tersebut, maka ibunya dan Hadianto Utomo mempunyai bukti untuk menggugat. Berdasarkan pengakuannya sendiri bahwa tanah tersebut adalah berasal dari orang
tuanya, berarti dia mengakui bahwa tanah tersebut adalah milik orang tuanya. Pasal 1891 KUH Perdata berbunyi : “Akta-akta pengakuan membebaskan
dari kewajiban untuk mempertunjukkan alas hak yang asli, asal dari akta-akta itu cukup ternyata akan isinya alas hak tersebut.”
Yang menjadi dasar bagi para penggugat untuk menggugat adalah karena adanya surat perkawinan antara U Lee Moy dengan Tan Jong Nio, serta tanah
tersebut dibeli di masa perkawinan U Lee Moy dengan Tan Jong Nio, sehingga merupakan harta bersama mereka, sertifikat tanah tersebut dipegang oleh U Lee Moy.
Serta berdasarkan Surat Keterangan Hak Waris yang dibuat oleh Notaris Abdullah Rosid, yang menyatakan bahwa ahli waris dari U Lee Moy adalah Tan Jong Nio,
Hadi Soetjipto serta Hadianto Utomo. Akte perjanjian membagi harta antara Hadianto Utomo dengan U I Hwa
dibuat pada tahun 1986, sedangkan U Lee Moy pada tahun 1983 telah memperoleh Kewarganegaraan Indonesia, seharusnya setelah ia mendapatkan kewarganegaraan
Indonesia ia mengadakan proses balik nama atas tanah tersebut menjadi namanya.
B. Sejarah Etnis Tionghoa Diterima Sebagai Subjek Hukum di Indonesia
Sejarah asal mula Tionghoa memasuki Indonesia adalah sebagai berikut : Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia, dikatakan bahwa istilah Cina berasal dari
nama dinasti Chin abad ketiga sebelum Masehi yang berkuasa di Cina selama lebih dari dua ribu tahun sampai tahun 1913. Bencana banjir, kelaparan, dan
peperangan memaksa orang-orang bangsa Chin ini merantau ke seluruh dunia.
Universitas Sumatera Utara
Kira-kira pada abad ke tujuh orang-orang ini mulai masuk ke Indonesia. Pada abad ke sebelas, ratusan ribu bangsa Chin mulai berdiam di kawasan Indonesia,
terutama di pesisir timur Sumatra dan di Kalimantan Barat. Bangsa Chin yang merantau dari Cina ini di Indonesia lalu disebut dengan Cina perantauan. Orang-
orang Cina perantauan ini mudah bergaul dengan penduduk lokal sehingga mereka bisa diterima dengan baik
106
. Para perantau yang membawa keluarga mereka kemudian membentuk
perkampungan yang disebut dengan “Kampung Cina” Di kota-kota di mana terdapat banyak orang Cina bertempat tinggal, kampung ini lalu disebut dengan Pecinan.
Orang –orang yang tinggal di Pecinan ini banyak yang menjadi pedagang
107
. Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan
tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan
terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuna di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina.
Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya
108
. Ketika bangsa barat, terutama Belanda dengan perusahaan dagangnya VOC
memasuki Indonesia dan memonopoli perdagangan di Indonesia, para pedagang dari negeri Chin yang sudah menguasai perdagangan selama beratus-ratus tahun
ini bentrok dengan mereka. Akibatnya, VOC dan kemudian pemerintah Belanda memberikan beberapa konsesi berupa hak-hak istimewa kepada bangsa perantau
dari Cina ini. Salah satunya adalah mereka dianggap sebagai penduduk Timur Asing yang dianggap mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi daripada
warga penduduk asli
109
. Golongan Tionghoa sebenarnya adalah salah satu kelompok masyarakat yang
diberi tempat di dalam masyarakat Hindia Belanda oleh berbagai usaha dan hukum.
106
http:www.ngobrolaja.comshowthread.php?t=51539
,
diakses tanggal 6 Mei 2010.
107
Ibid.
108
http:wapedia.mobiidTionghoa-Indonesia?t=6 ., Diakses tanggal 6 Mei 2010.
