Perbedaan Pewarisan Menurut Adat Tionghoa Dengan Pewarisan Menurut KUH Perdata

C. Perbedaan Pewarisan Menurut Adat Tionghoa Dengan Pewarisan Menurut KUH Perdata

Pewarisan menurut adat Tionghoa mempunyai perbedaan dengan pewarisan menurut KUH Perdata, yaitu : Dikeluarkannya Nieuwe Chinezen Wetgeving Perundang-undangan Tionghoa Baru oleh pemerintah Belanda secara bertahap melalui Staatblad 1917 No. 129, Staatblad 1924 No. 557 dan Staatblad 1925 No. 92, maka berlakulah KUH Perdata bagi golongan Timur Asing Tionghoa. Sebelum berlakunya KUH Perdata bagi golongan Tionghoa berlaku hukum adat yang sangat jauh berbeda dengan hukum waris dari KUH Perdata 146 . Sebenarnya berlakunya ketentuan-ketentuan hukum waris dari KUH Perdata menimbulkan berbagai kesulitan. Kesulitan-kesulitan tersebut timbul sebagai akibat adanya perbedaan-perbedaan sistem kekerabatan, nilai-nilai budaya dan kepercayaan masyarakat keturunan Tionghoa dengan keturunan Eropa. Hal ini terjadi karena pada mulanya KUH Perdata dibuat untuk golongan Eropa, sehingga ketentuan hukumnya disesuaikan dengan sistem kekerabatan, nilai-nilai budaya dan kepercayaan masyarakat yang hidup dan berkembang di Eopa. Contoh dari perbedaan-perbedaan tersebut adalah sistem kekerabatan orang-orang Tionghoa adalah patrilineal, sedang di dalam KUH Perdata adalah parental; di dalam hal perkawinan hukum adat Tionghoa menganut asas poligami, sedang di dalam KUH Perdata menganut asas monogami; berdasar hukum adat Tionghoa memungkinkan adanya pengangkatan anak atau adopsi, sedang di dalam KUH Perdata tidak mengenal adanya lembaga adopsi. 147 Menurut Esti Ningrum dan Siti Ismijati Jenie, perbedaan pewarisan antara hukum adat Tionghoa dan KUH Perdata adalah sebagai berikut : Mengenai pengertian perwarisan antara hukum adat Tionghoa dan KUH Perdata terdapat perbedaan. Menurut hukum adat Tionghoa pewarisan dapat terjadi 146 Esti Ningrum dan Siti Ismijati Jenie, Pelaksanaan Pembagian Warisan di Kalangan Orang-Orang Yang Tunduk Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di Daerah Kabupaten Banyumas , Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 2002. 147 Ibid. Universitas Sumatera Utara karena saat pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia, sedangkan menurut KUH Perdata pewarisan terjadi setelah pewaris meninggal dunia Pasal 830 KUH Perdata. Dengan demikian peristiwa matinya seseorang menurut KUH Perdata sangat menentukan saat terbukanya warisan. Yang dimaksud dengan meninggal di sini yaitu meninggal secara alamiah, karena KUH Perdata tidak mengenal adanya kematian perdata mort civile Pasal 3 KUH Perdata 148 . Asas hukum waris KUH Perdata tersebut di atas berlainan sekali dengan hukum adat Tionghoa, di mana pewarisan merupakan suatu proses yang berlangsung sejak si pewaris masih hidup sampai si pewaris meninggal dunia. 149 Namun di KUH Perdata ada juga mengatur tentang pembagian harta warisan di kala masih hidup, yaitu di Pasal 1121 yang berbunyi : “Para keluarga sedarah dalam garis ke atas diperbolehkan, dalam suatu wasiat atau dalam suatu akta notaris, membuat suatu pembagian dan pemisahan harta-benda mereka di antara para turunannya atau di antara mereka ini dan suami atau isteri mereka yang hidup terlama.” Dengan kata lain KUH Perdata menganut asas bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian Pasal 830 KUH Perdata, namun tidak menutup kemungkinan atau diperbolehkan membagi warisan di kala masih hidup, seperti yang diatur di dalam Pasal 1121 KUH Perdata tersebut. Pengertian harta warisan menurut hukum adat Tionghoa yaitu semua kekayaan yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia, baik benda itu sudah dibagi, belum terbagi atau memang tidak terbagi. Hukum adat Tionghoa walaupun 148 Pasal 3 KUH Perdata : “Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak kewargaan.” 149 Esti Ningrum dan Siti Ismijati Jenie, Op. Cit. Universitas Sumatera Utara tidak menetapkan persyaratan bahwa harta warisan harus mempunyai uang sebagaimana dalam KUH Perdata 150 . Mengenai ahli waris adat Tionghoa, juga dikemukakan oleh Esti Ningrum dan Siti Ismijati Jenie, yaitu : Pada prinsipnya yang dimaksud dengan ahli waris menurut hukum adat Tionghoa yaitu orang-orang yang mempunyai hak untuk memperoleh harta warisan, terutama mereka yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Pada umumnya ahli waris ini adalah anak-anak dari pewaris, yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, anak angkat dan anak yang dilahirkan dari isteri muda. Termasuk pula sebagai ahli waris adalah janda atau duda dari pewaris, walaupun janda atau duda tidak mempunyai hubungan darah dengan pewaris, tetapi mereka ahli waris dari seorang pewaris, Karena janda atau duda dianggap sebagai orang yang terdekat dengan pewaris. Dengan demikian hubungan darah merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang ahli waris, kecuali janda atau duda yang hidup terlama, sebagaimana ditentukan dalam KUH Perdata, namun