Nilai Cinta Nilai-nilai Sosiosastra .1 Nilai Pendidikan

57 kembali berteriak,”Sadarkah Kau, Anak Muda?? Modelmu ini berpotensi untuk menjadi teori baru dalam ilmu ekonomi mikro” hal.253. “...Uni Eropa beranggotakan puluhan negara Eropa. Dalam satu negara, paling tidak ada dua puluh perguruan tinggi, kami akan mencari satu di antara ratusan universitas yang cocok untukmu, tapi itu pun kalau kau mendapatkan beasiswa ini.” hal.260.

4.2.1 Nilai Cinta

Kekuatan cinta tergambar dari isi novel Sang Pemimpi seperti cinta Ikal kepada kedua sehabatnya, Jimron dan Arai. Perjuangan untuk mewujudkan impian dan cita- cita mereka lalui bersama. Selain itu, cinta Arai kepada Zakiah Nurmala juga menunjukkan proses yang panjang. Namun, kekuatan cinta yang mereka rasakan telah mengantarkan mereka menjadi anak-anak yang tangguh. Cinta yang tumbuh dari persahabatan antara Ikal, Arai, dan Jimbron. Aku ingin membahagiakan Arai. Aku ingin berbuat sesuatu seperti yang ia lakukan pada Jimron. Seperti ayang ia lakukan padaku. Aku sering melihat sepatuku yang menganga seperti buaya berjemur tahu-tahu sudah merekat kembali. Arai diam-diam memakunya. Aku juga selalu heran melihat kancing bajuku yang lepas dan tiba-tiba lengkap lagi, tanpa banyak cincong Arai menjahitnya. Jika terbangun malam-malam, aku sering mendapatiku telah berselimut, Arai menyelimutiku…hal.185. Ah Aku telah melukai hati Jimbron. Hatinya yang lunak dan putih. Bukankah aku selalu berjanji pada diriku sendiri akan selalu melindungi Jimbron? Aku menendang ember di dekatku karena marah pada diriku sendiri. Aku sedih menyadari ada sosok lain dalam diriku yang diam-diam sembunyi, sosok yang tak kukenal. Sosok itu menjelma dengan cepat, lalu mendadak lenyap meninggalkan aku sendiri di depan Jimbron ditumpuki berton-ton perasaan bersalah hal.134-135. Dan aku gembira sekali karena tiba-tiba di sudut bibir Jimbron tersungging senyum kecil. Kesedihannya menguap. Matanya berbinar. Ia mengangguk-angguk mafhum seakan ia setuju pada saran positifku hal.137. Universitas Sumatera Utara 58 Luas samudera dapat diukur tapi luasnya hati siapa sangka. Itulah hati Arai. Dua bulan ia menyerahkan diri pada penindasan capo yang terkenal keras., semuanya demi Jimbron hal.183. Cinta Arai terhadap Zakiah Nurmala dan cinta Ikal kepada A Ling telah menguatkan impian mereka. …Semuanya telah Arai coba. Bunga itu biasanya diam-diam ia letakkan di keranjang sepeda Nurmala beserta sepucuk surat. Dan alangkah perih hatiku melihatnya dihaburkan Nurmala di tempat parkir. Ada pun suratnya tak kalah mengenaskan nasibnya, tanpa pernah dibuka Nurmala dilipat Nurmala berbentuk pesawat dan duperlandaskannya menuju kolam sekolah. Tapi, bukan Arai kalau bukan berjiwa positif hal.187. Betapa ajaib tenaga cinta pertama. Senyum A Ling masih semerbak di relung- relung dadaku sama seperti ketika aku berdiri di depan toko itu, terpaku melihatnya mengintipku dari balik tirai yang terbuat dari keong-keong kecil, tujuh tahun yang lalu. Fragmen A Ling dan desa cantik khayalanku, Edensor, rupanya tak labur dalam pikiranku, setidaknya sang waktu tak berdaya menyamarkannya hal.267. Demikian cinta Jimbron terhadap Laksmi. Laksmi