dari Pengadilan HAM, adalah :
8
a. Kejahatan Genosida Pembunuhan Massal
Genosida didefinisikan sebagai tindakan-tindakan berikut yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, secara menyeluruh atau sebagian, suatu
kelompok bangsa, etnis, ras atau agama seperti dengan melakukan
9
a. Membunuh anggota kelompok
:
b. Menyebabkan luka parah baik mental maupun fisik kepada anggota kelompok
c. Secara sengaja menciptakan kondisi hidup kelompok yang diperhitungkan akan
mengakibatkan kehancuran fisik baik secara menyeluruh maupun sebagian d.
Memaksakan tindakan yang menghambat kelahiran dalam kelompok e.
Secara paksa memindah anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.
8
Andrey Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam hukum HAM dan Hukum Humaniter Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum Trisakti, Jakarta, 1999, hal. 30.
9
Ibid.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Jadi secara umum genocide genosida, adalah tindakan terencana yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi dasar dari sebuah bangsa atau kelompok
sebuah entitas, yang diarahkan pada individu-individu yang menjadi anggota kelompok bersangkutan. pada 11 Desember 1946 dimana Majelis Umum PBB dengan
suara bulat mengeluarkan resolusi yang mengatakan bahwa ‘Genosida adalah penyangkalan atas eksistensi kelompok manusia secara keseluruhan… yang
menggoncang nurani manusia.
b. Kejahatan terhadap Kemanusiaan Crime Against Humanity
Istilah kejahatan terhadap kemanusian Crime Against Humanity pertama kali digunakan dalam Piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian
multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II. Mereka Amerika Serikat dan sekutunya menilai bahwa para pelaku NAZI
dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa tersebut. Definisi Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma dan
Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terdapat sedikit perbedaan tetapi secara umum adalah, salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
secara langsung ditujukan pada penduduk sipil, yaitu berupa : a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan; c. Perbudakan;
d Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan;
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual
lain yang setara;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional; i. Penghilangan orang secara paksa; atau
j. Kejahatan apartheid.
Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat instansi negara, atau pelaku non negara. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia masih
menimbulkan beberapa perbedaaan. Salah satunya adalah kata serangan yang meluas atau sistematik. Sampai saat ini istilah tersebut masih menimbulkan banyak perbedaan
pandangan bahkan kekaburan. Pengertian sistematik systematic dan meluas widespread menurut M. Cherif Bassiouni dalam bukunya yang berjudul Crime
Againts Humanity on International Criminal Law; sistematik mensyaratkan adanya kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan kebijakan organisasi untuk
pelaku diluar negara. Sedangkan istilah meluas juga merujuk pada sistematik, hal ini untuk membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau targetnya acak.
Korban dimana memiliki kateristik tertentu misalnya agama, ideologi, politik, ras, etnis, atau gender
10
c. Kejahatan Perang
.
Pasal 8 Statuta Roma terdiri dari suatu definisi yang panjang tentang kejahatan perang. Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan hukum
10
M. Cherif Bassiouni, Crimes against humanity, Oxford Press, 1998, hal 499.508.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
internasional, terhadap hukum perang oleh satu atau beberapa orang, baik militer maupun sipil. Pelaku kejahatan perang ini disebut penjahat perang. Setiap
pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa
dianggap kejahatan perang, contoh Saddam Husein, mantan Presiden Irak, diadili karena kejahatan perang.
11
Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk
pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan
bendera putih, atau sebaliknya, menggunakan bendera perdamaian itu sebagai taktik perang untuk mengecoh pihak lawan sebelum menyerang. Perlakuan
semena-mena terhadap tawanan perang atau penduduk sipil juga bisa dianggap sebagai kejahatan perang. Pembunuhan massal dan genosida kadang dianggap juga
sebagai suatu kejahatan perang, walaupun dalam hukum kemanusiaan internasional, kejahatan-kejahatan ini secara luas dideskripsikan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan. Kejahatan perang merupakan bagian penting dalam hukum kemanusiaan internasional karena biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu
pengadilan internasional, seperti pada Pengadilan Nuremberg. Contoh pengadilan ini pada awal abad ke-21 adalah Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Bekas
Yugoslavia dan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Rwanda, yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB berdasarkan pasal VII Piagam PBB.
