Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
penuntutan sampai selama dua belas bulan dan dapat diperbaharui kembali Pasal 16
67
D. Proses Persidangan dalam Pengadilan Kejahatan Internasional
.
Sebagaimana yang diketahui bersama, bahwa yurisdiksi pengadilan kejahatan internasional terdiri dari empat jenis kejahatan, yaitu genoside, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan “agresi”. Namun, belum ada akan ada penuntutan untuk “agresi” sampai ada kesepatan tentang definisinya. Empat
kategori kejahatan ini didefinisikan sebagai “kejahatan paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan”. Diharapkan pengujian dari ‘keseriusan’
tersebut akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus actual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan.
Bagaimanapun, pengadilan tak akan dapat mencapai tujuannya apabila targetnya terbatas para prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya walaupun
kejam adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang menghasut atau melakukan kejahatan seperti yang didefinisikan dalam Statuta Roma. Kejahatan-
kejahatan dalam yurisdiksi ICC tersebut saling tumpang tindih. Misalnya, genoside yang sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada tindakan-tindakan yang pada waktu damai diklasifikasikan oleh Pengadilan Tingkat Banding dalam kasus Tadic, tak ada
67
Dalam sudut pandang berkaitan dengan kewenangan ini, sangatlah mengejutkan bahwa mereka yang menentang ICC dalam Kongres Amerika Serikat, macam senator Jesse Helms dan senator
Rod Grams, mengkritik Statuta Roma sebagai sebuah upaya untuk memuarakan semua persoalan pada Dewan Keamanan. Grams lebih lanjut mengatakan bahwa Statuta Roma tersebut justru merupakan
“sebuah kemenangan besar bagi mereka yang mengkritik Dewan Keamanan selama ini”. Padahal faktanya para pengkritik Dewan Keamanan yang paling keras, seperti India, Irak, dan Libya, justru
menolak untuk mendukung Statuta ini, sementara tiga dari lima anggota tetap Dewan Keamanan justru mendukungnya.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
alasan yang tepat mengapa tindakan negara dalam keadaan perang harus dinilai dengan cara yang berbeda dengan yang berlaku dalam konflik internal negara
68
Perbedaan menurut hukum ini telah terlalu lama ada dalam Pengadilan Den Haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan ICC. Sulit untuk
dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yurisdiksi hanya atas kejahatan terhadap kemanusiaan, baik yang dilakukan pada masa perang, saat perang internal
negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai. Orang-orang yang bertanggung jawab atas pola meluas dari kekejaman yang dilakukan oleh negara
melalui politisi atau kepolisian atau militernya atau oleh organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah kekuasaannya, juga harus
dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak tergantung pada persoalan teknis karakterisasi legal dari latar belakang konflik
.
69
Di bawah Statuta Roma, Dewan Keamanan dapat merujuk sebuah situasi yang melibatkan wilayah atau bangsa dari suatu negara yang menjadi Pihak dalam
Piagam PBB, sebagaimana Dewan Keamanan juga mempunyai otoritas untuk menyelenggarakan pengadilan ad hoc tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari
negara yang bersangkutan. Sebaliknya, rujukan Negara Pihak dan penyelidikan propio motu oleh Jaksa Penuntut sangatlah dibatasi dengan tegas. Jika “picu” tersebut telah
ditekan, maka Mahkamah dapat melangkah maju hanya jika situasi yang ada melibatkan peristiwa yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara yang telah
menerima yurisdiksi Mahkamah atau yang dilakukan oleh negara itu sendiri Pasal 12 ayat 2. Sebuah negara dinyatakan menerima yurisdiksi Mahkamah jika ia telah
meratifikasi Statuta, meskipun negara tersebut dapat menunda penerimaannya atas .
68
Geoffrey Robertson QC, op.cit. hal. 409.