selalu menampilkan kesan seakan tak ada lagi orang yang mencintainya di dunia ini, padahal, diam-diam, Jimbron setengah mati cinta padanya. Jimbron bersimpati kapada Laksmi karena merasa nasib mereka sama-sama memilukan. Mereka berdua, dalam usia sedemikian muda, mendadak sontak kehilangan orang-orang yang menjadi tumpuan kasih sayang hal.79. Selain itu, kekuatan cinta yang terpancar dari seorang guru terhadap anak didiknya juga memberikan energi besar bagi para siswanya, seperti Ikal, Arai, dan Jimbron untuk mewujudkan cita-cita agung yang telah ditiupkan oleh Pak Balia melalui kata-kata motivasi dan sastranya. Tak pernah mau kelihatan letih dan jemu menghadapi murid. Jika kelelahan, beliau mohon diri sebentar untuk membasuh mukanya, mengelapnya dengan handuk putih kecil bersulamkan nama istri dan putri- putrinya yang selalu dibawanya ke mana-mana, lalu dibasahinya rambutnya dan disisirnya rapi-rapi bergaya James Dean. Sejenak kemudian beliau Universitas Sumatera Utara 59 menjelma lagi di depan kelas sebagai pangeran tanpan ilmu pengetahuan hal.72. Cinta dari dari kedua orangtua Ikal dan Arai telah membakar mimpi-mimpi dan semangat dalam diri mereka sehingga cinta mereka kepada kedua orangtua mereka telah memengaruhi kehidupan mereka. Senyumnya itu seperti ucapan terima kasih yang diucapkan melalui senyum. Beliau menepuk-nepuk pundak kami, mengucapkan “Assalamu’alaikum” dengan pelan sekali, lalu beranjak pulang. Mengayuh sepedanya lagi, 30 kilometer. Kupandangi punggung ayahku sampai jauh. Sepedanya berkelak- kelok di atas jalan pasir. Betapa aku mencintai laki-laki pendiam itu. Setiap dua minggu aku bertemu dengannya, tapi setiap hari aku merindukannya hal.94. Kuambil alih mengayuh sepedanya, beliau duduk di belakang. Tangan kulinya yang kasar dan tua memeluk pinggangku. Ayahku yang pendiam: ayah juara satu seluruh dunia hal.155. Usai salat subuh ayahku siap berangkat. Dengan setelan lengkapnya: ikat pinggang bermotif ular, sepatu kulit buaya yang mengilap, dan kaus kaki sepatu bola, serta baju safari jahitan istrinya tahun 1972, yang sekarang berbau harum seperti kue bugis, kesan seorang buruh kasar di instalasi pencucian timah menguap dari ayahandaku. Sekarang beliau adalah mamtri cacar, syahbandar, atau paling tidak, tampak laksana juru tulis kantor desa. Ibuku menyampirkan karung timah berisi botol air minum dan handuk untuk menyeka keringat. Lalu, beliau bersepeda ke Magai, ke SMA Negeri, Bukan Main, 30 kilometer jauhnya, untuk mengambil rapor anak-anaknya hal.90- 91. Kami bangkit menuju ruang tamu. Dari ambang pintu, kami melihat wajah Arai sembap berurai air mata. Ia membekap erat bingkai foto ayah- ibunya dan surat keputusan beasiswa itu. Ia menatap kami penuh perasaan perih dan kerinduan. Kerinduan pada ayah-ibunya. Seumur hidupku aku tak pernah melihat Arai menangis., tak pernah melihatnya demikian sedih. Air matanya berjatuhan membasahi bingkai plastik foto hitam putih ayah-ibunya, membasahi kertas tebal mengilat yang dipegangnya bergetar-getar. Kami masih berdiri mematung di ambang pintu ketika ia mengatakan dengan lirih,”Aku lulus…” hal.271 Universitas Sumatera Utara 60

4.2.3 Nilai Cita-cita