12
11
Geoffrey Robertson QC, Op.cit, hal. 409.
12
Ibid.
d. Aggression kejahatan Agresi
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Satu jenis kejahatan lainnya yang termasuk kejahatan internasional, adalah kejahatan agresi, yaitu Kejahatan terhadap perdamaian dalam bentuk perencanaan,
persiapan, memulai atau melaksanakan perang, disebut juga kejahatan agresi. Pada mulanya konsep kejahatan agresi sebagai kejahatan internasional berkait erat dengan
perbedaan antara Perang adil dan Perang tidak adil just and injust war. Metode-metode perang tidak adil pada dasarnya merupakan perang agresi
yaitu perang yang melanggar keagunan jaminan dari fakta untuk tidak saling
menyerang not to attack .
b. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan
Istilah kejahatan terhadap kemanusian Crime Against Humanity pertama kali digunakan dalam Piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian
multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II. Mereka Amerika Serikat dan sekutunya menilai bahwa para pelaku NAZI
dianggap bertanggung jawab terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa tersebut. Definisi Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma dan
Pasal 9 UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM terdapat sedikit perbedaan tetapi secara umum adalah, salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
secara langsung ditujukan pada penduduk sipil, yaitu berupa : a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan; c. Perbudakan;
d Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-
wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual
lain yang setara;
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional; i. Penghilangan orang secara paksa; atau
j. Kejahatan apartheid.
Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat instansi negara, atau pelaku non negara. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia masih
menimbulkan beberapa perbedaaan. Salah satunya adalah kata serangan yang meluas atau sistematik. Sampai saat ini istilah tersebut masih menimbulkan banyak perbedaan
pandangan bahkan kekaburan. Pengertian sistematik systematic dan meluas widespread menurut M. Cherif Bassiouni dalam bukunya yang berjudul Crime
Againts Humanity on International Criminal Law; sistematik mensyaratkan adanya kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan kebijakan organisasi untuk
pelaku diluar negara. Sedangkan istilah meluas juga merujuk pada sistematik, hal ini untuk membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau targetnya acak.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Korban dimana memiliki kateristik tertentu misalnya agama, ideologi, politik, ras, etnis, atau gender
13
Sementara, definisi dari kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan sendiri adalah tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari sebuah penyerangan
yang luas dan sistematik yang terjadi secara langsung terhadap populasi sipil. Terdapat 11 bentuk kejahatan yang dikualifikasi sebagai crimes against humanity,
antara lain; 1 pembunuhan, 2 penghancuran yang sengaja terhadap sarana-sarana vital bagi kelangsungan hidup, misalnya yang bisa mengakibatkan kelaparan dan
bahaya penyakit, 3 pemaksaan terhadap masyarakat sipil untuk berpindah dari area yang mereka diami secara sah, 4 penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisikal
maupun mental, 5 penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, 6 kekerasan seksual dan 7 penghilangan paksa diakibatkan penculikan atau
penahanan sewenang-wenang .
Kejahatan terhadap Kemanusiaan crimes against humanit adalah satu dari empat kejahatan-kejahatan internasional international crimes, di samping The
Crime of Genocide, War Crimes dan The Crime of Aggression. International Crimes sendiri didefinisikan sebagai kejahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya,
tidak satu pun pelakunya boleh menikmati imunitas dari jabatannya; dan tidak ada yuridiksi dari satu negara tempat kejahatan itu terjadi bisa digunakan untuk mencegah
proses peradilan oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain, international crimes ini menganut asas universal juridiction.