69
Ibid, hal. 410.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
yurisdiksi kejahatan perang selama tujuh tahun Pasal 124 atau dengan cara menandatangani deklarasi ad hoc yang menyatakan menerima otoritas Mahkamah
Pasal 12 ayat 1 dan 3. Banyak, atau bisa dibilang kebanyakan, negara yang di wilayahnya banyak terjadi tindak kejahatan sebagaimana yang termasuk dalam
yurisdiksi Mahkamah, atau yang warga negaranya cenderung bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan tersebut, bukanlah yang termasuk pertama-tama menandatangani
Statuta Roma ini. Prakondisi berkaitan dengan wilayah dan kewarganegaraan ini mengandung arti bahwa untuk beberapa tahun tampaknya Mahkamah Pidana
Internasional akan menjadi Mahkamah-nya Dewan Keamanan. Harapan kelompok pembela HAM dan pendukungnya adalah pada akhirnya bisa tercapai sebuah
kesepakatan universal, yang memungkinkan Mahkamah “melayani” generasi mendatang sebagai institusi peradilan yang independen dan efektif.
Ada dukungan yang luas dalam Konferensi ini untuk mengikutsertakan negara-negara yang persetujuannya dianggap dapat memberi dasar bagi yurisdiksi
Mahkamah. Negara yang sedang melakukan penahanan terhadap tersangka, dan negara dimana korban adalah warganya. Tekanan dari Amerika Serikat dan negara-
negara kuat lainnya, sayangnya, mengalahkan inisiatif ini, dan menghasilkan kesepakatan yang hanya sekedar mendekati. Jika mengikutsertakan kesepakatan yang
hanya sekedar tersangka kejahatan dalam yurisdiksi Mahkamah secara signifikan akan meluaskan jangkauan Mahkamah. Dalam Statuta yang sekarang ini, Mahkamah tidak
mempunyai kuasa untuk menuntut dan memproses seorang individu yang dituduh melakukan genocide yang sedang berada dalam tahanan di sebuah negara
penandatangan. Ini sekaligus juga meniadakan beberapa dasar yurisdiksi yang lain. Mengikutsertakan negara dimana korban menjadi warganya, juga akan meluaskan
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
jangkauan Mahkamah. Yang utama adalah, memberi perlindungan lebih kepada tentara penjaga perdamaian yang berasal dari negara perratifikasi yang sedang
melakukan misi ke negara non perratifikasi. Mahkamah akan bisa menerapkan yurisdiksinya atas kejahatan perang yang menimpa pasukan penjaga perdamaian,
walaupun terjadi di wilayah sebuah negara atau dilakukan oleh warga negara yang tidak menerima yurisdiksi Mahkamah. Ironinya, negara-negara yang paling kukuh
membatasi jangkauan yurisdiksi Mahkamah justru mereka yang menyatakan perhatiannya pada hubungan antara Mahkamah dengan pasukan penjaga perdamaian
internasional. Kelompok pembela HAM berargumen bahwa prinsip “yurisdiksi
universal” haruslah melekat pada Mahkamah. Yurisdiksi universal adalah sebuah prinsip hukum internasional yang telah diterima secara luas, yang menyatakan bahwa
negara manapun dapat menuntut para pelaku genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang, tanpa perlu mempedulikan batas-batas wilayah
dan kewarganegaraan. Sebagai contoh praktis, kemampuan Mahkamah untuk menentukan kejahatan apa saja yang masuk dalam yurisdiksinya akan bisa
ditingkatkan jika diberi yurisdiksi universal. Tak perlu banyak komentar kiranya, Statuta ini akhirnya, dengan prakondisi yang “ketat” untuk penerapan jurisdiksinya,
merefleksikan kemunduran substansial dari jurisdiksi universal. Ini barangkali hal yang paling mengecewakan selama Konferensi.
Statuta Roma juga mengijinkan jaksa penuntut untuk menginisiasi sebuah penyelidikan atas mosinya sendiri propio motu. Para pendukung pengadilan yang
independen dan efektif merasa bahwa seorang jaksa penuntut dengan wewenang propio motu merupakan sumbangan yang esensial bagi penyerahan Dewan Keamanan
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
dan Negara Pihak. Meskipun penyerahan semacam itu penting artinya, tapi tidak akan cukup jika pengadilan yang ada belumlah efektif dalam menghukum dan mencegah
tindakan pidana internasional. Dewan Keamanan merupakan sebuah badan politis yang seringkali dilumpuhkan oleh hak veto para anggota tetapnya. Sementara para
negara seringkali segan untuk mengajukan pengaduan jka berkaitan dengan kedaulatan negara lain, terutama jika bisa merusak hubungan diplomatik dan
ekonomi, atau jika bisa mengundang pengaduan balasan. Konsekuensinya, jaksa penuntut yang independen sangat penting artinya jika kasus yang ditangani ada dalam
situasi tindak kriminal yang sangat keji dimana kemauan politik untuk memprosesnya sangatlah kurang.
