berulangkali sehingga perbuatan-perbuatan itu menjadi kebiasaan; kedua, perbuatan-perbuatan itu dilakukan dengan kehendak sendiri bukan karena
adanya tekanan-tekanan yang datang dari luar seperti ancaman dan paksaan atau sebaliknya melalui bujukan dan rayuan.
12
Abuddin Nata mengutip dari pendapat al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din, akhlak adalah :
“Gambaran dari keadaan jiwa yang mendalam yang darinya timbul perbuatan-perbuatan dengan gampang,
tanpa memerlukan pertimbangan pemikiran atau renungan” Ibnu Miskawaih dalam kitabnya Tahzib al-Akhlak mengatakan, akhlak ialah :
“Keadaan jiwa yang mendorong melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pemikiran dan pertimbangan-
pertimbangan”. Selanjutnya menurut Dr. Ahmad Amin dalam Bukunya Al-Akhlak, akhlak adalah kehendak
yang dibiasakan.
13
Dari beberapa definisi diatas dapat penulis simpulkan, bahwa akhlak adalah suatu perbuatan yang timbul tanpa adanya pemikiran
karena adanya dorongan dalam jiwa dan sudah menjadi kebiasaan. Menjalankan akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang buruk
merupakan syarat mutlak untuk mencapai kebahagiaan, kedamaian, kenyamanan hidup umat manusia dan alam sekitarnya.
14
Ilmu akhlak atau akhlak yang mulia berguna dalam mengarahkan dan mewarnai berbagai
aktivitas kehidupan manusia di segala bidang. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern, memiliki pangkat, harta,
kekuasaan dan sebagainya namun tidak disertai dengan akhlak yang mulia maka semuanya itu akan disalahgunakan yang akibatnya akan
menimbulkan bencana di muka bumi.
12
Abd.Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011, h.42
13
Abuddin Nata, Al- Qur’an dan Hadits, Jakarta : PT Raja Grafindo persada, 2000, Cet.
VII, h. 36
14
Heny Narendrany Hidayati, Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2009, h. 16
Akhlak merupakan mutiara hidup yang dapat membedakan manusia dengan makhluk lainnya, sebab seandainya manusia tanpa akhlak,
maka akan hilanglah derajat kemanusiaannya sebagai makhluk Allah yang paling mulia dan turunlah ke derajat binatang, bahkan tanpa akhlak
manusia akan lebih hina, lebih jahat dan lebih buas dari binatang buas. Dan manusia yang demikian itu adalah sangat berbahaya.
15
Pembentukan moral yang tinggi adalah tujuan utama dari pendidikan Islam. Seseorang tidak akan sanggup menjalankan mission
atau tugas ilmiahnya kecuali bila ia berhias dengan akhlak yang tinggi, dijiwanya bersih dari segala bentuk celaan. Dengan jalan ilmu dan amal
serta kerja yang baik, rohani mereka meningkat naik mendekati Maha Pencipta yaitu Allah SWT.
16
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab
jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik, maka sejahteralah lahir dan batinnya,
apabila akhlaknya rusak, maka rusaklah lahir dan batinnya.
17
Jika tujuan ilmu akhlak tercapai, maka manusia akan memiliki kebersihan batin yang selanjutnya melahirkan perbuatan terpuji. Dari
perbuatan yang terpuji ini akan lahirlah keadaan masyarakat yang damai, harmonis, rukun, sejahtera lahir dan batin, yang akhirnya ia dapat
beraktivitas guna mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan diakhirat.
18
Namun kenyataannya pada zaman modern ini masih banyak orang yang belum mempraktikkan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat
15
Heny Narendrany Hidayati, Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2009, h. 17
16
Muhammad ‘Athijah Al-Abrasjy, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970.h. 24
17
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al- Qur’an, Jakarta : Amzah, 2007,
h. 1
18
Heny Narendrany Hidayati, Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2009, h. 17
dalam Al- Qur’an dan tidak menganggap penting hal tersebut. kita lihat
pada pergaulan-pergaulan saat ini, tidak hanya kaum remaja, dan orang dewasa, bahkan anak-anak pun sudah terbawa oleh arus-arus budaya
kebarat-baratan dan tidak menerapkan pendidikan akhlak yang terdapat dalam Al-
Qur’an. Yang terpenting bagi mereka adalah mereka senang dengan apa yang mereka lakukan. Hal ini terjadi karena kurang kontrol
yang ketat dari lingkungan sekitarnya, baik dari orang tua, sekolah dan masyarakat sekitar. Berangkat dari hal tersebut, perlu kiranya penulis
membahas tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Al- Qur’an, yang
diharapkan mampu menjadi pedoman bagi orang tua, lembaga pendidikan dan masyarakat untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Di dalam Al- qur’an banyak ayat-ayat yang membahas tentang
pendidikan akhlak, diantaranya firman Allah dalam Surat Al-maidah ayat 8 .yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran Karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan
”. Terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak yang harus di praktekkan
oleh umat islam. Adapun nilai-nilai pendidikan akhlak dalam Surat al- maidah adalah nilai pendidikan jujur, nilai pendidikan ikhlas, nilai
pendidikan adil dan nilai pendidikan takwa.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji dan membahas masalah tersebut dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi
dengan judul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-Maidah Ayat 8”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang tersebut diatas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah :
1. Masih banyak orang yang belum mempraktikkan nilai-nilai pendidikan
akhlak yang terdapat dalam Al- Qur’an, salah satunya dalam QS. Al-
Maidah ayat 8. 2.
Masih banyak orang tua yang kurang menyadari tentang pentingnya memberikan pembinaan akhlak pada anak.