109
http:www.ngobrolaja.comshowthread.php?t=51539
,
diakses pada tanggal 6 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Hindia Belanda sudah puas dengan hanya memberikan masyarakat Tionghoa
– sebagai satu golongan etnik rasial – satu kedudukan dan fungsi tertentu dalam masyarakat Hindia Belanda
110
. Politik hukum Belanda terhadap golongan Tionghoa adalah satu konflik
antara dua asas. Asas untuk mengadakan politik demi kepentingan Belanda dan asas mempertahankan hukum adat, membiarkan orang-orang hidup menurut kebiasaan-
kebiasaan sendiri. Inilah sebabnya mengapa demikian lamanya dipertahankan “hukum adat orang-orang Tionghoa”, biarpun tak ada seorang yang mengetahui apa
hukum adat ini.
111
VOC mencoba memecahkan persoalan ini dengan
incidentele legistatie
dengan hanya bila perlu mengadakan undang-undang untuk orang-orang Tionghoa. Pada
1604, VOC mengeluarkan satu ketetapan
edict
untuk mendirikan
College van Boedelmeesteren
bagi orang-orang Tionghoa. College van Boedelmeesteren ini diberi tugas mengatur warisan-warisan mereka dan mengawasi warisan-warisan
atau kekayaan anggota golongan ini yang berada di bawah umur. College ini didirikan guna memberikan kepastian dalam klaim-klaim kreditor-kreditor
Belanda terhadap kekayaan orang-orang Tionghoa yang meninggal dunia. Selain karena sering ada kecurangan dalam warisan-warisan yang menyebabkan ahli
waris yang di bawah umur merugikan dan menjadi miskin
112
. Ini bisa terjadi karena di Tiongkok warisan kepada anak di bawah umur diatur oleh klan, tetapi di
sini klan tak ada, jadi timbul kecurangan-kecurangan dalam warisan-warisan. Pada itu juga diakui hak waris anak perempuan.
Pada 1848, orang-orang Eropa di Indonesia ditundukkan dalam hukum Negara Belanda. Gubernur Jenderal diberi hak untuk menyatakan pemberlakuan hukum
Belanda pada golongan-golongan lain sebagian atau seluruhnya. Para saudagar Belanda berpendapat bahwa akan menguntungkan mereka bila orang-orang Timur
Asing ditundukkan pada hukum Belanda itu, hukum yang dikenal orang-orang Belanda dan yang tertulis untuk mengatur hubungan-hubungan ekonomis mereka
110
Onghokham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa , Komunitas Bambu, Depok, 2009, hal. 81-82.
111
Ibid.
112
Masa jabatan 1750-1756 – Penyunting JJ Rizal.
Universitas Sumatera Utara
dengan orang-orang Timur Asing. Kepentingan saudagar-saudagar Belanda ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk memberlakukan pada orang-orang
Tionghoa seluruh hukum perdata Belanda, kecuali “apa yang berkenaan dengan soal-
soal keluarga dan warisan”. Jadi pernyataan berlaku sebagian dari hukum Belanda pada orang-orang Timur Asing didasarkan pada kepentingan Belanda,
tetapi egoisme Belanda ini pada akhirnya menguntungkan golongan Timur Asing
113
. Masyarakat Tionghoa di Indonesia pernah terbagi dalam tiga golongan besar:
totok, peranakan, dan
hollands spreken
. Yang tergolong totok adalah mereka yang baru satu turunan di Indonesia orang tuanya masih lahir di Tiongkok atau dia
sendiri masih lahir di sana. Lalu ketika masih bayi diajak
xia nan yang
. Yang disebut peranakan adalah yang sudah beberapa keturunan lahir di tanah yang kini
bernama Indonesia. Sedangkan yang
hollands spreken
adalah yang -di mana pun lahirnya- menggunakan bahasa Belanda, mengenakan jas dan dasi, kalau makan
pakai sendok dan garpu, dan ketika Imlek tidak mau menghias rumah dengan pernik-pernik yang biasa dipergunakan oleh peranakan maupun totok
114
. Peraturan berikutnya adalah
wijkenstelse
l, pemusatan permukiman orang Tionghoa, yang dikeluarkan pada tahun 1866 dan dimuat dalam
Staatsblad van Nederlandsch Indië
No 57. Peraturan ini menyebutkan bahwa para pejabat setempat menunjuk tempat-tempat yang dapat digunakan sebagai wilayah
permukiman orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya. Lagi-lagi, peraturan ini untuk keamanan. Maksudnya, supaya orang-orang tersebut mudah diawasi.