Statuta Roma sangat membatasi hak propio motu jaksa penuntut. Sebelum seorang penuntut bisa memulai inisiatifnya, ia harus meyakinkan terlebih dahulu
dewan hakim bahwa “ada suatu dasar yang masuk akal untuk melanjutkan dengan penyelidikan, dan bahwa kasus itu tampak masuk ke dalam yurisdiksi Mahkamah,”
Pasal 15 ayat 4. Jaksa Penuntut juga harus menghormati penyelidikan yang dilakukan oleh otoritas nasional, kecuali jika dewan hakim memutuskan bahwa
otoritas yang ada benar-benar tidak berniat atau tidak mampu melakukan penyelidikan atau penuntutan Pasal 17 dan 18. Tambahan lainnya : Mahkamah dan Jaksa
Penuntut harus menunda proses sampai masa 12 bulan dan bisa diperpanjang, jika Dewan Keamanan memintanya Pasal 16. Terakhir, Jaksa Penuntut dibatasi hak
inisiatifnya hanya pada kasus-kasus yang terjadi dalam wilayah negara yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah, atau tindakan dilakukan oleh negara tersebut
70
70
Pihak Amerika Serikat menentang pemberian hak propio motu dengan dasar, seperti yang diungkapkan duta besar David Scheffer, “hanya akan membuat Mahkamah terbebani dengan
pengaduan dan pengalihan masalah yang melimpah, sekaligus membuat Mahkamah terlibat dalam kontroversi, pengambilan keputusan politik, dan kebingungan”. Meskipun sang duta besar
.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
Berbagai sistem dan prosedur bisa dikembangkan demi penanganan informasi pengaduan yang adil dan efisien. Bahkan jika sang Jaksa Penuntut memang menerima
banyak sekali pengaduan, kenyataan bahwa subyek yurisdiksi Mahkamah yang dibatasi bisa menyediakan “saringan” yang efektif yang akan menyaring limpahan
pengaduan tersebut. Lebih lanjut, prakondisi yang dibutuhkan untuk menjalankan yurisdiksi Mahkamah juga berperan sebagai mekanisme penyaring. Dan terhadap
bahaya “pengambilan keputusan politik”, cara paling pasti untuk menghindari hal tersebut adalah mekanisme yang ada dalam statuta : Jaksa Penuntut yang independen
yang tunduk pada sudut pandang hukum, hanya menangani tindak kejahatan sebagaimana yang telah dijelaskan secara tegas dan diterima secara luas.
Seperti diketahui, Amerika Serikat menentang Statuta Roma. Alasan utama yang diberikan oleh AS kenapa mereka “menentang” Statuta Roma adalah
bahwa Mahkamah akan dapat menerapkan yurisdiksinya atas peristiwa yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara yang telah menerima yurisdiksi Mahkamah. AS
mendesak agar Mahkamah hanya dapat menerapkan yurisdiksinya jika negara dimana tersangka adalah warganya telah menerima yurisdiksi. Dubes Scheffer mencela basis
teritorial bagi yurisdiksi Mahkamah sebagai “sebuah bentuk yurisdiksi yang dipaksakan atas negara-negara yang bukan Negara Pihak” ini menurutnya,
“bertentangan dengan prinsip paling mendasar dari hukum perjanjian”. Meskipun ungkapan itu bisa dibilang keras, tidak ada yang luar biasa jika sebuah negara punya
kuasa untuk memutuskan bagaimana menghakimi sebuah kejahatan yang terjadi di dalam wilayahnya, terutama jika kejahatan itu termasuk diantara yang paling serius
yang bisa dibayangkan. Memang kenyataannya, basis teritorial bagi yurisdiksi
mengekspresikan perhatian yang mendalam, masih perlu dipertanyakan apakah yang diperingatkannya itu benar-benar “membahayakan” keseluruhan Statuta.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
memang sangat kuat, bahkan lebih kuat dari kewarganegaraan. Sangat mengejutkan jika pemerintah AS mengklaim bahwa negara-negara yang berdaulat punya yurisdiksi
yang terbatas di wilayah mereka sendiri
71
Dewasa ini berkembang wacana di dunia internasional untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah internasl negara-negara berdaulat agar
menghentikan kekejaman dan penindasan sistematis. Kewajiban tersebut dalam jangka waktu yang panjang serta meluas, diucapkan oleh Theoore Roosevelt pada
masa transisi abad ke-20 .