14
Pembahasan lebih lanjut mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanit yang dimuat di dalam Pasal 7 Statuta Roma adalah menyatakan
.
13
M. Cherif Bassiouni, Crimes against humanity, Oxford Press, 1998, hal 499.508.
14
http:id.wikipedia.org.com, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang menimbulkan penderitaan besar dan tak perlu terjadi, yaitu pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan
dan bentuk lain dari pelecahan seksual, perbudakan, penyiksaan dan pengasingan. Yang menjijikkan adalah bahwa kejahatan itu dilakukan dengan sengaja sebagai
bagian dari serangan yang meluas dan sistematis yang melibatkan banyak pihak dan ditujukan pada setiap penduduk mengikuti atau mendorong kebijakan negara atau
organisasi untuk melakukan serangan semacam itu
15
Namun sejauh mana entitas yang melakukan kejahatan tersebut harus “terorganisir” sehingga anggota-anggotanya dapat menjadi subyek penahanan. Tidak
ada persyaratan bahwa hal tersebut harus berkaitan dengan kekuasaan, sehingga .
Definisi ini dianggap terlalu sempit oleh LSM, yang lebih menyukai arti yang lebih luas sebagaimana disarankan oleh Komisi Hukum Internasional, yaitu ‘setiap
aksi yang tak berprikemanusiaan, yang dihasut atau dipimpin oleh pemerintah atau organisasi atau kelompok’. Para delegasi di Roma bertindak benar ketika menentang
definisi semacam itu. Sebab, definisi itu akan mendorong pengadilan internasional juga mengadili para antek dan prajurit. Definisi itu setidaknya menjamin bahwa ICC
harus membatasi diri hanya pada kejahatan-kejahatan yang paling berbahaya, yang dilakukan secara sistematis keteimbang yang dilakukan secara spontan, serta
mengikuti kebijakan yang disusun baik oleh aparat negara seperti kepolisian atau tentara maupun oleh suatu entitas organisasi untuk membedakan dirinya dari
kelompok kriminal biasa. Definisi di dalam Pasal 7 ayat 1 menjelaskan bahwa suatu tuntutan dapat dibuat atas suatu aksi tunggal salah satu atau lebih dri beberapa
perbuatan sepanjang diketahui oleh terdakwa sebagai bagian dari rangkaian perbuatan yang melibatkan berbagai tindakan kekejaman terhadap warga sipil.
15
Geoffrey Robertson, Op.cit, hal. 412-413.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
sebuah kekuatan oposisi dalam perjuangannya meraih kemerdekaan dapat memenuhi kualifikasi. Demikian juga halnya dengan kelompok teroris, jika terorganisir dalam
skala seperti yang dipimpin oleh Osama Bin Laden, yang melatih ribuan pengikutnya dan bertanggung jawab atas pemboman kedutaan besar Amerika Serikat di Kenya dan
Tanzania serta gedung WTC tahun 2001 yang lalu. Pemboman itu merenggut nyawa ribuan warga sipil. Berbagai aksi terhadap pembunuhan ini merupakan bagian dari
serangan sistematis terhadap populasi warga sipil, yang merupakan kelanjutan dari kebijakan organisasi untuk melakukan serangan-serangan seperti itu. Dalam bahasa
sehari-hari hal ini disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against
humanity.
Seperti yang diketahui, bahwa konferensi Roma menolak yurisdiksi atas beberapa tindak kejahatan, seperti kejahatan terorisme tertentu. Namun nampaknya
tak ada alasan legal mengapa para jaksa menuntut tak dapat menyelidiki kelompok- kelompok teroris yang sering melakukan kekejaman yang menyebabkan hilangnya
nyawa warga sipil. Atau, suatu organisasi criminal dengan agenda politik seperti Kartel Obat terlarang ketika organisasi ini secara sistematis membunuh para hakim,
wartawan dan politisi serta menghancurkan jalur penerbangan. Ketentuan-ketentuan tambahan mengizinkan negara-negara untuk memilih melakukan yurisdiksi atas
warga yang ditahan. Walaupun pengalamanan Columbia di masa lalu ketika, pada suatu waktu tertentu, keadilan tak dapat diterapkan terhadap Pablo Escobar dan
pemimpin Kartel lainnya karena intimidasi mereka terhadap pengadilan setempat telah memberikan contoh kasus yang tepat untuk dipindahkan ke pengadilan
internasional
16
16
Ibid.
