Harta Benda Dalam Pewarisan

BAB III AKIBAT HUKUM PEMBAGIAN HARTA BERSAMA MILIK

ORANG TUA YANG DILAKUKAN ANAK DI KALA KEDUA ORANG TUA MASIH HIDUP

A. Harta Benda Dalam Pewarisan

Di dalam KUH Perdata BW, tentang Harta Bersama menurut Undang-undang dan Pengurusannya, diatur dalam Bab VI Pasal 119 sampai dengan Pasal 138, sedangkan di Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya tiga pasal saja, yaitu Pasal 35 sampai dengan Pasal 37. Antara kedua perundangan itu terdapat perbedaan yaitu : 1. Menurut KUH Perdata, sejak dilangsungkan perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diaadakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-barang tidak bergerak baik yang sudah ada maupun yang akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma, kecuali bila yang mewariskan atau yang menghibahkan menentukan kebalikannya dengan tegas. Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari suami isteri masing-masing baik sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Universitas Sumatera Utara 2. Menurut KUH Perdata, hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama itu, dia boleh menjualnya, menindahtangankannya dan membebaninya tanpa bantuan isterinya, kecuali isteri berdasarkan perjanjian perkawinan tidak mengurangi haknya untuk mengurus hartanya. Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedangkan harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum menhenai harta bendanya. 3. Menurut KUH Perdata, harta bersama bubar demi hukum karena kematian, perkawinan atas izin hakim setelah suami atau isteri tidak ada, perceraian, pisah meja dan ranjang, dan karena pemisahan harta. Sedangkan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Berdasarkan perbedaan-perbedaan mengenai harta bersama antara KUH Perdata dengan UU No.1 tahun 1974, maka : Dengan demikian UU No. 1 tahun 1974 lebih mendekati hukum adat dan hukum lain dan menjauhi hukum perdata Eropah yang jauh berbeda dari hukum Indonesia. Hal mana tidak berarti bahwa Hukum Perkawinan Nasional kita itu telah menerima hukum adat yang menyangkut harta perkawinan. Memang ia mungkin sesuai bagi keluargarumah tangga yang bersifat parental, tetapi tidak sesuai dengan keluargarumah tangga yang bersifat patrilineal maupun matrilineal. Oleh karenanya di dalam Undang- undang dipakai kaidah „sepanjang Universitas Sumatera Utara para pihak tidak menentukan lain‟ atau kaidah „diatur menurut hukumnya masing- masing‟. 156 A. Pitlo mengatakan bahwa : Hukum waris di dalam KUH Perdata telah mengalami perubahan sejak tahun 1938. Dalam tahun 1843, terjadi perubahan terhadap beberapa ketentuan yang berhubungan dengan formalitas pemisahan budel.. Tetapi yang terpenting adalah perubahan yang terjadi dalam tahun 1923 terhadap Hukum Waris kita. Isi yang pokok dari perubahan ini adalah, bahwa suami atau istri yang sampai dengan tahun 1923, sebagai waris menurut undang-undang baru mendapat giliran sesudah sanak-keluarga sedarah dari derajat yang kedua belas, sekarang ini dalam hubungannya dengan hukum waris menurut undang-undang, itu mempunyai kedudukan sebagai seorang anak. Sedangkan golongan ahli waris menurut undang-undang, yang dahulu mempunyai jangkauan sampai dengan derajat kedua belas, sekarang ini dikurangi sampai setengah dari derajat itu hanya sampai derajat keenam. 157 Mengenai kedudukan suami atau istri bisa bertindak sebagai ahli waris juga diungkapkan A. Pitlo , yaitu : Sampai perubahan Hukum Waris dengan undang-undang tanggal 17 Pebruari 1923 Stbl. No. 40 suami atau isteri barulah bertindak sebagai ahli waris karena kematian, apabila tidak ada seorang juga sanak keluarga sedarah sampai dengan derajat yang kedua belas. Pada waktu pembuatan perundang-undangan kita dalam tahun 1838, peraturan itu masih dikuasai oleh paham bahwa barang-barang, sewajarnya tinggal dalam keluarga. Suami atau isteri, dalam keluarga dianggap orang lain. Pandangan yang sangat kuno ini, sejak lama sudah tidak terdapat lagi dalam alam pikiran bangsa kita. Apabila ditanyakan kepada seorang yang ahli di bidang hukum, apakah yang diwarisi oleh seorang suami atau isteri, maka ia menjawab : sebagian seperti bagian anak. Suatu peristiwa yang jelas sekali tentang adanya perbedaan, antara apa yang “hukum” dengan apa “yang 156 H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama , CV. Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 123. 157 A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda Jilid I, PT. Intermasa, Jakarta, 1986, hal. 12. Universitas Sumatera Utara dianggap hukum ” oleh suatu bangsa. Jadi baru sejak tahun 1923, menurut hukum kita suamiisteri memperoleh sebanyak bagian anak. 158 Pasal 899b KUH Perdata memberikan kepada suami atau istri yang masih hidup sebagai ahli waris, suatu hak agar kepadanya diperuntukkan benda-benda tertentu, tidaklah berdasarkan atas asal-usul benda ini. 159

B. Akta Perjanjian Membagi Harta