Kalau dianalisa lebih lanjut, ada banyak kompromi dibuat oleh negara- negara yang ikut Konferensi Roma dengan maksud menghasilkan sebuah perjanjian
yang bisa mendapatkan dukungan luas. Hasil yang dicapai tidak seperti yang diharapkan oleh kelompok-kelompok pembela HAM, meskipun di beberapa bagian
justru melenceng lebih jauh dari yang diharapkan oleh beberapa negara. Tapi yang jelas, Statuta Roma ini menyediakan sebuah kerangka framework dari keadilan
internasional bagi generasi mendatang. Pengorbanan nyawa manusia dan penderitaan akibat rantai impunity akan semakin panjang jika kita tidak memberi kesempatan bagi
kerangka kerja ini untuk diterapkan.
72
71
AS dengan cerdik merujuk pada “yurisdiksi yang dipaksakan atas negara-negara yang bukan Negara Pihak” yang secara akurat menegaskan bahwa sebuah perjanjian atau Statuta tidak dapat
mengikat negara-negara yang bukan penandatangan. Statuta Roma ini, walau bagaimanapun, tidak menyetujui yurisdiksi Mahkamah atas “negara manapun”.Selebihnya, Mahkamah mempunyai
yurisdiksi atas individu, dan tidak mengikat negara yang bukan termasuk Negara Pihak. Beberapa negara tertentu tidak mempunyai kewajiban, misalnya, untuk menyerahkan tersangka, bekerja sama
dalam penyelidikan, atau melakukan hal-hal lainnya
72
Geoffrey Robertson QC, op.cit, hal. 499-500.
. Ia menaruh perhatian untuk menjustifikasi peperangan untuk membatasi tindakan barbar Spanyol di Panama dan Kuba, yang juga dalam
rangka mengamankan kepentingan Amerika Serikat. Pada abad ke-19, terjadi intervensi sporadis oleh kekuatan Eropa terhadap kekaisaran Ottoman Turki, yang
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
didorong oleh pembunuhan massal kaum Nasrani di Bosnia, Kreta dan Syria. Ekspedisi hukuman ini dibenarkan atas nama agama tanpa banyak masalah tentang
keabsahannya. Ketika ahli-ahli hukum internasional pada awal-awal abad seperti Grotius
dan Vattel mencari definisi dari peperangan demi “keadilan”, mereka terus menerus memasukkan alasan penyelamatan bagi rakyat tertindas. Jika untuk berdirinya negara,
tirani menjadi demikian tak tertahankan kekejamannya, setiap kekuatan asing berhak untuk menolong rakyat yang tertindas, yang meminta bantuannya
73
Kesulitan muncul dalam hukum ketika korban-korban bukanlah penduduk mayoritas dari negara. Mereka hanya merupakan rakyat dari sebuah propinsi atau
sekelompok ras tertentu atau keduanya. Kita bisa membayangkan betapa konyoknya sebuah tuntutan yang dibuat atas nama mereka, yang ditunjukkan dalam tuntutan
Hitler, sebagai hak untuk menginvasi Cekoslowakia untuk melindungi minoritas Jerman dari tuduhan kebrutalan bangsa Chez. Dengan dasar itu pula, Hitler
. Inilah perkembangan yang logis dari teori Locke tentang pemerintahan yang didasarkan atas
persetujuan bersama. Jika para tiran dapat dijatuhkan ketika mereka
menyalahgunakan kekuasaannya dan membunuh rakyat, maka rakyatnya wajib dilindungi. Dengan demikian, pemerintahan negara dapat dipandang sah memberikan
‘bantuan kemanusiaan”. Sesungguhnya jika tirani dipandang sebagai kekuatan colonial yang melakukan kekejaman yang meluas dan ditentang oleh mayoritas
penduduk asli rakyatnya, maka hak akan “bantuan kemanusiaan” merupakan hak dalam mendukung penentuan nasib sendiri.