.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Termasuk diantara aksi-aksi di bawah ini, jika dilaksanakan secara sistematis dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah ‘penghilangan
orang secara paksa’, didefinisikan sebagai penahanan atau penculikan orang-orang olehatau dengan persetujuan negara atau organisasi politik, yang diikuti oleh
penolakan untuk menyatakan pengetahuan tentang keberadaan atau nasib korban. Tindakan ini disetujui dengan maksud untuk menjauhkan mereka dari perlindungan
hukum dalam jangka waktu yang lama. Rumusan yang janggal ini kebanyakan tindakan ini telah menghilangkan orang-orang untuk selamanya, melalui eksekusi
secara rahasia ditujukan untuk menggambarkan tingkah laku dari sejumah pemerintah di Amerika Selatan yang telah mengizinkan ‘pasukan kematian’
beroperasi bersama dengan militer, dan tidak berusaha untuk melacak jejak para korbannya. Definisi ersebut akan memberatkan mereka yang termasuk dalam pasukan
tersebut, atau departemen-departemen dan kantor-kantor pemerintah yang menutup- nutupi aktifitas tersebut. Apartheid dikategorikan kembali sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan. Namun, definisinya lebih hati-hati dibandingkan dengan yang tercantum dalam Konvensi Apartheid. Selanjutnya, kejahatan ini membutuhkan
tindakan kejahatan yang tidak berprikemanusiaan dengan tujuan untuk memelihara
hegemoni dari rejim melalui penindasan rasional secara sistematik.
Sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti disebutkan dalam Pasal 7 Statuta Roma yang hanya benar-benar cocok jika didakwakan pada pimpinan politik
atau militer. Ini disebabkan karena prajurit dan pembantu sipil mungkin melakukannya tanpa maksud untuk bertindak tidak berprikemanusiaan. Deportasi atau
pemindahan penduduk secara paksa adalah satu contoh, dimana tujuan para pembuat kebijakan itu tetapi tidak selalu menjadi tujuan mereka yang menjalankan perintah
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
untuk melaksanakan kebijakan tersebut di lapangan adalah untuk melanggar hukum internasional.
Kejahatan “penindasan” didefinisikan sebagai pencabutan hak-hak dasar dengan sengaja dan keji yang bertentangan dengan hukum internasional, yang
dilakukan terhadap kelompok yang diidentifikasikan berdasarkan politik, ras atau budaya. Kejahatan ini bisa didakwakan bagi para pemimpin yang melakukan
‘pembersihan etnis’ yang tidak jauh berbeda dengan genoside. Ini juga berlaku bagi mereka yang membantu tindakan tersebut. Para supir Ford Falcons yang digunakan
oleh “pasukan kematian” di Argentina, dokter-dokter yang hadir untuk mengatur penyiksaan atas tindakan “subversif” di pusat-pusat yang didirikan oleh Pinochet,
hakim-hakim yang memberikan instruksi politik untuk menolak permintaan habeas corpus, dan lain sebagainya. Pengetahuan terdakwa bahwa tindakan yang dituduhkan
kepadanya mempunyai hubungan suatu kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan seperti genoside atau penyiksaan atau kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya
merupakan unsur yang paling mendasar dalam tindakan kejahatan penindasan. Setelah mengetahui hal itu, tak akan ada maaf bagi para algojo yang menyalahgunakan
profesinya dan memberikan bantuan dalam bentuk kekerasan. Bagaimanapun kejahatan penindasan yang definisinya membingungkan
karena tumpang tindih antara Pasal 7 1 h dan Pasal 7 2 g akan menjadi sebuah senjata bagi para jaksa penuntut untuk melawan para pengacara, banker, tukang
propaganda, orang-orang yang menggunakan ijazah professional mereka untuk membersihkan tangan mereka dari darah yang tumpah di rejim klien-kliennya
F. Metode Penelitian
1. SifatBentuk Penelitian
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum skunder
yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan analisa hukum pidana khususnya terhadap Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan Crimes Againts
Humanity menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional. .Selain itu dipergunakan juga bahan-
bahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini. Penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam
meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana khususnya yang berkaitan dengan masalah Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan Crimes Againts
Humanity menurut KUHP, RUU KUHP, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional.
