Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
B A B I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Impunity secara leksikal berarti kejahatan tanpa sanksi hukum. Louis Joinet, pelapor khusus PBB dari Sub-Komisi Hak-hak Asasi Manusia
memberikan definisi yang lebih ketat, yang penulis terjemahkan secara bebas begini: Ketidakmungkinan, secara de jure maupun de facto, untuk membawa para pelaku
kejahatan internasional khususnya pelanggaran hak-hak asasi manusia bertanggung jawab, baik secara pidana, perdata, administratif atau disiplin, karena mereka tidak
pernah diperiksa oleh suatu penyelidikan yang mungkin membuat mereka menjadi tertuduh, ditahan, diadili dan, jika terbukti bersalah, dihukum secara pantas, untuk
memberikan keadilan kepada korban-korbannya
1
Impunity ini pada umumnya terjadi pada kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity. Masyarakat internasional dinilai tidak cukup
kuat mengutuk dan memerangi kejahatan kemanusiaan. Akibatnya, kejahatan kemanusiaan crime against humanity terus saja terjadi di belahan dunia. Sekretaris
Umum Sekum Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Karlina Leksono-Supelli dalam diskusi mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi menyatakan, “Walau pelakunya
diadili, hukum ternyata tidak mampu membendung terjadinya kejahatan kemanusiaan kembali. Hukum tak berfungsi efektif menekan kejahatan kemanusiaan. Ternyata,
tragedi kemanusiaan yang terjadi di Kamboja serta pengadilan Pol Pot tidak cukup .
1
Hendardi, Impunity dan Masa Depan Demokrasi, www.sekitarkita.com.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
mengingatkan betapa buruknya kejahatan kemanusiaan. Dan, tak cukup untuk menghentikan terjadinya kejahatan kemanusiaan”.
2
Di Indonesia, konsep ini terbilang baru. Tapi sebenarnya PBB baru mengambil perhatian serius terhadap fenomena impunity ini baru-baru saja juga,
paling lama enam tahun ke belakang. Padahal, fenomena ini merupakan masalah yang sangat serius yang diperangi sejak dekade 70-an oleh aktivis-aktivis NGO, khususnya
di negara-negara Amerika Latin. Amnesty, simbol kebebasan, yang tadinya diperjuangkan oleh rezim-rezim militer yang dipaksa mundur oleh gerakan populis di
negara-negara Amerika Latin, seperti di Argentina, sebagai cara untuk mengampuni diri mereka sendiri. Fenomena self-amnesty itu kian menguat pada dekade 80-an dan
membuat gerakan rakyat di sana berusaha menghentikannya demi membawa mereka ke muka hukum dan memastikan bahwa keadilan telah ditegakkan. Selepas Perang
Dingin, banyak negara yang tadinya bersifat otoriter mulai bertransisi menuju demokrasi. Di dalam proses itu, kekuatan-kekuatan sipil banyak yang masih harus
berkompromi dengan bekas penguasa otoriter yang masih belum sepenuhnya lumpuh. Pertikaian bersenjata dihentikan dengan kesepakatan damai atau rekonsiliasi
nasional. Di dalam proses inilah impunity terus-menerus menjadi masalah. Ia merefleksikan ketegangan di antara kekuatan sipil dan bekas penguasa diktator
militer. Yang pertama menghendaki agar seluruh past rights abuses diungkap dan diumumkan serta para pelakunya dibawa ke muka hukum. Yang kedua, seperti
gampang diduga, menghendaki agar masa lalu ditutup dan dilupakan, termasuk ke dalamnya tuntutan para korban ataskebenaran dan keadilan
3
2
Karlina Leksono Supelli, Hukum Tak Efektif Tekan Kejahatan Kemanusiaan, diskusi mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
.
www.kompas.com, Sabtu, 14 Oktober 2000.