Mereka yang melanggar dengan tetap tinggal di luar dari wilayah yang telah ditentukan akan dikenai sanksi penjara atau denda sebesar 25-100 gulden dengan
diberi batas waktu tinggal
115
. Di samping
wijkenstelse
l, ada pula peraturan lain, yaitu
passenstelsel
yang berlaku sejak 1816. Orang Tionghoa harus membawa kartu pas jalan jika hendak
mengadakan perjalanan ke luar daerah. Mereka yang tidak mendaftarkan diri dan diketahui tidak membawa kartu tersebut dalam perjalanan akan dikenai sanksi
hukuman atau denda sebesar 10 gulden. Peraturan ini sangat merepotkan orang Tionghoa, terutama dalam hal mengembangkan perdagangan mereka. Hal itu
karena prosedur yang sulit dan waktu pembuatan yang cukup lama.
116
113
WJ Cator, The Economic Position of The Chinese in the Indies, Chicago, 1939.
114
http:ratualit.blogspot.com200901menengok-sejarah-etnis-tionghoa-di.html
,
diakses tanggal 6 Mei 2010
.
115
http:www.mesias.8k.comsunjayadi.htm
,
diakses tanggal 6 Mei 2010
.
116
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal peradilan, sejak 1848 bagi masyarakat Tionghoa berlaku peradilan politierol. Maksudnya suatu peradilan polisi di mana kepala polisi berhak
bertindak sebagai hakim, Ia berhak memberi keputusan hukuman tanpa harus mendengarkan keterangan saksi terlebih dahulu. Jelas dalam sistem ini unsur
pemerasan dan ketidakadilan sering kali terjadi
117
. Dengan dipertahankannya hukum adat, berbagai golongan bangsa hidup
menurut tradisi mereka masing-masing. Menurut kebiasaan-kebiasaanya sendiri dan hukum adatnya sendiri
118
. Jadi selain asas politik yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara golongan Bumiputra dan Tionghoa, termasuk juga hukum adat.
Orang-orang Tionghoa berlainan dengan hukum adat golongan Bumiputra
119
. Onghokham mangatakan bahwa :
Asas politik mempertahankan hukum adat dapat dilaksanakan terhadap golongan
Bumiputra tanpa menimbulkan banyak kesukaran. Sedangkan penerapannya bagi orang-orang Tionghoa di Jawa manjadi sangat rumit. Orang-orang Tionghoa
datang dari Tiongkok dengan pengertian hukum yang berlaku di Tiongkok Selatan. Hukum ini memang sesuai dengan keadaan di sana, tetapi tak sesuai
dengan keadaan di Hindia. Sebab di Hindia tidak ada klan yang merupakan basis hukum di Tiongkok
120
. Asas hukum adat yang dipertahankan menimbulkan banyak kesukaran dan
anarkis dalam hukum Tiongkok, apalagi ditambah dengan adanya
incidentele legistatie
dari pemerintah Belanda. Orang-orang Tionghoa di Hindia juga berhubungan dengan bangsa-bangsa yang memiliki kebudayaan lain. Hal itu
117
Ibid.
118
J.S. Furnivall, Colonial Policy and Practice.
119
Onghokham, Op. Cit., hal. 83.