73
Vattel, dikutip oleh Michael J. Bazyler, Re-ezamining the Doctrine of Humanitarian Intervention, Stanford International Law Journal, 1987, hal. 23.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
menginvasi Polandia untuk menyelamatkan minoritas Jerman dari tuduhan tidak manusiawinya bangsa Polandia.
Bagaimanapun Hitler telah memberikan label buruk pada hak untuk melakukan “intervensi kemanusiaan”. Namun, kemudian terdapat preseden-preseden
dari abad ke-20 yang lebih baik. Setelah Perang Dunia I, ketika hak-hak minoritas diatur oleh Liga Bangsa-Bangsa, pertanyaan tentang pemisahan diri disebut dalam dua
laporan para ahl hukum yang meminta Liga menentukan hari depan kepulauan Aalan milik Finlandia. Mereka melaporkan pada tahun 1920, bahwa Liga berhak
mempertimbangan tuntutan kelompok minoritas untuk memisahkan diri jika terjadi perlakukan kejam yang nyata dan berkelanjutan, yang mengakibatkan kerusakan
sebagian atau seluruh penduduk sebuah negara
74
Kasus kepulauan Aalan inilah yang membayangi Kosovo, tahun 1999, sebuah propinsi yang terbentuk oleh sejaran, terdiri dari 90 orang Albania muslim
yang dipaksa keluar dari rumah-rumah mereka karena perlakuan yang kejam dari Milosevic terus berlanjut terhadap kekuatan Serbia yang berdaulat. Jiak Kosovar
penduduk Kosovo, telah mempunyai hak untuk memisahkan diri, apakah jeritan mereka untuk meminta bantuan mewajibkan NATO untuk menanggapinya ? Ini
tergantung pada apakah setiap hak untuk melakukan intervensi kemanusiaan atau hak mendukung upaya pemisahan diri dapat diperbolehkan di luar ikatan rejim hukum
internasional yang dibuat oleh Piagam PBB. Pertanyaan ini juga berlaku pada setiap persetujuan internasional yang lainnya
.
75
74
Antonio Cassesse, Self Detemination of People, Cambrige University Press, 1995, hal. 27- 33, dikutip di dalam
. Hal mana sebenarnya di dalam Pasal 7 dari North Atlantic Treaty gugur, bahwa keanggotaan NATO tidak mempengaruhi
http:www.kompas.com. Edisi 29 Maret 2003.
75
Pasal 103 Piagam PBB.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
tanggung jawab utama dari Dewan Keamanan PBB untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional.
Selanjutnya di dalam Pasal 27 Piagam PBB, memperbolehkan PBB sendiri untuk melakukan intervensi dalam masalah-masalah yang pada dasarnya
berada dalam “yurisdiksi domestic dari negara-negara manapun”, namun hanya dalam rangka penerapan tindakan-tindakan penegakan oleh Dewan Keamanan yang terlebih
dahulu harus “menentukan ada tidaknya ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian atau tindakan agresi lainnya”
76
Untuk memenuhi “perang demi keadilan” yang diperbolehkan oleh Bab VII dari Piagam PBB, kecaman Dewan Keamanan terhadap pelaku kejahatan-
. Kemudian jika tindakan-tindakan dari kekerasan bersenjata masih tidak mencukupi, Dewan Keamanan dapat mengambil
tindakan dengan mempergunakan angkatan udara, laut atau kekuatan darat yang mungkin diperlukan untuk memelihara atau memulihkan perdamaian serta keamanan
internasional. Argumentasi dari mereka yang melontarkan kritik-kritik pada tindakan
NATO adalah bahwa organ PBB ini wewenangnya mencakup hal intervensi yang implikasinya kemudian menghilangkan setiap hak-hak untuk melakukan intervensi
kemanusiaan yang didasarkan pada hukum kebiasaan, baik itu dari suatu negara atau sebuah kelompok regional, tanpa persetujuan dari Dewan Keamanan. Hal ini
bertujuan untuk menambah kepercayaan mereka dan tak satupun tindakan dapat diambil di bawah pengaturan-pengaturan badan regional tanpa pemberian wewenang
dari Dewan Keamanan, walaupun dalam kenyataannya hal itu merujuk pada situasi- situasi dimana PBB telah mempergunakan badan-badan regional.