dalam hubungan darah tersebut KUH Perdata tidak mengenal adanya anak angkat dan anak yang dilahirkan dari isteri muda 151 . Selanjutnya, mengenai pembagian warisan yang terjadi sebelum pewaris meninggal dalam hukum adat Tionghoa juga dikemukakan sebagai berikut : Dalam perkembangannya, karena pengaruh kehidupan sosial ekonomi, baik pewarisan yang terjadi sebelum pewaris meninggal dunia maupun setelah pewaris meninggal dunia mengalami penambahan. Proses pewarisan yang terjadi sebelum pewaris meninggal dunia tidak hanya dilakukan dengan cara pembagian harta warisan dan pemberian barang-barang tertentu, tetapi dapat pula terjadi dengan pengalihan dan penunjukkan, sedangkan pewarisan yang terjadi setelah pewaris meninggal dunia, selain harta warisan dibagi-bagi kepada ahli waris dan terjadi dengan suatu wasiat, dapat pula terjadi dengan cara penguasaan yang dilakukan oleh salah satu ahli waris 152 . Masyarakat Tionghoa menganut sistem kekerabatan patrilineal yaitu menarik garis keturunan dari pihak laki-laki ayah dan memakai marga dari pihak ayah. Oleh 150 Ibid . 151 Ibid . 152 Ibid . Universitas Sumatera Utara sebab itu, anak laki-laki sangat dipentingkan, karena akan meneruskan marga keluarga. Anak laki-laki tertua yang biasanya lebih diutamakan. Perbuatan U Lee Moy yang membeli tanah tetapi diatasnamakan anak laki- laki tertuanya Hadi Soetjipto adalah sesuai dengan kebiasaan masyarakat Tionghoa pada umumnya di mana anak laki-laki tertua memdapat posisi dan status yang lebih diutamakan dari anak-anak yang lainnya. Pewarisan semasa hidup bagi orang Tionghoa, yaitu ketika orang tua masih hidup, harta-hartanya sudah dibagi-bagikan pada anak-anaknya, biasanya dalam pembagian tersebut anak laki-laki juga mendapatkan bagian yang lebih besar daripada anak perempuan. Biasanya anak laki-laki memperoleh rumah atau tanah, sedangkan anak perempuan hanya memperoleh perhiasan saja. Di samping perbedaan-perbedaan tersebut di atas, antara hukum waris Tionghoa dengan hukum waris dari KUH Perdata terdapat pula persamaan dalam cara pewarisan, yaitu : Cara pewarisan menurut KUH Perdata maupun menurut hukum adat Tionghoa dapat dibedakan menjadi 2 dua yaitu menurut peraturan dan kehendak terakhir pewaris. Kehendak terakhir dari pewaris terhadap harta kekayaan pewaris diutamakan untuk dilaksanakan. Baik hukum adat Tionghoa maupun KUH Perdata di samping memberikan kebebasan terhadap ahli waris , juga memberikan pembatasan antara lain yaitu Legitime Portie LP atau bagian mutlak 153 . Yang termasuk dalam golongan legitimaris adalah : a. Ahli waris sah ab intestato dalam garis lurus ke bawah yaitu anak dan cucu serta keturunan selanjutnya ke bawah, disebut juga descendent dari si mati. 153 Ibid. Universitas Sumatera Utara Jandaduda tidak tergolong legitimaris. b. Ahli waris sah ab intestato dalam garis lurus ke atas yaitu ayahibu dan para leluhur seterusnya ke atas dari si mati c. Anak luar kawin yang diakui sah terhadap warisan orang tua yang mengakui 154 . Ahli waris yang tidak mempunyai hak mutlak atau Legitime Portie : Perta ma , suami atau istri yang hidup terlama. Kedua , para saudara-saudari dari pewaris, karena mereka berada dalam garis ke samping dan bukan garis lurus ke atas 155 . Pasal 913 KUH Perdata berbunyi : “bagian mutlak atau legitime portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat.” Pasal 914 KUH Perdata : 1 Dalam garis lurus ke bawah, apabila si yang mewariskan hanya meninggalkan anak yang sah satu-satunya saja, maka terdirilah bagian mutlak itu atas setengah dari harta peninggalan yang mana oleh si anak itu dalam perwarisan sedianya harus diperolehnya. 2 Apabila dua orang anak yang ditinggalkannya, maka bagian mutlak itu adalah masing-masing dua pertiga dari apa yang sedianya harus diwarisi oleh mereka masing-masing dalam perwarisan. 154 M.U. Sembiring, Op. Cit. hal. 66. 155 Anisitus Amanat, Op. Cit., hal. 69. Universitas Sumatera Utara 3 Tiga orang atau lebihpun anak yang ditinggalkannya, maka tiga perempatlah bagian mutlak itu dari apa yang sedianya masing-masing mereka harus mewarisinya dalam perwarisan. 4 Dengan sebutan anak, termasuk juga di dalamnya, sekalian keturunannya dalam derajat keberapapun juga, akan tetapi mereka terakhir ini hanya dihitung sebagai pengganti si anak yang mereka wakili dalam mewarisi warisan si yang mewariskannya. Pasal 915 KUH Perdata berbunyi : “Dalam garis lurus ke atas bagian mutlak itu adalah selamanya setengah dari apa yang menurut Undang-undang menjadi bagian tiap-tiap mereka dal am garis itu dalam perwarisan karena kematian.” Pasal 916 KUH Perdata berbunyi : “Bagian mutlak seorang anak luar kawin yang telah diakui dengan sah adalah setengah dari bagian yang menurut undang- undang sedianya harus diwarisinya dalam perwarisan karena kematian.” Universitas Sumatera Utara

BAB III AKIBAT HUKUM PEMBAGIAN HARTA BERSAMA MILIK

ORANG TUA YANG DILAKUKAN ANAK DI KALA KEDUA ORANG TUA MASIH HIDUP

A. Harta Benda Dalam Pewarisan