120
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan terjadinya “penyelundupan” asas-asas hukum ke dalam masyarakat Tionghoa, yang berbeda atau bertentangan dengan hukum Tiongkok
121
. Anarki dalam hukum ini menyebabkan intervensi dari pemerintah Belanda untuk
mempertahankan ketatatertiban dan asas politik hukum. Namun ada sebab lain yang lebih penting untuk mengadakan intervensi itu. Orang-orang Tionghoa
banyak mengadakan hubungan ekonomi dengan orang-orang Belanda dan untuk kepentingan orang-orang Belanda maka hubungan-hubungan ekonomis itu diatur
oleh hukum yang mereka kenal, dengan kata lain oleh hukum Belanda
122
. Dalam
Regeringsreglement
tahun 1854, masyarakat Hindia Belanda dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu
Europeanen
golongan orang Eropa,
Vreemde Oosterlingen
Timur Asing, dan
Inlander
pribumi. Pada pembagian secara rasial ini, orang Tionghoa dimasukkan dalam kelompok Timur Asing bersama
orang India, Arab, dan Melayu. Pemisahan ini dimaksudkan untuk alasan keamanan. Mereka diharuskan mengenakan pakaian khas, ciri khas fisik
kelompok masing-masing, seperti penggunaan thaucang kuncir bagi para pria Tionghoa. Khusus untuk istilah golongan
Vreende Ossterlingen
merupakan pergeseran nama dari
Vreemdelingen
yang berlaku pada abad ke-17 dan ke-18
123
Ini menyebabkan bahwa pada 1855 orang-orang Tionghoa harus tunduk pada sebagian hukum Belanda, lantas akhirnya pada seluruh hukum Belanda pada
tahun 1917. Ini memberikan banyak keuntungan ekonomis pada orang-orang Tionghoa. Orang-orang Belanda tentunya lebih suka mengadakan hubungan
ekonomis dengan golongan ini, sebab diatur oleh hukum Belanda, hukum yang tertulis dan yang mereka ketahui. Jadi makin banyak hukum Belanda yang
dinyatakan berlaku untuk orang-orang Tioghoa, maka makin erat hubungan ekonomisnya orang-orang Tionghoa dengan orang-orang Belanda
124
. Karena tak ada ketentuan hukum dalam hal warisan maka orang-orang
Tionghoa sendiri juga tak mempunyai asas-asas tentang hal ini. Karena tak ada hukum soal warisan, maka pada advokat mendorong supaya tiap-tiap orang yang
121
Ibid.
122
Ibid , hal. 84.
123
http:www.mesias.8k.comsunjayadi.htm , diakses pada tanggal 6 Mei 2010.
124
Onghokham, Op. Cit., hal. 84.
Universitas Sumatera Utara
mungkin dapat dianggap sebagai ahli waris mengadakan proses-proses tentang warisan
125
. Kekacauan dan anarki dalam hukum warisan ini memuncak pada abad ke-19.
Beberapa kali umpamanya pada 1892 dan 1896 pemerintah coba memecahkan keruwetan ini, tetapi tak berhasil. Pada 1896 kepada Mr. Fromberg diberi tugas
untuk merancang hukum keluarga dan hukum warisan, tetapi usaha Mr. Fromberg ini tak dipakai dan disingkirkan. Semua usaha untuk mengatur hal ini kebanyakan
tak berhasil karena salah satu syarat untuk memperbaiki hukum warisan Tionghoa ialah selalu jangan sampai perubahan ini meminta uang, meminta biaya dari
pemerintah.
126
Kekacauan-kekacauan ini membawa akibat yang buruk bagi orang Tionghoa. Proses-proses tentang warisan yang terkenal pada abad yang lalu menyebabkan
ketidakakuran dan runtuhnya persatuan dalam keluarga-keluarga. Kakak dengan adik, saudara-saudara laki dengan saudara-saudara perempuan, keponakan dengan
paman mengadakan persengketaan yang hebat di muka hakim, yang menyebabkan hubungan-hubungan satu sama lain menjadi buruk.
127
Kekacauan memuncak sedemikian rupa, sehingga perlu sekali pemecahan dengan segera; selain itu mulai muncul kaum intelektual muda Tionghoa. Mereka ini
yang meminta supaya undang-undang Belanda saja yang mengatur warisan dan juga supaya dinyatakan berlakunya peraturan cacah jiwa
Burgerlijke Stand
pada orang-orang Tionghoa. Pada 1917 pemerintah Belanda menyatakan berlakunya
hampir seluruh hukum Belanda pada orang-orang Tionghoa di Pulau Jawa dan Madura. Pada 1919 peraturan ini diundangkan.
