Latar belakang masalah PENDAHULUAN
Begitulah pula dalam hal politik, keduanya diciptakan oleh Allah tidak lain untuk saling bekerjasama dalam menyelesaikan urusan dan permasalahan bersama di
antara mereka, sebagaimana firman-Nya :
Orang-orang Mukmin laki-laki dan perempuan,sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintah kemakrufan dan
mencegah kemungkaran. Q.S. At-Taubah 9: 71.
Ayat ini menjelaskan secara lebih spesifik dengan penyebutan laki-laki Mukmin dan perempuan Mukmin untuk melakukan salah satu bentuk aktivitas
politik, yaitu amar makruf nahi mungkar. Ayat ini lebih mempertegaskan lagi bahwa sebagai bagian dari masyarakat, laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban untuk
berpolitik. Tidak bisa dipungkiri dan bahkan harus dipahami oleh seluruh kaum Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, bahwa keduanya menjadi bagian dari
masyarakat atau umat yang memiliki tanggungjawab yang sama untuk ikut menentukan arah, warna, dan pola generasi kini dan masa depan.
Oleh karena itu, boleh dikatakan picik jika orang berpandangan bahwa dunia perempuan dibentengi oleh tirai domestik kehidupan keluarga; cukuplah perempuan
pintar di antara kamar dan dapur, tak usahlah peduli dengan deru kehidupan dibalik
jendela. Disadari atau tidak, hal ini bisa membawa pada penindasan hak-hak perempuan dalam kehidupan umum diluar rumah. Semua ini tidak akan terjadi
apabila hak dan kewajiban wanita dalam kehidupan umum dijamin dan dilindungi oleh masyarakat maupun penguasa.
4
Sejarah telah mencatat beratus-ratus nama tokoh pejuang wanita Islam. Sejarah dan penulisan mengenai mereka begitu luas. Semuanya ditinggalkan kepada
pengkaji-pengkaji modern bagi menjelaskan kesadaran politik di kalangan wanita. Dr. Abdul Rahman ibn Khalifah menulis dalam bukunya
Fil ‘Ilmi al-Siasah al- Islami, bahwa
“Sejarah politik Islam tidak hanya berkisar tentang pejuang laki-laki Islam, bahkan ia juga menceritakan penglibatan kaum wanita yang bebas bersuara
dan sangat aktif berpartisipasi dalam politik.”
5
Politikus yang terkenal dalam sejarah Islam yaitu Ummu Salamah perlu disebutkan dalam konteks ini. Nama asli dari Umuu Salamah ialah Hindun bintu
Umaiyah. Ia merupakan salah seorang Ummu Mu‟minin, istri Rasulullah dan ahli
rombongan Islam pertama yang berpindah ke Habshah, kemudian ke Madinah. Ummu Salamah terkenal dengan ide-ide yang bernas dalam hal politik dan bijak
menyusun strategi kepimpinan.
6
4
Ibid, h.150.
5
Shayuthy Abdul Manas, Apa Kata Islam Mengenai Wanita Berpolitik Selangor : Pts Publication dan Distribution, 2008 Cet. Pertama. h. 21.
6
Ibid., h.21.
Ummu Salamah pernah melalui pengalaman politik bersama Rasulullah ketika peristiwa Hudaibiyah. Ketika itu, Rasulullah berjanji dengan sahabat-sahabatnya bagi
memasuki Kota Makkah dan mengerjakan umrah. Tetapi, mereka dihalang oleh orang Quraisy di Hudaibiyah. Dalam rundingan itu, satu perjanjian yang dikenali sebagai
perjanjian Hudaibiyah terbentuk. Perjanjian itu menyatakan orang Madinah tidak boleh memasuki Kota Makkah pada tahun itu dan boleh menunaikannya pada tahun
berikutnya. Keputusan Rasulullah menandatangani perjanjian ini tidak disetujui oleh para
sahabat. Rasulullah mengarahkan para sahabat bertahalul yaitu menggunting beberapa helai rambut dan menyembelih hewan korban bagi membatalkan umrah.
Malangnya, para sahabat enggan melaksanakan perintah Rasulullah itu. Rasulullah masuk ke dalam kemah dalam keadaan sedih karena takut Allah SWT murka ke atas
kaum Muslimin. Dalam kondisi itu, Ummu Salamah memberi nasehat agar beliau terlebih dahulu mengganti pakaian ihram yang dipakai, bertahalul dan menyembelih
hewan korban. Justru itu Rasulullah keluar lalu bertahalul, menyembelih hewan korban dan menukarkan pakaian ihram. Perbuatan Rasulullah diperhatikan para
sahabat lalu mereka pun turut melakukan perkara yang sama.
7
Sejarah ini mencatatkan keupayaan politik seorang wanita menandingi keupayaan beribu-ribu orang pemimpin dan prajurit laki-laki. Banyak lagi kisah lain
yang menceritakan bagaimana Nabi Muhammad merujuk kepada wanita dalam
7
Ibid., h. 22.
urusan politik seperti peristiwa baiah yaitu janji setia bersama Nabi muhammad. Wanita juga berhak
berbai’ah seperti laki-laki. Hal ini sama halnya dengan hak mereka dalam perkawinan, penceraian, jual beli, dan pelbagai aspek sosial yang lain
yang diberikan sama dalam Islam.