3. Kurangnya peranan lembaga pendidikan dalam memberikan
pembinaan pendidikan karakter pada siswa. 4.
Kurangnya peranan lembaga masyarakat dalam membina masyarakat dengan pendidikan akhlak yang telah diajarkan dalam al-
qur’an
C. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah diatas, maka penulis akan membatasi masalah sebagai berikut :
1. Nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam QS. Al-Maidah ayat
8 2.
Aplikasi nilai-nilai pendidikan akhlak yang dibatasi dalam surat al- Maidah ayat 8
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang dikemukakan diatas, maka dalam penulisan skripsi ini, masalah yang dibahas dapat dirumuskan
sebagai berikut: 1.
Nilai-nilai pendidikan akhlak apa sajakah yang terkandung dalam QS. Al-Maidah ayat 8 ?
2. Bagaimana cara mengaplikasikan nilai-nilai pendidikan akhlak yang
terkandung dalam QS. Al-Maidah ayat 8 ?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak dalam QS. Al-Maidah ayat 8 dan cara mengaplikasikan
nilai-nilai pendidikan akhlak dalam QS. Al-Maidah ayat 8. F.
Manfaat Penelitian
Penulisan skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut: 1.
Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis 2.
Memberikan kontribusi dalam dunia pendidikan, khususnya dalam bidang pendidikan akhlak.
3. Dapat dijadikan pedoman bagi orang tua, guru dan masyarakat dalam
menerapkan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam kehidupan sehari-hari.
10
BAB II KAJIAN TEORITIS
A. Pengertian Pendidikan Akhlak
1. Pengertian Pendidikan
Secara Etimologi kata pendidikan terdiri dari kata didik yang mendapat awalan pen dan akhiran an. Pendidikan menurut Kamus Besar
Bahasa Indoensia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan ; proses, cara, perbuatan mendidik.
1
Masih dalam pengertian kebahasaan, dijumpai pula kata tarbiyah dalam bahasa Arab. Kata ini sering digunakan oleh para ahli pendidikan
Islam untuk menerjemahkan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia. Abdurrahman al-Nahlawi, misalnya lebih cenderung menggunakan kata
tarbiyah untuk kata pendidikan. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa kata tarbiyah berasal dari kata, yaitu pertama dari kata raba, yarbu yang berarti
bertambah dan bertumbuh; karena pendidikan mengandung misi untuk menambah bekal pengetahuan kepada anak didik dan menumbuhkan
potensi yang dimilikinya; kedua dari kata rabiya, yarba yang berarti menjadi besar, karena pendidikan juga mengandung misi untuk
membesarkan jiwa dan memperluas wawasan seseorang, dan ketiga dari kata rabba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan,
menuntun, menjaga dan memelihara sebagaimana telah dijelaskan diatas.
2
Dalam konteks yang luas, pengertian pendidikan Islam yang dikandung dalam term al-tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan,
yaitu : 1 memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa baligh. 2 mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan. 3
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 2008, h. 326
2
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, Pamulang: Logos Wacana Ilmu, 1997, h. 8
mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan. 4 melaksanakan pendidikan secara bertahap.
3
Penggunaan term al-Tarbiyah untuk menunjuk makna pendidikan Islam dapat difahami dengan merujuk firman Allah:
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil
QS. Al Israa’17:24. Dalam Al-
Mu’jam al-Wasith, terdapat penjelasan sebagai berikut:
ةَّلْقعْلاو ةَّدسجْلا هاَّق ىِّن ,هاَّرو ةَّقلخْلاو
“Mendidiknya, berarti menumbuhkan potensi jasmaniah, aqliyah akal serta akhlak budi pkertinya”.
4
Sedangkan secara
terminologi, Pendidikan
ialah proses
membimbing manusia dari kegelapan, kebodohan, dan pencerahan pengetahuan.
5
Abuddin Nata mengutip dari Ki Hajar Dewantara menjelaskan, pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh
keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia. Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan, tidak
boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup
agar mempertinggi derajat kemanusiaan.
3
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat, Ciputat Press, 2005, h. 26
4
IAIN Jakarta, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi AgamaIAIN Di Jakarta Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1983, h. 118
5
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif Al- Qur’an, Jakarta : Amzah, 2007,
h. 21
Menurut Soegarda Poerbakawatja, dalam arti umum pendidikan adalah semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk
mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya serta ketrampilannya
kepada generasi
muda sebagai
usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik
jasmaniyah maupun rohaniyah.
6
Dalam undang-undang pendidikan Nasional dijelaskan: “ pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa, dan negara”.
7
Beberapa ahli pendidikan di Barat sebagaimana dikutip oleh Muzayyin Arifin, memberikan arti pendidikan sebagai proses, antara lain
sebagai berikut:
8
a. Mortimer J. Adler mengartikan: pendidikan adalah proses dengan
mana semua kemampuan manusia bakat dan kemampuan yang diperoleh yang dapat dipengaruhi oleh pembiasaan, disempurnakan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu orang lain
atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang baik.
b. William Mc Gucken, S.J. seorang tokoh pendidikan Katolik
berpendapat, bahwa pendidikan diartikan oleh ahli skolastik, sebagai suatu perkembangan dan kelengkapan dari kemampuan-kemampuan
manusia, baik
moral, intelektual,
maupun jasmaniah
yang diorganisasikan, dengan atau untuk kepentingan individual atau sosial
6
Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung, 1981, Cet. ke- 2, h. 257
7
Undang-undang pendidikan Nasional No.20 tahun 2003, h. 2
8
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010, Cet. ke- 5, h. 18