128
Sejarah hukum perdata barat menurut Utrecht adalah sebagai berikut :
Hukum perdata Eropa bagian terbesar berasal dari hukum perdata Perancis yang dikodifikasi pada tanggal 21 Maret 1804. Kodifikasi hukum perdata Perancis baru
dibuat pada waktu sesudah Revolusi Perancis. Pada tanggal 12 Agustus 1800 oleh Kaisar Napoleon dibentuk suatu panitia yang diserahi tugas membuat rencana
kodifikasi. Kodifikasi hukum perdata itu dibuat pada tanggal 21 Maret 1804, Pada tahun 1807 kodifikasi hukum perdata itu yang semula disebut
Code Civil des Francais
diundangkan lagi dengan nama
Code Napoleon
. Pada tahun 1811 sampai tahun 1838 Code Napoleon juga berlaku di Negeri Belanda sebagai kitab
125
Ibid , hal. 88.
126
Ibid, hal. 88-89.
127
Ibid, hal. 89.
128
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
undang-undang hukum resmi. Pada tahun 1814 dibentuk panitia yang bertugas membuat rencana
kodifikasi hukum Belanda , yaitu kodifikasi hukum “nasional”. Panitia diketuai oleh Mr. J.M. Kemper. Yang menjadi sember kodifikasi hukum
perdata Belanda ialah : bagian terbesarnya
Code Napoleon
dan bagian kecilnya hukum Belanda yang kuno. Rencana Kemper tersebut tidak diterima oleh para
sarjana hukum Belgia. Setelah Kemper meninggal dunia pada tahun 1824, maka kodifikasi itu dipimpin oleh Nikolai. Karena Nicolailah, maka bagian besar
kodifikasi hukum perdata Belanda didasarkan atas
Code Napoleon
. Hanya beberapa bagian saja kodifikasi tersebut didasarkan atas hukum Belanda yang
kuno. Maka dari itu orang dapat mengatakan bahwa kodifikasi hukum perdata Belanda tahun 1838 adalah suatu tiruan kodifikasi hukum perdata Perancis
dengan beberapa perubahan kecil yang berasal dari hukum Belanda yang kuno.
129
Selanjutnya menurut Utrecht : Karena peperangan yang mengakibatkan pemisahan antara Negeri Belanda dan
Belgia th. 1830 - th. 1839, maka kodifikasi hukum perdata Belanda itu baru dapat diresmikan pada tahun 1838. Pada tahun itu diadakan beberapa kitab
undang-undang hukum Belanda, yaitu disamping
Nederlands Burgerlijk Wetboek
hukum perdata Belanda, dijadikan berlaku juga
Nederlands Wetboek v
an
Koophandel
hukum dagang Belanda,
Rechterlijke Organisatie
RO, peraturan susunan pengadilan Belanda,
Rechtsvordering
hukum acara privat Belanda,
Algemene Bepalingen van Wetgeving
AB, ketentuan-ketentuan umum mengenai perundang-undangan Belanda.
130
Menurut Utrecht perkembangan hukum perdata barat di Indonesia adalah sebagai berikut :
Berdasarkan azas konkordansi, kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia. Hukum perdata Eropa di
Indonesia terdiri atas anasir-anasir yang berasal dari hukum Romawi, hukum Perancis yang kuno, dan hukum Belanda yang kuno. Sebagai akibat proses
penyosialisasian hukum maupun usaha menghapuskan dualisme dalam tata hukum yang berasal dari zaman Hindia Belanda dahulu, Mahkamah Agng telah
mengeluarkan surat edaran tertanggal 5 September 1963 Nr. 1115P3292M1963 aslinya Nr. 31963. Dalam surat edaran tersebut badan pengalihan tertinggi kita
menyatakan bahwa KUH Perdata dianggap “tidak sebagai undang-undang, melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok
129
E. Utrecht dan Moh. Saleh Djinjang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia , PT. Ichtiar Baru, Jakarta, Cet.XI, 1983, hal. 475-477.
