61 itu?? Mengapa kau berhenti bercita-cita, Bujang? Pahamkah engkau,
berhenti bercita-cita adalah tragedi terbesar dalam hidup manusia” hal.148. “Kalian lebih pintar, lebih punya kesempatan untuk sekolah lagi,
kalian berangkat saja ke Jawa. Pakailah uang itu, kejarlah cita-cita…” hal.218.
Dengan kaki tenggelam di dalam lumpur sampai ke lutut kami tak surut menggantungkan cita-cita di bulan: ingin sekolah ke Prancis, ingin
menginjakkan kaki-kaki miskin kami di altar suci almamater Sorbone, ingin menjelajahi Eropa sampai ke Afrika hal.268.
4.2.4 Mata
Pencarian
Sesuai dengan yang telah digambarkan oleh pengarang dalam novel, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Belitung pada umumnya menggantungkan
kehidupannya sebagai buruh tambang timah, nelayan, bahkan Ikal dan Arai pernah menjadi caddy di lapangan golf serta menjadi kuli ngambat.
Dan seperti kebanyakan anak-anak Melayu miskin di kampung kami yang rata-rata beranjak remaja mulai bekerja mencari uang, Arai-lah yang
mengajariku mencari akar banar untuk untuk dijual kepada penjual ikan. Akar ini digunakan penjual ikan untuk menusuk insang ikan agar mudah ditenteng
pembeli. Dia juga yang mengajakku mengambil akar purun perdu yang tumbuh di rawa-rawa yang kami jual pada pedagang kelontong untuk
mengikat bungkus terasi. Waktu itu kami ingin sekali menjadi caddy di padang golf PN Timah tapi belum cukup umur. Kami masih SMP. Untuk jadi
caddy paling tidak harus SMA hal.32. Pada saat itulah PN Timah Belitong, perusahaan di mana sebagian besar orang
Melayu menggantungkan periuk belanganya, termasuk ayahku, terancam kolaps hal.67
Anak-anak yang kuat tenaganya menjadi pendulang timah. Mereka seharian berendam di dalam lumpur, mengaduk-aduk aluvial, meraba-raba
urat timah di bawah tanah, mempertaruhkan kelangsungan hidup pada kemampuan menduga-duga. Mereka yang kuat nyalinya bekerja di bagan
tengah laut. Pekerjaan berbahaya yang berbulan-bulan baru bisa bertemu keluarga. Mereka yang kuat tenaga dan kuat nyali, siang malam mencendok
pasir gelas untuk mengisi tongkang, makan seperti gembel dan tidur di bawah
Universitas Sumatera Utara
62 gardan truk, melingkar seperti biawak. Anak-anak Melayu ini paling miris
nasibnya hal.68.
4.2.5 Sistem Kemasyarakatan
Falsafah hidup masyarakat Belitung adalah serumpun sebalai yaitu suatu bentuk etika kehidupan keseharian masyarakat Bangka-Belitung yang rukun damai
dan dalam hubungan kekeluargaan walaupun terdiri dari bermacam-macam etnis dan agama www.profilbangkabelitung.com.
Masyarakat Melayu Belitung sangat rukun meskipun di sana terdiri dari berbagai macam etnis dan agama.
Laksmi dipungut seorang Tionghoa Tongsan pemilik pabrik cincau dan ia bekerja di situ. Tapi, seperti Jimbron dengan Pendeta Geo, bapak asuh
Laksmi justru menumbuhkan Laksmi menjadi muslimah yang taat hal.78. Jimbron adalah seseorang yang membuat kami takjub dengan tiga
macam keheranan. Pertama, kami heran karena kalau mengaji, ia selalu diantar seorang pendeta. Sebetulnya, beliau adalah seorang pastor karena
beliau seorang Katolik, tapi kami memanggilnya Pendeta Geovanny. Rupanya setelah sebatang kara seperti Arai, ia menjadi anak asuh sang pendeta.
Namun, pendeta berdarah Italia itu tak sedikit pun mengonversi keyakinan Jimbron. Beliau malah tak pernah telat jika mengantar Jimbron mengaji ke
masjid hal.60-61.
Masyarakat Melayu sangat mengistimewakan anak laki-laki. Semua keluarga, dari suku manapun, menyayangi anak. Namun, anak
laki-laki bagi orang Melayu leih dari segala-galanya, sang rembulan, permata hati hal.8.
Masyarakat Melayu dikenal sebagai masyarakat yang suka bekerja keras. Berada dalam pergaulan orang Melayu yang seharian membanting
tulang, mendengar pandangan mereka tentang masa depan, dan melihat bagaimana mereka satu per satu brerakhir, lambat laun memengaruhiku untuk
menilai situasiku secara realistis hal.143-144.
Universitas Sumatera Utara
63 Masyarakat Melayu juga mudah menerima dan memperbincangkan suatu
informasi baru. Berita tentang kuda itu segera hangat di man-mana. Di warung-warung
kopi, di balai desa, di pasar, dan di kantor-kantor pemerintah, setiap orang membicarakannya. Banyak komentar, memang kegemaran orang Melayu
hal.160.
Kebiasaan orangtua Melayu ketika membawa anaknya menaiki sepeda tergambar pada penggalan cerita di bawah ini:
Aku dan Arai menyergapnya ketika ia sedang memasukkan anaknya ke dalam keranjang besi yang dibuat khusus agar dapat dicantolkan pada
setang sepeda. Begitulah cara orang Melayu membawa anaknya naik sepeda. Setelah anaknya berusia lima tahun, karena sudah berat, jika bersepeda,
orangtua Melayu memasukkan anaknya ke dalam keranjang pempang dibuat dari rotan dan didudukkan mengangkangi tempat duduk di belakang sepeda
hal.265.
Orang Melayu
menjuluki Simpai Keramat bagi seseorang yang tersisa dari
satu garis keturunan. Orang Melayu memberi julukan Simpai Keramat untuk orang Melayu
yang tersisa dari satu klan hal.26.
4.2.6 Teknologi