Nilai Cita-cita Nilai-nilai Sosiosastra .1 Nilai Pendidikan

60

4.2.3 Nilai Cita-cita

Cita-cita yang kuat telah mewarnai kehidupan Arai, Ikal, Jimbron untuk terus berjuang sekuat tenaga demi terwujudnya impian mereka. Bagi orang miskin yang tetap bertekad untuk tetap sekolah, hanyalah sebuah kesungguhan dan kesabaran. Cita-cita yang kuat tergambar pada para tokohnya. “Biar kau tahu,Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi. Kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu”hal.153. …. Selain anak-anak yang tekad ingin sekolahnya sekeras tembaga, pemangku jabatan kuli ngambat umumnya adalah mereka yang patah harapan. Tak diteriam kerja di mana-mana karena saking tololnya sampai tak tahu nama presiden republik ini hal.70. Untuk mencapai cita-cita tersebut dibutuhkan sikap optimis seperti yang digambarkan pada kutipan berikut ini. “Kaum Muda Yang kita butuhkan adalah orang-orang yang mampu memimpiikan sesuatu yang tak pernah diimpikan siapapun” hal.74. Namun, sekarang aku memiliki filosofi baru bahwa berbuat yang terbaik pada titik di mana aku berdiri. Maka sekarang aku adalah orang yang paling optimis. Aku terpatri dengan cita-cita agung kami: ingin sekolah ke Perancis, menginjakkan kaki di Sorbone, menjelajahi Eropa sampai ke Afrika. Tak pernah sedikit pun mengkompromikan cita-cita itu hal.208. …. Dan tentang rencana kita sekolah ke Prancis Menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbone Menjelajahi Eropa sampai ke Afrika Kita akan jadi orang Melayu pedalaman pertama yang sekolah ke Prancis Bukan main hebatnya, Bron” hal.137. Cita-cita agung yang ingin dibangun oleh Ikal, Arai, dan Jimbron adalah cita- cita untuk melanjutkan sekolah hingga ke Prancis meskipun Jimbron mengubur mimpinya setelah tamat SMA karena ia merasa tidak layak seperti Ikal dan Arai. “Kini ia sekolah di Tanjong Pandan, di SMA yang monyet pun jika mendaftar akan diterima Dan kau, kausia-siakan kehormatan garda depan Universitas Sumatera Utara 61 itu?? Mengapa kau berhenti bercita-cita, Bujang? Pahamkah engkau, berhenti bercita-cita adalah tragedi terbesar dalam hidup manusia” hal.148. “Kalian lebih pintar, lebih punya kesempatan untuk sekolah lagi, kalian berangkat saja ke Jawa. Pakailah uang itu, kejarlah cita-cita…” hal.218. Dengan kaki tenggelam di dalam lumpur sampai ke lutut kami tak surut menggantungkan cita-cita di bulan: ingin sekolah ke Prancis, ingin menginjakkan kaki-kaki miskin kami di altar suci almamater Sorbone, ingin menjelajahi Eropa sampai ke Afrika hal.268.

4.2.4 Mata