130
Ibid , hal. 477-478.
Universitas Sumatera Utara
hukum tak tertulis” dan “menganggap tidak berlaku lagi antara pasal-pasal berikut dari
Burgerlijk Wetboek
”, yaitu pasal-pasal 108, 110, 284 ayat 2, 1238, 1460, 1579, 1603x ayat-ayat 1 dan 2, dan 1682.
131
Hukum perdata di Indonesia pada dasarnya bersumber pada Hukum Napoleon kemudian berdasarkan Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang
burgerlijk wetboek voor Indonesie
atau biasa disingkat sebagai BWKUHPer. BWKUHPer sebenarnya merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia
Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan warganegara bukan asli yaitu dari Eropa, Tionghoa dan juga timur asing. Namun demikian berdasarkan kepada
pasal 2 aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, seluruh peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia-Belanda berlaku bagi warga negara Indonesia
azas konkordasi. Beberapa ketentuan yang terdapat didalam BW pada saat ini telah diatur secara terpisahtersendiri oleh berbagai peraturan perundang-
undangan. Misalnya berkaitan tentang tanah, hak tanggungan dan fidusia
132
. Menurut E. Utrecht :
“Tahun 1848 menjadi tahun yang sangat penting dalam sejarah hukum Indonesia. Pada tahun itu hukum privat yang berlaku bagi golongan hukum Eropa
dikodifikasi, yakni dikumpulkan dan dicantumkan dalam beberapa kitab undang- undang berdasarkan suatu sistim tertentu. Di dalam pembuatan kodifikasi itu
dipertahankan juga azas konkordansi.”
133
Perubahan Pasal 75 RR menjadi Pasal 131 IS adalah : Pada tahun 1919, pasal 75 dan 109 baru RR 1854 dapat berlaku umum dan resmi,
latar belakangnya adalah oposisi terhadap kodifikasi hukum adat itu. Akhirnya pada tahun 1925 dibuat IS. Pasal-pasal 75 redaksi baru dan 109 redaksi baru RR
1854 dimasukkan ke dalam IS dengan mengalami perubahan yang sangat kecil,
yaitu perkataan “
algemene verordiningen
” peraturan umum diganti dengan perkataan “
ordonnantie
”. Mengenai bagian-bagian lain, maka redaksi kedua ketentuan tersebut tidak mengalami perubahan. Pasal 75 redaksi baru RR 1854
131
Ibid , hal. 478.
132
http:id.wikisource.orgwikiKitab_Undang-Undang_Hukum_Perdata ,
diakses pada
tanggal 6 Desember 2009.
133
E. Utrecht dan Moh. Saleh Djinjang, Op. Cit., hal. 176.
Universitas Sumatera Utara
sekarang pasal 131 IS, dan pasal 109 redaksi baru RR 1854 sekarang redaksi pasal 163 IS.
134
Perbedaan antara Redaksi lama Pasal 75 RR 1854 dan Pasal 131 IS, yaitu redaksi baru Pasal 75 RR 1854 yaitu :
1. Pasal 131 IS memuat suatu tugas bagi pembuat ordonansi legislatif
sedangkan pasal 75 lama RR 1854 memuat suatu tugas bagi hakim yudikatif. Maka dari itu pasal 131 IS menjadi pasal kodifikasi codificatie artikel pada
zaman Hindia Belanda. Ayat 1 menjadi pasal kodifikasi hukum acara serta hukum pidana, ayat 2 sub a menjadi pasal kodifikasi hukum privat Eropa dan
pasal 2 sub b menjadi pasal hukum privat adat.
2. Pasal 131 ayat 2 sub a IS memberi kesempatan untuk mengadakan
perkecualian terhadap azas konkordansi. Pembuat ordonansi dapat : a.
Mengatakan hukum khusus yang menyesuaikan keperluan hukum golongan hukum Eropa denga keadaan khusus di Indonesia
b. Menerapkan hukum yang berlaku bagi beberapa golongan hukum bersama-
sama.