8
Yang dimaksudkan oleh penulis dengan hak politik, yaitu hak-hak yang dicari oleh seseorang dengan menjadi anggota partai-partai politik dalam negara. Gejala-
gejala kegiatan politik dalam konteks masa kini adalah partisipasi nyata dalam memilih penguasa, ikut serta dalam memilih wakil-wakil rakyat di dewan-dewan
legislatif. Dewan-dewan legislaif melakukan dua cabang tugas, yang pertama membuat undang-undang dan yang kedua mengawasi tugas dewan eksekutif.
Kegiatan-kegiatan politik yang lain adalah mengemukan pendapat, pro atau kontra, terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan dewan eksekutif dan legislatif melalui
pidato, tulisan, demokrasi, pemogokan, atau mengajukan petisi. Ikut serta dalam kegiatan partai-partai dan kekuatan-kekuatan nasional dan juga dicalonkan menjadi
anggota DPR dan dewan legislative merupakan hak-hak politik lain dari wanita.
9
Menurut ringkasan dari keterangan Muhammad Ali Kuthub dalam bukunya “Bai’atun –Nisaa’” dapat disimpulkan, bahwa wanita dalam Islam mempunyai
kesempatan untuk terjun dalam lapangan politik dan menduduki jabatan-jabatan politik, baik itu sebagai hak kaum wanita atau sebagai kewajiban mereka. Dalam hal
8
Ibid., h. 23.
9
Abdul Halim Abu Syuqqah, Tahrirul Mar’ah fi ‘Ashrir Risalah. Chairul Majid, Kebebasan
Wanita Jakarta: Gema Insani , 1997 , Cet. Pertama, h. 527.
menduduki jabatan politik ada suatu pengecualian bagi kaum wanita, yaitu tidak bolehnya kaum wanita menduduki jabatan “Imamah Kubra”, yaitu pejabat tertinggi
negara yang berkuasa, seperti misalnya kepala negara, raja, perdana menteri, dan lain-lain predikat yang dipakainya, pokoknya yang mempunyai kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara.
10
Berkenaan dengan hal ini, seorang pemikir Islam, Dr. Musthafa al- Siba‟i
berkata: “ Setelah berdiskusi dan bertukar pendapat, kami berkesimpulan bahwa
Islam tidak melarang wanita menggunakan hak pilihnya. Pemilu adalah pemilihan rakyat terhadap wakil-wakil yang menggantikan mereka dalam
membuat undang-uandang dan mengawasi pemerintah. Proses pemilu adalah proses ketika seseorang pergi ke pos pemilihan. Di situ dia memberikan
suaranya untuk orang yang dipilihnya sebagai wakilnya di DPR. Wakil-wakil ini akan berbicara di DPR atas namanya serta untuk membela dan
memperjuangkan hak dan kepentingannya. Di dalam Islam, perempuan tidak dilarang menunjuk seseorang untuk mewakilinya dalam memperjuangkan hak
dan menyalurkan aspirasinya sebagai salah seorang warga masyarakat..”
11
Sebagai seorang tokoh, Musthafa As- Siba‟i merupakan sosok yang menarik untuk
dianalisis mengenai pemikiran tentang hak politik perempuan. Ini karena ia menjelaskan bahwa perempuan itu telah diberikan hak dalam politik oleh Islam, hak
memilih dalam pemilu dan hak untuk dipilih menjadi wakil rakyat, akan tetapi di akhir kesimpulannya ia berpendapat kaum wanita itu tidak perlu menggunakan hak
10
Achmad Masruch Nasucha, Kaum Wanita dalam Pembelaan Islam Semarang : CV Toha Putra, 1984 Cet. Pertama, h. 166.
11
Musthafa As- Siba‟i, Al-Mar’ah baina Fiqh wa Qanun. Penerjemah Chadidjah Nasution,
Wanita di antara Hukum Islam dan Undang-undang Jakarta: Bulan Bintang 1977 Cet. Pertama. h, 222.
ini karena beberapa faktor yang berkaitan dengan masalah sosial. Hal ini adalah merupakan pandangannya berkaitan dengan penilaiannya terhadap kondisi msyarakat
Suriah ketika itu. Dengan demikian, dalam meneliti hak-hak perempuan dalam berpartisipasi
politik, penulis berminat membahas dari sudut pandang Dr. Musthafa al-S iba‟i. Ia
merupakan seorang ulama‟ kontemporer yang kuat motivasinya dalam membela akidah dan prinsip. Ia memiliki pengaruh yang besar dan peran yang nyata dalam
melayani problematika Islam dan Arab. Maka dengan ini, penulis terdorong untuk menganalisa lebih mendalam melalui penelitian skripsi dengan judul,
“Hak Politik Perempuan Menurut Pemikiran Musthafa Al-
Siba’i .”