76
Bab VII, Pasal 39 Piagam PBB.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
kejahatan kemanusiaan tidaklah cukup. Harus adar resolusi untuk menggunakan kekerasan yang disetujui oleh setidaknya 9 dari 15 anggota dan tidak ada satupun dari
lima anggota permanent, seperti Amerika Serikat, China, Rusia, Prancis dan Inggris yang melemparkan veto.
Hak untuk intervensi kemanusiaan muncul dalam keadaan darurat, untuk menghentikan tindakan kriminal terhadap kemanusiaan yang terus berlanjut. Tidak
pernah disarankan bahwa catatan hak asasi manusia yang buruk kemudian tanpa menjustifikasi intervensi bersenjata. Pendapat International Court of Justice tentang
kasus “Nicaragua” melumpuhkan hipotesa “hak melakukan intervensi ideology” yang seringkali menjustifikasi destablisasi sistem politik tertentu. Tidak diputuskan apakah
sebuah kelompok regional negara-negara berhak untuk menggunakan kekerasan guna menghentikan negara lain dimana pembunuhan massal atau sebagian penduduk
sedang berlangsung. Sesungguhnya International Court of Justice terus menekankan bahwa Piagam PBB tidak mencakup keseluruhan area peraturan penggunaan
kekerasan dalam hubungan internasional terus ada untuk hidup bersama dengan hukum perjanjian, misalnya Piagam PBB
77
Apakah hak intervensi kemanusiaan benar-benar eksis dalam hukum kebiasaan menjadi isu yang dihindari oleh International Court of Justice, dua bulan
setelah pemboman NATO terhadap Yugoslavia. International Court of Justice menolak permintaan Yugoslavia yang meminta adanya “tindakan sementara
provisional measure”. International Court of Justice menyatakan keprihatian yang mendalam atas penggunaan kekerasan di Yugoslavia. Mungkin hal ini terjadi karena
.
77
Sebagian pakar hukum berpendapat, bahwa kritik yang dilontarkan pada NATO adalah salah. Piagam PBB tidak mengatur masalah itu dan meniadakan penggunaan kekerasan senjata sesuai
dengan kaidah hukum kebiasaan yang telah mengkristal secara bebas terlepas dari hukum perjanjian.
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
International Court of Justice mempunyai tanggung jawab di bawah Piagam PBB untuk membantu memelihara perdamaian dan keamanan dan situasi saat itu
pemboman menjadi isu hukum internasional yang paling serius. Bodohnya kemudian isu itu sperti menjadi sebuah permintaan bahwa semua pihak harus
bertindak sesuai dengan kewajiban mereka menurut hukum. Kewajiban yang kemudian tidak diuraikan dengan jelas, selain digambarkan sebagai sesuatu yang
serius. Namun, satu hal yang harus dipahami bahwa perlunya prinsip hukum internasional yang memperbolehkan intervensi dalam keadaan darurat kemanusiaan,
jika perlu tanpa dukungan suara bulat dari anggota Permanen Dewan Keamanan PBB.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Mochamad Rangga Rambe : Mekanisme Penegakan Hukum Law Enforcement Terhadap Kejahatan-Kejahatan Internasionaldalam Perspektif Hukum Humaniter, 2008.
USU Repository © 2009
A. Kesimpulan