3
Hendardi, op.cit.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
Saat ini, memerangi impunity adalah komitmen global yang telah menjadi sama pentingnya dengan memperjuangkan pengakuan dan perlindungan atas hak-hak
asasi manusia itu sendiri. Dan tonggak paling penting dari komitmen global memerangi impunity ini ditegakkan dengan ditetapkannya Rome Statute of
International Criminal Court oleh PBB tahun lalu. Di bawah Pengadilan Kejahatan Internasional itu, para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini boleh gemetaran,
karena kekuasaan mereka tidak lagi akan berlaku. Sebagaimana yang diketahui bersama, bahwa yurisdiksi pengadilan
kejahatan internasional terdiri dari empat jenis kejahatan, yaitu genoside, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan “agresi”. Namun, belum ada
akan ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepatan tentang definisinya. Empat kategori kejahatan ini didefinisikan sebagai “kejahatan paling serius yang mengancam
masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan pengujian dari ‘keseriusan’ tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus actual yang
mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan. Bagaimanapun, pengadilan tak akan dapat mencapai tujuannya apabila
targetnya terbatas para prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya walaupun kejam adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang menghasut atau
melakukan kejahatan seperti yang didefinisikan dalam Statuta Roma. Kejahatan- kejahatan dalam yurisdiksi ICC tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, genoside
yang sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada tindakan-tindakan yang pada waktu
damai diklasifikasikan oleh Pengadilan Tingkat Banding dalam kasus Tadic, tak ada
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
alasan yang tepat mengapa tindakan negara dalam keadaan perang harus dinilai dengan cara yang berbeda dengan yang berlaku dalam konflik internal negara
4
Perbedaan menurut hukum ini telah terlalu lama ada dalam Pengadilan Den Haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan ICC. Sulit untuk
dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yurisdiksi hanya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan pada masa perang, saat perang internal
negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai. Orang-orang yang bertanggung jawab atas pola meluas dari kekejaman yang dilakukan oleh negara
melalui politisi atau kepolisian atau militernya atau oleh organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah kekuasaannya, juga harus
dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak tergantung pada persoalan teknis karakterisasi legal dari latar belakang konflik
.
5
Hukum humaniter internasional ini merupakan hukum yang mengatur tentang perang dan cara serta sarana perang yang pada awalnya disebut juga dengan “hukum
. Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka penulis merasa tertarik untuk
membahas hal tersebut dalam sebuah skripsi, khususnya tentang bagaimana penyelesaian yang diberikan oleh hukum internasional khususnya hukum humaniter
dan hukum hak asasi terhadap berbagai kejahatan internasional yang terjadi. Sebagaimana diketahui, hukum humaniter sebagai salah satu pohon ilmu, timbul suatu
cabang baru dalam hukum internasional. Cabang yang dimaksud adalah International Humanitarian Law yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “Hukum
Humaniter Internasional” atau “Hukum Internasional Humaniter”.
4
Geoffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 1982, hal. 412-413.
5
Ibid, hal. 410.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
perang” laws of war, kriegsrecht, oorlogsrecht dan sebagainya. Dimana hukum perang ini merupakan bagian dari hukum internasional dan dewasa ini sebagian besar
merupakan hukum yang tertulis..
6
Hukum Humaniter Internasional merupakan bagian hukum internasional umum yang inti dan maksudnya diarahkan kepada perlindungan individu, khususnya
dalam situasi tertentu konflik, serta akibat perang perlindungan terhadap korban perang. Dengan kata lain hukum humaniter internasional mempunyai focus sentral
bagaimana memperlakukan manusia secara manusiawi. Hukum Humaniter Internasional dalam arti luas adalah keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan
internasional baik tertulis dan tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia yang bertujuan menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat
pribadi seseorang definisi hukum humaniter Departemen Kehakiman. Atas dasar pengertian tersebut, kiranya setiap individu tanpa memandang kedudukan, fungsi serta
peranannya dalam segala situasi baik situasi tertentu konflik maupun situasi damai, karena pada dasarnya hukum hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum
Humaniter. Sehingga timbulnya hukum humaniter internasional secara material mencoba menggabungkan ide moral dan ide hukum dalam suatu disiplin ilmu. J.
Pictet pertama kali memakai istilah “International Humanitarian Law” dalam Walaupun pada saat ini tidak terjadi lagi perang,
namun tidak dapat dipungkiri pula bahwa pertikaian bersenjata masih ada walaupun para pihak yang terlibat tidak mau mengatakan bahwa pertikaian bersenjata itu adalah
perang. Sehingga mulailah dipakai suatu istilah baru untuk hukum perang ini, yaitu “laws of armed conflict” atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai
“hukum pertikaian bersenjata”.
6
GPH Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 1-2.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
bukunya “The Principles of International Humanitarian Law” menyatakan, :”…humanitarian law appers to combine two ideas of a different character, the one
legal and the other moral…”.
7
7
GPH. Haryomataram, Op.cit, hal. 24.
Perubahan situasi dunia saat ini sangat menuntut adanya penerapan hukum humaniter internasional. Walaupun tidak ada istilah perang, namun kondisi dunia
sekarang ini sangat rawan dengan pertikaian senjata. Konflik senjata terjadi dimana- mana di belahan dunia, seperti konflik bersenjata antara Palestina dan Israel, Konflik
di Kosovo, Invasi Amerika Serikat ke Irak yang sangat banyak memakan korban harta dan jiwa baik dari kombatan tentara maupun dari penduduk sipil.
B. Rumusan Masalah