135
Dalam hukum positif Indonesia berlaku bermacam-macam hukum perdata, yaitu hukum perdata Eropa KUHPerdata, hukum adat dan hukum Islam. Pluralisme
hukum perdata ini disebabkan karena berdasarkan Pasal 163 IS, penduduk Hindia Belanda digolongan menjadi golongan Eropa, Bumi Putra dan Timur Asing. Dan
berdasarkan Pasal 131 IS kepada masing-masing golongan diberlakukan hukum perdata yang berbeda
136
. Menurut Utrecht :
Pasal 163 IS, yang berasal dari zaman kolonial, menyebut siapa yang tergolong di dalam masing-masing golongan hukum itu
137
: 1.
Yang tunduk pada peraturan-peraturan golongan hukum adat ialah semua orang Bumiputera Indonesia asli, terkecuali mereka yang telah masuk suatu
golongan hukum lain. Tergolong juga, mereka yang dahulu golongan hukum lain, tetapi sejak lama dianggap atau diterima sebagai orang Bumiputera.
Hukum adat juga tidak berlaku bagi seorang Indonesia asli yang beragama Kristen dalam hal ordonansi telah menentukan hukum lain.
134
Ibid, hal. 184-185.
135
Ibid., hal. 185.
136
http:pustaka.ut.ac.idwebsiteindex.php?option=com_contentview=articleid=61:pkni4 207-sistem-hukum-indonesiaItemid=75catid=30:fkip
, diakses pada tanggal 6 Mei 2010.
137
Menurut Utrecht, Pasal 163 IS adalah penafsiran otentik authentieke interpretatie,lihat Lemaire, hal. 24, dan Logemann, Staatsrecht van Nederlands Indie, 1947, hal. 86.
Universitas Sumatera Utara
2. Yang tunduk pada peraturan-peraturan golongan hukum Eropa Barat ialah :
a. Orang Belanda
b. Orang lain yang berasal dari Eropa misalnya, seorang Jerman, seorang
Inggris c.
Orang Jepang dan orang lain yang tidak termasuk sub a atau sub b tetapi juga tunduk pada suatu hukum keluarga yang azas-azasnya dalam garis
besar seperti azas-azas hukum keluarga yang terdapat dalam KUH Perdata yaitu hukum keluarga Belanda yang berdasarkan azas monogami,
misalnya seorang Amerika, seorang Australia.
d. Mereka yang lahir sebagai anak sah atau yang diakui sah sebagai anak dari
mereka yang disebut pada sub-sub 2a, 2b dan 2c, dan keturunan mereka. 3.
Yang tunduk pada peraturan-peraturan golongan hukum adat Timur Asing ialah orang Asia lain, misalnya orang Cina, orang Arab, orang India, orang
Pakistan kedua golongan orang ini disebut “
Voorindiers
”. Hukum adat Timur Asing tidak berlaku bagi seseorang Timur Asing yang beragama
Kristen dalam hal ordonansi telah menentukan hukum lain
138
. Untuk mengatasi kevakuman hukum setelah Indonesia merdeka, berdasar pada
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, ketentuan-ketentuan tersebut di atas masih diberlakukan. Tetapi UU Nomor 62 Tahun 1958 dan Instruksi Presidium Kabinet
Nomor 31UIN131966, hanya mengenal pembagian penduduk menjadi warga negara Indonesia dan warga negara Asing dan menghapuskan penggolongan
penduduk. Sehingga meskipun hukum perdata dalam hukum positif Indonesia masih bersifat pluralistis, tetapi tidak lagi ditujukan pada golongan penduduk
tertentu, melainkan ditujukan kepada warga negara Indonesia secara umum
139
. Bagi generasi pra-Orba,
istilah “Cina” jelas berkonotasi merendahkan, oleh karena itu mereka lebih suka disebut “Tionghoa”
140
. Sejarah pemakaian kata “Tionghoa” berawal di kalangan perkumpulan Tiong Hoa Hwee Koan THHK
Batav ia pada tahun 1900. Pada saat itu istilah “Tjina” atau “Tjienna” –yang dipakai
sejak lama – mulai dianggap merendahkan. Pada tahun 1928 Gubernur Jendral Hindia
138
E. Utrect dan Moh. Saleh Djinjang, Op. Cit., hal. 167-168.
139
. http:pustaka.ut.ac.idwebsiteindex.php?option=com_contentview=articleid=61:pkni4
207-sistem-hukum-indonesiaItemid=75catid=30:fkip , diakses pada tanggal 6 Mei 2010.
140
http:iccsg.wordpress.com20061014tionghoa-dalam-dinamika-sejarah-indonesia- modern-refleksi-seorang-sejarawan-peranakan
,
diakses pada tangga 6 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
Belanda secara formal mengakui penggunaan istilah “Tionghoa” dan “Tiongkok” untuk berbagai keperluan resmi
141
Dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 62 Tahun 1958 jo. Undang- undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Kewarganegaraan, maka Kewarganegaraan
serta Penduduk Indonesia dibagi dalam : 1.
Warganegara Asing; dan 2.
Warganegara Asli yaitu : mereka yang telah menjadi Warganegara berdasarkan Undang-undang
atau Peraturan yang berlaku dahulu sebelum Undang-undang ini; mereka yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang ini
142
. Berdasarkan dengan Staatblad 1917 No, 129 yang mulai berlaku pada tanggal
1 Mei 1919 jo. Stbld. 1924 No. 557 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1925 jo. Staatblad 1925 No. 29 yang mulai berlaku pada tanggal 1 September 1925 kepada
mereka Golongan Timur Asing Tionghoa ini diperlakukan
143
: 1.
Burgerlijk Wetboek
dan
Wetboek Van Koophandel
kecuali pasal-pasal tertentu dari Bagian Kedua dan Ketiga Buku I Titel IV, mengenai upacara yang harus
mendahului perkawinan dan tentang pencegahan perkawinan.
141
Lea E. Williams, Overseas Chinese Nationalism: The Genesis of the Pan-Chinese Movement in Indonesia, 1900-1916 Glencoe: 1960, p.61; Charles Coppel, Studying Ethnic Chinese
in Indonesia Singapore : 2002, h.372.
142
Mohd. Idris Ramulyo, Op. Cit., hal. 14.
143
H. Suparman Usman, Ikhtisar Hukum Wa ris Menurut KUH Perdata BW, Darul Ulum Press, Serang, 1990, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mereka Golongan Timur Asing Tionghoa ini diadakan Pencatatan Sipil
sendiri berdasarkan Stbld. 1917 No. 130 jo. Staatblad 1919 No.81. 3.
Diadakan ketentuan khusus yaitu mengenai perkongsian dan Adopsi pengangkatan anak yang diatur berdasarkan Staatblad 1917 No. 129 jo.
Staatblad 1919 No. 18. Menurut Subekti, dan juga pendapat Mahadi mengatakan bahwa :
“Di zaman Hindia Belanda ini terutama sesudah tahun 1928, yang menjadi sumber hukum Perdata bagi golongan Indonesia adalah Hukum Adat”
Tetapi menurut pendapat Sajuti Thalib yang mendasarkan pendapatnya kepada Hazairin, kesimpulan yang dikemukakan oleh Subekti dan Mahadi itu hanya
menekankan pada segi hukum saja. Pada hal dengan jelas dapat dipelajari pasal 75 R.R. itu yang menyebut Undang-undang Agama dan Kebiasaan, sejajar
sebagai Hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi, berarti Hukum Adat berlaku untuk orang-orang yang tunduk Hukum Adat dan Hukum Islam
diperlakukan bagi orang-orang Islam, sedangkan orang Timur Asing yang dibicarakan di atas tadi berlaku Hukum Adat mereka.
144
. Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan
Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia
145
.
144
Sajuti Thalib, Receptio a Contrario Receptie Theorie and Receptio a Contratia, diterbitkan sendiri, Jakarta, 1975.
145
Trisnanto, AM Adhy Minggu, 18 Februari 2007, Etnis Tionghoa Juga Bangsa Indonesia, Suara Merdeka, http:www.suaramerdeka.comharian070218nas04.htm, diakses tanggal
6 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
C. Perbedaan Pewarisan Menurut Adat Tionghoa Dengan Pewarisan Menurut KUH Perdata