2. D a t a
Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah melalui penelitian kepustakaan Library Research untuk mendapatkan konsep-
konsep, teori-teori dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.
Sumber data kepustakaan diperoleh dari : 1. Bahan Huku m Primer, terdiri dari :
a. Norma atau kaedah dasar ; b. Peraturan dasar ;
c. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pertanggungjawaban korporasi khususnya yang berkaitan dengan Penegakan Hukum Kejahatan
Kemanusiaan Crimes Againts Humanity menurut KUHP, RUU KUHP, UU
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional.
2. Bahan Hukum Sekunder, seperti : hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang
relevan dengan penelitian ini. 3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang
memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder
dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.
17
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan
Library Research, yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain
yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang
diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas.
Selanjutnya Situs Web juga menjadi bahan bagi penulisan skripsi ini sepanjang memuat informasi yang
relevan dengan penelitian ini.
3. Tehnik Pengumpulan Data
17
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitan Hukum, Ghalia Indonesia, Jakrta 1998, hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta : Rajawali Pers, 1990, hal. 41.
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
4. Analisis Data Seluruh data yang sudah diperolah dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah
dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang dengan
pertanggungjawaban korporasi khususnya yang berkaitan dengan Penegakan Hukum Kejahatan Kemanusiaan Crimes Againts Humanity menurut KUHP, RUU KUHP,
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM dan berdasarkan Konvensi Internasional. Kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan
menghasilkan klassifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara indukt if kualitatif yang diselaraskan dengan hasil dari data
pendukung sehingga sampai pada suatu kesimpulan yang akan menjawab seluruh pokok permasalahan dalam penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih mempertegas penguraian isi dari skripsi ini, serta untuk lebih mengarahkan pembaca, maka berikut di bawah ini penulis membuat sistematika
penulisangambaran isi skripsi ini sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah,
Keaslian Penulisan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
Kepustakaan dan diakhiri dengan Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN
CRIME AGAINST HUMANITY DALAM BERBAGAI
PERATURAN
Pada bab ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Pengertian dan Jenis-jenis Kejahatan Kemanusiaan CrimesAgainstHumanity,Kejahatan
Kemanusiaan Crimes Aginst Humanity Dalam Peraturan Nasional dan Kejahatan Kemausiaan Crimes Against humanity dalam Konvensi
Internasional
BAB III PENGADILAN HAM SEBAGAI WADAH PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KONTEKS INTERNASIONAL DAN
NASIONAL
Pada bab ini dibahas hal-hal yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Internasional dan Nasional, Pengadilan HAM Indonesia
UU No. 26 Tahun 2000 sebagai Lembaga Penegakan Hak Asasi Manusia dan International Criminal Court Sebagai Lembaga Penegakan
Hak Asasi Manusia
Iskandar Muda Harahap : Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan Crime Against Humanity Dalam KUHP Dan Luar KUHP, 2009.
USU Repository © 2009
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Pada Bab ini dibahas mengenai kesimpulan dan saran sebagai hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi ini secara keseluruhan
BAB II TINJAUAN TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN